Kementerian Negara Berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat

9. Kabinet Hatta Kedua. Kabinet ini dipimpin oleh Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 19 kementerian. Kabinet ini dibentuk pada tanggal 4 Agustus 1949 dan berakhir pada tanggal 20 Desember 1949.

B. Kementerian Negara Berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat

RIS Menurut Pasal 1 ayat 1 Konstitusi RIS, “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi.” Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa “Kekuasaan berkedaulatan di dalam negara Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan Senat.” 29 Pasal 68 ayat 2 menyatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan pemerintah menurut Konstitusi RIS ialah Presiden dengan seorang atau beberapa atau para Menteri, yakni menurut tanggung jawab khusus atau tanggung jawab umum mereka itu. 30 Berbeda dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan sekaligus Kepala Negara, pada Konstitusi RIS Presiden hanya berkedudukan sebagai Kepala Negara, sedangkan kekuasaan pemerintahan dijalankan oleh kainet yang dikepalai oleh Perdana Menteri. Hal ini dikarenakan dalam Konstitusi RIS, Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer. Secara formal, Presiden adalah juga merupakan pemerintah. Karena sifatnya cuma formalitas, maka kekuasaan dalam pemerintahan bergantung pada 29 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi… Op.cit., hlm 121 30 Moh. Mahfud MD, Dasar… Op.cit., hlm 95 Universitas Sumatera Utara menteri-menteri. Semua keputusan atau peraturan harus diambil oleh kabinet, kemudian keputusan atau peraturan tersebut ditandatangani oleh presiden dan ditandatangani oleh menteri. 31 Salah satu kekuasaan administratif yang diberikan Konstitusi RIS kepada Presiden adalah mengangkat perdana menteri, menteri-menteri, ketua senat setelah mendapat anjuran dari senat, serta pejabat-pejabat tinggi lainnya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 74 ayat 1 yang menyatakan bahwa, “Presiden sepakat dengan orang-orang yang dikuasakan oleh daerah-daerah bagian sebagai tersebut dalam Pasal 69, menunjuk 3 pembentuk kabinet”. Ketentuan ini menunjukkan sistem quasi-federal yang ditimbulkan oleh Konstusi RIS. Selanjutnya Pasal 74 ayat 2 juga menyatakan bahwa, “Sesuai dengan anjuran ketiga pembentuk kabinet itu, Presiden mengangkat seorang daripadanya menjadi Perdana Menteri dan mengangkat Menteri-Menteri yang lain”. Presiden juga memiliki kewenangan untuk menetapkan siapa-siapa dari Menteri-Menteri itu diwajibkan memimpin departemen masing-masing. Boleh juga diangkat Menteri-Menteri yang tidak memangku departemen. 32 Meskipun dalam Konstitusi RIS telah ditetapkan bahwa ada seorang Perdana Menteri, tetapi mengenai kedudukannya tidak ada ketentuan-ketentuan lebih lanjut, selain daripada apa yang diatur dalam Pasal 76 Konstitusi RIS yang menyebutkan bahwa ia harus mengetuai Dewan Menteri. Meskipun demikian dalam pratek, ia adalah pemimpin kabinet dan namanya dipakai untuk sebutan 31 Abdul Ghoffar, Perbandingan… Op.Cit, hlm 82 32 Pasal 73 ayat 3 Konstitusi RIS tahun 1949 Universitas Sumatera Utara kabinet. Selanjutnya, jika perlu karena Presiden berhalangan, maka Perdana Menteri menjalankan pekerjaan jaatan Presiden sehari-hari. 33 Pada masa pemberlakuan Konstitusi RIS, menteri-menteri adalah bagian dari alat-alat perlengkapan sekaligus bagian dari pemerintah bersama Presiden. Sistem pemerintahan yang diterapkan adalah sistem pemerintahan parlementer sehingga segala tindakan pemerintah yang bertanggung jawab adalah menteri- menteri. Presiden tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Oleh karena itu, segala pemerintahan harus melibatkan menteri-menteri yang terkait. Sementara itu keterlibatan Presiden hanya bersifat formalitas untuk sekedar mengetahui. 34 Sistem parlementer dianut dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut konstitusi adalah dalam dua masakurun waktu yakni dengan berlakunya konstitusi yang berbeda, yaitu Konstitusi RIS 1949 dam UUDS tahun 1950. Menurut Wilopo, terdapat perbedaan antara sistem parlementer menurut Konstitusi RIS dengan sistem parlementer menurut UUD tahun 1950, yaitu dalam hal kekuatan parlemen unuk menjatuhkan pemerintah. Kalau menurut Konstitusi RIS pemerintah tak dapat dijatuhkan oleh parlemen dan parlemen tak dapat dibubarkan oleh presiden, tapi sebaliknya menurut UUD tahun 1950, pemerintah dapat jatuh oleh karena kebijaksanaannya tidak didukung oleh parlemen, sedangkan presiden tidak berhak membubarkan parlemen. 35 Tetapi Joeniarto berpendapat bahwa sebenarnya menurut Konstitusi RIS bukan tidak dapat menjatuhkan pemerintah. Begitu juga Presiden menurut 33 Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1986, hlm 96 34 Naskah Komprehensif Perubahan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999‐2002, Sekretaris Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010, hlm 39 35 Wilopo dalam Ismail Suny, Pergeseran… Op.cit., hlm 95 Universitas Sumatera Utara Konstitusi RIS bukan tidak dapat membubarkan Parlemen, kedua hal yang seperti itu bisa saja terjadi dan dibenarkan menurut Konstitusi RIS, hanya saja selama berlakunya Konstitusi RIS hal itu belum pernah tidak dapat dilaksanakan sehubungan dengan DPR yang pada waktu itu bukanlah DPR yang dibentuk berdasarkan Pemilihan Umum sesuai dengan perintah pasal 111, tetapi masih merupakan DPR yang ditunjuk berdasarkan pasal 109 dan 110. 36 Oleh karena itu, maka DPR tidak dapat menjatuhkan kabinet karena ada ketentuan pasal 122 yang berbunyi, “Dewan Perwakilan Rakyat yang ditunjuk berdasarkan pasal 109 dan 110 tidak dapat memaksa kabinet atau masing-masing menteri meletakkan jabatannya.” Seandainya dalam kurun waktu berlakunya Konstitusi RIS itu berhasil dibentuk DPR melalui Pemilu sesuai dengan ketentuan isi pasal 111 maka dapat saja DPR itu menjatuhkan kabinet. Dengan demikian sebenarnya tidak ada perbedaan antara sistem kabinet parlementer menurut Konstitusi RIS dengan sistem parlemen menurut UUD tahun 1950. 37 Dalam sistem pemerintahan parlementer, dikatakan bahwa apabila kebijakan menteripara menteri ternyata tidak dapat dibenarkan oleh DPR, maka menteripara menteri harus mengundurkan diri . Namun pada sistem ini selama berlakunya Konstitusi RIS belum dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan DPR yang ada belum didasarkan kepada pemilihan umum sesuai Pasal 111, tetapi masih DPR yang ditunjuk atas dasar Pasal 109 dan Pasal 110 Konstitusi RIS. Sedangkan Pasal 122 Konstitusi RIS menentukan “Dewan Perwakilan Rakyat 36 Joeniarto dalam Ibid, hlm 96 37 Ismail Suny, Pergeseran… loc.cit Universitas Sumatera Utara yang ditunjuk menurut pasal 109 dan 110 tidak dapat memaksa Kabinet atau masing-masing Menteri meletakkan jabatannya”. Kabinet-kabinet yang pernah terbentuk selama masa Pemerintahan Republik Indonesia Serikat adalah sebagai berikut 38 : 1. Kabinet Susanto atau Kabinet Peralihan. Kabinet ini dipimpin oleh Susanto Tirtoprodjo sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 13 kementerian. Kabinet ini dibentuk pada tanggal 20 Desember 1949 dan harus berakhir pada tanggal 21 Januari 1950. 2. Kabinet Halim. Kabinet ini berkedudukan di Yogyakarta yang dipimpin oleh Dr.Abdul Halim sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 15 kementerian. Kabinet ini dibentuk pada tanggal 21 Januari 1950 dan harus berakhir pada tanggal 6 September 1950.

C. Kementerian Negara Berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara

Dokumen yang terkait

Partisipasi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Dalam Perubahan Orde Lama – Orde Baru

6 97 112

Peran Kepolisian Republik Indonesia Dalam Mendukung Penegakan Syariat Islam Di Propinsi Aceh

6 49 137

Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945

1 74 100

Tinjauan Yuridis Pergantian Antarwaktu Pejabat Badan Pemeriksaan Keuangan (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/Puu-Xi/2013)

0 39 201

Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79 PUU-IX 2011)

0 0 8

Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79 PUU-IX 2011)

0 0 1

Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79 PUU-IX 2011)

0 0 23

Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79 PUU-IX 2011)

0 0 33

Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79 PUU-IX 2011)

0 0 4

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi: Studi Terhadap Putusan Nomor 92/PUU-X/2012

0 0 21