Pendiferensialan Integral Sifat-sifat Probabilitas Distribusi Normal

11 Definisi 2.5.1. Fungsi F disebut anti turunan dari fungsi f dinotasikan dengan Af atau F x dx  bila F x f x  . Lebih lengkap dituliskan sebagai berikut: Jika   d F x c dF x F x    maka , F x dx dF x F x c      dimana . c     2. Integral tentu yang diambil pada suatu daerah atau interval tertentu. Definisi 2.5.2. Suatu fungsi fx yang kontinu pada interval a x b   maka 1 lim n k k n k b a f x dx f x x       . . . 2.6a | b b a a dF x dx F x F b F a     . . . 2.6b Definisi 2.5.3. Jika Fx = Ux.Vx fungsi yang kontinu pada interval [a, b] maka b b b a a a U x dV x dF x dx V x dU x      . . . 2.7a atau b b a a U x dV x F b F a V x dU x      . . . 2.7b Selain dari kedua jenis integral tersebut terdapat juga integral parsial. Di dalam diferensial diketahui bahwa jika U dan V adalah fungsi-fungsi yang dapat didiferensialkan maka d UV Udv Vdu   apabila kedua ruas diintegralkan diperoleh UV UdV VdU     . . . 2.8 UdV UV VdU     . . . 2.9 Integral parsial yang sering juga dikenal dengan integral by part memiliki sifat umum sebagai berikut a. Peranan dalam memilih dV diutamakan yang lebih mudah diintegralkan. b. VdU  sebaiknya tidak lebih sulit dari pada UdV  .

2.6 Pendiferensialan Integral

Teorema 2.6.1 Verbeg, Purcell dan Rigdon, 2010 Jika f kontinu pada selang tertutup [a, b] dan jika x adalah variabel yang merupakan sebuah titik dalam [a, b] maka x x a D f t dt f x         . Universitas Sumatera Utara 12 Bukti. Misalkan x a G x f t dt   akan dibuktikan G x f x  . x h x x h a a a G x h G x f t dt f t dt f t dt           dengan h 0 dan m adalah nilai minimum serta M adalah nilai maksimum f pada selang [x, x+h] maka m f t M   x h x h x h a a a m dt f t dt M dt         x h a m h f t dt M h     m h G x h G x M h     G x h G x m M h     lim h G x h G x f x h     G x f x  ■ Bentuk pendiferensialan integral dapat dirumuskan sebagai berikut , , , t t t t d f s t f s t ds f t t ds dt t                 . . . 2.10 2.7 Persamaan Diferensial Linier 2.7.1 Permulaan Persamaan Diferensial Persamaan diferensial adalah suatu persamaan yang didalamnya terdapat turunan- turunan yang merupakan hubungan antara variabel bebas dan variabel tak bebasnya serta variabel turunan terhadap variabel tak bebas dalam berbagai orde. Secara simbol ditulis:   , , ,..., F x y y y  n . . . 2.11 di mana x = variabel bebas. y = variabel tak bebas. Universitas Sumatera Utara 13 , ,..., y y y n = turunan-turunan y terhadap x. Suatu derivatif atau turunan tertinggi yang terdapat dalam suatu persamaan diferensial merupakan orde dari suatu persamaan diferensial sedangkan degree derajat suatu persamaan diferensial adalah pangkat tertinggi dari turunan tertinggi yang terdapat dalam suatu persamaan diferensial. Penyelesaian umum dari suatu persamaan diferensial adalah suatu penyelesaian yang didalamnya terdapat konstanta sebarang, ditulis dengan , , F x y c  ; c adalah konstanta Penyelesaian khusus particulir solution adalah suatu penyelesaian yang didalamnya sudah ditentukan konstanta sebarang menjadi konstanta absolut ditulis dengan , , o F x y c  . Jika terdapat variabel bebas yang tunggal, turunan merupakan turunan biasa maka persamaannya disebut persamaan diferensial biasa sedangkan jika terdapat dua atau lebih variabel bebas dan turunannya adalah turunan parsial maka persamannya disebut persamaan diferensial parsial Kartono, 1994.

2.7.2 Persamaan Diferensial Linier Orde Satu

Persamaan diferensial linier orde satu ditulis dalam bentuk   , , F x y y  atau , y F x y  . Penyelesaian umumnya adalah , y x c   di mana penyelesaiannya mengandung suatu konstanta c. Bila diberikan syarat awal x x  dan y y  maka konstanta c dapat dicari misalnya c c  . Penyelesaian atau jawaban untuk c c  dinamakan jawaban khusus dalam bentuk , y x c   Kartono, 1994.

2.7.3 Persamaan Diferensial Linier Orde – n

Bentuk umum persamaan diferensial linier orde n adalah 1 1 1 2 ... n n n n P y P y P y P y Q        . . . 2.12 Universitas Sumatera Utara 14 di mana P  dan Q  1 2 , ,..., n P P P adalah konstanta. Q adalah fungsi. Untuk menyederhanakan dan memudahkan perhitungan persamaan diferensial tersebut dapat digunakan operator D dimana d D dx  selanjutnya dapat ditulis menjadi 1 1 1 2 ... n n n n P D P D P D P y Q        . Suatu persamaan differensial linier orde n dengan keofisien konstan disebut homogen apabila Q = 0 sehingga bentuknya menjadi 1 1 1 2 ... n n n n P D P D P D P y        . . . 2.13 dapat juga ditulis 1 1 1 2 ... n n n n P D P D P D P        . . . 2.14 dapat juga difaktorkan menjadi 1 2 1 ... n n D m D m D m D m       dimana 1 2 1 , ... , n n m m m m  merupakan akar karakteristik dari persamaan 2.13 Kartono, 1994. 2.8 Probabilitas Probabilitas atau peluang secara klasik dapat diartikan sebagai suatu ukuran tentang tingkat kemungkinan suatu peristiwa event akan terjadi di masa mendatang. Oleh karena itu diperlukan suatu pengamatan. Proses pengamatan tersebut dinamakan suatu percobaan. Hasil dari suatu percobaan dinamakan hasil outcames atau titik sampel. Himpunan yang berisi semua hasil yang mungkin dari suatu percobaan disebut dengan ruang sampel. Ruang sampel sering dinotasikan dengan S atau Ω. Sedangkan kejadian atau event adalah himpunan bagian dari ruang sampel Sudjana, 2005. Universitas Sumatera Utara 15

2.9 Sifat-sifat Probabilitas

Definisi 2.9.1 Misalkan Ω adalah ruang sampel dan A adalah suatu kejadian pada ruang sa mpel Ω. 1 Jika A = ∅ maka PA = 0. 2 Nilai probabilitas kejadian A, yaitu PA berkisar dari 0 sampai 1   1 . P A   3 Jumlah nilai probabilitas semua hasil dari suatu percobaan atau PΩ=1. 2.10 Variabel Acak dan Distribusi Probabilitas 2.10.1 Variabel Acak Untuk menggambarkan hasil-hasil percobaan sebagai nilai-nilai numerik secara lebih sederhana, maka digunakan variabel acak. Variabel acak biasanya menghubungkan nilai-nilai numerik dengan setiap kemungkinan hasil percobaan. Nilai numerik tersebut bersifat diskrit hasil hitungan dan bersifat kontinu hasil pengukuran, oleh karenanya variabel acak dapat dikelompokkan menjadi: 1. Variabel Acak Diskrit Variabel acak diskrit hanya dapat mengambil nilai-nilai tertentu yang terpisah, yang umumnya dihasilkan dari penghitungan suatu objek. Syarat yang harus dipenuhi untuk fungsi probabilitas diskrit: i P x 0 atau 0 P x 1 ii 1 i P x   n i Definisi 2.10.1 Nilai harapan expected value variabel acak diskrit adalah rata-rata tertimbang seluruh kemungkinan hasil di mana penimbangnya adalah nilai probabilitas yang dihubungkan dengan setiap hasil outcome. Ekspektasi atau nilai harapan dapat dirumuskan dengan . x i i E X x P x     n i =1 atau 1 1 2 2 . . ... . x n n E X x P x x P x x P x       . . . 2.15 Universitas Sumatera Utara 16 di mana i x = nilai ke-i dari variabel acak X i P x = probabilitas terjadinya i x Varians dari Variabel Acak diskrit X yang dinotasikan dengan 2 x  atau Var[x] ditentukan dengan rumus: 2 2 2 [ ] [ - ] -[ ] Var x E x E x E x E x   . . . 2.16 2. Variabel Acak Kontinu Jika mengukur sesuatu seperti lebar ruangan, tinggi badan, atau berat badan seseorang, maka variabel yang dihasilkan adalah variabel acak kontinu. Hasil pengukuran tersebut mungkin akan berbeda-beda tergantung pada siapa yang melakukan pengukuran dan tingkat ketelitian yang digunakan. Oleh karena hasil pengukuran tidak bisa seakurat hasil perhitungan, maka nilai hasil pengukuran bisa bervariasi dalam suatu selang nilai tertentu. Misalnya jarak antara Medan dan Pematang Siantar dapat 127 km, 127,6 km, 128 km dan seterusnya tergantung pada ketelitian alat ukur atau si pengukur. Berikut diberikan beberapa contoh variabel kontinu dari suatu percobaan. Contoh 2.10.2. Variabel Kontinu Percobaan Variabel Acak Kemungkinan Nilai-nilai Variabel Acak Membangun proyek perkantoran baru setelah 12 bulan Persentase proyek yang diselesaikan  x  100 Isi botol minuman jadi maximum = 600 ml Jumlah milliliter  x  600 Penimbangan 20 paket kemasan maximum = 2 kg Berat sebuah paket kemasan kg  x  2 Universitas Sumatera Utara 17

2.10.2 Distribusi Probabilitas Variabel Acak Kontinu

Distribusi probabilitas variabel acak kontinu dinyatakan dengan fungsi fx dan sering disebut fungsi kepadatan density function atau fungsi kepadatan probabilitas. Nilai fx bisa lebih besar dari 1. Syarat yang harus dipenuhi oleh fungsi kepadatan probabilitas : i fx  0 ii 1 f x dx     di mana fx dx = P[x  X  x + dx], yaitu probabilitas bahwa nilai X terletak pada interval x dan x + dx. Definisi 2.10.3. Beberapa definisi mengenai variabel acak kontinu 1. Fungsi Probabilitas Kumulatif Variabel Acak Kontinu : F x P X x f x dx       . . . 2.17 Nilai-nilai x dalam rumus ini harus kontinu atau dalam suatu interval. 2. Ekspektasi atau mean untuk variabel acak kontinu X ditentukan dengan rumus : . E x x f x dx       . . . 2.18 Dan ekspektasi untuk x adalah sebuah fungsi x = gx ditentukan dengan rumus : g . x E x g x f x dx     . . . 2.19 3. Varians dari Variabel Acak Kontinu X yang dinotasikan dengan 2 x  atau Var[x] ditentukan dengan rumus: 2 2 2 [ ] [ - ] -[ ] Var x E x E x E x E x   . . . 2.20 Salah satu bentuk distribusi dari distribusi variabel acak yang akan dibahas didalam tulisan ini adalah distribusi normal. Universitas Sumatera Utara 18

2.11 Distribusi Normal

Distribusi normal merupakan distribusi kontinu yang paling penting dalam bidang statistik karena dapat mewakili kumpulan data observasi yang terjadi dalam alam semesta, industri, maupun penelitian. Distribusi normal sering dikenal sebagai distribusi Gauss. Variabel acak x yang mempresentasikan distribusi normal disebut variabel acak normal, yang distribusinya bergantung pada dua parameter, yaitu mean  dan deviasi standar . Fungsinya dinotasikan sebagai Nx ;  ; . Definisi 2.11.1 Fungsi kepadatan density function dari variabel acak x dengan mean  dan varians  2 adalah : 2 1 2 1 ; ; . , 2 x N x f x e x                     . . . 2.21 di mana  = 3,14159...... e = 2,71828......  = simpangan baku = 2   = rata-rata x x = variabel kontinu

2.12 Model Stokastik