Adapun faktor-faktor diatas masih berada dalam jangkauan pertimbangan manajemen.
2. Faktor-faktor yang bersifat ekstern. Misalnya peraturan-peraturan yang berasal dari pemerintah
setempat dan lain-lainnya yang membatasi pertimbangan produsen dalam menentukan jumlah dan jenis penyalur barang-barang yang
dihasilkan. Contohnya, Pemerintah melarang masuknya modal asing dalam bisnis eceran. Faktor ini diluar jangkauan perusahaan.
2.7. Usaha eceran
Definisi ritel menurut Kotler 2002 adalah Usaha Eceran meliputi semua kegiatan terlibat dalam penjualan barang atau jasa secara langsung
kepada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan bukan bisnis. Pengecer atau toko eceran adalah usaha bisnis yang volume penjualannya
terutama berasal dari penjualan eceran. Melihat evolusi outlet retail, dari yang primitif sampai yang paling
modern dan canggih, telah mengambil bentuk yang bermacam-macam seperti dibawah ini:
1. Perdagangan eceran skala kecil yang bertujuan memenuhi kebutuhan non-masal:
a. Berlokasi di halaman rumah sendiri tanpa bangunan permanen.
b. Pasar mingguan yang aktif hanya seminggu satu atau dua hari seminggu.
c. Menjajakan barang secara keliling semacam pedagang kaki lima.
d. Warung dengan bangunan semi permanen di halam sendiri atau dekat rumah.
e. Pasar dengan bangunan tetap dan aktif setiap hari.
2. Perdagangan eceran skala besar yang bertujuan memenuhi kebutuhan massal:
a. Kios dan toko
b. Specialty store
c. Convinience store
d. Pasar induk
e. Departemen store
f. Supermarket
g. Chain store
h. Franchise
2.8. Franchise Waralaba
2.8.1. Pengertian Franchise Waralaba
Kata franchise berasal dari bahasa Perancis affanchir yang berarti bebas dari kungkunganbelenggu free from servitude. Di sini
hakekat dari pengertian waralaba adalah mandiribebas. Waralaba berasal dari kata wara lebihistimewa dan laba untung. Jadi
waralaba berarti suatu bentuk kemitraan usaha antara pengwaralaba franchisor dengan pewaralaba franchisee, yang saling
menguntungkan dan diatur oleh Standard Operation Prosedure SOP. SOP ini ditetapkan oleh pengwaralaba franchisor untuk menjaga
bentuk produk, standarisasi mutu dan pelayanan. Dalam bahasa Indonesia kata franchise dipadankan dengan kata
waralaba. Kata waralaba pertama kali diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen LPPM UI, sebagai padanan
kata franchise. Tetapi waralaba bukan terjemahan langsung dari kata franchise.
Dalam konteks bisnis, franchise berarti kebebasan untuk menjalankan usaha secara mandiri di wilayah tertentu. Rincian
padanan kata untuk sistem keterkaitan usaha waralaba dengan franchise dari kata Inggris dan Indonesia beserta pengertiannya
terdapat pada Tabel 5. Pengertian franchise menurut Anoraga 1997 merupakan suatu
sistem bagi distribusi selektif bagi barang danatau jasa di bawah suatu nama merek melalui tempat penjualan yang dimiliki oleh pengusaha
independen yang disebut franchisee pewaralaba, walaupun pemberi hak franchise franchisor memasok franchisee pewaralaba dengan
pengetahuan atau identifikasi merek secara terus-menerus, dan franchisee pewaralaba menikmati hak atas profit yang diperoleh dan
menanggung resiko kerugian. Franchisor pengwaralaba mengendalikan distribusi barang danatau jasanya melalui suatu
kontrak dengan mengatur aktivitas dalam hubungannya untuk mencapai standarisasi. Hal ini juga dijelaskan oleh Mendelshon 1993
yang menyatakan bahwa franchising merupakan karakter dagang dimana seorang yang terkenal atau suatu karakter yang telah tercipta,
memberikan franchise lisensi kepada orang lain, dimana dengan lisensi tersebut mereka berhak untuk menggunakan sebuah nama.
Tabel 4. Padanan Franchise dalam Bahasa Asing dan Pengertiannya
Sumber: LPPM UI dan Depperindag,1993. Organisasi Franchise adalah asosiasi kontraktual antara
franchisor, yaitu produsen, pedagang besar, atau organisasi jasa dengan franchisee, yaitu usahawan bebas independen yang memberi
hak untuk memiliki dan mengoperasikan satu atau beberapa unit dalam sistem franchise. Organisasi franchise biasanya didasarkan atas
beberapa produk, jasa atau metode bisnis yang unik atau merek dagang, atau paten atau hak atas suatu goodwig yang dikembangkan
oleh franchisee tersebut Kotler,1997. Dalam PP 16 Tahun 1997, disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan franchisor adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau
menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya. Dalam penjelasan lebih lanjut
pengwaralaba lazim disebut franchisor. Sedangkan pewaralaba adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan
dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan
Inggris Indonesia
Pengertian
Franchise Waralaba
Suatu sistem keterkaitan usaha vertikal yang saling memberikan keuntungan
Franchising Pewaralabaan
Aktivitas sistem waralaba Franchisor
Pengwaralaba Pihak yang membed waralaba
Franchisee Pewaralaba
Pihak yang diberi waralaba
atau ciri khas yang dimiliki franchisor. Dalam penjelasan lebih lanjut, pewaralaba lazim disebut franchisee.
Walaupun terdapat perbedaan dalam merumuskan definisi franchise yang telah disebutkan di atas, namun pada umumnya
franchise memiliki unsur-unsur sebagai berikut: a. Franchise merupakan perjanjian timbal balik antara franchisor
dengan franchisee dimana masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian;
b. Tujuan hubungan kerjasama tersebut untuk efisiensi pemasaran dari suatu produk atau jasa dalam suatu wilayah tertentu;
c. Hubungan kerja sama terjalin secara erat dan terus menerus antara franchisor dengan franchisee;
d. Franchisee berkewajiban untuk membayar fee kepada franchisor; e. Franchisee diijinkan menjual dan mendistibusikan barang atau jasa
franchisor menurut cara yang telah ditentukan franchisor atau mengikuti metode bisnis yang dimiliki franchisor;
f. Substansi franchisee menggunakan merek, nama perusahaan, atau simbol-simbol komersial franchisor.
2.8.2. Karakteristik Dasar Franchise
Terdapat beberapa karakteristik yang membedakan antara franchise dengan tipe usaha lain Purba,1995:
a. Kerjasama antara franchisor dan franchisee dilaksanakan dalam bentuk perjanjian atau kontrak yang sifatnya saling
menguntungkan dan antara franchisor dengan franchisee harus ada kesepakatan bersama;
b. Paket usaha yang difranchisekan merupakan suatu paket standar dan bisa dipasarkan dimana saja;
c. Franchisor memberi dan membantu persiapan segenap aspek yang akan dimasuki franchisee, misalnya pelatihan
karyawan, penjelasan pedoman operasi, perencanaaan tata letak ruangan usaha, membantu pemasaran produk dan
mengawasi pelaksanaan usaha;
d. Untuk membuka usaha baru franchisee harus menanamkan modalnya tanpa ada penyertaan kepemilikan usaha dari
pihak franchisor dan franchisor bisa membantu dalam bentuk pengadaan peralatan atau gedung yang dicicil oleh
franchisee; e. Franchisee harus memiliki cabang usaha tersebut. Dengan
kepemilikan ini maka franchisee berhak dan wajib mengelola bisnisnya, sedangkan franchisor wajib
mensupervisi jalannya usaha franchisee. Sebagai imbalan dari pembed hak pengelolaan usaha tersebut, franchisee
harus membayar fee kepada franchisor.
2.8.3. Mekanisme Pola Franchise
a. Jenis dan Metode Operasi Franchise
Berdasarkan substansi kemitraannya Depperindag, 1998, franchise dibedakan dalam beberapa jenis yaitu:
1. Produk dan merek dagang. Franchisee boleh membuat produk membuat
turunannyamenggandakan aslinya, seperti kaset lagu dan menggunakan merek dagang dari franchisor serta
mengedarkan menjual untuk wilayah tertentu. Franchisee juga bebas menggunakan cara-cara dalam
mengedarkan menjual, tetapi wajib memenuhi persyaratan mutu, desain dan kemasan produk serta
bentuk huruf dan wama dari merek dagang. Contohnya: kaset lagu barat yang diedarkan di Indonesia, produk-
produk sepatu Bata, tas dan ikat pinggang dengan merek- merek dari luar neged bukan bajakan, dan pompa bensin.
2. Manufaktur Manufacturing Dalam hal ini franchisee wajib mengikuti metode
manufaktur yang ditetapkan oleh franchisor. Contohnya Coca Cola, Pepsi dan beberapa minyak wangi dari luar
negeri. Biasanya franchisee disebut sebagai botler. Bahan-
bahan inti disuplai oleh franchisor, dan tidak diperkenankan dibuat oleh franchisee. Franchisee berhak
mengedarkan menjual produk tersebut dengan menggunakan merek dagang dari franchisor dan bebas
dalam cara mengedarkannya. Pada dasamya fee atau royalty yang dibayar oleh franchisee tidak pemah dihitung
sebagai bagian yang tersendiri tetapi dimasukkan dalam harga bahan baku inti yang mencapai tidak kurang dari
12 dari Net Sales. Selain memberikan hak tunggal penggunaan merek untuk wilayah tertentu, franchisor juga
memberikan pelatihan, bimbingan maupun on going services berupa marketing co-opt bantuan biaya
periklanan yang besamya masing-masing 50 untuk brand building, quality control, audit dan training, serta
operating system advice. 3. Franchise Format Business Business Format
Business format merupakan jenis franchise yang paling populer dikalangan franchisee yang pengalamannya
dalam mengelola dan mengorganisir suatu usahamasih sedikit. Hal ini disebabkan karena semua aspek dalam
mengelola dan mengorganisir usaha yang difranchisekan tersebut telah distandarisasikan oleh franchisee sehingga
mudah bagi franchisee untuk menguasai dan mengoperasikannya. Termasuk dalam jenis ini adalah
restoran,ritel dan hotel. Dalam perkembangannya akhir-akhir ini, telah lahir
jenis franchise yang disebut Business Opportunity Venture dan Conversion Franchising. Dalam Business Opportunity
Venture, franchisor mendesain suatu sistem jalur distribusi. Franchisee mendistribusikan barangjasa sesuai dengan
sistem yang telah ditetapkan oleh franchisor. Produkjasa yang didistribusikan itu bukanlah produkjasa yang
dihasilkan oleh pengwalaba. Contohnya adalah pendistribusian kendaraan bermotor dan mesin penjual
dengan mata uang logamvending machine
1
. Conversion franchising mempunyai keunggulan yaitu matangnya
pengalaman franchisee dalam menjalankan bisnis, bantuan manajemen dan teknik dari franchisor, jaringan network
pemasaran yang telah berkembang luas, dan hak penggunaan merek dagang Karamoy, 1996. Perbedaan tipe ini dengan
tipe franchise lainnya teletak pada franchisor yang merupakan perusahaan yang berpengalaman dalam
mengoperasikan usaha, bukan perusahaan baru atau perusahaan yang sedang belajar bisnis. Tipe ini berkembang
cukup pesat di negara Amerika Serikat dan umumnya diterapkan dalam bidang usaha seperti perhotelan, otomotif,
konsultan dan toko retail. Menurut Mendelshon 1993, terdapat 6 metode dalam
mengembangkan usaha franchise yaitu: 1. Operasi oleh pemilik perusahaan.
Dalam metode ini franchisor membangun operasinya sendiri sehingga membutuhkan sumber
keuangan dan tenaga kerja yang besar untuk menjalankan operasinya.
2. Franchising langsung Metode ini melibatkan franchisor dalam penyediaan
sokongan dasar serta dukungan langsung secara berkesinambungan kepada setiap franchisee yang
disertai dengan pembukaan cabang tambahan. 3. Operasi cabang
Pembukaan operasi cabang disebabkan karena dua keadaan yaitu untuk memberikan layanan kepada
franchisee langsung dan sebagai basis regional untuk
1
Salim Wahid dalam Manajemen Franchise: konsep dan aplikasinya, Usahawan No. 11 TH XXV Nopember 1996, hal. 6-10
memberikan layanan kepada franchisee di wilayah tersebut.
4. Subsidiary CompanySub Franchising Perusahaan tambahan berfungsi sebagai; 1
pemberi layanan kepada franchisee langsung, 2 franchisor memberikan hak master franchise kepada
subsidiary untuk membuka operasinya sendiri atau dengan sub franchising, 3 subsidiary dapat ikut serta
dalam partner joint venture, 4 subsidiary dapat dipakai sebagai basis regional untuk memberikan pelayanan
kepada sub franchisee atau sub franchisor di wilayah tersebut. Contoh perusahaan yang menerapkan metode ini
adalah Wendys Restaurant. 5. Pengaturan master franchise
Sub franchisor memiliki hak untuk membuka outlet-nya sendiri atau membuat sub franchise. Sub
franchisor pada dasarnya mewakili franchisor di suatu negara serta mewakili semua tujuan dan kehendak
franchisor atas sistem di wilayah tersebut. Contoh perusahaan yang menerapkan metode ini adalah Mc
Donalds. 6. Joint VentureArea Development Franchise
Franchisor dapat mendirikan suatu perusahaan joint venture dengan memilih mitra kerjasama di suatu negara
tertentu. Dalam metode ini, franchisor biasanya melakukan negosiasiperjanjian dengan mitranya
mengenai jumlah saham yang akan dimiliki dan bagaimana membiayai kontribusinya. Perusahan joint
venture juga akan membantu franchisor membuka
sistemnya di wilayah perusahaan joint venture. Contoh
perusahaan yang menerapkan metode ini adalah Dunkin Donuts.
Perbedaan antara model master franchising, model sub franchising dan model area development franchising terletak
pada on going relationship antara franchisor dan Franchisee, dari siapa Franchisee harus mendapatkan dukungan support
dan kepada siapa fee dan royalty harus dibayar Depperindag,1998. Pada model master franchising, master
franchise memberikan initial training dan support sedangkan on going support diberikan oleh franchisor. Dalam hal ini
master franchisee mendapatkan bagian dari royalty dan advertising fee yang dibayarkan oleh franchisee kepada
franchisor. Pada model sub franchising, sub franchisor memberikan
training, initial support dan on going support. Royalty dan fee termasuk juga advertising fee dibayar oleh franchisee kepada
sub franchisor, dan kemudian sub franchisor membayar sebagian tertentu kepada franchisor. Pada model ini franchisor
memberikan training, support, dan on going support kepada franchisee. Area developer membayar front end fee dan
franchisee membayar royalty langsung kepada franchisor, akan tetapi area developer tidak mendapat bagian dari royalty
maupun advertaising fee. Ia hanya mendapat bagian dari keuntungan dari tiap unit, apabila ia mempunyai saham di
dalamnya.
b. Persyaratan Menjalankan Sistem Franchise