Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesadaran akan pentingnya pendidikan anak usia dini mulai meningkat. Hal ini terlihat dengan meningkatnya jumlah layanan pendidikan anak usia dini di berbagai wilayah. Pendidikan anak usia dini adalah pendidikan untuk anak usia 0- 6 tahun. Pada usia ini banyak para ahli mengatakan sebagai usia emas golden age, hal ini dikarenakan pada usia tersebut anak dapat menangkap semua informasi dan pengetahuan. Semenjak awal pun telah tercetuskan “tri pusat pendidikan”, yaitu pendidikan dalam keluarga, pendidikan dalam sekolah, dan pendidikan dalam masyarakat. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orangtua, masyarakat dan pemerintah. Berdasarkan pada rasa tanggung jawab bersama, maka perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia menjadi beban bersama orangtua, masyarakat dan pemerintah. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan beberapa peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan. Peran keluarga dalam pendidikan lebih ditegaskan lagi dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu UU SPN No. 20 Tahun 2003 pasal 1 dan pasal 7. Dalam pasal 1 dinyatakan bahwa “Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana dan pr asarana”. Kata 2 masyarakat dalam pasal ini, di dalamnya adalah keluarga baik terlibat langsung maupun tidak langsung dalam penyelenggaraan pendidikan. Lebih lanjut pada pasal 7 ayat 1 “orangtua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya”. Pada ayat 2 “orangtua dari anak usia wajib belajar berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya”. Orangtua atau wali murid adalah komponen dari masyarakat yang bersinggungan langsung dalam memperoleh kemanfaatan dari penyelenggaraan layanan pendidikan anak usia dini. Sementara itu, sinergisitas pembelajaran dapat berjalan ketika ada hubungan yang baik antara sekolah, guru, anak, orangtua dan masyarakat. Orangtua memiliki peran sebagai mitra dalam serangkaian pembelajaran dan menindaklanjuti pendidikan anak di sekolah serta konsultasi berbagai informasi antara guru dan orangtua untuk mengupayakan hal terbaik bagi anak. Hal tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 8 yang berbunyi “masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan”. Partisipasi orangtua merupakan bentuk keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan PAUD mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan suatu kegiatan yang telah disusun oleh suatu kelompok. Partisipasi orangtua juga dapat mempermudah akses dalam berbagi informasi keseharian anak di kelas dan di rumah, sehingga perlakuan yang diberikan oleh guru dan orangtua dapat berjalan selaras. 3 Aktivitas di sekolah pada umumnya menjadikan guru memiliki durasi waktu untuk mendampingi anak didik sekitar 3 jam setiap harinya dalam pelaksanaan layanan pendidikan, sedangkan orangtua memiliki intensitas waktu yang lebih tinggi untuk mendampingi anak. Kerjasama antara orangtua dan guru dalam menangani perkembangan anak menjadikan anak memperoleh layanan pendidikan yang berkesinambungan. Sebaliknya, ketidakikutsertaan orangtua dalam pembelajaran di rumah maupun di sekolah menjadi kendala tersendiri bagi anak untuk memperoleh pembelajaran yang efektif. Pembelajaran yang efektif dapat memicu pembelajaran dengan konten lanjutan pada anak. Kerjasama ini sangat diperlukan guna mengakomodasi kebutuhan anak yang dapat diupayakan baik oleh pihak sekolah maupun orangtua. Idealnya, orangtua turut berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan serta evaluasi penyelenggaraan pelayanan PAUD. Pada kenyataannya banyak orangtua yang belum terlibat dalam penyelenggaraan layanan PAUD. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal di antaranya kesibukan orangtua yang memiliki berbagai aktivitas dan selebihnya terkait perspektif orangtua mengenai pentingnya layanan pendidikan anak semenjak usia dini. Banyak penelitian yang menunjukan bahwa perspektif dilatarbelakangi oleh riwayat pendidikan orangtua. Hal ini diasosiasikan juga pada strata sosial masyarakat. Kesulitan untuk melibatkan orangtua menjadi makin bertambah pada keluarga dengan sosial ekonomi rendah. Banyak hal yang menjadi penyebabnya, diantaranya krisis ekonomi dan bencana alam. Hal ini menambah jumlah keluarga 4 miskin sehingga mereka tersisih dari kehidupan kota dan berada di daerah-daerah miskin. Keluarga yang tinggal di daerah-daerah tersebut sering mengalami pertengkaran dalam masalah keuangan sehingga mengalami stres setiap hari. Stres ini semakin bertambah tinggi karena stres akibat kerja, tinggal di daerah kumuh, panas, bising dan sesak, persoalan kegagalan pendidikan anak dan laju kelahiran anak yang sulit dikendalikan. Tumpukan stres ini menyita dan membuang energi orangtua untuk hal-hal yang negatif dan perhatian orangtua menjadi tidak terpusat untuk terlibat pada pendidikan anak. Garry Hornby dan Rayleen Lafaele 2011 menyatakan bahwa kendala keterlibatan orangtua dipengaruhi oleh faktor orangtua dan keluarga, orangtua dan guru serta kondisi sosial. Pertama, orangtua dan keluarga, yang berawal dari kepercayaan orangtua, persepsi untuk terlibat pada apa yang terjadi selama di kelas sehingga berujung pada terselesaikannya masalah yang timbul dari anak seperti rentang usia, kecacatan dan kesulitan belajar, bakat minat, serta masalah perilaku. Kedua, faktor orangtua dan guru yang meliputi perbedaan agenda, perbedaan bahasa yang digunakan serta perilaku. Ketiga, faktor sosial, meliputi isu demografi, historikal, politik dan ekonomi. Hal ini dapat mempengaruhi profesionalitas pendidikan untuk memperoleh pemahaman yang lebih besar dari kendala-kendala keterlibatan orangtua. Orangtua dalam berbagai dokumentasi format kebijakan seringkali diposisikan sebagai “pihak lain” yang tidak diperankan dalam pengambil kebijakan Hughes dan Mac Naughton, 2000. Dalam banyak hal orangtua diposisikan hanya sebagai klien. Keterbatasan pengetahuan orangtua terhadap 5 perkembangan anak sering kali menjadi alasan adanya pemberian jarak pada orangtua dalam proses pengambilan kebijakan. Kondisi sosial masyarakat banyak dipengaruhi oleh kondisi geografisnya. Banowati 2013 menyatakan bahwa struktur geografis pada permukaan bumi mempengaruhi keadaan geomorfologi suatu wilayah yang berpengaruh terhadap berbagai kegiatan ekonomi penduduk. Iklim adalah faktor lingkungan yang paling penting dan berpengaruh pada kegiatan manusia, misalnya berpengaruh pada pertanian, transportasi, perdagangan, dan komunikasi. Keberagaman kondisi geografis inilah yang menjadikan keberagaman aktivitas sosial masyarakat, salah satunya ditunjukan dengan kecenderungan mata pencaharian masyarakatnya. Sehingga beberapa wilayah memiliki karakteristik yang menunjukan stratifikasi sosial. Kusnadi 2007 menyatakan bahwa sebagian besar kategori sosial nelayan Indonesia adalah nelayan tradisional dan nelayan buruh Mereka adalah penyumbang kuantitas produksi perikanan tangkap nasional. Walaupun demikian, posisi sosial mereka tetap marginal dalam proses transaksi ekonomi yang timpang dan eksploratif sehingga sebagai pihak produsen, nelayan tidak memperoleh pendapatan yang besar. Pihak yang paling beruntung adalah para pedagang besar atau pedagang perantara. Kawasan pesisir mayoritas penduduknya memiliki mata pencaharian yang berhubungan dengan bidang kelautan di antaranya sebagai nelayan, pembudidaya tambak, pedagang ikan sampai pada pekerja pabrik di areal pelabuhan. Tingkat pendidikan penduduk wilayah pesisir juga tergolong rendah. Kondisi lingkungan 6 pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum tertata dengan baik dan terkesan kumuh. Dengan kata lain kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir relatif berada dalam tingkat kesejahteraan rendah. Kota Semarang sebagai Ibu kota Provinsi Jawa Tengah dengan karakteristik wilayah kompleks, heterogenitas yang tinggi, dari mulai kawasan perkotaan, pedesaan, kawasan industri hingga pesisir. Wilayah pesisir Kota Semarang terdiri dari 6 kecamatan dari total 16 kecamatan yang ada. Kecamatan-kecamatan tersebut antara lain Kecamatan Genuk, Kecamatan Gayamsari, Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Tugu, Kecamatan Semarang Timur dan Kecamatan Semarang Utara. Tabel 1.1. Jumlah Keluarga Nelayan Semarang per 11 Mei 2014 No Kelurahan Jumlah Nelayan KK 1. Mangunharjo 110 2 Mangkang Wetan 87 3 Karanganyar 32 4 Trimulyo 32 5 Bandarharjo 96 6 Tanjungmas 545 Total 1002 sumber: simpeda.semarangkota.go.id Tabel di atas menunjukan persebaran nelayan yang mendiami kelurahan-kelurahan di wilayah pesisir. Nampak Kelurahan Tanjungmas memiliki jumlah nelayan terbanyak diantara kelurahan-keluraan lain di Kota 7 Semarang tepatnya kelurahan ini terletak di Kecamatan Semarang Utara. Sehingga dengan kata lain Kelurahan Tanjungmas Kecamatan Semarang Utara merupakan pusat pemukiman nelayan Kota Semarang. Kecamatan Semarang Utara memiliki 24 Kelompok Bermain, 16 Satuan PAUD Sejenis dan 46 Taman Kanak-Kanak. Di Kecamatan Semarang Utara terdapat wilayah yang memiliki batas langsung dengan bibir pantai, yakni Kelurahan Tanjungmas. Tanjungmas merupakan wilayah yang dihuni oleh masyarakat nelayan. Tanjungmas sendiri memiliki 2 areal padat pemukiman warga yakni Tambak Mulyo dan Tambak Rejo. Keduanya memiliki kesamaan wilayah yang kuat. Kesamaan ini dimulai dari kondisi geografis sehingga berefek pada kesamaan jenis mata pencaharian masyarakatnya hingga membentuk pola-pola kebiasaan perilaku dan persepsi umum. Mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai nelayan dan buruh pabrik di pelabuhan. Kondisi lingkungan masyarakatnya yang kumuh, sering terjadi banjir rob, dan terdapat banyak pengangguran. Semua inilah potret dari kondisi sosial masyarakatnya. Partisipasi orangtua dalam penyelengaraan PAUD seharusnya terjadi di seluruh lembaga penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, tidak terkecuali di lembaga layanan PAUD yang terletak di kawasan pesisir. TK Qotrinnada, PAUD Patra Sutera serta RA Bustanul Wathon merupakan sekolah yang memberikan layanan PAUD yang berada di kawasan pesisir, tepatnya berada di kampung nelayan Tambak Mulyo dan Tambak Rejo. Ketiganya merupakan sekolah-sekolah yang berdiri dari yayasan pribadi dan 8 masyarakat. Mayoritas warga kampung nelayan yang memiliki anak usia dini menyekolahkan anaknya di sini. Lebih dari separuh orangtua yang berprofesi sebagai nelayan menyekolahkan anaknya disini, sehingga konsentrasi masyarakat nelayan berada pada tiga sekolah ini. Uraian di atas menunjukkan bahwa masyarakat nelayan memiliki tempat tersendiri dalam berpartisipasi pada penyelenggaraan PAUD. Karakteristik sosial masyarakat tentu berpengaruh pada partisipasi orangtua. Hal inilah yang menjadikan penulis tertarik untuk menyusun judul skripsi yaitu: “Partisipasi Orangtua dalam Penyelenggaraan PAUD pada Masyarakat Nelayan Studi Kasus terhadap Lembaga PAUD di Masyarakat Nelayan Tanjungmas, Semarang”.

B. Fokus Penelitian