70
mendekati anak agar tidak larut dalam kesendiriannya. Seperti yang dikatakan ibu BM :
“Ada, karena mungkin ketuna runguan mereka berawal dari masa kecil sehingga untuk berkumpul di dalam masyarakat
masih merasa menjadi bahan pembicaraan, padahal itu berawal dari pikiran yang tidak benar dari anak. Untuk menangani hal
tersebut maka saya memberikan pendekatan secara intensif” Hal di atas juga diperkuat dengan pernyataan ibu WT:
“Bila dilihat dari segi tuna rungu tidak ada, namun ada beberapa yang cenderung menyendiri karena mereka tuna rungu double
ada C nya” Anak tuna rungu di SLB Maarif dengan kategori anak rendah
diri dapat dihitung. Karena mungkin hanya ada anak 1 sampai dengan 2 dengan sifat mereka yang menutup diri dengan lingkungan sekitar.
Biasanya anak tersebut karena memiliki double dengan adanya tambahan Cnya. Sehingga anak merasa malu di lingkungan sekolah.
2. Faktor pendukung Implementasi Kebijakan Bahasa Isyarat dalam
Mengembangkan Kecerdasan Intelgensi Anak Tuna rungu
Suatu program yang telah dicetuskan tidak akan dapat berjalan atau berhasil secara maksimal jika didalamnya tidak ada indikator faktor
pendukung. Begitu pula dalam pelaksanaan kebijakan bahasa isyarat dalam mengembangkan kecerdasan intelegensi anak. Pembelajaran yang
terjadi di dalam kelas maupun diluar kelas mempengaruhi setiap kecerdasan anak. Dukungan dari segi internal maupun eksternal selalu
diberikan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan pada umumnya.
71
Kebijakan bahasa isyarat muncul dari pada UU No 19 Tahun 2011. Disini pemerintah peduli dengan adanya anak disabilitas yang
dikhususkan mengenai anak tuna rungu. Lebih lanjutnya di sekolah luar biasa Maarif Muntilan untuk bidang bahasa isyarat sendiri memiliki
pendukung dari segi internal, seperti penjabaran dari Ibu BM: “Dari segi internal anak - anak disabilitas tuna rungu ini lebih
sering mengikutkan diri mereka ke dalam sebuah perkumpulan yang dinamai MDF Magelang Deaf Community yaitu
perkumpulan yang diikuti oleh anak penyandang tuna rungu, dengan adanya komunitas ini anak merasa bebas untuk
berkomunikasi dan saling mengembangkan kemampuan mereka” Dengan hal tersebut bisa dikatakan bahwa pendukung dari
pelaksanaan kebijakan bahasa isyarat tersebut salah satunya yaitu didukung dengan suatu komuniats sendiri yang disana terdiri dari siswa
yang aktif untuk menggunakan bahsa isyarat di antara teman teman sesama tuna rungu. Dengan bebas mereka saling bertukar pikiran, sehingga ketika
kembalinya di dalam kelas, anak tidak canggung lagi untuk menggunakan bahasa isyarat di kelas. Komunitas tersebut dinamai magelang deaf
community. Pendukung yang kedua yaitu bahasa isyarat yang digunakan dari
kecil atau bisa disebut dengan bahasa ibu. Dengan adanya pembekalan dari kecil perlahan menuju dewasa di sekolah pastinya seorang guru akan
mendampingi dan mengolah bahasa isyarat dari anak untuk dapat digunakan minimal dalam lingkup sekolahan. Sebagaimana pernyataan
Ibu WT:
72
“Pendukungnya dengan dibekalinya bahasa ibu atau bahasa isyarat yang perlahan la
han anak dan guru akan terbiasa memakainya.” Untuk mendukung pernyataan di atas, seorang anak secara
perlahan harus aktif dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan untuk mengembangkan bahasa isyarat mereka agar terlihat luwes dalam hal
penerimaan maupun pemberian pelajaran. Seperti yang diungkapkan oleh ibu UK:
“Pendukungnya ya dilihat dari keaktifan anak itu sendiri dalam belajar sehingga otomatis anak dalam belajar tersebut mampu
mengelola bahasa isyarat seperti layaknya sibi” Pendukung di poin kedua yaitu lebih mengedepankan mengenai
keaktifan siswa untuk mengembangkan kebijakan bahasa isyarat tersebut. Dengan adanya bahasa ibu sebelumnya serta ditopang dengan keaktifan
anak yang akan mendorong implementasi kebijakan bahasa isyarat ini untuk terus berkembang menuju kearah kecerdasan itelegensi anak.
Pendukung yang ketiga adalah dengan adanya suatu evaluasi untuk melihat seberapa jauh dan berkembangnya kecerdasan anak melalui
kebijakan bahasa isyarat ini . dengan adanya evaluasi yang dilakukan maka diharapkan mampu memberikan solusi dimana nanti muncul masalah -
masalah yang diaggap krusial. Seperti yang dikatkan Bapak KSS: “Setiap mengevaluasi kinerja guru kami adakan evaluasi setiap
minggunya untuk melihat kemajuan dan hambatan. Untuk hambatan kami menanganinya dengan adanya musyarawarah
bersama sehingga semua dapat memberikan pendapat” Dengan hal tersebut maka faktor pendukung dapat dijabarkan
menjadi tiga yaitu : komunitas MDF, adanya bahasa ibu, evaluasi kinerja
73
guru.ketiga faktor tersebut yang peneliti dapatkan ketika melakukan wawancara terhadap beberapa narasumber yang memang difokuskan
dalam bidang kelas tuna rungu.
3. Faktor penghambat Implementasi Kebijakan Bahasa Isyarat dalam