1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia tidak akan bisa lepas dari yang namanya pendidikan, dalam berbagai perkembangan zaman kata tersebut tidak akan pernah hilang dari
peradaban manusia. Pendidikan merupakan suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu ataupun kelompok baik itu yang terjadi dalam institusi formal
maupun informal yang ada pada lingkungan sekitar. Dengan adanya pendidikan seseorang akan mengalami serta menemukan tahapan dalam masa
perkembangannya, apabila dilihat dari segi manfaatnya dapat diketahui bahwa pendidikan mempunyai fungsi dan tujuan yang mampu memajukan
serta mengembangkan gagasan dan pola pikir untuk menjadi manusia seutuhnya atau memanusiakan manusia.
Menurut undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 1 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pertumbuhan dan perkembangan potensi yang ada pada setiap individu akan terus berkembang dengan adanya pendidikan. Dengan
pendidikan , seorang individu selain mengembangkan potensi juga tidak akan berhenti untuk mentransfer ilmu satu sama lain, karena pendidikan
2
bermanfaat setiap waktu seiring perkembangan zaman hingga menuju akhir hayat atau disebut dengan pendidikan sepanjang hayat.
Sependapat dengan Dwi Siswoyo, dkk 2008: 146 mengemukakan bahwa makna pendidikan sepanjang hayat yaitu pendidikan tidak berhenti
hingga individu menjadi dewasa, tetapi tetap berlanjut sepanjang hidupnya. Serta pendidikan bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja, dengan kata lain
pendidikan berlangsung sepanjang hayat atau lebih dikenal dengan pendidikan seumur hidup.
Selanjutnya apabila kita membahas mengenai pendidikan maka tidak akan jauh dengan pembentukan pola pikir manusia. Pembentukan pola pikir
yang terus berkembang akan menimbulkan suatu hal baru yang memiliki banyak manfaat. Dengan adanya berbagai manfaat untuk kedepannya,
membuat pendidikan semakin gencar diberikan kepada masyarakat guna membekali mereka demi meraih masa depan.
Pendidikan di Indonesia umumnya diterapkan pada dua bentuk yang lebih dikenal dengan bentuk formal dan informal, keduanya memiliki tujuan
yang sama untuk mencerdaskan anak, dimana dari sisi formal berhubungan dengan kegiatan pembelajaran di sekolah yang memiliki struktur terencana,
sedangkan informal berada pada lingkup diluar sekolah seperti halnya dalam keluarga.
Sekolah selalu memberikan berbagai materi yang berhubungan dengan kemajuan dalam mengembangkan pola pikir yang ada pada
masyarakat umumnya dan anak - anak pada khususnya secara terstruktur.
3
Sekolah di dalamnya terjadi proses interaksi sosial melalui transfer wawasan dan ilmu yang melibatkan pendidik dan peserta didik. Interaksi sosial ini
berguna untuk mendampingi serta mengarahkan berbagai perilaku anak untuk mencapai tujuan pengembangan kualitas diri yang lebih optimal.
Pendidikan di dalam sekolah diberikan kepada anak untuk membekali mereka berupa modal yang bermanfaat di masa depan. Seorang anak di
sekolah mendapatkan kegiatan pembelajaran atau transfer ilmu, ketika kegiatan pembelajaran dilaksanakan pasti di dalamnya akan muncul berbagai
problematika masalah. Untuk itu dicetuskanlah suatu kebijakan yang dalam hal ini diterapkan pada sekolah luar biasa.
SLB Maarif Muntilan memiliki bermacam – macam anak disabilitas
dari tuna grahita, tuna rungu, tuna wicara yang menimba ilmu di sekolah yang sama yaitu SLB. Adapun jenis dari pada anak disabilitas yang dibahas
dalam hal ini adalah tuna rungu. Anak tungarungu merupakan anak yang mengalami gangguan dalam
pendengaran. Pada umumnya kecerdasan yang dimiliki oleh anak penyandang tuna rungu di SLB ini tidak berbeda jauh dengan apa yang
dimiliki oleh anak normal pada umumnya, hanya saja dalam penerimaan kata - kata sulit dan tata bahasa kurang teratur sehingga harus diajarkan secara
intensif dan mendalam karena disini segi komunikasi sangatlah berperan. Di lain hal seharusnya anak memiliki konsentrasi yang baik pada
proses pembelajaran, namun disini anak - anak tuna rungu sedikit mengalami kesulitan untuk melakukan komunikasi. Sehingga pembelajaran yang
4
seharusnya berjalan dengan lancar dan baik harus difokuskan melalui beberapa tahap agar anak - anak dapat berkonsentrasi.
Konsentrasi anak mulai terpecah saat menghadapi atau menerima pelajaran matematika, karena anak tuna rungu mengalami hambatan dalam
berkomunikasi yang menyebabkan problem belajar matematika mengalami kesulitan dalam hal simbol
– simbol dan terkadang anak mengalami malas serta bosan untuk mengikuti proses pembelajaran karena mungkin dianggap
terlalu monoton. Permasalahan lain muncul di luar segi kegiatan pembelajaran
misalnya segi sosial, anak disabilitias cenderung mengalami rendah diri di masyarakat mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosial. Mereka
terkadang minder dengan orang yang tidak sama dengan kekurangan yang dimiliki. Masalah lainnya anak yang mengalami tuna rungu terkadang hanya
mau berkomunikasi dengan anak tuna rungu lainnya tanpa ingin berkomunikasi dengan anak disabilitas lainnya, mereka juga merasa terasing
dan sering menyendiri di lingkungan masyarakat. Segi komunikasi masih menjadi hambatan bagi seorang penyandang
tuna rungu, yang pada umumnya seharusnya bisa berbaur atau banyak berkomunikasi namun disini anak disabilitas tuna rungu mayoritas malu
untuk berbicara, padahal berbicara akan membuat anak tunar rungu mendapatkan kepercayaan di dalam dirinya.
Ketika muncul masalah maka untuk menangani kesulitan dalam berkomunikasi tersebut, kemudian dikembangkan suatu kebijakan bahasa
5
isyarat yang tertera pada UU No. 19 Tahun 2011 yang berkaitan dengan dunia tuli dalam pasal 2 dengan isi komunikasi mencakup bahasa, tayangan teks,
braille, komunikasi tanda timbul, cetak besar, multimedia yang dapat diakses maupun bentuk
– bentuk tertulis audio, termasuk informasi dan teknologi komunikasi yang dapat diakses, “bahasa” mencakup bahasa lisan dan bahasa
isyarat serta bentuk – bentuk non lisan yang lain. Dengan adanya UU tersebut
diharapkan nantinya mampu membantu para peserta didik tuna rungu untuk mengembangkan potensi mereka dengan pendampingan guru dan dalam
pengawasan sekolah. Di sekolah luar biasa juga terdiri dari berbagai guru yang dianggap
sebagai orang tua di lingkungan tersebut menggantikan orang tua mereka di rumah, disini hal yang membedakan dengan sekolah lain yaitu dengan
munculnya berbagai ciri khas anak yang berbeda - beda tersebut yang harus diahadapkan dengan berjalannya suatu kebijakan bahasa isyarat, maka bisa
dibayangkan bagaimana seorang guru akan berinteraksi serta membentuk kecerdasan pada anak
– anak yang berbeda karakteristik satu dengan yang lainnya.
Anak tuna rungu dalam sekolah luar biasa tersebut bisa diasuh dengan pendidikan yang telah terstruktur dengan pola pengasuhan yang lebih dekat
dan intensif, seorang guru di sekolah tersebut haruslah memiliki ketekunan serta kesabaran dalam mendidik anak - anak luar biasa tersebut, inilah salah
satu hal juga yang membedakan dengan sekolah lain pada umumnya.
6
Pada hakekatnya orang awam tidak akan mengetahui kebijakan bahasa isyarat dalam mengembangkan kecerdasan anak dengan keterbatasan
seperti tuna rungu yang memiliki hambatan. Bahasa isyarat tidak diketahui oleh masyarakat dikarenakan penggunaanya tidak begitu diterapkan di
masyarakat. Oleh sebab itu maka implementasi kebijakan bahasa isyarat disini dikaitkan dengan kecerdasan intelegensi anak.
Kecerdasan anak tuna rungu ini diberikan karena anak belum dapat berkomunikasi secara bebas dan menyatu saat berada di lingkungan
masyarakat. Dikarenakan kebijakan bahasa isyarat yang digunakan anak tuna rungu belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat. Sehingga dengan
mengaitkan serta mengembangkan bahasa isyarat dengan kecerdasan intelegensi diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi anak tuna
rungu. Kemampuan khusus disini lebih memfokuskan kepada bidang -
bidang tertentu saja. Adapun dari Teori Multiple Intrlligence Gardner kecerdasan memiliki 9 dimensi yang semiotonom, yaitu linguistik, musik,
matematik logis,
visual spesial,
kinestetik fisik,
sosial interpersonal,intrapersonal, spiritual, natural. Bahasa isyarat mendukung
kecerdasan intelegensi anak di demensi kinestetik, interpersonal, serta natural.
Pengembangan kecerdasan anak tuna rungu dapat ditingkatkan dengan pendidikan yang telah terencana sebelumnya agar dapat
menghasilkan sebuah prestasi, di lain hal masih ada juga faktor yang mampu
7
mempengaruhi kecerdasan intelegensi dari suatu anak yaitu berasal dari keturunan maupun lingkungannya.
Segi prestasi salah satunya seperti seorang siswa yang mempunyai keterbatasan mendengar ialah dengan diraihnya juara membatik tingkat
provinsi, dari beberapa hal tersebut lingkungan sekolah memberikan pengarahan yang baik sehingga anak di sekolahan tersebut mampu
memberikan pencapaian terbaik, disini menjadi sebuah tantangan bagi guru bagaimana anak tersebut diasuh dengan keterbatasan yang dia miliki.
Beberapa keterbatasan yang dimiliki oleh anak tuna rungu, memberikan suatu gagasan untuk lebih mendekatkan serta merekatkan
pendidik dan peserta didik dalam berbagai pola asuh yang diberikan di lingkungan sekolah.
Demi merekatkan pendidik dan peserta didik maka muncullah dukungan dengan adanya kebijakan bahasa isyarat yang ada di SLB tersebut,
serta adanya prestasi yang didapat juga diperoleh oleh anak tuna rungu dengan berbagai macam karakteristik, maka peneliti tertarik untuk meneliti
implementasi kebijakan bahasa isyarat yang diterapkan untuk mendekatkan diri dan mengembangkan kecerdasan intelegensi anak dengan judul
“Implementasi Kebijakan UU No 19 Tahun 2011 Tentang Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelegensi Anak Tuna rungu”.
8
B. Identifikasi Masalah