Pengaruh Perlakuan Inovasi Penyadapan Getah Pinus terhadap Produktivitas Penyadap (Kasus : Hutan Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat).

(1)

1.1 Latar Belakang

Hutan merupakan sumberdaya alam dengan banyak manfaat yang terkandung didalamnya. Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memproduksi hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu. Namun keberadaan hutan di Indonesia saat ini lebih banyak dimanfaatkan untuk produksi kayu. Sedangkan potensi hutan yang memiliki nilai tinggi tidak hanya kayu, melainkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa hasil hutan. HHBK menurut FSC (Forest Stewardship Council) adalah keseluruhan sumberdaya atau produk biologis selain kayu yang berasal dari hutan untuk diperjual belikan dan dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan atau masyaraat lokal (Games et al. 2002 diacudalam Syamsu 2009).

HHBK dapat menjadi komoditas yang dapat diperhitungkan dan bernilai tinggi jika dapat dikelola dengan baik. HHBK memiliki kontribusi penting bagi pembangunan berkelanjutan dan kelestarian hutan untuk generasi yang akan datang. Pengelolaan HHBK merupakan salah satu alternatif untuk konservasi sumberdaya hutan karena tetap mempertahankan kayu dan ekosistem hutan. Di Indonesia pengelolaan HHBK masih belum dikelola secara optimal karena kayu masih menjadi prioritas utama hasil hutan.

Permintaan serta kebutuhan akan getah pinus di Indonesia semakin meningkat setiap tahun. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk meningkatan produktivitas getah pinus di Indonesia. Selain memiliki tujuan utama sebagai hutan pendidikan, Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) telah melakukan penyadapan terhadap HHBK. HHBK yang saat ini mulai disadap adalah getah yang berasal dari jenis Pinus merkusii kerena memiliki banyak manfaat dalam bidang industri, antara lain: bahan baku lem, kosmetik, dan pernis. Selain itu terdapat pula jenis damar (Agathis lorantifolia) yang juga memiliki banyak manfaat sebagai bahan penambah kilap pernis, cat, perekat bahan pelapis tekstil dan lain-lain.

Produksi getah pinus yang ada di HPGW semakin meningkat setiap tahunnya. Peningkatan ini dapat dipengaruhi oleh berbagai perlakuan penyadapan,


(2)

antara lain adanya peningkatan pemberian motivasi kerja, adanya kontrak kerja antara penyadap dengan pengelola HPGW, tarif upah sadap, dan adanya hasil penelitian yang dilakukan di HPGW. Peningkatan produktivitas penyadap ini dapat dikaji dengan mengklasifikasikan pengaruh perlakuan terhadap produktivitas getah pinus selama jangka waktu tertentu. Peningkatan produksi getah pinus berdasarkan berbagai perlakuan ini sangat menarik untuk dipelajari, oleh kerena itu perlu dilakukan penelitian Pengaruh Perlakuan Inovasi Penyadapan Geteh Pinus terhadap Produktivitas Penyadap.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi perlakuan terhadap penyadapan getah pinus di HPGW.

2. Menganalisis perbandingan produktivitas getah pinus berdasarkan perubahan perlakuan penyadapan.

3. Menganalisis perbandingan persepsi penyadap terhadap kenaikan produktivitas getah pinus berdasarkan perubahan perlakuan penyadapan

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak yang berkepentingan, sebagai berikut :

1. Memberikan informasi kepada Badan Pengelola HPGW mengenai produktivitas sadapan getah pinus terhadap perubahan perlakuan penyadapan.

2. Memberikan pengalaman penelitian untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan penelitian.

1.4 Perumusan Masalah

Getah pinus merupakan salah satu HHBK yang penting dalam pemenuhan kebutuhan industri di Indonesia. Permintaan getah pinus untuk bahan baku industry yang semakin meningkat, maka perlu dilakukannya upaya peningkatan produktivitas getah pinus. Jumlah produksi getah pinus yang ada di HPGW


(3)

semakin meningkat setiap tahunnya, maka perlu dikaji perlakuan penyadapan yang dapat meningkatkan produktivitas penyadap. Peningkatan produktivitas penyadap ini dapat dikaji dengan menganalisis variasi produksi berdasarkan berbagai perlakuan penyadapan yang diterapkan oleh Badan Pengelola HPGW.


(4)

Hutan merupakan salah satu sumber kekayaan negara dan bangsa, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Hingga saat ini masih banyak masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan serta sumber hidupnya masih tergantung pada hutan. Oleh karena itu pemanfaatan sumber daya hutan secara bijaksana dan lestari harus dilaksanakan oleh para pengelola hutan. Manfaat yang bisa diperoleh dari hutan tidak hanya berasal dari hasil hutan kayu (HHK) melainkan hasil hutan bukan kayu (HHBK), karbon dan ekowisata. Definisi HHBK adalah hasil hutan baik hayati maupun nabati beserta produk turunannya dan budidayanya kecuali kayu.

2. 1 Ciri-Ciri Pinus

Pinus memiliki banyak spesies, salah satu yang banyak dimanfaatkan adalah Pinus merkusii. Pinus merkusii merupakan salah satu jenis tumbuhan dari Family Pinaceae yang memiliki ciri-ciri berbatang silindris, lurus dalam tegakan rapat, cabang membentuk putaran yang teratur,tinggi bebas cabang mencapai 10-25 meter, tidak berbanir dan berdaun jarum. Bunga berbentuk strobili jantan dan betina. Pinus merkusii merupakan jenis pionir yang mampu bertahan hidup dan pertumbuhannya sangat cepat (fast growing spesies) serta mampu tumbuh pada kondisi yang sangat sulit (Prosea 1998).

Direktorat Jendral Kehutanan (1973) menyatakan bahwa Pinus merkusii

dengan nama daerah tusam banyak ditemukan tumbuh di belahan bumi bagian selatan. Pohon bertajuk lebat, berbentuk kerucut dan mempunyai perakaran yang kuat dan dalam. Jenis ini dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah dengan lapisan tanah yang tebal/dalam, pH tanah asam dan menghendaki tekstur tanah ringan sampai sedang. Umur 10 tahun pohon ini sudah dapat disadap getahnya.

2. 2 Penyadapan Getah Pinus

Penyadapan pohon pinus dapat dilakukan melalui dua cara yaitu dengan melukai sampai kayu atau hanya sampai kambiumnya (Sumantri 1991 diacu dalam Radita 2011). Terdapat beberapa metode dalam penyadapan pinus,


(5)

diantaranya yaitu metode Quarre, metode riil dan metode bor. Namun penyadapan pinus secara umum dilakukan dengan cara koakan (quarre). Terdapat beberapa getah pohon pinus merupakan bahan yang mempunyai susunan yang kompleks, dihasilkan oleh kelenjar tertentu yang berbentuk saluran getah, dikelilingi oleh saluran perenkim, membentuk saluran resin longitudinal dan radial. Produksi saluran resin dirangsang dengan pelukaan atau kejadian pelukaan lain (Haygreen & Bowyer 1982 diacu dalam Dharmawan 2007).

Menurut Kasmudjo (2011), ada beberapa cara atau teknik dalam penyadapan getah pinus, yaitu:

1. Metode Koakan

Metode koakan ini dilakukan dengan cara mengerok kulit batang lebih dulu kemudian kayunya dilukai sedalam 1-2 cm dan lebarnya kira-kira 10 cm. pelukaan dengan cara ini berbentuk huruf U terbalik dengan jarak mula-mula dari permukaan tanah kira-kira 15-20 cm dengan tinggi maksimal koakan mencapai 200 cm. Saat ini mulai dikembangkan koakan dengan lebar koakan mencapai 4-6 cm dan tinggi koakan sampai 240 cm. pembaharuan luka sadapan diilakukan pada hari ke-4 dengan tebal/jarak sadapan sebesar 5 mm.

2. Metode V

Penyadapan dengan metode V tidak jauh berbeda dengan metode koakan, yang membedakannya adalah bentuk pelukaannya berbentuk huruf V. Metode ini umumnya akan menghasilkan getah lebih sedikit dibandingkan cara U terbalik di permulaan pelukaan. Metode bentuk ini dapat dimodifikasi ke dalam beberapa bentuk seperti bentuk V ganda atau seri arah ke atas yang biasa dikenal dengan bentuk Rill. Sadapan awal umumnya dilakukan 10 cm diatas permukaan tanah dengan kemiringan minimal 30°, lebar luka sadapan sebesar 5 mm dan jarak sadapan 5 mm serta ada saluran ditengah V. frekwensi penyadapan dilakukan 6 hari sekali engan tinggi maksimal sadapan mencapai 65 cm.tahunnya.

3. Metode Bor

Metode ini dilakukan dengan cara pengeboran, yaitu membuat luka pada pohon/tegakan yang akan disadap dengan cara dibor dengan kedalaman bor mencapai 3-12 cm (diameter mata bor ± 3 cm). Arah penyebaran sebaiknya miring keatas 5-10° dari bidang datar dengan pembaharuan luka bor bisa ke arah


(6)

dalam atau di atas luka lama. Saat ini mulai dikembangkan system bor tertutup yaitu pada luka sadapan dimasukkan pipa/selang dan getah yang keluar melalui pipa/selang ditampung dalam plastik atau botol. Frekwensi sadapan dilakukan 5-7 hari sekali.

4. Metode Goresan atau Guratan

Metode penyadapan ini biasanya dilakukan pada agathis (kopal) dan karet, sedangkan pada pinus jarang digunakan.

Dengan beberapa metode diatas, penyadapan dengan metode koakan dapat menghasilkan getah paling banyak dibandingkan metode yang lain.

2. 3 Kualitas Getah Pinus

Kualitas getah pinus hasil sadapan dibedakan atas 2 kelas yaitu mutu A dan B. Kualitas mutu A adalah getah yang berwarna putih bening, tidak ada campuran tanah/lumpur dan kotoran lain (kandungan kotoran kurang dari 2%) serta kadar air yang kurang dari 3%. Sedangkan untuk mutu B yaitu getah yang berwarna keruh sampai coklat, terdapat campuran tanah/lumpur dengan kandungan kotoran 2-5% serta kadar air labih besar dari 3 % (Kasmudjo 2011).

2. 4 Faktor yang Mempengaruhi Getah Pinus

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi getah pinus berupa faktor internal, eksternal dan perlakuan. Faktor internal diantaranya meliputi jenis pohon, jumlah persen kayu gubal yang banyak dipohon, kesehatan pohon, persen tajuk dan system perakaran. Faktor eksternal meliputi jarak tanam, iklim dan tempat tumbuh (jenis dan kondisi tanah) serta bonita. Sedangkan faktor perlakuan seperti bentuk dan arah sadapan, arah pembaharuan, dan pemberian stimulansia (Kasmudjo 2011).

2. 5 Pemanfaatan Getah Pinus

Getah diambil dari pohon pinus yang telah masuk sadap melalui penyadapan. Pohon pinus dianggap sudah masak apabila telah berumur 11 tahun atau bila memiliki diameter pohon sebesar 18 cm. Produksi getah pinus dipengaruhi oleh kondisi biofisik dari pohon yang disadap serta kondisi lingkungan sekitarnya. Pengaruh suhu dan kelembaban udara ini sangat


(7)

menentukan keluarnya getah sadapan dari masing-masing pohon. (Direktorat Jendral Kehutanan 1973).

Pengolahan getah pinus prinsipnya bertujuan untuk menghasilan residu berupa gondorukem dan distilat berupa minyak terpentin. Gondorukem dapat digunakan secara murni maupun sebagai campuran (Kasmudjo 2011), sebagai berikut:

1. Dalam industri batik, gondorukem digunakan sebagai bahan pencampur lilin batik sehingga diperoleh malam. Kebutuhan gondorukem dalam industri ini kira-kira 2.500 ton/tahun.

2. Dalam industri kertas, gondorukem digunakan sebagai bahan sizing (pengisi) dalam pembuatan kertas. Kebutuhan gondorukem dalam industri ini kira-kira 0,5% dari produksi kertas atau 2.000 ton/tahun.

3. Dalam industri sabun, gondorukem digunakan sebagai bahan pencampur dibutuhkan kira-kira 5-10% dari berat sabun.

4. Gondorukem juga dipakai untuk pembuatan varnish, tinta cetak, bahan isolasi listrik, korek api, lem, industri kulit dan lain-lain.

Selain penggunaan di atas, gondorukem dapat digunakan untuk kegunaan yang lebih luas. Beberapa penggunaan gondorukem yaitu resin sintesis, vernis, plastik, lem, aspal, bahan plitur, bahan korek api, gemuk (oli), lak sintesis, tinta cetak, dalam industri kertas, sepatu, semir, sabun dan lain-lain. Sedangkan terpentin dapat digunakan untuk minyak cat, campuran parfum, detergent, flavouring agent, protective coating, insektisida, lubricants, medicine, plastic, rubber, dan sebagainya (Soenardi 1983)

2. 6 Perlakuan Penyadapan 2.6. 1 Motivasi kerja

Motivasi kerja merupakan sebuah dorongan/dukungan yang dapat mempengaruhi karyawan untuk melakukan suatu hal untuk memperoleh tujuan tertentu. Motivasi haruslah dimiliki oleh seseorang untuk mencapai suatu keberhasilan. Motivasi tidak hanya timbul oleh faktor yang hanya ada di dalam dirinya namun juga pengaruh dari faktor luar (external). Faktor yang mempengaruhi motivasi yang ada pada karyawan menurut Hesberg (1990) yaitu faktor higienis (Hygienic factors) dan faktor motivasi (motivation factors). Faktor


(8)

higienis adalah faktor yang berpengaruh dari luar antara lain : upah dan gaji, kondisi kerja, administrasi perusahaan, hubungan sosial dengan pekerja yang lain dan adanya kepastian pekerjaan. Sedangkan faktor motivasi umumnya menyangkut faktor yang ada dari dalam diri mengenai kebutuhan psikologis menyangkut pribadi karyawan terkait dengan pekerjaan itu sendiri, antara lain : prestasi yang diperoleh dalam suatu pekerjaan, pengakuan prestasi yang telah dicapai, pemberian tanggung jawab, dan adanya kemajuan dalam pekerjaan (Mangkuprawira & Hubeis 2007).

Motivasi merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk menentukan perilaku seseorang, termasuk dalam perilaku kerja. Motivasi kerja merupakan arahan atau dorongan baik dari dalam individu maupun pengaruh dari luar yang menyebabkan seseorang melakukan suatu kegiatan yang dinyatakan dengan usaha yang lemah atau kuat. Motivasi akan sangat berpengaruh terhadap kinerja seorang karyawan. Motivasi dapat memberikan dampak positif dan negatif. Dampak positif yang ditimbulkan dari motivasi yang dimiliki seorang karyawan adalah motivasi yang bertujuan untuk memperoleh hasil secara optimal dengan cara yang baik dan benar. Namun apabila karyawan memiliki motivasi yang negatif, maka karyawan tersebut akan melakukan berbagai cara agar tujuannya dapat tercapai sehingga dapat menurunkan produktivitas perusahaan (Mangkuprawira & Hubeis 2007).

2.6. 2 Kontrak Kerja

Kelembagaan dicirikan oleh tiga komponen utama (Dunggio 2012), yaitu batas kewenangan (jurisdictional boundary), hak kepemilikan (property right) dan aturan perwakilan (rules of representation) yang uraiannya adalah sebagai berikut;

1. Batas kewenangan,

Batas kewenangan merupakan batas wilayah kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang atau beberapa pihak terhadap adanya sumber daya produksi baik berupa barang maupun jasa. Mengingat sumberdaya tersebut harus dikonsumsi secara bersama maka batas kewenangan merupakan faktor penting dalam penyampaian keinginan dari pengguna sumberdaya tersebut sebagai aturan yang digunakan untuk pengambilan suatu keputusan. Keragaman yang diakibatkan dengan adanya


(9)

batas kewenangan diharapkan dapat ditentukan oleh beberapa hal yaitu : perasaan peserta sebagai suatu bagian masyarakat (sense of community), eksternalitas (externality), homogenitas (homogenety), dan skala ekonomi (economies of scale). Kewenangan sangat berperan dalam pengaturan penggunaan sumberdaya, dana, dan tenaga dalam organisasi. Selain itu kewenangan berperan dalam menentukan laju pemanfaatan sumberdaya, sehingga akan menentukan keberlanjutan sumberdaya tersebut dan pembagian hasil yang diperoleh oleh masing-masing pihak.

2. Hak kepemilikan,

Hak kepemilikan berarti bahwa hak yang dimiliki oleh seseorang atau pihak tertentu terhadap sumberdaya yang diatur oleh sebuah peraturan, adat istiadat maupun konsensus yang mengatur hubungan anggota masyarakat. Oleh karena itu tidak ada seorangpun yang bisa menyatakan hak kepemilikan tanpa adanya pengakuan atau pengesahan dari masyarakat/instansi lain.

3. Aturan representasi

Aturan representasi merupakan aturan dimana dapat mengatur siapa saja atau pihak mana saja yang dapat ikut serta atau berpartisipasi dalam pengambilan sebuah keputusan. Keputusan apa yang telah diambil dan akibat yang telah ditimbulkan oleh adanya pengambilan keputusan tersebut terhadap keadaan dan ditentukan oleh kaidah perwakilan atau representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan.

Perjanjian kerja merupakan dasar hukum yang paling utama dalam hubungan kerja. Perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan. Dasar dari perjanjian kerja menurut Djumialdja (2008) adalah sebagai berikut :

1. Adanya orang dibawah pimpinan orang lain

Unsur perintah menimbulkan adanya pimpinan orang lain. Unsur perintah memiliki peranan pokok dalam perjanjian kerja karena tanpa adanya unsur perintah maka hal tersebut bukan merupakan perjanjian kerja. Dalam sebuah perjanjian kerja masing-masing pihak tidak memiliki kedudukan yang sama. Terdapat satu pihak yang memiliki kedudukan lebih tinggi (pihak yang memerintah) sedangkan pihak lain memiliki kedudukan lebih rendah (pihak yang diberikan perintah).


(10)

2. Adanya penunaian kerja

Penunaian kerja disini dimaksudkan adalah melakukan suatu pekerjaan. Pekerjaan tersebut telah diatur sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

3. Adanya upah

Upah adalah hak pekerja yang diperoleh dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan yang diberikan oleh pemberi kerja yang dibayarkan berdasarkan perjanjian kerja yang telah disepakati.

Perjanjian kerja yang tidak sesuai dengan syarat yang telah disepakati maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Terdapat dua jenis perjanjian kerja yang memiliki syarat-syarat dan akibat hukum yang berbeda yaitu :

a. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)

b. Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT)

Perjanjian kerja waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu tertentu hanya dibuat untuk jenis sifat dan pekerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Pekerjaan yang menurut sifatnya sekali selesai atau sementara.

b. Pekerjaan yang diperkirakan akan selesai dalam waktu tidak terlalu lama atau paling lama 3 tahun.

c. Pekerjaan yang sifatnya musiman

d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam masa percobaan.

Perjanjian kerja yang tidak memenuhi perjanjian kerja diatas merupakan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) (Djumialdja 2008).

2.6. 3 Tarif Upah

Gaji atau Upah merupakan salah satu unsur yang penting untuk meningkatkan motivasi kerja seorang karyawan karena gaji/upah merupakan alat untuk memenuhi berbagai kebutuhan pegawai (Hariandja 2007). Upah adalah suatu penerimaan yang diterima oleh karyawan sebagai imbalan yang diberikan oleh pengusaha atas hasil pekerjaan yang telah dilakukan dan dinyatakan dan dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan atas dasar suatu perjanjian kerja antar


(11)

pengusaha dengan karyawan itu sendiri maupun untuk keluarganya (Sumarsono 2003).

Upah akhir berupa pembayaran gaji bulanan berdasarkan satuan waktu. Dengan demikian, pendapatan memiliki pengaruh terhadap seluruh upah yang akan diterima dan lama waktu pekerjaan. Sistem pengupahan merupakan kerangka bagaimana upah diatur dan ditetapkan oleh sistem. Pengupahan di Indonesia pada umumnya didasarkan pada tiga fungsi upah yaitu : terjaminnya kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang dan menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja (Sumarsono 2003).

Penghasilan yang diterima seseorang karyawan atas pekerjaan yang telah dilakukan dan dapat digolongkan kedalam bentuk yaitu : upah atau gaji dalam bentuk uang, tunjangan dalam bentuk natura, fringe benefit dan kondisi lingkungan kerja. Upah pada dasarnya merupakan sumber utama penghasilan seseorang, maka diharapkan upah harus dapat mencukupi kebutuhan karyawan dan keluarganya. Insentif merupakan salah satu bentuk pemberian tambahan kepada pegawai apabila terdapat peningkatan produktivitas (Sumarsono 2003).

2.6. 4 Hasil Penelitian

Fischer 2003 diacu dalam Hero (2012) mengatakan bahwa sejarah dan kehidupan manusia bukan didorong oleh kepentingan secara obyektif, kalkulasi rasional, norma sosial atau mempertahankan kekuasaan, melainkan oleh produksi ilmu pengetahuan dan interpretasinya (secara kolektif) dan penggunaannya untuk berbagai keperluan.

Pengetahuan merupakan seluruh pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan pemahaman yang dimiliki oleh manusia tentang dunia dan segala isinya termasuk manusia dan kehidupannya. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah keseluruhan sistem pengetahuan manusia yang telah dibakukan secara sistematis. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan memiliki sifat yang spontan dibandingkan ilmu pengetahuan karena sifat ilmu pengetahuan yang lebih sistematis. Pengetahuan memiliki arti lebih luas dibandingkan dengan ilmu pengetahuan karena pengetahuan mencakup semua aspek yang diketahui oleh manusia tanpa harus dibakukan secara sistematis terlebih dahulu. Pengetahuan mancakup penalaran,


(12)

penjelasan dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu baik praktek maupun kemampuan teknis dalam memecahkan segala permasalahan hidup yang belum dibakukan secara sistematis (Keraf & Dua 2001).

Ilmu pengetahuan memiliki hubungan yang erat dengan adanya teknologi. Teknologi merupakan penerapan dari ilmu pengetahuan yang digunakan untuk memecahkan suatu permasalahan yang dialami manusia. Ilmu pengetahuan berkembang seiring dengan berkembangnya permasalahan yang dialami oleh manusia dan seiring dengan berjalannya waktu. Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat mengakibatkan banyaknya inovasi-inovasi baru untuk menyelesaikan permasalahan sehingga dapat diperoleh hasil sesuai dengan apa yang telah diinginkan. Inovasi-inovasi yang muncul tidak semua memiliki hasil yang bersifat positif. Terkadang beberapa inovasi merupakan percobaan untuk mendapatkan inovasi yang terbaik yang dapat digunakan untuk pemecahan sesuai dengan permasalahan yang tepat (Keraf & Dua 2001).

Fakultas Kehutanan IPB berhasil mempertahankan keberadaan HPGW dari tahun 1969 sampai tahun 2011 ini karena keberhasilan membangun diskursus dan narasi kebijakan HPGW yang didukung oleh kemampuan (credibility) ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh pelaku pengelola HPGW dari Fakultas Kehutanan IPB, jaringan kerjasama pelaku pengelola HPGW dari Fakultas Kehutanan IPB, dan kepentingan dan kekuasaan yang dimiliki oleh pelaku pengelola HPGW dari Fakultas Kehutanan IPB . Diskursus/narasi kebijakan pengelolaan HPGW dengan kemampuan pelaku (ilmu pengetahuan, jaringan kerjasama, kepentingan, dan kekuasaan) cenderung inovatif terhadap perubahan sesuai permasalahan pengelolaan HPGW (Hero 2012).

Perubahan penggunaan stimulansia yang ada di HPGW merupakan salah satu penerapan hasil penelitian. Hasil penelitian ini merupakan inovatif terhadap perubahan sesuai permasalahan dimana HPGW dituntut untuk dapat meningkatkan produktivitas sadapan getah pinus. Penggunaan Etrat 12-40 dibandingkan penggunaan stimulansia lain dinilai dapat meningkatkan produktivitas sadapan getah pinus dan memberikan dampak positif dan dalam aplikasi dilapangan cenderung lebih efisien dan getah yang dihasilkan lebih stabil (Darmastuti 2011).


(13)

3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Juni tahun 2012 di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Kecamatan Cibadak dan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.

3. 2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan untuk keperluan penelitian ini adalah alat tulis, kuisioner, kalkulator, papan jalan, panduan wawancara, alat perekam suara

(tape recorder), alat dokumentasi berupa camera digital, data demografi/monografi desa, serta alat, bahan dan informasi lainnya yang mendukung dalam penelitian.

3. 3 Sasaran Penelitian

Sasaran atau objek dari penelitian ini adalah penyadap yang melakukan kegiatan penyadapan getah pinus secara aktif di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) dan Badan Pengelola HPGW.

3. 4 Jenis Data

Terdapat dua jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini, meliputi : 1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber-sumber data (penyadap) dan Badan Pengelola HPGW, sebagai berikut:

a. Data umum (karakteristik) responden : nama, umur, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga, status dalam keluarga, mata pencaharian utama dan sampingan serta tingkat pendidikan.

b. Data mengenai kegiatan yang dilakukan masyarakat desa hutan dalam pengelolaan hutan : kontrak kerja produksi.

c. Data mengenai pengaruh adanya kontrak kerja terhadap peningkatan hasil sadapan getah pinus.


(14)

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari Badan Pengelola HPGW dan data lain yang berhubungan dengan penelitian ini, meliputi : data produksi bulanan getah pinus pada bulan Maret 2009 sampai bulan Desember 2011.

3. 5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut : 1. Teknik observasi

Data dikumpulkan melalui pengamatan secara langsung terhadap berbagai kegiatan di lapangan.

2. Teknik wawancara

Data yang dikumpulkan melalui tanya jawab yang dilakukan langsung terhadap responden yang terlibat dalam kerjasama serta berbagai pihak yang terkait untuk melengkapi data dan informasi. Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur (kuisioner) maupun tidak terstruktur.

3. Studi pustaka

Data dikumpulkan melalui proses mencari, mencatat dan mempelajari study literatur serta pengumpulan data-data dari instansi terkait.

3. 6 Metode Pemilihan Responden

Pengambilan responden dilakukan secara sensus. Responden yang digunakan adalah penyadap getah pinus yang masih aktif dalam kegiatan penyadapan di HPGW. Jumlah responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 25 orang penyadap getah pinus.

3. 7 Pengolahan dan Analisis Data

1. Identifikasi Karakteristik Penyadap Getah Pinus

Analisis dilakukan secara deskriptif. Analisis deskriptif mengacu pada data primer di lapangan yang digunakan untuk mengetahui gambaran secara umum kegiatan pengelolaan di HPGW. Pengidentifikasian karakteristik penyadap getah pinus dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Adapun komponen-komponen yang akan disajikan untuk mengidentifikasi karakteristik


(15)

responden, meliputi: umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota inti, dan jenis pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan.

2. Pengolahan Data Getah Pinus

Pengolahan data dilakukan secara deskriptif. Penyajian data dilakukan dengan cara tabulasi dan grafik. Hasil sadapan dibuat berdasarkan kumulatif sadapan perbulan dan dipilah-pilah berdasarkan jangka waktu perlakuan penyadapan tertentu. Pengolahan data secara deskriptif digunakan untuk menjelaskan pengaruh perlakuan penyadapan terhadap hasil sadapan getah pinus.

Perlakuan penyadapan yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Perlakuan motivasi kerja

Perlakuan motivasi kerja ini dapat berupa memberikan motivasi kerja ataupun memberi semangat kerja kepada penyadap agar penyadap dapat bersemangat untuk menyadap getah dengan produksi yang lebih, tinggi sehingga pendapatan penyadap juga akan meningkat. Pemberian motivasi kerja dapat dilakukan dengan bertemu secara langsung dilapangan, kunjungan ke rumah-rumah penyadap maupun diadakannya rapat tahunan serta perubahan sistem pembayaran upah sadap yang semula mingguan menjadi harian.

b. Perlakuan kontrak kerja

Perlakuan kontrak kerja dilakukan dengan membuat kontrak kerja/perjanjian kerja produksi dengan penyadap. Kontrak ini berisi mengenai ketersedian penyadap untuk menyadap di HPGW dan mengikuti peraturan yang telah ditentukan. Diharapkan dengan adanya kontrak ini, penyadap dapat lebih giat dalam menyadap sehingga dapat meningkatkan penyadapan.

c. Perlakuan tarif upah

Perlakuan tarif upah berupa perlakuan dengan cara memberikan upah kerja/tarif upah yang relatif lebih tinggi ataupun memberikan tambahan upah (insentif) apabila penyadap dapat menyadap melebihi target produksi.

d. Perlakuan hasil penelitian atau ilmu pengetahuan

Perlakuan terhadap hasil penelitian ini merupakan penerapan atas penemuan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh HPGW. Salah satu hasil penelitian yang telah diterapkan adalah dengan mengganti stimulansia pada


(16)

getah pinus dari stimulansia cairan asam sulfat (CAS) menjadi stimulansia organik (etrat atau etilen sitrat).

Selaian itu dilakukan perbandingan pemberian perlakuan penyadapan getah pinus di HPGW dengan Perum Pehutani Unit III Jawa Barat dan Banten KPH Sukabumi.


(17)

4.1 Sejarah Hutan Pendidikan Gunung Walat

Data Badan Pengelola HPGW tahun 2012 menunjukkan bahwa kawasan HPGW sudah mulai ditanami pohon damar (Agathis loranthifolia) pada tahun 1951. Hutan yang ditanam pada tahun 1951/1952 tersebut saat ini telah berwujud sebagai tegakan hutan damar yang lebat di sekitar base camp. Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan penjajakan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian pada tahun 1967 untuk mengusahakan Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan. Tahun 1968 Direktorat Jenderal Kehutanan memberikan bantuan pinjaman Kawasan Hutan Gunung Walat kepada IPB untuk digunakan seperlunya bagi pendidikan kehutanan yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan IPB. Kemudian tahun 1969 diterbitkan Surat Keputusan Kepala Jawatan Kehutanan Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 7041/IV/69 tertanggal 14 Oktober 1969 yang menyatakan bahwa Hutan Gunung Walat seluas 359 ha ditunjuk sebagai Hutan Pendidikan yang pengelolaannya diserahkan kepada IPB.

Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No. 008/Kpts/DJ/I/73 tentang penunjukan komplek Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) pada tahun 1973 diterbitkan. Pengelolaan kawasan hutan Gunung Walat seluas 359 Ha dilaksanakan oleh IPB dengan status hak pakai sebagai hutan pendidikan dan dikelola Unit Kebun Percobaan IPB dengan jangka waktu 20 tahun. Pada tahun 1973 penanaman telah mencapai 53%. Tahun 1980 seluruh wilayah HPGW telah berhasil ditanami berbagai jenis tanaman, yaitu damar (Agathis lorantifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), kayu afrika (Maesopsis eminii), mahoni (Swietenia macrophylla), rasamala (Altingia excelsa), sonokeling (Dalbergia latifolia), gamal (Gliricidae sp), sengon (Paraserianthes falcataria), meranti (Shorea sp), dan akasia (Acacia mangium). Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 687/Kpts-II/1992 tentang penunjukan komplek hutan gunung walat sebagai hutan pendidikan, pengelolaan kawasan hutan gunung walat sebagai hutan pendidikan dilaksanakan bersama antara


(18)

Fakultas Kehutanan IPB dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan/Balai Latihan Kehutanan (BLK) Bogor. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 24 Januari 1993. Status hukum kawasan HPGW pada tahun 2005 dikuatkan oleh diterbitkannya SK Menhut No. 188/Menhut-II/2005, yang menetapkan fungsi hutan kawasan HPGW sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) dan pengelolaannya diserahkan kepada Fakultas Kehutanan IPB dengan tujuan khusus sebagai Hutan Pendidikan.

4.2 Letak dan Posisi Geografis

Hutan Pendidikan Gunung Walat terletak 2,4 km dari poros jalan Sukabumi- Bogor (Desa Segog). Berjarak 46 km dari Simpang Ciawi dan 12 km dari Sukabumi. HPGW memiliki luas 359 ha, yang secara geografis terletak pada

koordinat 6053’35” - 6055’10” LS dan 106047’50” - 106051’30” BT.

Administrasi kehutanan areal HPGW termasuk BKPH Gede Barat, KPH Sukabumi, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, sedangkan secara administrasi pemerintahan termasuk dalam wilayah Kecamatan Cicantayan dan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Desa-desa yang terletak dan berdekatan dengan HPGW adalah Desa Batununggal dan Sekarwangi (di Bagian Utara), Desa Cicantayan, Desa Cijati (di Bagian Timur), Desa Hegarmanah (di Bagian Selatan). Hutan Pendidikan Gunung Walat dibagi kedalam 3 blok, yaitu: blok Cikatomas (120 ha) terletak di bagian Timur, blok Cimenyan (125 ha) terletak dibagian Barat dan blok Tangkalak/Seseupan (114 ha) di bagian Tengah dan Selatan.

4.3 Topografi dan Jenis Tanah

Hutan Pendidikan Gunung Walat terletak pada ketinggian 460 – 715 mdpl dengan topografi yang bervariasi dari landai sampai bergelombang. HPGW merupakan bagian dari pegunungan yang berderet dari Timur ke Barat. Bagian selatan merupakan daerah yang bergelombang mengikuti punggung-punggung bukit yang memanjang dan melandai dari Utara ke Selatan, di bagian tengah terdapat puncak dengan ketinggian 676 m di atas permukaan laut, sedangkan ke bagian Utara mempunyai topografi yang semakin curam. Punggung bukit


(19)

kawasan ini terdapat dua patok triangulasi KN 2.212 (670 mdpl) dan KN 2.213 (720 mdpl). Kondisi topografi agak curam berkisar 15 – 25% sampai sangat curam (>40%).

Berdasarkan peta tanah Gunung Walat skala 1:10.000 tahun 1981, jenis tanah Gunung Walat, yaitu: keluarga tropophumult tipik (latosol merah kekuningan), tropodult (latosol coklat), dystropept tipik (podsolik merah kekuningan), dan troporpent lipik (latosol). Keadaan ini menunjukkan bahwa tanah di Hutan Gunung Walat bersifat heterogen. Tanah latosol merah kekuningan adalah jenis tanah yang terbanyak di daerah berbatu hanya terdapat tanah latosol dan di daerah lembah terdapat tanah podsolik.

4.4 Iklim dan Hidrologi

Klasifikasi iklim HPGW menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe B dan banyaknya curah hujan tahunan berkisar antara 1600-4400 mm. Suhu udara maksimum yang ada di daerah Gunung Walat pada siang hari adalah 29° C dan minimum 19° C di malam hari. Hutan Pendidikan Gunung Walat merupakan sumber air bersih yang penting bagi masyarakat sekitarnya terutama di bagian selatan yang mempunyai anak sungai yang mengalir sepanjang tahun, yaitu anak sungai Cipeureu, Citangkalak, Cikabayan, Cikatomas dan Legok Pusar. Kawasan HPGW masuk ke dalam sistem pengelolaan DAS Cimandiri.

4.5 Geologi

Kandungan batu alam di HPGW terdiri dari batuan sedimen vulkanik berwarna hijau semu abu-abu yang membentuk seri lapisan yang sangat tebal. Tebal setiap lapisan berkisar antara beberapa centimeter hingga kurang dari 35 cm. Gunung Walat terdiri dari lapisan tufa dasit yang pada horizon tertentu diselingi dengan batuan batuan tufa andesit yang merupakan bagian dari formasi breksi tua yang berumur Meosin. Keadaan Gunung Walat merupakan pulau Meosin di tengah-tengah formasi batuan vulkanik kuarter yang berasal dari Gunung Salak dan Gunung Gede. Gunung Walat dan sekitarnya dibangun oleh batuan sedimen tersier bawah (oligosen) yang disebut formasi Walat. Formasi Walat terutama disusun oleh batu pasir kuarsa yang berlapiskan silang


(20)

konglomerat kerakal kuarsa lempung, lignit lapisan-lapisan arang tipis. Semakin ke atas ukuran butiran bertambah dan tersingkap di Gunung Walat (dekat Cibadak) serta daerah sekitarnya. Pasir dari formasi ini dapat digunakan untuk pembuatan gelas dan diperkiraan tebalnya antara 1.000 meter hingga 1.373 meter.

4.6 Keadaan Vegetasi dan Fauna

Tegakan Hutan di HPGW didominasi tanaman damar (Agathis lorantifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia macrophylla) dan jenis lainnya seperti kayu afrika (Maesopsis eminii), rasamala (Altingia excelsa), Dalbergia latifolia, Gliricidae sp, Shorea sp, dan akasia (Acacia mangium). Di HPGW paling sedikit terdapat 44 jenis tumbuhan, termasuk 2 jenis rotan dan 13 jenis bambu. Selain itu terdapat jenis tumbuhan obat sebanyak 68 jenis. Potensi hutan tanaman berdasarkan hasil inventarisasi hutan tahun 2010 yang dilakukan oleh Universitas Gottingen (TIF) adalah sebanyak 11.381 m3 kayu Agathis loranthifolia (damar), kayu Pinus merkusii (pinus) 62.782 m3, kayu Schima wallichii (puspa) 5.943 m3, tanaman campuran (mix plantation) sebanyak 19.809 m3 dan hutan sekunder (secondary forest) sebanyak 826 m3. Pohon damar dan pinus juga menghasilkan getah kopal dan getah pinus. Di HPGW juga ditemukan lebih dari 100 pohon plus damar, pinus, kayu afrika sebagai sumber benih dan bibit unggul

Areal HPGW memilki beraneka ragam jenis satwa liar yang meliputi jenis-jenis mamalia, reptilia, burung, dan ikan. Jenis mamalia yang ada yaitu babi hutan (Sus scrofa), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kelinci liar (Nesolangus sp.), meong congkok (Felis bengalensis), tupai (Callociurus sp.), trenggiling (Manis javanica), musang (Paradoxurus hermaphroditic). Dari jenis burung (Aves) terdapat sekitar 20 jenis burung, antara lain: Elang Jawa, Emprit, Kutilang dan lain-lain. Jenis-jenis reptilia antara lain biawak, ular dan bunglon. Terdapat berbagai jenis ikan sungai seperti ikan lubang dan jenis ikan lainnya. Ikan lubang adalah ikan sejenis lele yang memiliki warna agak merah. Selain itu terdapat pula lebah hutan (Apis dorsata).


(21)

4.7 Penduduk

Penduduk di sekitar HPGW umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani, peternak, tukang ojek, pedagang hasil pertanian dan bekerja sebagai buruh pabrik. Pertanian yang dilakukan berupa sawah lahan basah dan lahan kering. Jumlah petani penggarap yang dapat ditampung dalam program agroforestry HPGW sebanyak 300 orang petani penggarap.

4.8 Hasil Sadapan

Tabel 1 Produksi dan upah getah pinus dan kopal di Hutan Pendidikan Gunung Walat

No

Tanggal Produksi (kg) Upah(Rp/kg)

Pinus Kopal Pinus Kopal

1 Sebelum 2001 350 400

2 2001-2003 900 600

3 2005 780 750

4 2006 1081 750

5 2007 1345 1040 800 750

6 2008 913 723 800 750

7 Maret 2009 38.5 280.0 1000 1000

8 April 2009 2.275,0 2,691.5 1000 1000 9 Mei 2009 4.502.5 3,830.0 1000 1000 10 Juni 2009 6.484.5 4,852.0 1000 1000 11 Juli 2009 6.490.0 5,932.5 1000 1000 12 Agustus 2009 6.823.0 6,970.5 1000 1000 13 September 2009 8.560.0 7,463.0 1000 1000 14 Oktober 2009 8.567.5 4,464.5 1000 1000 15 November 2009 5.682.0 5,459.0 1000 1000 16 Desember 2009 5.799.0 5,474.5 1000 1000 17 Januari 2010 5.588.5 6,117.0 1000 1000 18 Februari 2010 7.078.5 8,175.5 1000 1000 19 Maret2010 7.599.5 5,720.0 1000 1000 20 April 2010 6.337.5 6,586.0 1000 1000 21 Mei 2010 11.422.0 8,717.0 1000 1000 22 Juni 2010 10.775.0 6,807.5 1000 1000 23 Juli 2010 10.591.0 5,840.0 1000 1000 24 Agustus 2010 9.664.5 8,382.1 1000 1000 25 September 2010 7.265.0 6,250.5 1000 1000 26 Oktober 2010 6.925.5 4,633.5 1000 1000 27 November 2010 5.007.5 2,646.0 1000 1000 28 Desember 2010 12.953.0 9,604.0 1000 1000 29 Januari 2011 5.017.0 5,623.0 1200 1200 30 Februari 2011 7.135.0 5,634.5 1200 1200 31 Marer 2011 8.286.0 5,022.0 1200 1200 32 April 2011 7.328.0 4,541.0 1600 1600 33 Mei 2011 9.386.5 4,863.0 1600 1600 34 Juni 2011 13.677.0 4,858.5 1600 1600 35 Juli 2011 16.281.0 5,369.0 1600 1600 36 Agustus 2011 17.059.0 6,956.5 1600 1600 37 September 2011 15.243.5 6,060.5 1600 1600 38 Oktober 2011 17.401.5 5,707.0 1600 1600 39 November 2011 9.444.0 4,243.0 1600 1600 40 Desember 2011 11.034.5 3,414.0 1600 1600 Sumber: Rekapitulasi hasil sadapan getah pinus HPGW (olah)


(22)

Hasil sadapan yang ada di HPGW berupa getah pinus dan kopal. Di bawah ini terdapat hasil produksi dan upah getah pinus dan kopal tertera pada Tabel 1. Tabel 1 dapat dilihat bahwa penyadapan kopal sudah ada sejak sebelum 2001, sedangkan penyadapan pinus dimulai sejak tahun 2007. Pada tahun 2007 produksi pinus sebesar 1345 kg mengalami penurunan pada tahun 2008. Hal ini diakibatkan karena pada awal penyadapan, getah yang dihasilkan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2007 upah sadap pinussebesar Rp.800/kg dan kopal sebesar Rp.750/kg. Pemberlakuan penyamaan upah sadap kopal dan pinus mulai dilakukan pada awal tahun 2009.


(23)

5. 1 Karakteristik Penyadap Getah Pinus

Karakteristik responden dalam penelitian ini, meliputi: umur, tingkat pendidikan, pekerjaan utama dan sampingan serta ukuran keluarga. Responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah penyadap pinus yang sedang aktif melakukan kegiatan penyadapan getah pinus di HPGW.

5.1. 1 Umur Penyadap Getah Pinus

Penduduk usia produktif berkisar antara 15-65 tahun (Muttaqien 2006). Sebagian besar responden terdapat pada selang umur 30-39 tahun dan 40-49 tahun yaitu sebesar 36% dan 24%. Hal ini menunjukkan bahwa para penyadap masih berada pada usia produktif antara 15-65 tahun (Tabel 2).

Tabel 2 Sebaran responden bedasarkan tingkat umur di HPGW.

Umur Jumlah responden (org) Presentase (%)

20-29 4 16

30-39 9 36

40-49 6 24

50-59 2 8

60-69 4 16

Total 25 100

5.1. 2 Tingkat Pendidikan Penyadap Getah Pinus

Tingkat pendidikan penyadap pinus yang ada di HPGW masih tergolong rendah yaitu sebagian besar penyadap berpendidikan Sekolah Dasar (SD) sebesar 80% (Tabel 3). Hal ini dikarenakan pendidikan belum menjadi prioritas utama para penyadap. Bahkan masih terdapat beberapa penyadap yang tidak bersekolah. Penyadap beranggapan bahwa apabila semakin tinggi tingkat pendidikan, maka biaya yang akan dikeluarkan akan semakin tinggi. Sehingga mereka lebih mengutamakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari daripada untuk pendidikan. Pendidikan formal merupakan salah satu modal yang sangat penting dalam pencapaian kehidupan ekonomi yang layak dan sejahtera karena tingkat


(24)

pendidikan akan mempengaruhi pola pikir dan sikap masing-masing individu dalam menghadapi permasalahan kehidupan.

Tabel 3 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan di HPGW.

Pendidikan Jumlah responden (org) Presentase(%)

Tidak sekolah 3 12

Tamat Sd 20 80

Tamat Smp 2 8

Total 25 100

5.1. 3 Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Sampingan Penyadap Getah Pinus

Penyadap pinus bukan merupakan satu-satunya pekerjaan yang dimiliki oleh para penyadap. Sebagian besar penyadap pinus memiliki pekerjaan sampingan lain. Berdasarkan Tabel 4 diperoleh bahwa sebagian besar penyadap memiliki pekerjaan sampingan sebagai petani dan buruh yaitu sebesar 36% dan 32% . Hal ini mengakibatkan pada musim-musim tanam dan panen, penyadap akan lebih memilih untuk bertani atau menjadi buruh tani daripada menyadap, karena pada musim tanam umumnya adalah musim penghujan sehingga hasil sadapan juga cenderung menurun. Penyadap yang memiliki lahan/sawah akan bekerja sampingan sebagai petani, sedangkan penyadap yang tidak memiliki lahan akan menjadi buruh tani atau pedagang. Hal ini dulakukan untuk menambah penghasilan mereka. Beberapa penyadap beranggapan memiliki pekerjaan sampingan kerena kebutuhan yang tinggi, sedangkan hasil sadapan dianggap kurang dapat memenuhi kebutuhan. Namun demikian masih ada penyadap yang hanya bergantung hidup dari hasil sadapan saja.

Tabel 4 Sebaran responden berdasarkan jenis pekerjaan utama dan sampingan di HPGW

Pekerjaan

Jumlah Responden (org) Presentase (%) Utama Sampingan

Penyadap Pinus - 5 20

Penyadap Pinus Petani 9 36

Penyadap Pinus Pedagang 2 8

Penyadap Pinus Buruh 8 32

Penyadap Pinus Tukang ojek 1 4


(25)

5.1. 4 Ukuran Keluarga Penyadap Getah Pinus

Ukuran keluarga menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 1994 dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (≥ 8 orang). Ukuran keluarga yang dimaksud oleh BKKBN tersebut adalah ukuran keluarga inti yang terdiri atas suami, istri, dan anak-anak. Sebagian besar penyadap pinus memiliki ukuran keluarga yang kecil sebesar 76% (Tabel 5). Beberapa penyadap pinus dalam kegiatan penyadapan dibantu oleh istri dan anak-anak mereka.

Tabel 5 Sebaran Responden berdasarkan ukuran keluarga di HPGW

Ukuran keluarga Jumlah Responden (org) Presentase (%)

Kecil (≤ 4 orang) 19 76

sedang (5-7 orang) 5 20

Besar (≥ 8 orang) 1 4

Total 25 100

5.2 Perlakuan penyadapan

Perlakuan penyadapan adalah beberapa cara perlakuan yang diberikan oleh pihak Badan Pengelola HPGW kepada para penyadap pinus dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas hasil sadapan. Perlakuan penyadapan yang telah dilakukan oleh Badan Pengelola HPGW, meliputi motivasi kerja, kontrak kerja, tarif upah dan hasil penelitian.

5.2. 1 Motivasi kerja

Motivasi kerja muncul tidak hanya dari dalam diri namun juga terdapat pengaruh dari faktor luar . Faktor yang mempengaruhi motivasi yang ada pada karyawan menurut Hesberg (1990) yaitu faktor higienis (Hygienic factors) dan faktor motivasi (motivation factors). Faktor higienis adalah faktor yang berpengaruh dari luar antara lain : upah dan gaji, kondisi kerja, administrasi perusahaan, hubungan sosial dengan pekerja yang lain dan adanya kepastian pekerjaan. Sedangkan faktor motivasi umumnya menyangkut faktor yang ada dari dalam diri mengenai kebutuhan psikologis menyangkut pribadi karyawan terkait dengan pekerjaan itu sendiri, antara lain : prestasi yang diperoleh dalam suatu


(26)

pekerjaan, pengakuan prestasi yang telah dicapai, pemberian tanggung jawa, dan adanya kemajuan dalam pekerjaan (Mangkuprawira dan Hubeis 2007).

Pengaruh motivasi kerja dari dalam diri masing-masing penyadap tidaklah sama. Motivasi kerja meningkat ketika kebutuhan yang harus dipenuhi juga meningkat. Selain untuk pemenuhan kebutuhan, keinginan penyadap untuk dapat meningkatan kesejahteraan pun menjadi salah satu faktor yang penting dalam meningkatkan motivasi kerja dari dalam diri penyadap. Peningkatan motivasi kerja karena pengaruh dari luar dapat berupa pemberian motivasi kerja yang dilakukan oleh Badan Pengelola HPGW kepada para penyadap. Cara yang dilakukan adalah dengan bertatap muka secara langsung antara pengelola dengan penyadap, kunjungan langsung ke rumah penyadap dan diadakannya rapat serta perubahan sistem pemberian upah sadap yang semula diberikan setiap minggu menjadi diberikan secara harian.

Pemberian motivasi dengan bertatap muka secara langsung dilakukan oleh Badan Pengelola HPGW kepada para penyadap. Badan Pengelola HPGW menemui penyadap saat penyadap melakukan kegiatan penyadapan di lapangan. Pemberian motivasi secara langsung ini bertujuan agar pengelola dapat mengetahui keluhan-keluhan yang dialami oleh penyadap sehingga pihak pengelola dapat mengetahui kesulitan yang dialami oleh penyadap dan dapat dicarikan solusinya. Hal ini dapat meningkatkan semangat penyadap untuk dapat meningkatan hasil sadapan. Selain itu dengan diketahuinya kesulitan yang ada di lapangan maka Badan Pengelola HPGW dapat mengetahui apakah inovasi yang telah diterapkan berpengaruh baik atau tidak terhadap produktivitas penyadap.

Kunjungan langsung ke rumah penyadap dilakukan oleh Badan Pengelola HPGW apabila terdapat penyadap yang sudah lama tidak melakukan penyadapan karena alasan tertentu ataupun terdapat penyadap yang produktivitas kerjanya mengalami penurunan. Faktor-faktor penyebab menurunnya produktivitas ataupun ketidak hadiran penyadap antara lain: penyadap yang sakit ataupun penyadap yang lebih memilih pekerjaan sampingan misalkan untuk menjadi buruh tani karena pada masa itu sedang dalam masa tanam/masa panen. Selain pemberian motivasi kerja, cara ini bertujuan untuk menyambung silaturrahmi dan mempererat hubungan antara pengelola dengan penyadap.


(27)

Rapat tahunan dilakukan dua kali setahun, namun dapat diadakan rapat selain ketentuan ini apabila terdapat hal-hal penting yang akan disampaikan oleh Badan Pengelola HPGW kepada para penyadap. Rapat tahunan dilakukan dengan tujuan untuk melakukan evaluasi hasil produktivitas hasil sadapan. Selain itu diadakannya rapat apabila terdapat hal-hal penting yang akan disampaikan oleh Badan Pengelola HPGW misalnya: rapat kenaikan upah kerja, rapat penggantian stimulansia dan lain-lain. Dalam rapat tahunan para penyadap dapat menyampaikan keinginan atau harapan dimasa mendatang maupun keluhan yang dialami oleh penyadap.

Perubahan sistem pembayaran upah yang semula diberikan secara mingguan menjadi harian juga sangat mempengaruhi peningkatan produktivitas penyadap. Perubahan sistem ini berlaku sejak awal tahun 2009. Perubahan sistem ini berlaku karena adanya pergantian kepengurusan HPGW pada awal tahun 2009. Penyadap yang semula diberikan upah secara mingguan sangat kesulitan apabila ada keperluan mendadak. Penyadap harus menunggu selama satu minggu untuk mendapatkan upahnya. Namun sejak tahun 2009 mereka dapat memperoleh upah ketika getah sudah disetorkan kepada Badan Pengelola HPGW. Mekanisme pemberian upah ini adalah ketika penyadap sudah menyerahkan getah kepada pengelola lalu getah dicatat beratnya dan penyadap diberikan kupon sesuai dengan berat getah yang telah disetorkan. Kupon ini yang dapat ditukar dengan upah di bagian administrasi HPGW.

Pemberian motivasi kerja dilakukan pada awal masa kepengurusan Direktur Eksekutif HPGW Budi Prihanto Siswosuwarno dimulai pada bulan awal bulan Mei tahun 2009. Awal pemberian motivasi ini tidak mengalami kenaikan produktivitas getah pinus secara signifikan, namun mulai bulan September 2009 mengalami kenaikan yang cukup tinggi sebesar 85,35 kg/bulan. Pada bulan-bulan selanjutnya terus mengalami kenaikan yang signifikan (Gambar 1). Kenaikan tertinggi pada bulan Desember tahun 2010 dan terus stabil sampai akhir tahun 2011. Hasil pemberian motivasi kerja kepada para penyadap secara keseluruhan dapat meningkatkan hasil sadapan sangat jauh dibandingkan dengan kedaan awal hanya sebesar 213,5 kg/bulan dengan kenaikan tertinggi sebesar 317 kg/bulan. Total produksi getah pinus sebelum periode saat ini adalah 1345 kg/bulan pada


(28)

tahun 2007 dan 913 kg/bulan pada tahun 2008. Selanjutnya dengan adanya pemberian motivasi kerja menjadi 2.275 kg/bulan pada bulan April tahun 2009 dan terus meningkat hingga 17.401 kg/bulan pada bulan Oktober tahun 2011.

Gambar1. Grafik pengaruh motivasi kerja terhadap kenaikan hasil sadapan getah pinus (kg).

5.2. 2 Kontrak Kerja

Perjanjian atau kontrak kerja merupakan perjanjian kerja yang dilakukan antara dua atau lebih individu yang didalamnya terdapat beberapa hal yang telah disepakati oleh semua pihak. Perjanjian kerja merupakan dasar hukum yang paling utama dalam suatu hubungan kerja. Dasar dari perjanjian kerja adalah adanya orang dibawah pimpinan orang lain, adanya penunaian kerja dan adanya upah yang diberikan atas hasil penunaian kerja (Djumialdja 2008). Penyadap pinus bekerja dibawah pimpinan dari Badan Pengelola HPGW. Penunaian kerja yang dilakukan oleh penyadap yaitu pemberian hasil sadapan getah pinus kepada Badan Pengelola HPGW. Banyaknya hasil sadapan yang diperoleh penyadap pinus nantinya akan mempengaruhi upah yang akan diterima oleh penyadap. Pemberian upah sadap atas hasil sadapan pinus diberikan setelah penyadap telah menunaikan pekerjaannya.

Perjanjian kerja atau kontrak kerja yang ada di HPGW sudah ada sejak masa kepengurusan Direktur Eksekutif HPGW Budi Prihanto Siswosuwarno tahun 2009. Kontrak kerja ini dibuat antara Badan Pengelola HPGW dengan penyadap. Kontak kerja ini berisi kesediaan penyadap untuk menjadi penyadap,


(29)

dimana hal-hal yang tidak tercantum didalamnya akan dicantumkan didalam perjanjian lain yang telah disepakati. Kontrak kerja yang ada di HPGW termasuk dalam Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Hal ini dikerenakan kontrak kerja yang ada di HPGW bersifat periode ataupun dapat ditentukan waktunya.

Adanya kontrak kerja ini tidak memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap produktivitas sadapan getah pinus di HPGW. Hal ini dikarenakan para penyadap menganggap bahwa kontrak kerja hanya merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi penyadap di HPGW. Berdasarkan jawaban responden dan Badan Pengelola HPGW tampak bahwa kontrak kerja hanya memberikan pengaruh terhadap kenaikan hasil sadapan getah pinus sebesar 15 kg/bulan saja (Gambar 2). Kenaikan akibat pengaruh parameter ini tidak mengalami peningkatan kembali terhadap hasil sadapan getah pinus karena pengaruh yang sangat minim.

Gambar 2. Grafik pengaruh kontrak kerja terhadap kenaikan hasil sadapan getah pinus (kg)

5.2. 3 Tarif Upah

Gaji atau Upah merupakan salah satu unsur yang penting untuk meningkatkan motivasi kerja seorang karyawan karena gaji/upah merupakan alat untuk memenuhi berbagai kebutuhan pegawai (Hariandja 2007). Pengupahan di Indonesia pada umumnya didasarkan pada tiga fungsi upah yaitu : terjaminnya kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang dan menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja (Sumarsono 2003). Upah yang diterima karyawan di HPGW mencerminkan fungsi imbalan atas hasil kerja seseorang dan pemberian insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja. Pemberian upah kepada para


(30)

penyadap berdasarkan atas hasil sadapan yang diperoleh para penyadap. Sistem pengupahan ini dihitung dengan satuan rupiah per kilogram getah hasil sadapan. Pemberian upah tidak bergantung pada satuan waktu. Penyadap yang telah menyetorkan hasil sadapan akan mendapatkan kupon yang selanjutnya dapat ditukarkan sebagai upah, tergantung pada hasil sadapan yang telah disetorkan. Umumnya penyadap dapat menyetorkan hasil sadapan dan menyetorkannya dua atau tiga kali dalam satu minggu, namun terdapat pula beberapa penyadap yang menyetorkannya setiap hari. Hal ini juga tergantung pada lokasi sadapan. Penyadap yang memiliki jarak sadapan yang cenderung dekat dengan pusat HPGW akan menyetorkan getah lebih sering dibandingkan dengan penyadap yang lokasinya lebih jauh. Pemberian insentif juga dilakukan oleh Badan pengelola HPGW dengan tujuan agar para penyadap dapat meningkatkan produktivitas sadapan. Insentif diberikan oleh Badan pengelola HPGW kepada penyadap setiap akhir bulan.

Tarif upah yang ada di HPGW meningkat dari waktu ke waktu. Penyadapan pinus dimulai pada tahun 2007, dimana tarif upah awal yang digunakan pada tahun 2007-2008 sebesar Rp.750/kg. Terdapat kenaikan tarif upah dimulai pada bulan Maret tahun 2009 dan berlaku sampai akhir tahun 2010 sebesar Rp 1.000/kg. Upah sadapan kembali mengalami kenaikan pada tanggal 11 Januari tahun 2011, dimana tarif lama sebesar Rp. 1.000/kg naik menjadi Rp.1.200/kg. Setiap produksi sadapan melebihi target produksi diatas 100 kg/minggu yang semula Rp.1.200/kg menjadi Rp.1400/kg . Produksi bulanan melebihi target produksi diatas 350 kg/bulan yang semula Rp.1.400 /kg menjadi Rp.1.600/kg. Kenaikan upah ini tercantum dalam Surat Keputusan Direksi No.02/Dir/HPGW/I/2011 tentang Parubahan Tarif Sadapan pada tanggal 11 Januari Tahun 2011. Terdapat pula pemberian insentif berupa mie instan untuk tiga penyadap dengan hasil sadapan terbanyak. Kenaikan tarif upah ini berlaku hanya selama 3 bulan.

Pada tanggal 25 Maret 2011 terdapat kenaikan tarif upah kembali berdasarkan Surat Keputusan Direksi No.03/Dir/HPGW/III/2011. Surat keputusan tersebut berisi bahwa tarif getah pinus diubah yang sebelumnya sebesar Rp.1.200/kg pada tarif dasar, Rp.1400/kg pada produksi bulanan diatas


(31)

100kg/minggu dan Rp.1.600/kg pada produksi bulanan diatas 350 kg/bulan menjadi Rp.1.600,-/kg. Dengan adanya surat keputusan ini maka harga upah sadap yang sebelumnya tidak digunakan lagi. Pemberian insentif lainnya berupa berupa mie instan untuk tiga penyadap dengan jumlah sadapan tertinggi tetap berlaku. Surat keputusan ini berlaku sejak tanggal 26 maret tahun 2011 dan dapat berubah sewaktu-waktu sampai adanya Surat Keputusan selanjutnya.

Awal diberlakukannya tarif upah tidak berpengaruh terlalu signifikan terhadap peningkatan hasil sadapan sebesar 12,875 kg/bulan. Kenaikan berpengaruh signifikan terhadap kenaikan tarif pada bulan Maret tahun 2011 sebesar 66,875 kg/bulan (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi atau kesejahteraan menjadi motif bagi masyarakat untuk berproduksi lebih banyak. Apabila masyarakat mampu meningkatkan produksi sadapan getah maka tingkat kesejahteraan masyarakat juga akan meningkat. Dengan demikian peningkatan hasil sadapan berbanding lurus terhadap peningkatan pendapatan penyadap atau kesejahteraan masyarakat.

Gambar 3. Grafik pengaruh tarif upah terhadap kenaikan hasil sadapan getah pinus (kg).

5.2. 4 Hasil Penelitian atau Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan memiliki hubungan yang erat dengan adanya teknologi (Keraf & Dua 2001). Perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya berbanding lurus dengan peningkatan atau ditemukannya teknologi. Seiring berjalanya waktu, ilmu pengetahuan berkembang karena penggunaanya dalam


(32)

pemenuhan kebutuhan yang semakin meningkat pula. Ditemukannya beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan yang ada semakin berkembang.

Ilmu pengetahuan yang semakin berkembang ini juga berpengaruh terhadap produktivitas penyadapan getah pinus di HPGW. HPGW menggunakan stimulansia merupakan salah satu hasil penerapan ilmu pengetahuan. Stimulansia yang digunakan adalah stimulansia anorganik dalam proses pengambilan getah pinus. Pemberian stimulansia ini bertujuan agar memperlancar keluarnya getah. Penggunaan stimulansia ini digunakan sejak tahun 2008 sampai April 2011. Stimulansia anorganik yang digunakan yaitu cairan Asam Sulfat yang merupakan campuran antara H2SO4 dan HNO3. Menurut Santosa (2011) diacu dalam

Damastuti (2011) mekanisme stimulansia ini adalah memberikan efek panas terhadap getah, sehingga getah lebih lama dalam keadaan cair dan mudah mengalir keluar dari saluran getah dan mempengaruhi tekanan turgor dinding sel hal ini akan mempermudah getah cepat keluar dan saluran getah dapat terbuka dalam waktu yang relatif lebih lama. Namun penggunaan stimulansia Cairan Asam Sulfat (CAS) memiliki beberapa kekurangan yaitu memiliki dampak negatif diantaranya membahayakan diri penyadap, tidak ramah lingkungan dan kualitas getah yang dihasilkan lebih rendah. Penggunaan CAS ini dapat mengganggu pernapasan dan dapat merusak kulit penyadap. Hampir seluruh penyadap merasakan dampak yang membahayakan ini, antara lain tangan yang mengelupas dan gangguan pernafasan berupa sesak nafas.

Saat ini telah dikembangkan pula stimulansia organik. Mulai bulan April 2011 HPGW menggunakan stimulansia organik adalah Etrat 12-40. Menurut Darmastuti (2011), penggunaan stimulansia organik selain dapat meningkatkan hasil produksi getah, memiliki beberapa keuntungan, yaitu: tidak memiliki dampak negatif terhadap lingkungan, penyadap, dan pohon pinus sendiri, serta kualitas getah yang dihasilkan lebih baik.

Penggunaan stimulansia organik berupa Etrat 12-40 mampu meningkatkan rata-rata produktvitas sebesar 96,28% dibandingkan dengan perlakuan tidak menggunakan stimulansia (kontrol) sedangkan penggunaan Cairan Asam Sulfat (CAS) hanya meningkatkan rata-rata produktivitas sadapan sebesar 5,28%


(33)

dibandingkan dengan perlakuan kontrol (Darmastusi 2011). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh penggunaan stimulansia organik berupa Etrat 12-40 sangat besar. Gambar 4 menunjukkan adanya penggunaan stimulansia organik dalam penyadapan getah pinus memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan hasil sadapan pinus. Peningkatan yang cukup signifikan terdapat pada bulan Juni tahun 2011 sebesar 93,73 kg dan terus meningkat hingga bulan Agustus tahun 2011 menjadi 203,968 kg. Selain meningkatkan hasil sadapan, penggunaan etrat yang tidak memberikan dampak negatif terhadap kesehatan penyadap dan sangat disukai oleh penyadap.

Gambar 4 Grafik pengaruh hasil penelitian terhadap hasil sadapan getah pinus.

Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa perlakuan penyadapan yang memiliki pengaruh paling tinggi terhadap kenaikan getah pinus adalah motivasi kerja yatu sebesar 317 kg. Peningkatan motivasi kerja ini 21 kali lebih besar dibandingkan dengan kenaikan kontrak kerj sebesar 15 kg. Motivasi kerja memiliki pengaruh paling tinggi selain karena rentang waktu yang digunakan dalam penerapan perlakuan ini cukup lama penerimaan penyadap atas pemberian perlakuain ini cukup baik. Setelah itu diikiti dengan hasil penelitian sebesar 203,968 kg. Peningkatan hasil sadapan karena adanya perlakuan hasil penelitian ini 14 kali lebih besar dibandingkan dengan kenaikan kontrak kerja. Hasil penelitian akan meningkat seiring berjalannya waktu dan peningkatan kebutuhan manusia. Hasil penelitian memiliki pengaruh yang cukup baik terhadap peningkatan hasil sadapan getah, hal ini ditandai dengan peningkatan yang cukup tinggi dalam rentang waktu yang relatif singkat. Tarif upah meningkatan produktivitas penyadap sebesar 66,85 kg/bulan atau empat kali lebih besar


(34)

dibandingkan dengan pengaruh kontrak kerja. Peningkatan yang diakibatkan karena adanya tarif upah cukup besar. Hal ini dikerenakan pengaruh motif ekonomi yang diterapkan oleh Badan Pengelola HPGW terhadap penyadap. Pengaruh yang diberikan kontrak kerja terhadap peningkatan hasil sadapan relatif kecil yaitu sebesar 15 kg/bln. Kecilnya pengaruh perlakuan ini karena penyadap hanya beranggapan bahwa kontrak kerja hanyalah sebagai persyaratan administrasi untuk menjadi seorang penyadap di HPGW.

Gambar 5. Grafik perbandingan masing-masing parameter terhadap peningkatan hasil sadapan.

5. 3 Persepsi Penyadap

Persepsi penyadap adalah pendapat penyadap terhadap kenaikan hasil sadapan getah pinus karena adanya berbagai perlakuan penyadapan. Perlakuan penyadapan meliputi motivasi kerja, kontrak kerja, tarif upah dan hasil penelitian.

5.3. 1 Motivasi kerja

Pemberian motivasi kerja oleh pihak pengelola terhadap penyadap adalah dengan bertatap muka secara langsung antara pihak pengelola dan penyadap, kunjungan langsung kerumah penyadap dan diadakannya rapat tahunan serta adanya perubahan terhadap sistem pemberian upah. Beberapa cara tersebut yang paling disukai oleh penyadap adalah perubahan sistem pemberian upah sadap yang semula mingguan menjadi harian dan adanya kunjungan langsung kerumah penyadap. Perubahan sistem pengupahan mempermudah penyadap dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari karena tidak harus menunggu selama satu minggu untuk mendapatkan upah sadap. Kunjungan langsung kerumah penyadap yang dilakukan apabila terdapat penyadap yang mengalami sakit ataupun terdapat


(35)

penurunan hasil sadapan. Dengan adanya kunjungan ini penyadap merasa lebih diperhatikan oleh pihak pengelola sehingga hubungan antara penyadap dengan Badan Pengelola dapat menjadi lebih baik.

Tabel 6. Persentase persepsi penyadap terhadap pengaruh motivasi kerja terhadap kenaikan hasil sadapan getah pinus.

No Jawaban pengaruh perlakuan penyadapan Jumlah responden (org) Persentase (%)

1 0% 0 0

2 10% 0 0

3 20% 6 24

4 30% 15 60

5 40% 4 16

6 50% 0 0

Total 25 100

Berdasarkan hasil wawancara terhadap 25 responden (Tabel 6), maka diperoleh jawaban sebanyak 15 orang responden bahwa peningkatan hasil sadapan getah pinus sebesar 30% dikerenakan adanya pengaruh motivasi kerja yang telah diberikan oleh Badan Pengelola HPGW. Selanjutnya sebanyak 6 orang responden berpendapat bahwa peningkatan hasil sadapan getah pinus sebesar 20% diakibatkan adanya pemberian motivasi kerja oleh pihak pengelola. Terdapat 4 orang responden berpendapat bahwa peningkatan hasil sadapan karena adanya motivasi kerja yang diberikan oleh pihak pengelola adalah sebesar 40%. Rata-rata persentase persepsi penyadapan terhadap kenaikan hasil sadapan getah pinus kerena perlakuan motivasi kerja adalah sebesar 29,2%. Ini menunjukkan bahwa rata-rata responden menganggap bahwa pengaruh yang diberikan oleh perlakuan motivasi kerja terhadap kenaikan hasil sadapan sebesar 29,2%.

Persepsi penyadap terhadap kenaikan hasil sadapan karena adanya pengaruh motivasi kerja adalah sangat baik. Hal ini dikarenakan penyadap menyukai cara yang dilakukan oleh Badan Pengelola HPGW, selain itu rentang waktu dalam penerapan metode motivasi kerja yang cukup lama sejak bulan Mei tahun 2009 sampai akhir tahun 2010. Pemberian motivasi kerja memiliki pengaruh berbeda-beda terhadap masing-masing penyadap, hal ini dapat dilihat pada Lampiran 3.


(36)

5.3. 2 Kontrak Kerja

Pemberian kontrak kerja atau perjanjian kerja diHPGW ada sejak tahun 2009. Penyadap yang akan menjadi penyadap harus menandatangani kontrak kerja berupa kesediaan untuk bekerja sebagai penyadap getah pinus dan akan mematuhi segala peraturan yang telah ditetapkan dan situjui oleh Badan Pengelola HPGW. Hal-hal yang tidak tercantum dalam kontrak kerja tercantum dalam perjanjian lain yang telah disepakati oleh semua pihak.

Tabel 7. Persentase pengaruh kontrak kerja terhadap kenaikan hasil sadapan getah pinus

No Jawaban pengaruh perlakuan penyadapan Jumlah responden (org) Persentase (%)

1 0% 10 40

2 10% 14 56

3 20% 1 4

4 30% 0 0

5 40% 0 0

6 50% 0 0

Total 25 100

Berdasarkan hasil wawancara terhadap 25 responden (Tabel 7) maka diperoleh sebanyak 14 orang responden bahwa peningkatan hasil sadapan getah pinus kerena adanya kontrak kerja hanya memiliki pengaruh sebesar 10%. Terdapat sebanyak 10 orang responden beranggapan bahwa adanya kontrak kerja tidak memiliki pengaruh atas kenaikan hasil sadapan pinus serta hanya satu orang penyadap pinus yang beranggapan bahwa adanya kontrak kerja memiliki pengaruh terhadap kenaikan sadapan getah pinus sebesar 20%. Pada Lampiran 4 menunjukkan pengaruh adanya kontrak kerja sangatlah kecil. Rendahnya pengaruh yang dihasilkan dengan adanya perlakuan kontrak kerja karena penyadap kurang menganggap penting kontrak kerja dengan Badan Pengelola HPGW. Kontrak kerja hanya dianggap sebagai salah satu syarat untuk diisi oleh penyadap.

5.3. 3 Tarif upah

Upah merupakan suatu penerimaan yang diterima oleh penyadap sebagai imbalan yang diberikan oleh pengelola atas hasil pekerjaan yang telah dilakukan dan dinyatakan dalam bentuk uang. Pemberian upah yang ada di HPGW tidak didasarkan atas satuan waktu. Upah diberikan berdasarkan banyaknya hasil


(37)

sadapan getah pinus yang diperoleh penyadap dalam satuan kilogram. Insentif merupakan salah satu tambahan imbalan yang diberikan kepada penyadap apabila telah melebihi target produksi yang telah ditetapkan. Insentif yang diberikan berupa insentif bulanan yaitu pemberian mie instan bagi penyadap yang memperoleh hasil terbanyak. Pemberian insentif ini bertujuan agar penyadap dapat lebih bersemangat dalam kegiatan penyadapan sehingga hasil yang diperoleh dapat meningkat.

Tabel 8. Persentase pengaruh tarif upah terhadap hasil sadapan getah pinus No Jawaban pengaruh perlakuan penyadapan Jumlah responden (org) Persentase (%)

1 0% 0 0

2 10% 0 0

3 20% 10 40

4 30% 11 44

5 40% 4 16

6 50% 0 0

Total 25 100

Tabel 8 menunjukkan bahwa pemberian perlakuan kenaikan tarif upah dan pemberian insentif memiliki pengaruh yang cukup baik. Terdapat 11 orang responden beranggapan bahwa meningkatnya hasil sadapan sebesar 30% dipengaruhi oleh adanya perlakuan ini. Selanjutnya sebanyak 10 orang responden beranggapan adanya perlakuan tarif upah meningkatkan hasil sadapan sebesar 20% dan 4 orang beranggapan peningkatan sebesar 40% dikarenakan adanya perlakuan tersebut. Rata-rata persentase persepsi penyadap terhadap kenaiakan hasil sadapan karena adanya pengaruh tarif upah adalah sebesar 27,6%. Lampiran 5 menunjukkan peningkatan hasil sadapan getah pinus terhadap masing-masing responden. Hail ini menunjukkan bahwa ekonomi merupakan salah satu motif penyadap dalam upaya peningkatan hasil sadapan hasil sadapan. Kenaikan tarif upah dan pemberian insentif oleh Badan Pengelola HPGW secara tidak langsung meningkatkan keinginan masyarakat untuk memperoleh hasil yang maksimal, sehingga kebutuhan hidup akan terpenuhi dan terdapat peningkatan kesejahteraan masyarakat.


(38)

5.3. 4 Hasil Penelitian dan Ilmu Pengetahuan

Meningkatnya ilmu pengetahuan merupakan salah satu upaya yang dilakukan guna memenuhi berbagai kebutuhan. Ilmu pengetahuan merupakan sistem pengetahuan yang telah dibakukan secara sistematis. Hasil penelitian yang ada di HPGW merupakan salah satu implementasi adanya peningkatan ilmu pengetahuan. Hasil penelitian yang ada di HPGW berupa penggunaan stimulansia yang semula menggunakan stimulansia anorganik. Kini menggunakan stimulansia organik. Pemberian stimulansia organik sangat disukai oleh penyadap. Stimulansia organik memiliki benyak kelebihan selain hasil sadapan getah pinus yang meningkat yaitu tidak memiliki dampak negatif bagi kesehatan penyadap, pohon dan lingkungan serta kualitas getah yang dihasilkan pun lebih baik.

Tabel 9. Persentase pengaruh hasil penelitian terhadap kenaikan hasil sadapan getah pinus

No Jawaban pengaruh perlakuan penyadapan Jumlah responden (org) Persentase (%)

1 0% 0 0

2 10% 0 0

3 20% 0 0

4 30% 11 44

5 40% 11 44

6 50% 3 12

Total 25 100

Tabel 9 menunjukkan bahwa penyadap beranggapan bahwa hasil penelitian memberikan pengaruh yang sangat baik terhadap peningkatan hasil sadapan getah di HPGW. Semua responden beranggapan sedikitnya hasil penelitian berpengaruh sebesar 30% terhadap peningkatan hasil sadapan getah pinus mereka yaitu sebanyak 11 orang. Selanjutnya terdapat 11 orang responden berpendapat bahwa hasil penelitian mampu meningkatkan hasil sadapan sebanyak 40%. Terdapat 3 orang responden berpendapat hasil penelitian mampu meningkatkan hasil sadapan getah pinus mancapai 50%. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hasil penelitian memberikan dampak positif tidak hanya bagi hasil produksi namun juga meningkatkan semangat penyadap dalam peningkatan hasil sadapan getah pinus. Dengan waktu yang relatif singkat namun dapat meningkatkan hasil sadapan yang cukup signifikan.


(39)

Lampiran 6 menunjukkan pengaruh adanya hasil penelitian terhadap masing-masing responden. Rata-rata persepsi responden terhadap peningkatan akibat andanya pengaruh hasil penelitian adalah sebesar 36,8%. Ini dapat diartikan bahwa hasil penelitian memiliki peran yang cukup penting dalam peningkatan hasil sadapan dan dengan adanya hasil penelitian penyadap dapat lebih termotivasi dalam upaya meningkatkan hasil sadapan.

Rata-rata penyadap pinus beranggapan bahwa hasil penelitian merupakan parameter yang paling berpengaruh terhadap peningkatan hasil sadapan sebesar 36,8% (Gambar 6). Hal ini dikarenakan adanya hasil penelitian berupa penggunaan stimulansia organik terhadap pinus yang dianggap oleh penyadap memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap hasil sadapan, selain itu stimulansia organik sangat disukai oleh penyadap. Motivasi kerja dianggap memiliki pengaruh yang relatif besar adalah 29,2%. Motivasi kerja memiliki pengaruh cukup baik terhadap peningkatan hasil sadapan karena cara yang digunakan oleh Badan Pengelola HPGW dalam upaya peningkatan motivasi kerja dapat diterima baik oleh para penyadap. Tarif upah memiliki pengaruh terhadap produktivitas hasil sadapan sebesar 27,6%. Adanya tarif upah memiliki pengaruh yang cukup baik pula terhadap peningkatan hasil sadapan karena ekonomi merupakan salah satu motif penyadap dalam melakukan penyadapan. Kontrak kerja hanya memiliki pengaruh terhadap peningkatan hasil sadapan sebesar 6,4%. Pengaruh kontarak kerja relative kecil, hal ini dikarenakan penyadap di HPGW tidak menganggap penting kontrak kerja.

Gambar 6 Diagram rata-rata persentase persepsi penyadap terhadap masing-masing parameter


(40)

5. 4 Perbandingan Perlakuan Penyadapan dengan Perum Perhutani Unit III

Perlakuan penyadapan yang ada di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten KPH Sukabumi berupa perlakuan tarif upah dan hasil penelitian. Pemberian motivasi kerja dan kontrak kerja atau perjanjian kerja tidak dilakukan oleh pihak Perum Perhutani Unit III. Motivasi kerja seluruhnya bergantung pada diri masing-masing penyadap. Tingginya tingkat motivasi kerja bergantung pada tingkat kebutuhan masing-masing penyadap. Tingginya motivasi kerja berbanding lurus dengan tingkat kebutuhan penyadap. Evaluasi tahunan dilakukan empat kali dalam satu tahun. Namun dalam evaluasi tahunan ini hanya dibahas mengenai produksi getah pinus saja. Penyadap tidak bisa menyampaikan keluhan, keinginan maupun harapan mereka. Perjanjian kerja juga tidak dilakukan oleh pihak Perum Perhutani Unit III. Para penyadap hanya bergabung dalam Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) awal tahun 2010.

Tarif upah yang diberikan oleh pihak Perum Perhutani Unit III lebih besar dibandingkan dengan pihak HPGW. Dalam pemberian upah di Perum Perhutani Unit III dibedakan menjadi tiga bagian antara lain upah pungut, upah pikul dan upah timbang. Sejak tahun 2010 pemberian upah pungut sebesar Rp. 2.250/kg, upah pikul sebesar Rp. 280/kg dan upah timbang sebesar Rp. 50/kg sehingga total upah yang bisa diterima apabila penyadap memungut, memikul dan menimbang getah adalah Rp. 2.580/kg. Sedangkan Upah sadap yang digunakan oleh HPGW pada tahun 2009-2010 adalah sebesar Rp. 1.000,/kg dan meningkat menjadi Rp. 1.600,/kg pada tahun 2011.

Meskipun upah yang diberikan oleh pihak Perum Perhutani Unit III relatif tinggi dibandingkan dengan HPGW namun masyarakat sekitar kurang tertarik untuk bekerja sebagai penyadap. Mereka lebih memilih menjadi petani ataupun buruh pabrik. Penyadap yang ada di Perum Perhutani Unit III ini sebagian besar didatangkan dari luar provinsi Jawa Barat. Stimulansia yang digunakan oleh pihak Perum Perhutani Unit III masih menggunakan stimulansia anorganik yaitu Cairan Asam Sulfat (CAS).

Produktivitas yang ada di HPGW lebih besar dibandingkan dengan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat KPH Sukabumi. Hasil sadapan pihak Perum Perhutani Unit III cenderung fluktuatif. Hasil sadapan getah pinus sebesar 655,93


(41)

kg/ha/tahun pada tahun 2009 dan mengalami penurunan pada tahun 2010 yaitu menjadi sebesar 417,19 kg/ha/thn dan kembali meningkat pada tahun 2011 menjadi 731,11 kg/ha/thn. Produktivitas sadapan getah pinus di HPGW sejak 2009 hingga 2011 mengalami peningkatan yaitu yang semula 716,96 kg/ha/thn pada tahun 2009 meningkat menjadi 1.314,96 kg/ha/thn pada tahun 2010 dan 1.783,75 kg/ha/thn pada tahun 2011. Hal ini dikarenakan pemberian perlakuan penyadapan berupa motivasi kerja dan kontrak kerja pada tahun 2009-2010 dan pemberian perlakuan berupa tarif upah dan penerapan hasil penelitian pada tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan penyadapan yang diterapkan di HPGW sangat berperan dalam upaya peningkatan hasil sadapan getah pinus yang ada di HPGW.

Tabel 10 Perbandingan produktivitas dan pendapatan HPGW dan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten KPH Sukabumi

Tahun Produktivitas Getah Pinus (kg) Pendapatan Penyadap (Rp/Ha) Perum Perhutani Unit III HPGW Perum Perhutani Unit III HPGW 2009 655.93 716.96 Rp 1,475,835 Rp 716,960 2010 417.19 1,314.92 Rp 938,670 Rp1,314,917 2011 731.11 1,783.75 Rp 1,644,997 Rp2,854,001

Tabel 10 menunjukan bahwa pendapatan yang diterima oleh penyadap HPGW meningkat setiap tahunnya. Tahun 2009 pendapatan yang diterima oleh penyadap HPGW relatif lebih kecil dibandingkan pihak Perum Perhutani Unit III. Hasil sadapan yang dihasilkan oleh HPGW lebih tinggi dibandingkan Perum Perhutani Unit III namun karena upah sadap yang diberikan Perum Perhutani Unit III lebih besar dibandingkan dengan pihak HPGW sehingga pendapatan penyadap Perum Perhutani Unit III lebih besar dibandingkan pendapatan penyadap HPGW. Tahun 2010-2011 penggunaan tarif upah yang digunakan HPGW lebih rendah namun karena hasil sadapan getah yang diperoleh HPGW jauh lebih besar dibandingkan Perum Perhutani Unit III sehingga pendapatan yang diperoleh HPGW pun lebih besar dibandingkan dengan Perum Perhutani Unit III. Dapat dilihat pada Tabel 10 bahwa pendapatan penyadap di HPGW yang semula hanya Rp. 716.960 /ha pada tahun 2009 meningkat menjadi Rp. 1.314.917/ha pada tahun 2010 dan Rp. 2.854.001/ha pada tahun 2011. Sedangkan Perum Perhutani Unit III sebesar Rp. 1.475.835/ha pada tahun 2009 menurun pada tahun 2010 menjadi Rp.


(42)

938.670/ha dan kembali meningkat pada tahun 2011 menjadi Rp. 1.644.997/ha. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya tarif upah bukan satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan. Adanya hasil penelitian yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan mampu meningkatkan hasil sadapan.


(43)

6. 1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Perlakuan penyadapan untuk meningkatkan produktivitas getah pinus yang digunakan oleh HPGW pada periode tahun 2009 sampai 2011 adalah motivasi kerja, kontrak kerja, tarif upah, dan hasil penelitian.

2. Kenaikan produksi getah pinus periode tahun 2009 sampai 2011 karena adanya pengaruh perlakuan motivasi kerja sebesar 317 kg, pengaruh hasil penelitian sebesar 203,97 kg, pengaruh tarif upah sebesar 66,85 kg, dan pengaruh kontrak kerja sebesar 15 kg.

3. Persepsi penyadap terhadap kenaikan produktivitas getah pinus karena perlakuan hasil penelitian sebesar 36,8%, motivasi kerja sebesar 29.2%, tarif upah sebesar 27,6% dan kontrak kerja sebesar 6,4%.

6. 2 Saran

Saran dari hasil penelitian adalah pemberian motivasi kerja secara terus menerus, peningkatan tarif upah sadapan dan hasil penelitian untuk meningkatkan produktivitas getah pinus perlu terus dilakukan oleh Badan Pengelola HPGW agar produksi getah pinus di HPGW terus meningkat atau minimal sebesar produksi pada periode tahun 2009 sampai tahun 2011.


(44)

(KASUS : HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT,

KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT)

ADE ANGGRAINI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(1)

Lampiran 10 Surat Perjanjian kerja

SURAT KETERANGAN No:

Pada hari ini, Jum’at tanggal Sebelas Bulan Maret Tahun Dua Ribu Sebelas, yang

bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Omon

Tempat/Tgl Lahir : Sukabumi, 1987 Alamat : Bojong Waru Pekerjaan : Penyadap di HPGW

Dengan ini menyatakan bahwa saya berkeinginan dan bersedia menjadi tenaga kerja borongan untuk penyadapan getah pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat.

Dan saya berjanji untuk dapat mengikuti dan melaksanakan ketentuan/peraturan yang berlaku.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan

sehat wal’afiat.

Sukabumi, 11 Maret 2011 Penyadap

ttd Omon


(2)

Lampiran 11 Surat Keputusan Direksi No.02/Dir/HPGW/I/2011

SURAT KEPUTUSAN DIREKSI

No.02/Dir/HPGW/I/2011

Menimbang:

1. Upaya peningkatan kesejahteraan penyadapan.

2. Upaya peningkatan produktivitas kegiatan penyadapan.

Memutuskan :

1. Perubahan tarif sadap getah pinus dan agathis sebagaimana terlampir. 2. Surat keputusan ini berlaku mulai tanggal 15 Januari 2011.

3. Keputusan ini sewaktu-waktu dapat berubah sasuai dengan hasil evaluasi dan perkembangan.

Ditetapkan di Bogor Tanggal 11 Januari 2011


(3)

Lampiran : SK No.02/Dir/HPGW/I/2011

SURAT KEPUTUSAN PERUBAHAN TARIF SADAP

URAIAN

TARIF LAMA

TARIF BARU

1.Tarif Dasar Rp. 1.000,-/kg Rp. 1.200,-/kg

2.Produksi diatas 100 kg/minggu Rp. 1.200,-/kg Rp. 1.400,-/kg 3.Produksi diatas : Rp. 1.400,-/kg Rp. 1.600,-/kg Pinus 350 kg / bulan.

Kopal 550 kg / bulan

Note : Bonus Indomie untuk 3 penyadap terbanyak tetap diberikan.

Bogor, 11 Januari 2011 Direktur Eksekutif HPGW

ttd


(4)

Lampiran 12 Surat Keputusan Direksi No.03/Dir/HPGW/III/2011

SURAT KEPUTUSAN DIREKSI

No.03/Dir/HPGW/III/2011

Dalam rangka peningkatan produktifitas penyadapan dengan ini diputuskan :

1. Tarif upah sadap getah Pinus : Rp. 1.600,-/Kg 2. Tarif upah sadap getah Agathis : Rp. 1.600,-/Kg

3. Dengan ketetapan ini maka harga upah sadap yang lama tidak berlaku lagi kecuali pemberian bonus bulanan berupa :

a. Mie Instan 1 dus bagi penyadap dengan jumlah sadapn tertinggi ke 1 b. Mie Instan 25 bh bagi penyadap dengan jumlah sadapn tertinggi ke 2 c. Mie Instan 15 bh bagi penyadap dengan jumlah sadapn tertinggi ke 3 4. Keputusan ini berlaku mulai tanggal 26 Maret 2011 dan dapat dirubah

sewaktu-waktu bila diperlukan sampai ada keputusan berikutnya.

Demikian Surat Keputusan ini dibuat.

Ditetapkan di Bogor Tanggal 25 Maret 2011 Direktur Eksekutif HPGW

ttd

Ir. Budi Prihanto, MS


(5)

RINGKASAN

ADE ANGGRAINI. Pengaruh Perlakuan Inovasi Penyadapan Getah Pinus Terhadap Produktivitas Penyadap (kasus: Hutan Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh Dr. Ir. Yulius Hero, MSc.

Getah Pinus merupakaan salah satu hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan di Indonesia. Permintaan getah pinus untuk industri di Indonesia semakin meningkat setiap tahun. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk peningkatan produktivitas getah pinus. Hutan Pendidikan Gunung walat (HPGW) merupakan salah satu hutan pendidikan penghasil Getah Pinus di Indonesia. Jumlah produksi getah pinus yang yang ada di HPGW meningkat setiap tahun, maka perlu dikaji perlakuan penyadapan yang dapat meningkatkan produktivitas penyadap.

Pengambilan responden dilakukan secara sensus dengan responden sebanyak 25 orang. Responden yang dipilih adalah penyadap pinus yang masih aktif melakukan kegiatan penyadapan pinus di HPGW. Pengolahan data dilakukan secara deskriptif dan penyajian data dilakukan dengan cara tabulasi dan grafik. Hasil sadapan dibuat berdasarkan kumulatif sadapan perbulan dan dipilah berdasarkan waktu penggunaan perlakuan penyadapan. Perlakuan penyadapan yang digunakan, yaitu : motivasi kerja, kontrak kerja, tarif upah, dan hasil penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang memberikan pengaruh besar terhadap kenaikan hasil sadapan getah pinus di HPGW adalah motivasi kerja dan hasil penelitian. Peningkatan hasil sadapan getah pinus karena adanya motivasi kerja sebesar 317 kg. Hal ini dikarenakan rentang waktu yang digunakan lebih lama dan perlakuan motivasi kerja disukai penyadap. Persepsi penyadap terhadap perlakuan penyadapan yang paling berpengaruh terhadap peningkatan hasil sadapan adalah hasil penelitian yaitu sebesar 36,8%. Hal ini dikarenakan dalam waktu relatif singkat sudah mampu menaikkan hasil sadapan getah pinus yang relatif tinggi sebesar 203,97 kg. Selain itu penerapan hasil penelitian yang tidak memiliki dampak negatif sehingga sangat disukai oleh penyadap.

Kata kunci: Penyadapan getah pinus, Perlakuan inovasi penyadapan, Produktivitas penyadap, Hutan Pendidikan Gunung Walat.


(6)

SUMMARY

ADE ANGGRAINI. The influence of pine resin tapping innovation treatment on tappers productivity (case: Gunung Walat Educational Forest, Sukabumi district, West Java.). Supervised by Dr. Ir. Yulius Hero, MSc

Pine resin is one of non timber forest products that utilized in Indonesia. The demand of pine resin in Indonesian industry has been increased every year. Therefore, the need for an effort to increased the productivity of pine resin. Gunung Walat Educational Forest (GWEF) is one of educational forest that producing pine resin in Indonesia. Amount of pine resin production in diHPGW increased every year, so needs to be reviewed of tapping treatment that can be incresed the tappers productivity.

Respondent taken by cencus method with the number of respondents are 25 people. The respondents is selected from tapper of pine resin that still active in tapping of pine resin in HPGW. Processing of data was done by descriptive and presentation of data are carried out by tabulating and graphing. The result of lead is made by monthly lead cumulative and sorted based on time of use tapping treatment. The tapping treatment are used that working motivation, employment contract, wage rates and results of research.

Based on this research showed that treatment that give more effect to increase the leads of pine resin in HPGW are working motivation and results of research. Increase the leads of pine resin because working motivation treatment is 317 kg/month. This is due to the span time that used is longer and the working motivation treatment are tapper’s favourite. The tapper’s perception to tapping treatment that most to increase the leads of pine resin is results of research as 36,8%. Because of short period that used, can make leads of pine resin higher as 203,97 kg/month. Moreover, applicate the result of research didn’t have negative impact so tapper very liked it.

Keyword: Pine resin tapping, Tapping innovation treatment, Tappers productivity, Gunung Walat Educational Forest(GWEF)