Pengertian Pelacuran Pelacuran Anak Di Bawah Umur Dalam Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Republik Indonesia (Studi Kasus Di Polsek Medan Baru)

2. Pengertian Pelacuran

Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar, memberikan pengertian tentang pelacuran adalah: 19 Hoebel menjelaskan, paling tidak ada empat fungsi dasar hukum terhadap suatu perbuatan pidana, yaitu: ”Hubungan seksual antara dua jenis kelamin yang berbeda yang dilakukan di luar tembok perkawinan dan berganti-ganti pasangan, baik dengan menerima imbalan uang atau material lainnya maupun tidak. Maka dapat dikatakan bahwa pelacuran terhadap anak dianggap salah satu bentuk penyimpangan dari norma perkawinan dalam masyarakat”. 20 1. Menetapkan hubungan antara anggota masyarakat, dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang dilarang; 2. Menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa-siapa saja yang boleh secara syah menentukan paksaan serta siapa yang harus mentaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi-sanksinya yang efektif; 3. Menyelesaikan sengketa; 4. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, dengan cara merumuskan kembali hubungan antara para anggota masyarakat. Pelacuran merupakan profesi wanita yang paling purba tempat yang pertama kalinya wanita memperoleh penghasilannya, dan hasilnya yang langsung karena modalnya adalah dagingnya sendiri. Lebih jauh Helen mengemukakan, persis seorang laki-laki yang mendapat penghasilannya dengan menjual tenaganya sendiri, demikian pula seorang wanita memperoleh penghasilannya dengan jalan menjual dirinya sendiri dalam keduduka n ekonominya yang sulit. Pemahaman 19 Tjahjo Purnomo., dan Ashadi Siregar., Membedah Dunia Pelacuran Surabaya Kasus Kompleks Pelacuran Dolly, Surabaya-Yogyakarta: PT. Grafiti Pers, 1982, hal. 5. 20 Esmi Warassih., Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: PT. Suryandaru Utama, 2005, hal. 26-27. Universitas Sumatera Utara yang lebih luas dan mendalam tentang pelacuran ini, ada beberapa pendapat dan rumusan mengenai pelacuran sebagai berikut: 21 1 Menurut W.A. Bonger, “Pelacuran adalah gejala sosial, dimana wanita menyediakan dirinya untuk perbuatan sexual sebagai mata pencahariannya”. 2 Menurut Paul Moedikdo Moeliono, “Pelacuran adalah penyerahan badan wanita dengan menerima bayaran, kepada orang banyak, guna pemuas nafsu sexuil bagi orang-orang itu”. 3 Menurut George Ryley Scott, “Pelacuran adalah seorang laki-laki atau perempuan, yang karena semacam upah, baik berupa uang atau lainnya, atau karena semacam bentuk kesenangan pribadi dan sebagai bagian atau seluruh pekerjaannya, mengadakan perhubungan kelamin yang normal atau tidak normal dengan berbagai-bagai orang, yang sejenis dengan atau yang berlawan jenis dengan pelacur itu. Dalam KUHP tidak ada satu pun pasal yang secara tegas mengancam pidana terhadap pelacur. Hanya ada tiga pasal yang mengancamkan hukuman pidana terhadap siapa pun yang pencahariannya atau kebiasaannya dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain germo. Ini dicantumkan dalam Pasal 296 KUHP kemudian yang memperniagakan perempuan termasuk laki-laki yang belum dewasa disebut dalam Pasal 297 KUHP. Dan yang terakhir adalah souteneur atau kekasih atau pelindung yang kerap kali juga berperan sebagai perantara aau calo dalam mempertemukan pelacur dengan langganannya dan mengambil untung dari pelacuran, diancam 21 Abdul Syani Pairulsyah., “Karakteristik Masyarakat Lampung dan Metode Penegakan Hukum”, Makalah, disampaikan pada Seminar Daerah oleh BEM FH Universitas Lampung dengan Tema “Problematika Kepolisian Daerah Lampung dalam Konteks Kemandirian dan Era Otonomi Daerah”, Diselenggarakan Pada Tanggal 7 Februari 2002 di Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung, hal.10. Abdul Syani Pairulsyah adalah Staf Pengajar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung. Universitas Sumatera Utara dalam Pasal 506 KUHP. 22 Sehingga dengan demikian pelacur sendiri tidak secara tegas diancam oleh hukuman pidana karena bukan kejahatan. 23 Pelacuran sering disebut sebagai prostitusi dari bahasa latin pro-stituere atau pro-stauree artinya membiarkan sendiri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan, dan pergendakan. 24 Sementara Bonger mengatakan pelacuran atau prostitusi adalah gejala kemasyarakatan dengan wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian. 25 Sedangkan P.J. de Bruine van Amstel menyatakan, prostitusi adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan banyak pembayaran. 26 Selain itu, Iwan Bloch berpendapat, pelacuran adalah suatu bentuk perhubungan kelamin di luar pernikahan dengan pola tertentu, yakni kepada siapa pun secara terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran baik untuk persebadanan, maupun kegiatan seks lainnya yang memberi kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan 27 Sementara itu, Commenge mengatakan prostitusi atau pelacuran adalah “suatu perbuatan seorang wanita memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk memperoleh bayaran dari laki-laki yang datang dan wanita tersebut tidak ada pencaharian lainnya kecuali yang diperolehnya dari perhubungan sebentar-sebentar dengan banyak orang” . 28 22 R. Soesilo., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Pelita, 1994, hal. 99, dan 151. 23 Tjahjo Purnomo., dan Ashadi Siregar., Op. cit, hal. 10. 24 Kartini Kartono I., Op. cit, hal. 203. 25 Ibid. 26 Kartini Kartono I., Op. cit, hal. 209. 27 D. Soejono., Pelacuran Ditinjau Dari Segi Hukum dan Kenyataan Dalam Masyarakat, Bandung: PT. Karya Nusantara, 1977, hal. 17. 28 Ibid, hal. 18. . Sedangkan Paul Moedikdo Moeliono mengatakan pelacuran adalah “penyerahan badan wanita Universitas Sumatera Utara dengan menerima bayaran kepada orang banyak guna pemuasan nafsu seksual orang-orang itu”. 29 Dalam kegiatan pelacuran, peran germo sangatlah penting. Germo disebut juga mucikari, bisa laki-laki dan juga perempuan yang mata pencahariannya baik sambilan maupun seluruhnya menyediakan, mengadakan atau turut serta mengadakan,membiayai, menyewakan, membuka, dan memimpin serta mengatur tempat untuk praktek pelacuran yakni dengan mempertemukan atau memungkinkan bertemunya wanita pelacur dengan laki-laki untuk bersetubuh. Dan dari pekerjaan ini sang germo mendapat sebahagian besar dari hasil uang yang diperoleh wanita pelacur. Atau dengan kata lain germo adalah orang yang pekerjaannya memudahkan atau memungkinkan orang lain laki-laki untuk mengadakan hubungan kelamin dengan pihak ketiga wanita yang lewat dengan cara kerja ini sang germo mendapat bagian hasil yang diperoleh wanita dari laki- laki yang menyetubuhinya. Demikian beberapa batasan mengenai pelacuran pengertiannya sama dengan prostitusi yang dikemukakan para ahli. Jadi, dari beberapa pendapat tersebut, dapat ditarik kerangka konsep bahwa yang dimaksud dengan pelacuran atau prostitusi itu adalah peristiwa penyerahan tubuh oleh wanita kepada banyak laki-laki lebih dari satu dengan imbalan pembayaran guna disetubuhi dan sebagai pemuas nafsu seks si pembayar, yang dilakukan di luar pernikahan. 30 Di dalam hukum pidana positif Indonesia yaitu KUHP, masalah pelacuran telah diatur di dalam Pasal 296, Pasal 297 dan Pasal 506. Namun di dalam pasal 29 Ibid. 30 Tjahjo Purnomo., dan Ashadi Siregar., Op. cit, hal. 11. Universitas Sumatera Utara tersebut lebih menitik beratkan kepada penyedia atau sarana yang mendukung diadakannya pelacuran, sedangkan pelaku pelacuran sendiri dan konsumennya tidak diatur secara tegas. Sehingga fungsionalisasi hukum pidana dalam menanggulangi masalah pelacuran secara represif tidak berjalan dengan baik.

3. Pengertian Pelacuran Anak