BAB III PENEGAKAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH KEPOLISIAN
REPUBLIK INDONESIA TERHADAP PELACURAN ANAK DI BAWAH UMUR
A. Tindak Pidana Yang Diancamkan Terhadap Pelacuran Anak Di Bawah Umur
Perbuatan pelacuran khususnya pelacuran anak di bawah umur, tidak ada salah satu pasal pun yang mengancam perbuatan pelacuran tersebut. Akan tetapi
yang diancam oleh hukum adalah bagi siapa saja yang menyediakan tempat pelacuran itu seperti yang disebutkan di dalam Pasal 296, Pasal 297, dan Pasal
506 KUH Pidana. Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut dicantumkan ancaman pidana atau ketentuan pidana bagi siapa saja yang melanggar hak-hak anak.
Jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka terhadap pelacuran anak di bawah umur merupakan
bentuk pelanggaran terhadap hak-hak asasi anak tersebut. Oleh sebab itu, maka di dalam penelitian ini meneliti ketentuan ancaman
pidana yang telah digariskan di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Mengenai ancaman pidana yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini terdapat pada Pasal 77
sampai dengan Pasal 90. Akan tetapi tidak semua pasal-pasal mengenai ketentuan pidana ini menjadi landasan untuk membahas pelacuran anak, tentu saja dilakukan
pemilihan terhadap beberapa pasal tertentu yang berhubungan dengan pelacuran anak, pengekangan hak anak, perdagangan anak, kekerasan terhadap anak, dan
Universitas Sumatera Utara
lain-lain. Pemilihan pasal-pasal tertentu pada ketentuan pidana tersebut dilakukan karena menurut peneliti pasal-pasal tersebut memiliki hubungan yang erat dan di
dalam prakteknya sering diterapkan di pengadilan. Adapun pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 77 dinyatakan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan: a.
Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi
sosialnya; atau b.
Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,
c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun danatau
denda paling banyak Rp.100.000.000,00 seratus juta rupiah. Pada Pasal 77 ini tersirat bahwa jika dihubungan dengan perbuatan
pelacuran anak di bawah umur dalam bentuk pemaksaan atau bahkan jebakan, dapat dimungkinkan terjadi penelantaran terhadap anak Pasal 77 huruf b
sehingga anak terdiskriminasi dari pergaulan sosialnya, sehubungan dengan itu, maka ketentuan pidananya telah ditetapkan pidana penjara paling lama 5 lima
tahun dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 seratus juta rupiah. Pasal 78
Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan
hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi danatau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi
Universitas Sumatera Utara
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya napza, anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban
kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 lima tahun danatau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 seratus juta rupiah.
Terdapat kalimat di dalam Pasal 78 ini yakni ”anak yang tereksploitasi secara ekonomi danatau seksual, anak yang diperdagangkan”. Ini merupakan
salah satu bentuk pelanggaran hak anak berhubungan dengan pelacuran anak melalui perdagangan anak. Menurut Pasal 78 ini dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 lima tahun danatau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 seratus juta rupiah.
Pasal 80 1
Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 tiga tahun 6 enam bulan danatau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 tujuh puluh dua juta rupiah.
2 Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 luka berat, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun danatau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 seratus juta rupiah.
3 Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 mati, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun danatau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 dua ratus juta rupiah.
Universitas Sumatera Utara
4 Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Perbuatan pelacuran yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak di bawah umur tersebut bisa saja berbarengan dengan tindakan kekerasan melalui
pemaksaan anak agar mau melakukan hubungan seks dengan orang dewasa tertentu, atau bahkan dipaksa oleh orang-orang yang berada di sekitarnya seperti
ayah kandungnya, abangnya, pamannya dan lain-lain. Tidak jarang dijumpai bahwa wanita yang terlibat ke dalam pelacuran diri karena keinginan dirinya
sendiri juga banyak mengalami tindak kekerasan pada saat melakukan hubungan seks bahkan sampai pada pemukulan terhadap wanita pelacur. Jika hal tersebut
dilakukan terhadap pelacurnya anak yang di abwah umur, ini merupakan sesuatu yang sangat disesalkan dan bertentangan dengan hukum perlindungan anak.
Sehubungan dengan kekerasan dan paksaan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan tersebut ditentukan ancaman sanksinya dalam Pasal 81 yakni
sebagai berikut: 1
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan paling singkat 3 tiga tahun dan denda paling banyak
Rp.300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 enam puluh juta rupiah.
Universitas Sumatera Utara
2 Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain. Jika ditelaah mengenai ancaman pidana dan denda yang tersirat dalam
Pasal 81 mengenai pemaksaan pelacuran terhadap anak melalui pemaksaan untuk melakukan persetubuhan, terlihat sesuatu perbedaan yang jelas dengan sanksi
pidana dan denda yang ada pada pasal-pasal lainnya. Diskriminasi hak dan penelantaran anak seperti pada Pasal 77 ancaman pidana penjara 5 lima tahun
lebih tinggi sedikit dari ancaman pidana penjara pelacuran anak melakukan persetubuhan dengan orang dewasa dalam Pasal 81 akan tetapi denda dalam Pasal
81 ditentukan interval atau kisaran antara Rp.60.000.000,00 enam puluh juta rupiah sampai Rp.300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah. Hal ini membuka
peluang penjatuhan sanksi denda melalui kong kali kong antara sesama aparatur hukum untuk memutuskan perkara pelacuran anak. Sementara jika diteliti lebih
jauh aspek psikologis anak yang telah dipaksa melakukan persetubuhan dengan orang dewasa baik melalui perdagangan anak atau tidak sangat berpengaruh
terhadap perkembangan jiwa anak tersebut pada masa depannya. Di sinilah terdapatnya diskriminasi perlindungan anak itu masih sangat jauh dari harapan
kita bersama karena Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak masih berat sebelah mengatur hak-hak anak yakni masih memihak terhadap
sanksi yang ringan bagi pelaku yang melacurkan anak atau orang yang berbuat cabul terhadap anak tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Mungkin saja hal ini disebabkan karena di dalam KUH Pidana sendiri tidak diterlalu tegas ditentukan bagi pelaku yang melacurkan anak di abwah umur
sehingga berakibat terhadap undang-undang yang berada di bawah KUH Pidana seperti Undang-Undang Nomo 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak masih
sangat lemah pengaturannya. Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan paling
singkat 3 tiga tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 enam puluh juta rupiah.
Pasal 83 Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk
diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan paling singkat 3 tiga tahun dan denda paling banyak
Rp.300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 enam puluh juta rupiah.
Dalam Pasal 83 ini jelas disebutkan perdagangan anak dimana perdagangan anak bisa saja bertujuan untuk pelacuran anak di luar wilayah atau di
dalam wilayah itu sendiri. Sebagaimana diketahui jika melalui suatu perdagangan notabene yang diperdagangkan itu adalah manusia anak dibawah umur, secara
otomatis pembeli anak tersebut akan bisa bertindak sewenang-wenang terhadap
Universitas Sumatera Utara
anak karena sudah merasa anak tersebut adalah miliknya. Jika anak tersebut dibeli untuk dilacurkan, maka tindak kekerasan, pemukulan akan seiring dan sejalan
diterima si anak tersebut pada saat melakukan hubungan badan dengan laki-laki dewasa. Oleh karena itu, menurut Pasal 83 ini mengancam pelaku dengan
ancaman pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan paling singkat 3 tiga tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah
dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 enam puluh juta rupiah. Pasal 84
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ danatau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun danatau denda paling banyak Rp.200.000.000,00
dua ratus juta rupiah. Pasal 85
1 Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh danatau jaringan
tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun danatau denda paling banyak Rp.300.000.000,00 tiga ratus juta
rupiah. 2
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh danatau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak,
atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan
yang terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
Universitas Sumatera Utara
sepuluh tahun danatau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 dua ratus juta rupiah.
Pasal 88 Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun danatau denda paling banyak
Rp.200.000.000,00 dua ratus juta rupiah. Pada Pasal 88 ini eksploitasi seksual anak untuk kepentingan ekonomi
orang tertentu, jelas ancaman pidananya 10 sepuluh tahun akan tetapi dendanya dikurangi menjadi Rp.200.000.000,00 dua ratus juta rupiah. Di sini juga tidak
mencerminkan asas perlindungan anak sebagi anak bangsa generasi penerus bangsa. Bagaimana bisa anak berkembang dengan baik jika anak tersebut telah
berlanjut mengalami distorsi seperti perbuatan cabul terhadapnya yang tentunya akan mengganggu perkembangan jiwanya sebagai anak bangsa yang akan
memberikan kontribusi pemikiran bagi kemajuan negara Indonesia. Pasal 90
1 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78,
Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka
pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus danatau korporasinya. 2
Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 13 sepertiga pidana
denda masing-masing sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan itu, ada kalanya pelacuran dilakukan dalam bentuk korporasi, maka terhadap siapa yang bertanggung jawab ditentukan dalam Pasal
90 Ayat 1, akan tetapi sanksi pidana penjara tidak ditentukan dalam pasal ini hanya ditentukan mengenai sanksi denda saja yang dijatuhkan kepada pelaku yang
kemudian diperberat dengan menambahnya 13 sepertiga dari sanksi denda yang telah ditentukan dalam pasal-pasal yang terkait sesuai dengan pasal-pasal yang
dilanggar pelaku. Penambahan 13 sepertiga ini diterapkan dan dikenal dalam sisitem pemidanaan yang di anut di Indonesia yang dikenal dengan sistem
pemidanaan relatif. Apabila merujuk kepada substansi di dalam KUH Pidana sebagai lex
generalis, di dalamnya sangat minim dan sederhana sekali kaidah yang berhubungan dengan pelacuran atau prostitusi. Tindak pidana yang berhubungan
dengan masalah pelacuran termuat dalam Pasal 296 KUH Pidana, yakni, “Barang siapa yang pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan
atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain dihukum penjara selama- lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000,-”.
Kemudian Pasal 297 KUHP, yaitu, “Memperniagakan perempuan dan memperniagakan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya
enam tahun”. Pasal ini gunanya untuk memberantas orang-orang yang mengadakan
bordir-bordir atau tempat-tempat pelacuran yang banyak terdapat di kota-kota besar. Bukan terhadap pelacurnya. Agar pelaku dapat dihukum harus dibuktikan,
bahwa perbuatan itu menjadi pencahariannya atau kebiasaannya yang lebih dari
Universitas Sumatera Utara
satu kali. Perbuatan cabul” Pasal 289 KUHP maksudnya adalah persetubuhan. Yang dikenakan dalam pasal ini misalnya orang yang menyediakan rumah atau
kamarnya dengan pembayaran atau lebih dari satu kali kepada perempuan atau laki-laki untuk melacur bersetubuh atau melampiaskan hawa nafsu kelaminnya
dengan jalan lain di situ. Biasanya untuk itu disediakan tempat tidur. Orang yang menyewakan rumah kepada orang perempuan yang kebetulan seorang pelacur dan
tidak berhubungan dengan dia melakukan pelacuran di rumah itu; tidak dapat dikenakan pasal ini, oleh karena itu tidak ada maksud sama sekali untuk
mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul, niatnya hanya menyewakan rumah.
Dalam Pasal 506 KUHP mengatur mengenai, “Barang siapa sebagai mucikari souteneur mengambil untung dari pelacuran perempuan, dihukum
kurungan selama-lamanya tiga bulan”. Memperhatikan Pasal 296, 297, 506 KUHP tersebut yang dapat dijumpai
dalam KUH Pidana yang berhubungan dengan pelacuran dan prostitusi, ternyata mengenai si pelacurnya sendiri tidak secara tegas diancam oleh hukum pidana.
Hal ini dimungkinkan bahwa pembuat undang-undang memahami pelacur sebagian besar justru adalah sebagai korban situasi, dan tempat penyaluran seks.
Menghadapi kenyataan kehidupan manusia dan sifat-sifat alami, terutama kondisi seksual biologisnya. Ditunjau dari segi hukum, maka sekalipun terhadap germo,
mucikari dan pedagang wanita telah tegas-tegas diancam dengan ancaman pidana, tetapi kenyataannya germo masih praktek terus, berarti hukum pidana kita juga
dihadapkan pada dilema yang sama dalam kasus prostitusi secara universal.
Universitas Sumatera Utara
Artinya hukum tetap mengancam germo, praktek berjalan terus ditambah lagi dengan pelacur-pelacur yang praktek sendiri tanpa germo. Bahkan korbannya
anak di bawah umur juga ikut terjerumus hal ini disebabkan karena kurang tegasnya aparatur hukum khususnya kepolisian dalam menangani masalah
pelacuran ini. Tindakan represif yang mewujudkan pelaksanaan kaidah hukum pidana
sesuai sanksi yang diancamkan, penerapan hukum pidana dalam mengatasi masalah pelacuran secara represif hasilnya relatif kecil dan suatu kepastian hukum
yang berlaku tidak mampu ditegakkan sesuai rumusannya, seperti halnya yang terdapat di dalam Pasal 506 KUHP yang merumuskan bahwa, “Seseorang yang
terbukti menjalankan kegiatan mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan”.
Tindak pidana yang diancamkan Pasal 506 KUHP termasuk tindak pidana ringan, adapun pemeriksaan acara ringan, undang-undang tidak menjelaskan, akan
tetapi undang-undang menentukan patokan dari segi “ancaman pidananya”. Untuk menentukan apakah suatu tindak pidana diperiksa dengan acara ringan, bertitik
tolak pada ancaman tindak pidana yang didakwakan. Secara generalisasi, ancaman tindak pidana yang menjadi ukuran dalam acara pemeriksaan tindak pidana
ringan, diatur dalam Pasal 205 Ayat 1 KUHAP, yakni: 1.
Tindak pidana yang ancamannya “paling lama 3 bulan” penjara atau kurungan;
2. Denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,00; dan
3. Penghinaan ringan yang dirumuskan dalam Pasal 315 KUHP.
Universitas Sumatera Utara
Fenomena yang terjadi di dalam masyarakat mengenai pelacuran yang dilakukan
Dalam KUH Pidana tidak dijumpai satu pasal pun mengenai perbuatan pelacuran anak akan tetapi yang ada adalah pasal yang mengenai perbuatan cabul
dan tidak jelas apakah anak-anak atau dewasa. Oleh karena KUH Pidana tidak secara tegas dan jelas mengatur mengenai sanksi pidana yang diancamkan
terhadap pelaku pelacuran anak-anak di bawah umur ini, maka harus berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
sebagai lex spesialist. Undang-undang yang khusus dapat mengenyampingkan undang-undang yang lebih umum, ini dikenal dalam sistem pidana di Indonesia
yang lebih lengkapnya dikenal dengan lex spesialist derogat lex generalist.
71
B. Peneraan Beberapa Undang-Undang Mengenai Perlunya Anak Dilindungi Dari Pelacuran