BAB II TINJAUAN TENTANG PELACURAN DAN ANAK DI BAWAH UMUR
A. Pelacuran
Berbicara mengenai pelacuran, sama saja mengingat kembali ke masa yang paling dahulu di bumi persada ini, masalah lama tetapi terasa tetap baru
untuk dibicarakan dan dibahas, sulit menentukan kapan munculnya pelacuran karena pelacuran telah menjadi penyakit masyarakat yang terus ada dan belum
bisa dihilangkan sampai saat ini. Pondasi pelacuran modern di Indonesia dibangun pada zaman Kerajaan Mataram. Tradisi penyerahan perempuan sebagai upeti
diteruskan dengan perdagangan wanita dan menemukan bentuknya yang mutakhir didorong faktor-faktor ekonomi dan kurangnya nilai-nilai agama.
41
Ketika gaya hidup berubah, mobilitas penduduk mudah, pendapatan masyarakat membaik, industri seks makin rumit jenisnya. Selain pelacur klasik
yang beroperasi di jalanan dan rumah-rumah untuk “call girls” alias gadis Seperti perdagangan yang lain, pelacuran lahir oleh adanya penawaran dan
permintaan. Ketika Belanda datang ke pesisir Jawa, sekitar awal abad ke-17 Masehi, muncul aktivitas pelayanan seksual untuk serdadu, pedagang, dan utusan
VOC di sekitar pelabuhan namun, pilihan wanita bagi pria Eropa itu masih terbatas. Mereka hanya bisa mengambil anak-anak perempuan pribumi yang
dijual keluarganya dan pemanfaatan seks wanita ini dilakukan secara sembunyi- sembunyi. Umpamanya, perempuan itu hanya diakui sebagai pembantu, padahal
digauli.
41
Manida Naebklang., Op. cit, hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
panggilan, ada kelompok wanita yang disebut “perek” perempuan eksperimen, dan paling mutakhir disebut “ABG” Anak Baru Gede atau ”remaja komersial”
yang mencari mangsa di diskotek, bioskop, dan mall. Tetapi remaja yang ”bisa dipakai” ini tidak selalu bisa dikategorikan sebagai ”pekerja” seks. Sebab ada
yang motifnya bukan uang, cuma sekadar bersenang-senang. Perempuan usia muda tergolong anak-anak terjerumus ke dalam dunia pelacuran dengan tuntutan
dari dirinya sendiri dan ekonomi, selain itu juga karena dipaksa atau dijebak oleh orang lain sehingga para korban yakni anak yang belummatang cara berfikirnya,
akhirnya memutuskan ”sekali mandi harus basah”. Inilah penyebab munculnya dunia pelacuran baik secara umum maupun khusus anak sebagai korbannya.
Penulis di sini membahas mengenai pelacuran secara umum dan pelacuran yang terjadi pada anak secara khusus. Pelacuran sering disebut sebagai prostitusi
dari bahasa latin pro-stituere atau pro-stauree artinya membiarkan sendiri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan, dan pergendakan.
42
Sementara Bonger mengatakan pelacuran atau prostitusi adalah gejala kemasyarakatan
dengan wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian.
43
Sedangkan P.J. de Bruine van Amstel menyatakan, prostitusi adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan banyak
pembayaran.
44
42
Kartini Kartono I., Op. cit, hal. 203.
43
Ibid.
44
Kartini Kartono I., Op. cit, hal. 209.
Selain itu,Iwan Bloch berpendapat, pelacuran adalah suatu bentuk perhubungan kelamin di luar pernikahan dengan pola tertentu, yakni kepada siapa
pun secara terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran baik untuk
Universitas Sumatera Utara
persebadanan, maupun kegiatan seks lainnya yang memberi kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan
45
Kata pelacuran identik dengan kata asing prostitusi yang berasal dari bahasa latin tersebut diartikan sebagai perilaku yang terang-terangan
menyerahkan diri pada perzinahan. Kalimat “Prostitusi” atau dalam bahasa Indonesia disebut Pelacur menurut arti harafiah dari kamus yang penulis rangkum
adalah, “suatu perbuatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh seorang wanita yang menjajakan dirinya untuk menjadi pemuas hawa nafsu laki-laki yang
membutuhkannya dengan mendapat upah. .
46
Lebih jauh Helen mengemukakan, persis seorang laki-laki yang mendapat penghasilannya dengan menjual tenaganya
sendiri, demikian pula seorang wanita memperoleh penghasilannya dengan jalan menjual dirinya sendiri dalam kedudukan ekonominya yang sulit.
47
Prostitusi atau pelacuran adalah suatu perbuatan seorang wanita memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk memperoleh
bayaran dari laki-laki yang datang dan wanita tersebut tidak ada pencaharian lainnya kecuali yang diperolehnya dari perhubungan sebentar-sebentar dengan
banyak orang.
48
Sedangkan Paul Moedikdo Moeliono, mengatakan pelacuran adalah penyerahan badan wanita dengan menerima bayaran kepada orang banyak
guna pemuasan nafsu seksual orang-orang itu.
49
Menurut Tjahjo, para pelacur umumnya berasal dari pedesaan. Dengan alasan-alasan bervariasi mereka terbujuk ke dalam lembah yang hitam bagi mata
45
D. Soejono., Loc. cit, hal. 17.
46
Ibid.
47
Tjahjo Purnomo., dan Ashadi Siregar., Op. cit, hal. 9.
48
D. Soejono., Op. cit, hal. 18.
49
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
orang yang baik-baik. Berada di bawah kekuasaan germo atau mucikari, meraka tidak lebih seperti perempuan dalam pasungan. Pasungan dalam arti diikat oleh
menumpuknya utang yang sengaja disodorkan germo guna membelenggu mereka agar tidak bisa menghilang dari bordilnya. Sebab, kalau hal itu terjadi, berarti
suatu kerugian ekonomis bagi sang germo, lebih-lebih apabila pelacur tersebut primadona atau kembang atau pelacur yang paling cantik dan banyak
pelanggannya.
50
Pelacuran anak di bawah umur merupakan bagian dari kenakalan remaja. Konsep usia remaja jika dipandang dari sisi hukum positif dipersamakan dengan
usia anak-anak, karena hukum positif di Indonesia tidak mengenal istilah ”remaja” akan tetapi mengenal istilah usia anak-anak dan dewasa.
Pelacuran yang terjadi pada anak juga tidak jauh dari sebagaimana halnya pelacuran pada orang dewasa. Cuma saja perbedaannya adalah anak-
anakperempuan tersebut masih di bawah umur tentunya tidak legal dan sangat terlarang. Sedangkan pasar sangat membutuhkan dan diminati jika wanita yang
diajak teman kencannya itu adalah masih di bawah umur. Hal ini jarang diketahui olah publik betapa bahayanya melacurkan diri anak yang masih di bawah umur.
51
Istilah remaja dalam penelitian ini dipersamakan dengan anak di bawah umur secara baku dalam konsep psikologi adalah juvenile delinguency yang
secara etimologis dijabarkan bahwa juvenile berarti anak sedangkan delinguency berarti kejahatan. Dengan demikian pengertian secara etimologis adalah kejahatan
50
Tjahjo Purnomo., dan Ashadi Siregar., Op. cit, hal. 13.
51
Sudarsono., Loc. cit, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
anak. Jika menyangkut subjekpelakunya, maka menjadi juvenile delinguency yang berarti penjahatan anak atau anak jahat.
52
Sehubungan dengan itu, B. Simanjuntak, memaparkan mengenai juvenile delinguency dihubungkannya dengan norma, beliau menyatakan, ”Suatu
perbuatan itu disebut delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup, atau suatu
perbuatan yang ati sosial dimana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.
53
Terhadap konsep juvenile delinguency sebagai kejahatan anak, mengalami kontroversi pemahaman karena jika konsep ini diterapkan kepada anak-anak
nakal, maka akan berakibat negatif secara psikologis bagi anak yang menjadi Pernyataan B. Simanjuntak tersebut di atas, jika dihubungkan dengan
perbuatan pelacuran anak, maka jelas pelacuran anak tersebut sebagai kejahatan bagi si germo atau orang yang melacurkan anak tersebut. Akan tetapi jika ditinjau
dari sisi si anak sendiri yang melancurkan diri karena faktor tertentu misalnya faktor ekonomi dalam keluarga atas kemauannya sendiri itu, anak tersebut tidak
bisa dikatakan kejahatan anak hanya saja bertentangan dengan nilai-dan norma. Jadi, tidaklah selamanya suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai dan
norma dapat dihukum atau dipidana. Maka, terhadap si anak dalam hal ini harus direhabilitasi, buka n dipidana.
52
Ibid., hal. 10.
53
B. Simanjuntak., Pengantar Kriminologi dan Sosiologi, Jakarta: Aksara Baru, 1984, hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
pelakunya, apalagi sebutan tersebut secara langsung menjadi trade mark. Oleh karena itu, istilah kejahatan delingunecy diartikan menjadi kenakalan.
54
B. Anak Di Bawah Umur