Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pengertian Tindak Pidana

m. Berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum, penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir Pasal 16. n. Berhak untuk, mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan Pasal 17. o. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya Pasal 18.

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Pasal 1 Ayat 2 dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun dan belum pernah kawin. Anak yang belum mencapai umur 21 tahun dinyatakan dalam undang-undang ini harus mendapatkan perlindungan hak-haknya melalui pengusahaan kesejahteraan anak tersebut. Kesejahteraan Anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik Universitas Sumatera Utara secara rohani, jasmani maupun sosial Pasal 1 huruf a. Usaha Kesejahteraan anak ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Hak-hak anak yang ditentukan dalam undang-undang ini harus dilindungi. Hak-hak anak tersebut ditentukan dalam Pasal 2 yakni: 1 Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. 2 Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna. 3 Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. 4 Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tetang Hak Asasi Manusia.

Sebenarnya anak masih mempunyai jiwa labil dan rentan, oleh sebab itu sangat wajar ada ketentuan yang mengatur tentang perlindungan anak yang sesuai dengan konsep dasar Hak Asasi Manusia sebagaimana tercantum dalam Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini merupakan perwujudan untuk melindungi hak-hak anak dan juga peraturan lain yang berhubungan dengan hak anak. Universitas Sumatera Utara Perlindungan hak asasi anak adalah meletakkan hak anak ke dalam status sosial anak dalam kehidupan masyarakat, sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan anak yang mengalami masalah sosial. Perlindungan dapat diberikan pada hak-hak dalam berbagai cara. Proses perlindungan anak dimaksud disebut dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 terdapat pada Pasal 52 sampai dengan Pasal Pasal 66 dinyatakan beberapa hak-hak anak yang harus dilindungi oleh setiap orang. Hak-hak anak tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 52 1 Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. 2 Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Pasal 53 1 Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. 2 Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan. Pasal 54 Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Universitas Sumatera Utara Pasal 55 Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali. Pasal 56 1 Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuannya sendiri. 2 Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 57 1 Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua tua atau walinya sampai dewasa dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2 Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua. 3 Orang tua angkat attau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya. Pasal 58 Universitas Sumatera Utara 1 Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atai pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuh anak tersebut. 2 Dalam hal oorang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman. Pasal 59 1 Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alas an dan atauran yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak. 2 Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang. Pasal 60 1 Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya. Universitas Sumatera Utara 2 Setiap anak berhak mencari, menerima, dam memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepattutan. Pasal 61 Setiap anak berhak untuk istirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya. Pasal 62 Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan social secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mentak spiritualnya. Pasal 63 Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristwa lain yang mengandung unsur kekerasan. Pasal 64 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membehayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya. Pasal 65 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotopika, dan zat adiktif lainnya. Universitas Sumatera Utara Pasal 66 1 Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. 2 Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak. 3 Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum. 4 Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang belaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir. 5 Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya. 6 Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. 7 Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum. Sehubungan dengan penelitian ini mengenai pelacuran anak di bawah umur yang menjadi korban terdapat pada Pasal 65 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa kegiatan eksploitasi dan Universitas Sumatera Utara pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotopika, dan zat adiktif lainnya. Selain itu masih banyak hak-hak anak yang harus dilindungi. Secara otomatis dalam setiap kasus pelacuran anak melalui paksaan, maka banyak sekali hak-hak anak yang telah dilanggar jika dihubungkan dnegan beberapa pasal-pasal yang tersebut di atas seperti pengekangan atas kemerdekaannya, pendidikan, nama baik anak, masa depannya dan lain-lain. Oleh karena itu, terhadap setiap pelanggaran hak-hak anak yang dilakukan oleh orang-orang tertentu mesti harus dilindungi melalui penegakan hukum dengan mempertimbangkan terlebih-lebih kepada anak sebagai korban.

C. Penegakan Hukum Yang Dilakukan Oleh Kepolisian Republik Indonesia Terhadap Pelacuran Anak

Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi. 74 74 Sunarto., “Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Kepolisian Dalam Pantauan Komunitas Pers Di Indonesia”, Makalah ini disampaikan pada kegiatan Seminar Nasional “Optimalisasi Profesionalisme Anggota POLRI dalam Rangka Reformasi Birokrasi Kepolisian” yang diselenggarakan oleh Kepolisian Daerah Jawa tengah bekerjasama dengan Fakultas Hukum Undiversitas Diponegoro pada Rabu, 16 Desember 2009, hal. 3. Bertempat di Ruang Rama Shinta Hotel Patra Jalan Sisingamangaraja Semarang. Alamat korespondensi sunartooyahoo.com. Sunarto adalah adalah dosen Program Magister Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Demikian dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Fungsi kepolisian merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat Pasal 2. Kepolisian bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya Universitas Sumatera Utara keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia Pasal 4. Fungsi dan tujuan kepolisian semacam itu kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam tugas pokok kepolisian yang meliputi: 1 memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2 menegakkan hukum; dan 3 memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat Pasal 13. Dalam melaksanakan tugas pokoknya tersebut, Pasal 14 menyatakan, kepolisian bertugas untuk: a melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan; c membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang- undangan lainnya; h menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; i melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat Universitas Sumatera Utara dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban danatau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi danatau pihak yang berwenang; k memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; l melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Selanjutnya Pasal 15 menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugasnya tersebut kepolisian berwenang untuk: a menerima laporan danatau pengaduan; b membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; c mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; e mengeluarkan peraturan kepolisian dalm lingkup kewenangan administratif kepolisian; f melaksakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i mencari keterangan dan barang bukti; j menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k mengeluarkan surat izin danatau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. Universitas Sumatera Utara Semua wewenang di atas masih ditambahkan beberapa wewenang lainnya, antara lain: a memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; b menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; d menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; e memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam; f memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan; g memberikan petunjuk, mendidik dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; h melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional; i melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; j mewakili pemerintah RI dalam organisasi kepolisian internasional; k melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian. Dalam rangka menjalankan tugasnya, kepolisian masih diberikan wewenang lain, yaitu: a melakukan penangkapan, penahanan, penggeledehan dan penyitaan; b melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g mendatangkan orang ahli yang Universitas Sumatera Utara diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h mengadakan penghentian penyidikan; i menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j mengajukan permintaan secara langsung kepada imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; l mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Ketentuan terkait “tindakan lain” tersebut menyatakan: a tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; e menghormati hak asasi manusia. Terkait dengan pejabat kepolisian, Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan, untuk kepentingan umum pejabat kepolisian negara RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri Ayat 1. Pelaksanaan ayat ini hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi kepolisian negara Ayat 2. Selanjutnya dikatakan dalam Pasal 19, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat kepolisian senantiasa bertindak berdasarkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia Ayat 1. Universitas Sumatera Utara Demikianlah antara lain cakupan 3 tiga macam tugas pokok dan fungsi kepolisian yang dijabarkan lebih lanjut dalam 12 macam tugas dengan dibekali sebanyak 36 wewenang untuk melaksanakan semua tugas tersebut. Wewenang sebanyak itu masih juga diberi “kewenangan lain” Pasal 15 Ayat 2 poin k yang masih dalam lingkup tugas kepolisian. Dalam penjelasan masing-masing pasal ketentuan tersebut dikatakan “Cukup jelas”. Persoalan dalam penelitian ini, untuk menjawab permasalahan pokok terkait dengan tugas kepolisian berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penegakan hukum terhadap pelacuran. Pelacuran yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah pelacuran terhadap anak di bawah umur yang melanggar hak-hak anak sebagaimana yang telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kepolisian Republik Indonesia POLRI sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana merupakan ujung tombak di lapangan dalam penegakkan hukum peraturan perundang-undangan, bahkan banyak masyarakat yang beranggapan bahwa POLRI adalah hukum yang hidup dan orang awam pun bila ditanya hukum akan dijawab POLRI, karena POLRI yang selalu melakukan teguran, menilang dan tindakan upaya paksa bagi setiap warga dan masyarakat yang melakukan pelanggaran hukum. Berfungsinya hukum di lapangan sangat ditentukan oleh POLRI dalam mengadakan rekayasa sosial, bahkan ada seorang pakar mengatakan setiap ada undang-undang baru, hampir dapat dipastikan bahwa Universitas Sumatera Utara pekerjaan polisi akan bertambah. Seorang hakim baru bekerja apabila ada perkara yang diajukan kepadanya, tetapi polisi sudah harus bertindak begitu ada undang- undang dikeluarkan dan dinyatakan berlaku. 75 Menurut Mardjono Reksodiputro dan Sri Boediarti, bahwa tugas kepolisian yang banyak adalah menangani kejahatan konvensional. Kejahatan konvensional juga disebut sebagai kejahatan yang tradisional, karena landasan terdapat dalam KUH Pidana, dan dilakukan dengan cara biasa. Welfare Crimes pada dasarnya merupakan konvensional crimes, tetapi crimes tersebut meningkat karena adanya kemakmuran masyarakat. Dengan semakin makmurnya masyarakat, maka kejahatan semakin sulit dalam pengawasan dan penindakannya, karena memerlukan keterpaduan fungsi dan political will pemerintah. Kejahatan akibat kemakmuran ini adalah penyalahgunaan Narkotika dan obat-obatan keras, kanakalan dan kejahatan anak, perjudian, pelacuran dan pemabukan. 76 Pasal 1 ayat1 KUHP ini merupakan perundang-undangan modern yang menuntut, bahwa ketentuan pidana harus ditetapkan dalam undang-undang yang sah, yang berarti bahwa larangan-larangan menurut adat tidak berlaku untuk POLRI sebagai salah satu aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, dalam melaksanakan tugasnya selalu berpatokan pada hukum yang berlaku. Hal ini sesuai dengan asas yang terdapat di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP, yaitu Asas Legalitas yang berbunyi, “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”. 75 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Jakarta: Bina Cipta dan Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1983, hal. 32. 76 Ibid, hal. 24. Universitas Sumatera Utara menghukum orang. Selanjutnya menuntut pula, bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang tidak dapat dikenakan kepada perbuatan yang telah dilakukan sebelum ketentuan pidana dalam undang-undang itu diadakan. Ini berarti, bahwa undang-undang tidak mungkin berlaku surut mundur. “Nullum delictum sine praevia lege poenali”, artinya “peristiwa pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu”. 77 Mengenai rumusan pasal tersebut R. Soesilo memberi komentar demikian: Apabila kepolisian hanya terpaku pada asas legalitas formal, maka pelacuran tidak dapat tersentuh oleh hukum pidana sebagai sarana penal dalam penanggulangan kejahatan, karena apabila merujuk kepada substansi di dalam KUH Pidana, di dalamnya sangat minim dan sederhana sekali kaidah yang berhubungan dengan pelacuran atau prostitusi. Tindak pidana yang berhubungan dengan masalah pelacuran termuat dalam Pasal 296 KUH Pidana, yakni, “Barang siapa yang pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain dihukum penjara selama- lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000,-”. Kemudian pasal yang berkaitan dengan Pasal 296 KUH Pidana adalah Pasal 297 KUHP, yaitu, “Memperniagakan perempuan dan memperniagakan laki- laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun.” 78 1. Pasal ini gunanya untuk memberantas orang-orang yang mengadakan bordir-bordir atau tempat-tempat pelacuran yang banyak terdapat di kota- kota besar. 77 Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hal. 23. 78 R. Soesilo., Loc. cit, hal. 217. Universitas Sumatera Utara 2. Supaya dapat dihukum harus dibuktikan, bahwa perbuatan itu menjadi pencahariannya dengan pembayaran atau kebiasaannya lebih dari satu kali. 3. Tentang “Perbuatan Cabul” Pasal 289 KUHP, disini termasuk persetubuhan. 4. Yang dikenakan dalam pasal ini misalnya orang yang menyediakan rumah atau kamarnya dengan pembayaran atau lebih dari satu kali kepada perempuan atau laki-laki untuk melacur bersetubuh atau melampiaskan hawa nafsu kelaminnya dengan jalan lain disitu. Biasanya untuk itu disediakan tempat tidur. Orang yang menyewakan rumah kepada orang perempuan yang kebetulan seorang pelacur dan tidak berhubungan dengan dia melakukan pelacuran di rumah itu; tidak dapat dikenakan pasal ini, oleh karena itu tidak ada maksud sama sekali untuk mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul, niatnya hanya menyewakan rumah. 5. Bandingkan dengan Pasal 506 KUHP. Dalam Pasal 506 KUHP mengatur mengenai, “Barang siapa sebagai mucikari souteneur mengambil untung dari pelacuran perempuan, dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan”. Memperhatikan Pasal 296, 297, 506 KUHP tersebut yang dapat dijumpai dalam KUH Pidana yang berhubungan dengan pelacuran dan prostitusi, ternyata mengenai si pelacurnya sendiri tidak secara tegas diancam oleh hukum pidana. Hal ini dimungkinkan bahwa pembuat undang-undang memahami pelacur sebagian besar justru adalah sebagai korban situasi, dan tempat penyaluran seks. Menghadapi kenyataan kehidupan manusia dan sifat-sifat alami, terutama kondisi seksual biologisnya. Ditunjau dari segi hukum, maka sekalipun terhadap germo, mucikari dan pedagang wanita telah tegas-tegas diancam dengan ancaman pidana, tetapi kenyataannya germo masih praktek terus, berarti hukum pidana kita juga dihadapkan pada dilema yang sama dalam kasus prostitusi secara universal. Artinya hukum tetap mengancam germo, praktek berjalan terus ditambah lagi dengan pelacur-pelacur yang praktek sendiri tanpa germo. Bahkan korbannya anak di bawah umur juga ikut terjerumus hal ini disebabkan karena kurang Universitas Sumatera Utara tegasnya aparatur hukum khususnya kepolisian dalam menangani masalah pelacuran ini. Tindakan represif yang mewujudkan pelaksanaan kaidah hukum pidana sesuai sanksi yang diancamkan, penerapan hukum pidana dalam mengatasi masalah pelacuran secara represif hasilnya relatif kecil dan suatu kepastian hukum yang berlaku tidak mampu ditegakkan sesuai rumusannya, seperti halnya yang terdapat di dalam Pasal 506 KUHP yang merumuskan bahwa, “Seseorang yang terbukti menjalankan kegiatan mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan”. Tindak pidana yang diancamkan Pasal 506 KUHP termasuk tindak pidana ringan, adapun pemeriksaan acara ringan, undang-undang tidak menjelaskan, akan tetapi undang-undang menentukan patokan dari segi “ancaman pidananya”. Untuk menentukan apakah suatu tindak pidana diperiksa dengan acara ringan, bertitik tolak pada ancaman tindak pidana yang didakwakan. Secara generalisasi, ancaman tindak pidana yang menjadi ukuran dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan, diatur dalam Pasal 205 Ayat 1 KUHAP, yakni: 1. Tindak pidana yang ancamannya “paling lama 3 bulan” penjara atau kurungan; 2. Denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,00; dan 3. Penghinaan ringan yang dirumuskan dalam Pasal 315 KUHP. Fenomena yang terjadi di dalam masyarakat mengenai pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur, khususnya di Kecamatan Medan Baru, Kepolisian Negara Republik Indonesia Polsekta Medan Baru yang membawahi Universitas Sumatera Utara wilayah tersebut mempunyai tugas seperti yang telah dipaparkan di atas untuk menegakkan hukum dalam wilayah hukum tersebut, namun untuk masalah pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur, Kapolsek Medan Baru menyatakan bahwa dalam mencegah dan menangani pelacuran khususnya pelacuran yang dilakukan oleh anak dibawah umur oleh kepolisian medan baru melakukan ”Razia Kasih Sayang”. 79 Polsekta Medan Baru pun ternyata dihadapkan pada kesulitan dalam upaya penegakkan hukum untuk menghadapi masalah pelacuran ini, karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUH Pidana yang sekarang berlaku tidak ada pengaturan mengenai pelaku pelacuran itu sendiri, sehingga apabila dikaitkan kepada pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur, maka harus merujuk kepada induk dari tindak pidana yakni di dalam KUH Pidana. Sedangkan KUH Pidana sendiri tidak mencantumkan pelaku pelacuran atau kegiatan melacurkan diri sebagai suatu tindak pidana, maka pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur tidak dapat di katakan pula sebagai suatu tindak pidana. Masalah pelacuran khususnya yang dilakukan oleh anak di bawah umur ini memang sulit Penegakkan hukum yang dilakukan oleh kepolisian terhadap pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur yaitu dalam upaya menjaga ketertiban di wilayah kota Medan khususnya wilayah Kecamatan Medan Baru terhadap para pelacur yang biasa berkeliaran di jalan- jalan umum seperti jalan Iskandar Muda, Jalan Nibung Raya, Jalan Gatot Subroto, Jalan Gajah Mada, dan lain-lain. 79 Wawancara dengan Kanit Patroli Polsekta Medan Baru tanggal 12 Februari 2010. Universitas Sumatera Utara sekali untuk ditangani tidak seperti kejahatan konvensional seperti pencurian, pembunuhan dan lain-lain. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 angka 2 Anak Nakal adalah: a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut tidak dapat menjangkau masalah pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur, karena dalam pengertian mengenai anak nakal yang pertama, yaitu anak yang melakukan tindak pidana, maka anak di bawah umur yang melacurkan diri tidak dapat dikatakan sebagai anak nakal, karena di dalam KUH Pidana tidak ada aturan mengenai tindak pidana pelacuran. Kemudian dalam pengertian yang kedua yang dimaksud dengan anak nakal adalah anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undagan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Pengertian yang kedua pun tidak dapat menjangkau anak yang melacurkan dirinya sendiri karena ketentuannya kurang jelas. Sampai saat ini tidak ada peraturan perundang-undangan yang merumuskan secara tegas bahwa melacurkan diri khususnya bagi anak itu dilarang, yang ada hanya mengenai perlindungan anak secara khusus, yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun Universitas Sumatera Utara 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 1 angka 15 undang-undang tersebut menyatakan, bahwa perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi danatau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya napza, anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan, baik fisik danatau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Dalam Undang-Undang Perlidungan Anak terdapat rumusan mengenai, “Anak yang dieksploitasi secara ekonomi danatau seksual”, namun uraian tersebut hanya mengacu kepada orang yang melakukan eksploitasi terhadap anak, jadi yang dimaksud sebenarnya adalah anak yang dijadikan korban oleh orang lain yang mengambil keuntungan dari eksploitasi seksual anak tersebut. Uraian yang terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan Anak Pasal 1 angka 2 huruf b, “Maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.” Dalam hal ini terlalu sempit karena berarti hanya masyarakat yang terdapat di dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Misalkan saja lingkungan masyarakat di wilayah prostitusi misalnya di Bendar Baru Berastagi, mereka tidak merasa bahwa melacurkan diri melanggar hukum yang berlaku di dalam masyarakat atau bertentangan dengan kebiasaan masyarakat disana, karena bagi mereka hal tersebut sudah menjadi kebiasaan dan sebagian menjadikannya sebagai mata pencaharian mereka. Universitas Sumatera Utara Penegakkan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap pelacuran yang dilakukan oleh anak dibawah umur di Kecamatan Medan Baru, Kota Medan hanya sebatas menjaga ketertiban dan keamanan di wilayah tersebut, serta penertiban terhadap pelacur yang berusia di bawah umur yang berkeliaran di jalan-jalan ataupun tempat hiburan malam. Selain itu khusus di wilayah Bandar Baru Berastagi yang biasanya terdapat para tamu yang datang untuk berkencan dengan para pelacur yang berusia di bawah umur banyak terdapat di sana, akan tetapi Polisi hanya mempunyai kewajiban untuk menjaga keamanan wilayah tersebut dari berbagai macam gangguan, baik itu berasal dari rumah bordir itu sendiri maupun dari para tamu yang datang. Secara konsepsional inti dan arti penegakkan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penjabaran secara kongkrit terjadi di dalam bentuk kaidah- kaidah, dalam hal ini kaidah-kaidah hukum, yang berisikan suruhan, larangan atau kebolehan. Namun penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti melaksanakan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga “law enforcement” begitu populer. Berarti penegakkan hukum yang dimaksud di sini selain mejalankan peraturan perundang-undangan, juga hukum dalam arti luas yaitu hukum secara materiil. Dilihat sebagai suatu proses kebijakan, penegakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan penegakkan kebijakan melalui beberapa tahap yaitu tahap formulasi, Universitas Sumatera Utara tahap aplikasi dan tahap eksekusi. Kepolisian sebagai salah satu aparat penegak hukum bertindak pada tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Sedangkan penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur di Kecamatan Medan Baru Kota Medan tidak dapat dilaksanakan secara maksimal dalam arti menerapkan hukum terhadap para pelacur yang berusia di bawah umur, sedangkan undang- undang yang mengatur tentang pelacuran khususnya anak di bawah umur tidak ada, walaupun terhadap germo dan para penyalur wanita untuk dijadikan pelacur, terdapat dalam undang-undang KUH Pidana tetap tidak dapat juga diberantas. Ini menunjukkan bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian terhadap pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur tidak dapat berjalan dengan baik. Salah satu usaha penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak Kepolisian terhadap pelacuran anak di bawah umur dalam hal ini Polsekta Medan Baru ialah mendata para pelacur dan melakukan razia-razia razia yang dilakukan itu dinamakan ”Razia Kasih Sayang”. Selain razia yang dilakukan terhadap pelacur yang berusia di bawah umur yaitu di bawah 18 tahun, razia pun dilakukan terhadap mucikari yang menjadi penyedia pelacur, namun razia ini menjadi tidak efektif karena setelah ditangkap oleh Kepolisian kemudian diperiksa dan diadili oleh Pengadilan melalui acara pemeriksaan cepat, lalu mereka kembali lagi ke tempat semula. Selain itu juga sering terjadi kebocoran-kebocoran yang disebabkan oleh oknum yang memberitahukan kepada para pelacur dan Universitas Sumatera Utara mucikarinya apabila akan ada razia sehingga mereka mempersiapkan diri sebelumnya untuk bubar dan memisahkan diri. Dalam upaya penegakan hukum terhadap pelacuran anak di bawah umur Polsekta Medan Baru diawasi oleh Polwiltabes Medan juga dalam melakukan razia-razia ke tempat-tempat hiburan, sekolah-sekolah, dan penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambar-gambar porno, film-film biru blue dan sarana-sarana lain yang dapat merangsang nafsu birahi serta merusak moral. Tindakan represif dalam menangani pelacuran ini dilakukan bersama-sama secara terkoordinasi di antara instansi terkait. Walaupun kadang-kadang secara langsung melakukan razia sendiri karena sifatnya mendadak. Menangani masalah pelacuran memang tiada pernah henti dan sulit sekali ditanggulangi, karena hal ini bukan saja menjadi tanggung jawab Kepolisian saja, tetapi merupakan tanggung jawab bersama khususnya masyarakat sekitar. Kapolsek Medan Baru pun menambahkan banyaknya pelacuran anak di bawah umur dikarenakan faktor ekonomi, sehingga mencari jalan pintas untuk mendapatkan uang secara mudah dan cepat. Selain itu Humas Polsekta Medan Baru menambahkan bahwa sudah menjadi kebudayaan dan kebiasaan yang turun temurun, dan sebagian besar pelacur-pelacur itu berasal dari wilayah di luar kota medan seperti tembung, binjai, deli tua, belawan, dan bahkan dari tanah jawa. Kepolisian mempunyai tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Jadi kepolisian khususnya Polsekta Medan Baru karena mendapat kesulitan dalam menangani masalah Universitas Sumatera Utara pelacuran khususnya pelacuran anak di bawah umur, maka upaya lain yang dapat dilakukan adalah melakukan pengamanan dan menjaga ketertiban di lingkungan tersebut, karena tidak sedikit juga gangguan yang terjadi seperti di wisma-wisma yang ada di Nibung Raya baik dari ulah tamunya sendiri maupun pihak lain yang mengganggu ketertiban dan keamanan lingkungan tersebut. Universitas Sumatera Utara

BAB IV STRATEGI PENANGGULANGAN TERHADAP PELACURAN ANAK DI

BAWAH UMUR OLEH POLSEK MEDAN BARU A. Peran Serta Pemerintah Daerah Dalam Melakukan Langkah-Langkah Penanggulangan Pelacuran Anak Di Bawah Umur Sebagai konsekuensi bahwa dari segi hukum baik hukum perkawinan maupun hukum pidana, tersirat bahwa pelacuran tidak dapat dilenyapkan, yang disebabkan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, khususnya dihadapkan dengan sifat-sifat alami manusia. Hukum tidak mampu secara langsung menindak agar pelacuran dapat dihentikan, di sisi lain pelacuran sebagai gaya sosial dapat menimbulkan berbagai akibat yang membahayakan baik untuk individu yang bersangkutan, keluarga dan akhirnya adalah masyarakat. Menghadapi kenyataan ini Pemerintah Daerah Sumatera Utara Pemdasu mengambil langkah-langkah untuk mengatasi bertambahnya jumlah pelacuran dan mencegah akibat-akibat yang timbul karena pelacuran. Pemerintah Daerah Sumatera Utara dihadapkan pada permasalahan yang bukan hanya pelacuran yang dilakukan oleh orang dewasa saja, melainkan banyaknya timbul pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur, Pemerintah Daerah Kotamadya Medan telah mengeluarkan Peraturan Daerah Perda Nomor 06 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila di Kota Medan. Pada Pasal 1 huruf h dinyatakan bahwa, “Tuna susila adalah seseorang yang melakukan hubungan kelamin tanpa ikatan perkawinan yang sah dengan mendapatkan imbalan jasa financial maupun materil bagi dirinya maupun pihak Universitas Sumatera Utara lain dan perbuatan tersebut bertentangan dengan norma sosial, agama dan kesusilaan termasuk di dalamnya wanita tuna susila, mucikari, gigolo, dan waria tuna susila. Orang-orang tuna susila tersebut memilih sebuah tempat yang strategis dan bukan saja jauh dari keramaian bahkan sudah masuk ke pusat kota Medan. Tempat tersebut dijadikan hanya untuk sementara saja bukan sebagai tempat tinggal para pelacur. Akan tetapi ada juga tempat yang sekaligus sebagai tempat tinggal bagi mucikari dan gigolo seperti yang ada di daerah Berastagi. Tempat yang digunakan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 huruf i bahwa, “Tempat tuna susila adalah tempat yang digunakan untuk melakukan atau menampung perbuatan praktek pelacuran baik yang bersifat tetap maupun besifat sementara.” Selain itu, Pasal 2 Ayat 3 Peraturan Daerah Perda Nomor 06 Tahun 2003 tersebut Pemerintah Daerah berkewajiban menyelenggarakan ketertiban umum dengan menggariskan pengaturan mengenai perbuatan pelacuran yang menggangu norma umum di kota Medan. Selengkapnya berbunyi, ”Dilarang membujuk atau memikat orang lain dengan dengan perkataan-perkataan dan isyarat dan atau dengan perbuatan lainnya dengan maksud mengajak melakukan perbuatan pelacuran di jalan umum dan atau tempat yang diketahuidikunjungi oleh orang lain baik perorangan atau beberapa orang. Selanjutnya Pasal 3 Ayat 3 Peraturan Daerah Perda Nomor 06 Tahun 2003 mengatur mengenai pengawasan dan pembinaan penyelenggaraan ketertiban sebagaimana digariskan bahwa, ”Teknis penanggulangan gelandangan dan Universitas Sumatera Utara pengemis serta tuna susila akan diatur lebih lanjut dengan keputusan kepala daerah.” Selanjutnya dalam Pasal 4 disebutkan bentuk kegiatan dalam hal pembinaan terhadap para pelacur, selengkapnya berbunyi, “Pemerintah daerah melakukan pembinaan terhadap gelandangan dan pengemis serta tuna susila berupa kegiatan yang berbentuk dan mencakup keterampilan-keterampilan serta keahlian lainnya.” Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 Ayat 3 Peraturan Daerah Perda Nomor 06 Tahun 2003 mengenai larangan Pemerintah Daerah Kota Medan terhadap perbuatan pelacuran, maka menurut Pasal 5 Ayat 1 ditetapkan suatu ketentuan pidana bagi siapa saja yang melanggar ketentuan Pasal 2 peraturan daerah ini diancam pidana kurungan paling lama 6 enam bulan dan atau denda sebanyakbanyaknya Rp.5.000.000,- lima juta rupiah. Oleh karena terhadap perbuatan pelacuran tersebut sulit untuk menentukan pasal-pasal mana yang dilanggar seperti di dalam KUH Pidana tidak ditemukannya ketentuan bahwa pelacuran termasuk kepada kejahatan Pasal 296, 297, dan 506. Di dalam Perda Peraturan Daerah Perda Nomor 06 Tahun 2003 juga tidak menentukan bahwa pelacuran digolongkan kepada bentuk kejahatan akan tetapi merupakan pelanggaran saja, untuk lebih jelasnya dalam Pasal 5 Ayat 2 ditentukan, ”Tindak pidana sebagaimana dimaksud Ayat 1 adalah pelanggaran.” Ayat 1 yang dimaksudkan itu adalah ketentuan pidana yang dicantumkan dalam Pasal 5 Ayat 1 tersebut di atas. Universitas Sumatera Utara Selain langkah pemberlakuan Peraturan Daerah Perda Nomor 06 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila di Kota Medan, pihak Polsekta Medan Medan Baru melakukan razia di malam hari untuk menangkapi dan memproses orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan asusila di sekitar Kecamatan Medan Baru khususnya terhadap anak-anak yang masih di bawah umur yang berkeliaran di malam hari. Operasi ini dilakukan untuk mengantisipasi anak-anak terjerumus kepada dunia malam dan pergaulan bebas bahkan terhadap pelacuran yang berada di kamp-kamp atau barak-barak seperti di Nibung Raya Medan, di jalan Iskanda Muda, di jalan Gatoto Subroto, di jalan SM. Raja, di jalan Gajah Mada dan lain-lain. Operasi razia yang dilakukan Polsekta Medan Baru ini lebih dikenal dengan ”Razia Kasih Sayang”. Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya pelacuran di Polsek Medan Baru juga dilakukan penertiban terhadap kafe-kafe dan hiburan malam. Seperti kafe di sekitar jalan Gajah Mada hingga pada saat ini telah di bongkar dan tidak diperkenankan lagi terdengar suara musik-musik disco di sana, namun pada saat ini kafe-kafe di jalan Gajah Mada tersebut kembali dibangun oleh pengelola kafe namun musik-musik disco tidak ada kedengaran lagi hingga saat ini. Begitu pula kafe yang berada di sekitar SMU Harapan Kota Medan, juga telah digusur karena merupakan sarang terjadinya transaksi wanita Anak Baru Gede ABG yang masih di bawah umur seperti anak-anak sekolah yang masih duduk di bangku SMP dan SMA. Jika tempat-tempat seperti kafe di Warung Kopi Warkop Harapan terus beroperasi, maka berkemungkinan para laki-laki hidung belang semakin banyak berdatangan ke sana melakukan transaksi terselubung Universitas Sumatera Utara melalui mucikari atau gigolo istilah mucikari yang populer dikenal di kota Medan. Terhadap pelaku dan anak yang terlibat pelacuran seksual, Polsekta Medan Baru melakukan langkah-langkah pencegahan sekaligus dapat mengurangi kuantitas dunia pelacuran di Medan Baru. Oleh karena itu, Kapolsekta Medan Baru melakukan kebijakan-kebijakan yang terintegrasi terhadap pelacuran atau perbuatan asusila ini, di antaranya adalah: 80 a. Mengadakan upaya rehabilitasi kepada para pemeran pelacuran guna mempersiapkan proses rehabilitasi dirinya sendiri untuk mencapai penghidupan yang layak dan terhormat sesuai dengan nilai-nilai moral Pancasila. b. Mengadakan Inventarisasi daerah-daerah rawan. c. Mengadakan gerakan-gerakan operasional pemberantasan di dalam wilayah hukum Kecamatan Medan Baru. d. Mengadakan pengawasan untuk mencegah bertambahnya jumlah pelacuran, bahkan berkurang atau hilang serta mencegah meluasnya daerah operasi mereka. e. Memberikan penyuluhan dan penerangan kepada masyarakat tentang bahaya pelacuran. f. Menyampaikan laporan periodik kepada walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Medan dan Kepolisian Daerah Sumatera Utara mengenai segala 80 Wawancara langsung dengan Kanit Patroli Kepolisian Sektor Medan Baru tanggal 12 Februari 2010 di Kantor Polsekta di Jalan Nibung Raya Medan. Universitas Sumatera Utara aktifitas di Polsekta Medan Baru serta saran-saran konkrit untuk menyusun kebijaksanaan selanjutnya. g. Mengkoordinasikan Satuan Pelaksana Pemberantasan Pelacuran di Kecamatan Medan Baru dari mulai perencanaan, pembinaan sampai dengan operasional baik preventif, represif maupun rehabilitatif. Walaupun masalah pelacuran anak di bawah umur secara konkrit tidak terdapat di dalam sarana non penal, dalam mengatasi masalah pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur yang terjaring operasi dibina dan direhabilitasi, memberikan penyuluhan, pelatihan menjahit, pelatihan salon, membuat kerajinan dan upaya lainnya, tetapi yang bisa bertahan dan kembali ke kampung halamannya hanya sebagian kecil dan sebagian besar kembali lagi menjadi pelacur. Hal ini diketahui apabila dalam razia yang tertangkap adalah muka-muka lama atau pemain-pemain lama yang beroperasi kembali di jalanan. Menangani para pelacur yang masih di bawah umur Kantor Sosial biasanya memanggil orang tua atau walinya atau cukup dengan memberikan surat pemberitahuan, karena anak yang masih di bawah umur selalu di kembalikan kepada orang tuannya karena masih menjadi tanggung jawab orang tuanya untuk dibina jika orang tuanya tidak ada, maka dikembalikan kepada walinya atau saudaranya yang bertanggung jawab, jika walinya tersebut tidak ada, maka direhabilitasi oleh pemerintah melalui panti rehabilitasi. Konsepsi kebijakan penanggulangan kejahatan yang integral mengandung konsekwensi, bahwa segala usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan harus merupakan satu kesatuan yang terpadu integralitas. Ini berarti kebijakan Universitas Sumatera Utara penal harus pula dipadukan dengan kebijakkan atau usaha-usaha lain yang bersifat non penal. Ini berarti pula, apabila dalam pelaksanaan politik kriminal tidak dilakukan upaya integralitas terhadap kedua kebijakan penal dan non penal tersebut, maka akan terjadi pemikulan beban yang berlebihan, terutama yang dirasakan oleh Hukum Pidana, Kenapa? Di dalam masyarakat sering terjadi, bahwa urusan penanggulangan kejahatan adalah urusan hukum pidana, sehingga dalam sehari-hari akan tampak bahwa hukum itu berfungsi sebagai “Panglima” dalam poltik kriminal. Padahal usaha-usaha preventif pencegahan akan sangat dirasakan lebih efektif dari pada usaha penindakan secara represif. Sebab usaha- usaha preventif non penal yang dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial atau pembangunan nasional, mempunyai tujuan utama yakni memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian ditinjau dari sudut politik kriminal, maka keseluruhan kegiatan preventif usaha-usaha non penal tersebut sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis. Karena menempati posisi kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan. Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini berarti akan berakibat fatal bagi usaha penanggulangan asusila dalam bentuk pelacuran di Kecamatan Medan Baru dan sekitarnya.

B. Peran Serta Pihak Lain Dalam Penanggulangan Pelacuran Anak Di Bawah Umur

Mengenai masalah pelacuran di wilayah Kecamatan Medan Baru, selain dilakukan oleh pihak Kepolisian yang dikoordinir oleh Polwiltabes Medan, juga Universitas Sumatera Utara berperan serta pihak Camat dan Lurah yang berada di wilayah hukum Kecamatan Medan Baru yang berkompeten, Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Sosial Pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Pengadilan Negeri Medan serta pihak lain yang berkompeten dalam masalah pelacuran di Kota Medan. Polsekta Medan Baru dalam melakukan operasi terhadap anak di bawah umur yang terjerumus ke dalam perbuatan amoral seperti pelacuran ini, melakukan kerja sama dengan pihak lain. Salah satu pihak yang bekerja sama dengan Polsek Medan Baru adalah menjalin kerja sama dengan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Kota Medan. Direktur Eksekutif Pusat Kajian dan Perlindungan Anak PKPA Medan, Ahmad Sofyan, berharap aparat kepolisian memiliki Tim 99 Anti Pelacuran Anak. Pasalnya, faktor utama prostitusi anak akibat adanya sindikat perdagangan anak. Sebenarnya, ini merupakan peran pihak penegak hukum untuk membongkar dan memutus sindikat perdagangan anak di Kota Medan. Bila sejumlah tempat hiburan malam kerap dirazia narkoba, seharusnya hal itu juga berlaku untuk anak- anak. Apalagi, tempat hiburan malam seperti diskotek, klub malam, dan sejenisnya dilarang untuk anak-anak. Kategori anak yang dimaksud menurut undang-undang itu adalah yang belum berusia 18 tahun. Jadi, bila ditemukan anak-anak di tempat-tempat hiburan, pengelolanya harus diamankan, bukan anak- anaknya. Dengan demikian, pemilik hiburan malam jadi lebih selektif dalam mempekerjakan orang dan menerima pengunjung. Di Medan, kawasan sub urban menjadi asal korban utama prostitusi anak, di antaranya berasal dari kawasan Universitas Sumatera Utara Percut Sei Tuan, Tembung, Binjai, dan Belawan. Hal ini disebabkan, pada kawasan sub urban tersebut sebagai konsentrasi bermukimnya masyarakat menengah ke bawah. Kalangan menengah ke bawah bukan berarti miskin. Mereka tetap bisa membiayai anaknya, bahkan membelikan handphone untuk anaknya, tetapi ada hal-hal tertentu yang tidak bisa mereka miliki. Kebanyakan, anak-anak di daerah ini kurang diperhatikan orang tua, hal ini bercampur aduk dengan nilai materialisme sehingga anak-anak mengalami frustasi. Tentu saja kondisi seperti itu mengakibatkan anak-anak tersebut ingin menikmati apa yang tidak bisa dimilikinya. Guna memenuhinya, anak-anak tersebut tak sungkan menebusnya dengan melacurkan tubuhnya sendiri. Apalagi dengan adanya dorongan teman sebaya yang sudah lebih dulu menerjuni dunia malam tersebut. Pihak PKPA, mengestimasikan, pada tahun 2008, terdapat sekitar 2.000 orang anak di Kota Medan terjun ke dunia prostitusi. Estimasi ini berdasarkan kasus yang ditangani PKPA, kasus yang dikumpulkan PKPA tersebut bersumber dari media massa, dan melihat perkembangan dunia hiburan sekarang ini. 81 Pelacuran anak atau yang lebih dikenal dengan istilah ESKA Ekploitasi Seksual Komersil Anak di Sumatera Utara masih menjadi persoalan pelik yang perlu segera dicari jalan keluarnya. Berdasarkan temuan PKPA Pusat Kajian dan Perlindungan Anak ESKA tidak hanya terjadi di Kota Medan. Hasil penelitian PKPA di beberapa kabupatenkota di Sumatera Utara menunjukkan pelacuran 81 Harian Medan Bisnis, Kamis, Tanggal 12 Juni 2008. Universitas Sumatera Utara anak melibatkan anak-anak berumur belasan tahun. Staf Penelitian dan Investigasi Litigasi PKPA, Suryani Guntari menyebutkan, seperti yang terjadi di Serdang Bedagai Sergai misalnya, jumlah anak-anak yang menjadi korban mencapai ratusan, tersebar merata di berbagai wilayah. Berdasarkan observasi yang dilakukan PKPA di desa-desa bahkan sampai ke rumah anak tersebut tercatat dua anak di tiap-tiap desakampung. Di Kota Tanjung Balai, sebut Suryani Guntari, berdasarkan data dari Yayasan Karang menunjukkan, dari 150 Pekerja Seks Komersial PSK yang ada, sedikitnya terdapat 20-60 PSK yang masih di bawah umur. Namun, karena perpindahan mereka tidak bisa dilacak, menjadi penyebab sulitnya pendataan. 82 ESKA terjadi dengan sindikat yang terorganisir secara teramat rapi. Di daerah warkop Harapan, warkop Gajah Mada, di Jalan Jamin Ginting, Jalan Iskandar Muda, dan beberapa kos-kosan yang berada di sekitar Sei Asahan, Sei Batu Gingging, Sei Bahorok, kesemuanya itu dilakukan secara terselubung untuk mengelabui Polisi yang melakukan razia. Karena jika mereka beroperasi di jalan- Dinas Sosial dan Keluarga Berencana Dinsos KB Kota Tanjung Balai, lanjut Suryani Guntari, tercatat sedikitnya 150 PSK yang masih aktif di Kota Tanjung Balai. Usia mereka umumnya 14-25 tahun. Tidak ada lokalisasi atau panti rehabilitasi di kota ini sehingga mobilitas PSK tidak terpantau dan tidak terawasi. Lebih jauh lagi, dampaknya adalah penyebaran PMSVirus HIVAIDS terus melaju tanpa bisa ada hambatan yang signifikan. 82 Pelacuran anak atau yang dikenal sebagai ESKA Ekploitasi Seksual Komersil Anak di Sumatera Utara Sumut masih menjadi persoalan pelik yang perlu segera dicari jalan keluarnya, Sugiarto., “Pelacuran Anak Dari Truk Sampai Kuburan China”, Waspada, Tanggal 20 Mei 2008. Universitas Sumatera Utara jalan besar, maka dengan mudahnya mereka dirazia oleh Polisi dan beberapa germo terkadang teman sendiri yang beroperasi di warkop-warkop bahkan kadang-kadang pedagang warkop itu juga bisa di lakukan pemesanan wanita- wanita yang muda biasanya masih sekolah. Berdasarkan penelitian, perilaku ESKA di daerah-daerah ini pun sangat variatif. Dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok. Pertama, kelas truk dan kuburan, yakni ESKA yang dilakukan di dalam truk dan tempat-tempat gelap. Para korban bahkan hanya dibayar dengan Rp.30-Rp.50 ribu. Lokasi transaksi biasa dilakukan di Jalan Sisimangaraja atau di warkop itu sendiri sambil memesan minuman atau makanan. Kedua, kelas penginapan. Di jalan Jamin Ginting sendiri terdapat beberapa penginapan yang sudah dikenal bagi kalangan tertentu sebagai lokasi dengan membawa wanita malam tersebut ke sana karena dalam penginapan itu tidak disediakan wanita kecuali di bawak sendiri dari luar. Selain ke penginapan lokal, banyak pula ABG yang dibawa ke kos-kosan, seperti koo-kosan Mahasiswa, Bahkan yang sering dilakukan adalah di hotel-hotel kelas menengah ke atas, karena laki-laki berduit biasanya memperlakukan wanita malam itu lebih memilih hotel sebagai tempatnya. Ketiga, kelas lokalisasi. Ini jarang ditemukan di Kota Medan khususnya di Polsekta Medan Baru karena pada umumnya lokalisasi yang dipilih pelaku biasanya Bandar Baru arah ke Berastagi. Di daerah Berastagi terdapat lokasi prostitusi yang melibatkan anak-anak di bawah umur yang berasal dari berbagai daerah misalnya dari Bandung, Palembang dan lain-lain. Tarifnya berkisar Rp.200-Rp.400 ribu. Keempat, kelas cafe. Kelas seperti ini merupakan kelas PSK yang lebih mandiri yang tidak diorganisir oleh sindikat ESKA, tetapi Universitas Sumatera Utara modelnya lebih bersifat panggilan dengan kontak person terbatas. Model ini banyak ditemukan di kawasan warkop-warkop dan hotel-hotel. Biasanya para wisatawan lokal dapat memesan ABG-ABG melalui orang-orang lokal yang berprofesi sebagai juru kunci penginapan. Direktur eksekutif Pusat Kajian dan Perlindungan Anak PKPA, Ahmad Sofyan, sangat menyayangkan tidak adanya program yang spesifik untuk anak di Dinas Sosial di Kabupaten dan Kota Medan. Program yang mereka tangani khusus terkait ESKA belum ada. Program yang dilakukan terkait PSK masih sangat terbatas, yakni pada kesehatan produksi dan pelatihan. Di kota Medan, tidak ada penanggulangan khusus yang dilakukan pemerintah. Kendati demikian, Marzuki, Kabag TU dan Data di kantor, Dinas Sosial Sergai, mengaku Dinas Sosial mengakui masih melakukan penanggulangan masalah sosial yang lebih umum dalam menangani masalah pelacuran dan cafe- cafe liar yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama dan norma budaya. Sejak tahun 2006 hingga saat ini sudah dua kali dilakukan razia besar-besaran. Namun, hingga saat ini pihaknya belum menemukan adanya keterlibatan anak di bawah umur. Setelah PKPA menjelaskan adanya beberapa temuan, pihak Dinas Sosial sangat terkejut dan mengaku itu merupakan temuan yang sangat berharga bagi pihaknya. Pihak Dinas Sosial berharap agar PKPA dapat bekerjasama dengan Dinas Sosial Sergai dalam rangka mengatasi masalah anak-anak korban eksploitasi seksual. Universitas Sumatera Utara Di Langkat, lanjut Sofyan, Kasub Bagian Pembinaan Program dan Rehabilitasi, Dinsos Kota Medan mengatakan pihaknya selama ini telah melaksanakan program pembinaan terhadap PSK. Namun sejauh ini pihaknya belum pernah menemukan adanya PSK yang di bawah umur saat melakukan penertiban di lapangan. Adham juga mengaku terkejut, karena berdasarkan data yang dimiliki pihaknya, anak-anak yang terlibat PSK tidak ada dan menurutnya pelacur di bawah umur tersebut di dominasi dari berbagai daerah terpencil yang masuk ke Kota Medan untuk mencari mangsa yang kaya-kaya atau berduit. Pada umumnya, saat razia dilakukan mereka tidak mempunyai KTP. 83

C. Faktor-Faktor Penghambat Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum di Kota Medan

Hukum dan penegakan hukum, menurut Soerjono Soekanto, 84 Tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban order. Tujuan ini sejalan dengan fungsi utama hukum yang mengatur. Ketertiban merupakan syarat mendasar yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Ketertiban benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat manusia yang nyata dan merupakan bagian faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. 83 Wawancara langsung dengan Dinsos Kota Medan tanggal 10 Februari 2010. 84 Soerjono Soekanto., Loc, cit. Universitas Sumatera Utara objektif. 85 Sementara, para penganut paradigma hukum alam berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan ”keadilan”. 86 Apabila kita melihat penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polsekta Medan Baru tujuannya tidak dapat dilaksanakan secara maksimal, ini karena berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto adalah Hukum dan tujuannya jika dihubungkan dengan masalah pelacuran anak, jelas adanya relevansi antara hukum dengan tujuan hukum itu sendiri. Hukum yang dimaksud di sini adalah segala ketentuan atau kaedah baik tertulis maupun tidak tertulis. Perbuatan pelacuran tidak nyata-nyata disebutkan dalam rangkaian peraturan tertulis hanya saja pelacuran yang melacurkan anak di bawah umur jelas disebutkan bertentangan dengan hukum perlindungan anak dan HAM. Oleh karena itu, terhadap pelacuran walaupun tidak tegas disebutkan ketentuannya di dalam KUH Pidana, karena pelacuran tersebut sangat bertentangan dengan budaya dan adat istiadat serta norma-norma masyarakat, maka hukum terhadap pelacuran harus tetap ditegakkan untuk pencapaian tujuan hukum tersebut yakni ketertiban dan keadilan. Akan tetapi dalam penegakan hukum terhadap pelacuran anak , terdapat beberapa faktor penghambat yang mempengaruhi penegakan hukum di Kota Medan. 85 Mochtar Kusumaatmadja., Loc, cit. 86 E. Utrecht., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975, hal. 20, Menurut teori etis etische theory, hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles dalam karyanya “Ethica Nicomachea” dan “Rhetorika”, yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas suci, yaitu memberi kepada setiap oarang yang ia berhak menerimanya. Universitas Sumatera Utara hukum atau undang-undangnya, masalah penegakan hukum, sarana atau fasilitas yang mendukung, masyarakat, dan budaya hukum. 87 1. Terletak pada hukumnya sendiri yakni undang-undangnya. Undang- undang yang dimaksud adalah undang-undang dalam arti formil, yaitu peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Pemerintah Pusat yang sah. Jika dihubungkan dengan pelacuran anak di bawah umur, maka belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai pelacuran khususnya pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur, baik dalam KUHP, Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang- Undang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang HAM. Yang akan dipaparkan berikut ini: 2. Masalah penegak hukumnya yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, salah satu aparat penegakan hukum di Indonesia yaitu Kepolisian, dimana kepolisian dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu dan sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawabnya demi kepentingan umum, akan tetapi harus memenuhi persyaratan, yaitu tindakan-tindakan aparat kepolisian hendaknya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, bahwa tindakan itu adalah untuk mempertahankan ketertiban, ketentraman, dan keamanan umum, serta tindakan untuk melindungi hak-hak para pelacur. 3. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum 87 Soerjono Soekanto., Op. cit, hal. 6. Universitas Sumatera Utara terhadap penanggulangan dan pencegahan pelacuran akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas yang dimaksud dalam masalah penegakan hukum terhadap pelacuran anak di bawah umur, yaitu apabila kepolisian melakukan razia-razia terhadap para pelacur khususnya yang masih di bawah umur, kepolisian dihadapkan pada kurangnya sarana atau fasilitas untuk menampung pelacur tersebut, karena terkadang dinas sosial pun tidak mampu menampung para pelacur tersebut, akhirnya para pelacur tersebut dilepaskan begitu saja. 4. Masyarakat. Penegakan hukum tidak hanya menjadi tanggung jawab kepolisian semata, namun masyarakatpun harus turut mendukung penegakan hukum di wilayahnya, karena tanpa adanya dukungan dari masyarakat penegakan hukum akan mengalami banyak kendala. Dalam hal ini, masyarakat yang berada di wilayah Kecamatan Medan Baru seperti kurang peduli terhadap permasalahan pelacuran anak di bawah umur ini, bahkan di warkop Gajah Mada dan warkop Harapan sebagai tempat transaksi pelacuran dikelola oleh masyarakat itu sendiri yang bekerja sekaligus sebagai pedagang minuman dan makanan di malam hari, dan terkadang seperti di daerah Bandar Baru Berastagi mencari anak-anak yang akan dipekerjakan sebagai pelacur atau menjadikannya sebagai sumber uang yakni menjadi calo. Sehingga secara tidak langsung masyarakat tersebut mendukung dan mengambil kesempatan atau keuntungan dengan adanya pelacuran tersebut. Universitas Sumatera Utara 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kebudayaan tidak lepas dari hukum adat yaitu hukum kebiasaan yang berlaku di kalangan rakyat tertentu, akan tetapi di samping itu berlaku pula hukum tertulis yang timbul dari golongan tertentu pula dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang resmi. Hukum tertulis tersebut harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat supaya perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara efektif. Seperti halnya dalam menghadapi pelacuran anak di bawah umur, masalah pelacuran telah menjadi penyakit masyarakat yang terus ada dari jaman dulu hingga sekarang dan tak pernah bisa hilang, sehingga akan sangat sulit untuk menghilangkannya, ditambah lagi tidak ada undang-undang yang mengatur mengenai masalah pelacuran itu secara khusus dan tegas, sehingga antara hukum kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat dengan hukum positif Indonesia dalam menghadapi pelacuran kurang sejalan, yang akhirnya mengakibatkan pelacuran tetap ada dimana-mana. Melihat begitu sulitnya penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian terhadap pelacuran anaik di bawah umur yang disebabkan oleh berbagai faktor penghambat yang dihadapi oleh kepolisian sehingga penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan maksimal, maka peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif Indonesia harus dibuat secara baik agar dapat berjalan secara efektif. Untuk mencapai hukum pidana yang baik dan efektif, dapat ditempuh Universitas Sumatera Utara dengan pembaharuan hukum pidana, dan salah satu tujuannya adalah untuk menanggulangi pelacuran secara umum dan pelacuran anak secara khusus. Sering dinyatakan, bahwa upaya kebijakan kriminal kebijakan penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan menggunakan sarana hukum pidana dan upaya lain yang ”bukan hukum pidana”. Dilihat secara integral, upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan satu kesatuan berbagai subsistem komponen yang terdiri dari komponen ”substansi hukum” legal substance, ”stuktur hukum” legal structure, dan ”budaya hukum” legal culture. Sebagai suatu sistem penegakan hukum, proses peradilanpenegakan hukum terkait erat dengan ketiga komponen itu, yaitu norma hukumperaturan perundang-undangan komponen substantif normatif, lembagastrukturaparat penegak hukum komponen struktural institusional beserta mekanisme proseduraladministrasinya, dan nilai-nilai budaya hukum komponen kultural. 88 Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah operasionalisasi penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, yaitu: 89 1. Penetapan kebijakan perundang-undangan dapat juga disebut kebijakan legalisasi yang di dalamnya berisikan penetapan kebijakan mengenai: a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana kebijakan kriminalisasi; dan b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar kebijakan penalisasikebijakan pemidanaan. 2. Penerapan pidana oleh badan pengadilan disebut juga kebijakan yudikatif; 3. Pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana disebut juga kebijakan eksekutif. 88 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bab VII Citra Aditya Bakti, 2003 dan Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Bab XIII Prenada Group, 2008, hal. 67. 89 Ibid, hal. 71. Universitas Sumatera Utara Langkah-langkah atau tahap-tahap tersebut dapat juga disebut langkah- langkah penegakan hukum pidana, karena penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan penegakan hukum pidana. Jadi apabila dilihat sebagai suatu mekanisme penegakan hukum pidana, maka ketiga tahap tersebut merupakan suatu jalinan mata rantai yang saling berkaitan dalam suatu kesatuan sistem. Namun demikian, kebijakan legalisasi merupakan tahap yang paling strategis dilihat dari keseluruhan proses kebijakan untuk mengoperasionalkan hukum pidana. Pada tahap inilah diusahakan pembuatan dan perumusan yang sebaik mungkin hal-hal yang menyangkut tentang kebijakan kriminalisasi dan kebijakan penalisasi. 90 90 Ibid, hal. 69. Salah satu penanggulangan masalah pelacuran khususnya pelacuran anak di bawah umur adalah dengan membuat kebijakan kriminalisasi perbuatan zina dalam arti luas, karena berbicara mengenai pelacuran, berarti sama saja kita berbicara mengenai perzinahan. Sisi lain dari tujuan politik kriminal yang patut dipertimbangkan dengan larangannya perzinahan adalah kesucian lembaga perkawinan dan pengaruh negatif lainnya, antara lain mencegah hidup suburnya pelacuran yang dapat menjadi sumber penyakit kotor yang membahayakan masyarakat dan mencegah perbuatan “main hakim sendiri” sebagai akibat adanya perzinahan. Bahwa peluang untuk terjadinya perzinahan mejadi lebih besar apabila perzinahan dijadikan delik aduan absolut. Ini berarti, memberi peluang besar terjadinya pelanggaran kesucian perkawinan dan hubungan seksual diluar perkawinan. Universitas Sumatera Utara Nilai kesusilaan nasional yang ingin ditegakan lewat undang-undang perkawinan adalah, bahwa hubungan seksual itu hendaknya dilakukan lewat lembaga perkawinan, bukan di luar perkawinan. Pembangunan moral bangsa atau moral nasional yang dituju, yang menjadi tujusn kebijakan sosial social policy dan patutnya juga diperhatikan dalam kebijakan kriminal criminal policy, ialah moral yang bertolak dari budaya bangsa dan moral keagamaan, bukan bertolak dari paham “kebebasan moral”. 91 Langkah selanjutnya mengenai penanggulangan pelacuran ini adalah penerapan pidana oleh lembaga pengadilan disebut juga kebijakan yudikatif, artinya lembaga pengadilan yang memeriksa dan memutuskan suatu perkara pidana sesuai dengan hukum yang berlaku ditambah dengan keyakinan hakim. Mengenai sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku perzinahan maka harus dibuat pula kebijakan penalisasi berupa pemidanaan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku perzinahan yang mempunyai efek jera. 92 91 Ibid, lihat juga Soerjono Soekanto., Op. cit, hal. 10. 92 M. Yahya Harahap., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedia, Jakarta: Sinar Grafika, 1985, hal. 278. Pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana disebut juga kebijakan eksekutif, artinya dimulai dari pihak kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan lembaga pemasyarakatan harus bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing, namun keempat aparatur hukum tersebut merupakan satu mata rantai yang saling mempengaruhi, namun tetap tujuannya sama, yaitu menaggulangi kejahatan yang akhirnya menuju kesejahteraan sosial khususnya pelacuran anak. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka yang menjadi kesimpulan dari permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur secara penal yang berpedoman kepada KUH Pidana mengalami kendala, karena dalam pasal-pasalnya tidak ada mengatur mengenai pelacuran secara tegas, khususnya pelacuran anak di bawah umur, oleh karena itu Kepolisian menerapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dimana jika anak yang menjadi korban, maka harus dikembalikan kepada orang tuanya untuk dibina dan dibimbing, jika orang tuanya tidak ada, maka dikembalikan kepada walinya atau saudaranya, jika walinya tidak ada, maka harus direhabilitasi oleh negara melalui panti rehabilitasi. Di samping itu, Kepolisian juga dapat bertindak untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat di Kecamatan Medan Baru, lebih mengacu kepada pencegahan untuk mengantisipasi terjadinya pelacuran anak di bawah umur melalui pemberlakuan ”Razia Kasih Sayang”, dibandingkan dengan penanggulangan pelacuran anak di bawah umur yang melibatkan penjatuhan sanksi pidana menurut undang-undang. 2. Strategi penanggulangan pelacuran anak di bawah umur oleh Polsek Medan Baru dengan melakukan kerja sama dengan Pemerintah Kota Universitas Sumatera Utara Madya Medan melalui Peraturan Daerah Perda Nomor 06 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila di Kota Medan. Selain dilakukan oleh pihak Kepolisian yang dikoordinir oleh Polwiltabes Medan, juga berperan serta pihak Camat dan Lurah yang berada di wilayah hukum Kecamatan Medan Baru yang berkompeten, Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Sosial Pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Pengadilan Negeri Medan serta pihak lain yang berkompeten dalam masalah pelacuran di Kota Medan. Pusat Kajian dan Perlindungan Anak PKPA Medan juga turut serta berperan dengan kepolisian dengan membentuk Tim 99 Anti Pelacuran Anak.

B. Saran

Adapun yang menjadi saran berdasarkan permasalahan yang telah diteliti tersebut, maka saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Diharapkan bahwa terhadap pelacuran anak di bawah umur, peranan yang paling strategis dalam penegakan hukum adalah penetapan kebijakan perundang-undangan, dan penetapan perundang-undangan harus memperhatikan grundnorm bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Selain itu juga harus dipahami bahwa penegakan hukum bukan hanya tugas kepolisian semata atau aparat pelaksana hukum lainnya, namun jauh lebih penting menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia. 2. Diharapkan dalam menanggulangi pelacuran dengan menjerat konsumen tersebut dengan Pasal 287 dan 288 KUH Pidana, upaya lainnya adalah Universitas Sumatera Utara apabila konsumen pelacur itu seorang suami atau istri, maka dapat dikenakan Pasal 284 KUH Pidana. Apabila anak di bawah umur tersebut dipekerjakan menjadi pelacur oleh orang tuanya sendiri, maka orang tua tersebut dapat dikenakan Pasal 9 dan Pasal 10 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak atau dijerat dengan Pasal 26 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dan untuk konsumen pelacur pria maupun wanita yang belum menikah dapat dikenakan Pasal 5 Peraturan Daerah Perda Nomor 06 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila di Kota Medan. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN TENTANG PELACURAN DAN ANAK DI BAWAH UMUR

A. Pelacuran

Berbicara mengenai pelacuran, sama saja mengingat kembali ke masa yang paling dahulu di bumi persada ini, masalah lama tetapi terasa tetap baru untuk dibicarakan dan dibahas, sulit menentukan kapan munculnya pelacuran karena pelacuran telah menjadi penyakit masyarakat yang terus ada dan belum bisa dihilangkan sampai saat ini. Pondasi pelacuran modern di Indonesia dibangun pada zaman Kerajaan Mataram. Tradisi penyerahan perempuan sebagai upeti diteruskan dengan perdagangan wanita dan menemukan bentuknya yang mutakhir didorong faktor-faktor ekonomi dan kurangnya nilai-nilai agama. 41 Ketika gaya hidup berubah, mobilitas penduduk mudah, pendapatan masyarakat membaik, industri seks makin rumit jenisnya. Selain pelacur klasik yang beroperasi di jalanan dan rumah-rumah untuk “call girls” alias gadis Seperti perdagangan yang lain, pelacuran lahir oleh adanya penawaran dan permintaan. Ketika Belanda datang ke pesisir Jawa, sekitar awal abad ke-17 Masehi, muncul aktivitas pelayanan seksual untuk serdadu, pedagang, dan utusan VOC di sekitar pelabuhan namun, pilihan wanita bagi pria Eropa itu masih terbatas. Mereka hanya bisa mengambil anak-anak perempuan pribumi yang dijual keluarganya dan pemanfaatan seks wanita ini dilakukan secara sembunyi- sembunyi. Umpamanya, perempuan itu hanya diakui sebagai pembantu, padahal digauli. 41 Manida Naebklang., Op. cit, hal. 30. Universitas Sumatera Utara panggilan, ada kelompok wanita yang disebut “perek” perempuan eksperimen, dan paling mutakhir disebut “ABG” Anak Baru Gede atau ”remaja komersial” yang mencari mangsa di diskotek, bioskop, dan mall. Tetapi remaja yang ”bisa dipakai” ini tidak selalu bisa dikategorikan sebagai ”pekerja” seks. Sebab ada yang motifnya bukan uang, cuma sekadar bersenang-senang. Perempuan usia muda tergolong anak-anak terjerumus ke dalam dunia pelacuran dengan tuntutan dari dirinya sendiri dan ekonomi, selain itu juga karena dipaksa atau dijebak oleh orang lain sehingga para korban yakni anak yang belummatang cara berfikirnya, akhirnya memutuskan ”sekali mandi harus basah”. Inilah penyebab munculnya dunia pelacuran baik secara umum maupun khusus anak sebagai korbannya. Penulis di sini membahas mengenai pelacuran secara umum dan pelacuran yang terjadi pada anak secara khusus. Pelacuran sering disebut sebagai prostitusi dari bahasa latin pro-stituere atau pro-stauree artinya membiarkan sendiri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan, dan pergendakan. 42 Sementara Bonger mengatakan pelacuran atau prostitusi adalah gejala kemasyarakatan dengan wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian. 43 Sedangkan P.J. de Bruine van Amstel menyatakan, prostitusi adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan banyak pembayaran. 44 42 Kartini Kartono I., Op. cit, hal. 203. 43 Ibid. 44 Kartini Kartono I., Op. cit, hal. 209. Selain itu,Iwan Bloch berpendapat, pelacuran adalah suatu bentuk perhubungan kelamin di luar pernikahan dengan pola tertentu, yakni kepada siapa pun secara terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran baik untuk Universitas Sumatera Utara persebadanan, maupun kegiatan seks lainnya yang memberi kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan 45 Kata pelacuran identik dengan kata asing prostitusi yang berasal dari bahasa latin tersebut diartikan sebagai perilaku yang terang-terangan menyerahkan diri pada perzinahan. Kalimat “Prostitusi” atau dalam bahasa Indonesia disebut Pelacur menurut arti harafiah dari kamus yang penulis rangkum adalah, “suatu perbuatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh seorang wanita yang menjajakan dirinya untuk menjadi pemuas hawa nafsu laki-laki yang membutuhkannya dengan mendapat upah. . 46 Lebih jauh Helen mengemukakan, persis seorang laki-laki yang mendapat penghasilannya dengan menjual tenaganya sendiri, demikian pula seorang wanita memperoleh penghasilannya dengan jalan menjual dirinya sendiri dalam kedudukan ekonominya yang sulit. 47 Prostitusi atau pelacuran adalah suatu perbuatan seorang wanita memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk memperoleh bayaran dari laki-laki yang datang dan wanita tersebut tidak ada pencaharian lainnya kecuali yang diperolehnya dari perhubungan sebentar-sebentar dengan banyak orang. 48 Sedangkan Paul Moedikdo Moeliono, mengatakan pelacuran adalah penyerahan badan wanita dengan menerima bayaran kepada orang banyak guna pemuasan nafsu seksual orang-orang itu. 49 Menurut Tjahjo, para pelacur umumnya berasal dari pedesaan. Dengan alasan-alasan bervariasi mereka terbujuk ke dalam lembah yang hitam bagi mata 45 D. Soejono., Loc. cit, hal. 17. 46 Ibid. 47 Tjahjo Purnomo., dan Ashadi Siregar., Op. cit, hal. 9. 48 D. Soejono., Op. cit, hal. 18. 49 Ibid. Universitas Sumatera Utara orang yang baik-baik. Berada di bawah kekuasaan germo atau mucikari, meraka tidak lebih seperti perempuan dalam pasungan. Pasungan dalam arti diikat oleh menumpuknya utang yang sengaja disodorkan germo guna membelenggu mereka agar tidak bisa menghilang dari bordilnya. Sebab, kalau hal itu terjadi, berarti suatu kerugian ekonomis bagi sang germo, lebih-lebih apabila pelacur tersebut primadona atau kembang atau pelacur yang paling cantik dan banyak pelanggannya. 50 Pelacuran anak di bawah umur merupakan bagian dari kenakalan remaja. Konsep usia remaja jika dipandang dari sisi hukum positif dipersamakan dengan usia anak-anak, karena hukum positif di Indonesia tidak mengenal istilah ”remaja” akan tetapi mengenal istilah usia anak-anak dan dewasa. Pelacuran yang terjadi pada anak juga tidak jauh dari sebagaimana halnya pelacuran pada orang dewasa. Cuma saja perbedaannya adalah anak- anakperempuan tersebut masih di bawah umur tentunya tidak legal dan sangat terlarang. Sedangkan pasar sangat membutuhkan dan diminati jika wanita yang diajak teman kencannya itu adalah masih di bawah umur. Hal ini jarang diketahui olah publik betapa bahayanya melacurkan diri anak yang masih di bawah umur. 51 Istilah remaja dalam penelitian ini dipersamakan dengan anak di bawah umur secara baku dalam konsep psikologi adalah juvenile delinguency yang secara etimologis dijabarkan bahwa juvenile berarti anak sedangkan delinguency berarti kejahatan. Dengan demikian pengertian secara etimologis adalah kejahatan 50 Tjahjo Purnomo., dan Ashadi Siregar., Op. cit, hal. 13. 51 Sudarsono., Loc. cit, hal. 17. Universitas Sumatera Utara anak. Jika menyangkut subjekpelakunya, maka menjadi juvenile delinguency yang berarti penjahatan anak atau anak jahat. 52 Sehubungan dengan itu, B. Simanjuntak, memaparkan mengenai juvenile delinguency dihubungkannya dengan norma, beliau menyatakan, ”Suatu perbuatan itu disebut delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup, atau suatu perbuatan yang ati sosial dimana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif. 53 Terhadap konsep juvenile delinguency sebagai kejahatan anak, mengalami kontroversi pemahaman karena jika konsep ini diterapkan kepada anak-anak nakal, maka akan berakibat negatif secara psikologis bagi anak yang menjadi Pernyataan B. Simanjuntak tersebut di atas, jika dihubungkan dengan perbuatan pelacuran anak, maka jelas pelacuran anak tersebut sebagai kejahatan bagi si germo atau orang yang melacurkan anak tersebut. Akan tetapi jika ditinjau dari sisi si anak sendiri yang melancurkan diri karena faktor tertentu misalnya faktor ekonomi dalam keluarga atas kemauannya sendiri itu, anak tersebut tidak bisa dikatakan kejahatan anak hanya saja bertentangan dengan nilai-dan norma. Jadi, tidaklah selamanya suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai dan norma dapat dihukum atau dipidana. Maka, terhadap si anak dalam hal ini harus direhabilitasi, buka n dipidana. 52 Ibid., hal. 10. 53 B. Simanjuntak., Pengantar Kriminologi dan Sosiologi, Jakarta: Aksara Baru, 1984, hal. 25. Universitas Sumatera Utara pelakunya, apalagi sebutan tersebut secara langsung menjadi trade mark. Oleh karena itu, istilah kejahatan delingunecy diartikan menjadi kenakalan. 54

B. Anak Di Bawah Umur

Angka tertinggi tindak kejahatan anak ada pada usia 15-19 tahun dan sesudah umur 22 tahun kasus kejahatan anak mengalami penurunan. 55 Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat sering terjadi anak di bawah usia 16 tahun melakukan kejahatan dan pelanggaran, sehingga harus mempertanggungjawabkan secara hukum positif melalui proses sidang pengadilan. Dalam menghadapi perbuatan anak yang melacur di bawah usia 16 tahun, hakim harus menyelidiki dengan sangat teliti apakah anak tersebut sudah mampu membeda-bedakan secara hukum akibat dari perbuatannya atau belum. Jika hakim berkeyakinan bahwa anak anak yang bersangkutan tersebut sudah mampu membeda-bedakan maka hakim dapat menjatuhkan pidana dengan dikurangi sepertiga dari hukuman pidana biasa. Kemungkinan lainnya adalah hakim dapat memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada negara untuk dididik tanpa pidana apapun. 56 Pelacuran dalam KUHP tidak mengenal kejahatan secara penuh, akan tetapi dalam hal pelacuran anak, dasar hukum yang menjadi dasar dipidananya si pembuat atau pelaku tidak dapat didasarkan kepada KUHP. Akan tetapi karena mengingat korbannya adalah anak, maka dasar yang harus dijadikan landasan memidana si pelaku adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindunga Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan 54 Sudarsono., Op. cit, hal. 11. 55 Kartini Kartono II., Loc. Cit, hal. 7. 56 Ibid, hal. 17. Universitas Sumatera Utara Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Hukum Internasional tentang Hak Anak. Oleh karenanya, maka germo dapat dipidana karena cabul terhadap anak di bawah umur. Sehubungan dengan itu, di samping undang-undang yang disebutkan di atas ada beberapa undang-undang lain yang memberikan batasan usia di bawah umur bagi anak, undang-undang tersbut telah memberikan batasan usia anak di bawah umur yang mesti harus mendapatkan perlindungan adalah sebagai berikut: a. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Undang-Undang Tentang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan, bahwa Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 delapan tahun, tetapi belum mencapai umur 18 delapan belas tahun dan belum pernah menikah. b. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 Pokok Perburuhan Pasal 1 Ayat 1 merumuskan, bahwa Anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 empat belas tahun ke bawah. c. Menurut Kitab Undang Undang Hukum Pidana KUHP Menurut Pasal 45 KUHP bahwa, anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 enam belas tahun. d. Menurut Hukum PerdataKitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata. Pasal 330 KUH Perdata menyebutkan bahwa, orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 dua puluh satu tahun. Universitas Sumatera Utara e. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan Pasal 7 Ayat 1 menyebutkan bahwa, “Perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 enam belas tahun”. Dan Pasal 6 Ayat 2, menyebutkan bahwa, “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. f. Menurut Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat 1 menyebutkan, bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Terdapat beberapa perbedaan pengaturan antara Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tenang Pengadilan Anak dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam UU Pengadilan Anak berisi tentang, tata cara penanganan anak sebagai pelanggar hukum dan ancaman hukuman setengah dari orang dewasa, peranan Departemen Sosial sangat diperluka n dalam hal ini, serta peranan LSM terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Sedangkan dalam UU Perlindungan Anak, berisi statemen hak-hak anak, berisi kewajiban dan tanggung jawab negara, pemerintah, peran orang tua dan masyarakat terhadap anak, dibentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI terdapat pada Pasal 74-76, ketentuan-ketentuan pidana bagi setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap anak ditentukan dalam Pasal 77-90, Adopsi, Hak Universitas Sumatera Utara mendapatkan pendidikan, Hak atas kesehatan, Hak anak cacat, dan Perlindungan khusus, serta Akte Kelahiran. Pelacuran atau prostitusi anak juga terjadi pada usia di kalangan pelajar memang sudah menjadi cerita lama. Mungkin, kita sering mendengar bagaimana pelajar SMA menjual dirinya hanya untuk mendapatkan uang dan kesenangan. Tapi ironisnya, di Jakarta yang serba gemerlap ini, praktek prostitusi sudah melanda pelajar yang masih duduk di bangku SMP. Di usia yang masih relatif sangat belia ini, mereka sudah berani menjual dirinya. Alasannya simpel, mereka ingin punya uang lebih untuk menutupi gaya hidup mereka. Sebenarnya, orang tua mereka masih mampu untuk membiayai sekolah dan kebutuhan hidup para belia ini. 57 Perhatian terhadap anak harus dapat sejalan dengan peradaban itu sendiri, yang makin hari makin berkembang. Anak adalah putra kehidupan, masa depan Melihat begitu pentingnya arti seorang anak, maka Negara Indonesia sebagai negara hukum yang sedang berkembang, sebaiknya lebih menganggap penting arti seorang anak, karena cikal bakal sumber daya manusia Indonesia yang akan datang bermulai dari anak. Apabila anak-anak Indonesia mempunyai kualitas dan kuantitas yang bagus serta sejahtera, itu berarti Bangsa Indonesia telah memiliki investasi manusia yang bermutu untuk masa yang akan datang, dan Negara Indonesia akan menjadi negara yang maju. Namun apabila anak-anak Indonesia tidak sejahtera dan bermutu, maka di masa yang akan datang bangsa Indonesia akan lebih miskin dan menjadi negara yang sangat terpuruk. 57 http:himti.orgcommunityviewtopic.php?p=6473sid=ec207cf558615148739, Prostitusi Anak Di Bawah Umur”, diakses terakhir tanggal 18 Januari 2010. Universitas Sumatera Utara bangsa dan negara. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara maksimal. Konsiderans Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dikatakan bahwa, anak adalah bagian dari generasi muda, sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Dalam kedudukan demikian, anak memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. Dalam perundang-undangan Negara Republik Indonesia, perhatian terhadap anak sudah dirumuskan sejak tahun 1925, ditandai dengan lahirnya Staatsblad 1925 Nomor 647 jo. Ordonansi 1949 Nomor 9 yang mengatur pembatasan kerja anak dan wanita. Kemudian tahun 1926 lahir pula Staatblad 1926 Nomor 87 yang mengatur pembatasan anak dan orang muda bekerja di atas kapal. Selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942 lahirlah Undang-undang Hukum Pidana KUHP, yang disahkan mulai berlaku pada tanggal 26 Februari 1946. ada beberapa Pasal seperti Pasal 45, 46, dan 47 KUHP memberikan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya Pasal 285, 287, 290, 292, 293, 294, 297 KUHP memberikan perlindungan terhadap anak. Dilanjutkan pada tahun 1948 lahir Undang-Undang Pokok Perburuhan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 yang melarang seorang anak untuk melakukan pekerjaan. Pada tanggal 23 Juli 1979 lahir pula Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak dengan Peraturan Pelaksanaan PP Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Usaha Kesejahteraan Anak 29 Februari 1988. Secara Internasional Universitas Sumatera Utara pada Tanggal 20 November 1989, lahirlah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB Tentang Hak-hak Anak. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan Presiden Keppres Nomor 36 Tahun 1990. konvensi itu memuat kewajiban negara-negara yang meratifikasinya untuk menjamin terlaksananya hak-hak Anak. Sejak Indonesia meratifikasi konvensi hak-hak anak Internasional pada Tanggal 25 Agustus 1990 dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun1990, maka Indonesia berkewajiban untuk mengimplementasikan hak-hak anak ke dalam hukum nasional Indonesia. Hal tersebut telah mewajibkan pemerintah Indonesia untuk menentukan tindakan yuridis. Tindakan yuridis disini mewajibkan pemerintah untuk segera membentuk undang-undang nasional yang sesuai dengan kaidah konvensi hak anak Internasional disertai dengan penegakan hak-hak anak tersebut sesuai dengan ketentuan undang-undang. Setelah pelaksanaan ratifikasi konvensi hak-hak anak Internasional, Perundang-undangan yang dimaksudkan untuk itu dapat kita lihat sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. e. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. f. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Universitas Sumatera Utara g. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa. h. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Sekolah. i. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 Tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera. j. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 15 April 1994 Tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar. k. Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M. 03-UM. 01. 06 Tahun 1991 mengubah Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M. 06-UM. 01. 06 Tahun 1983 Tentang Tata Tertib dan Tata Ruang Sidang Peradilan Anak. Banyak peraturan terkait mengenai anak, itu berarti pertimbangan yang harus dinilai adalah karena betapa pentingnya anak sebagai generasi penerus cita- cita bangsa, dan untuk itu harus mendapatkan perlindungan melalui berbagai undang-undang.

C. Anak-Anak Rentan Menjadi Korban Pelacuran

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang- undang Dasar 1945. Diperlukan pembinaan secara terus-menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial Universitas Sumatera Utara serta perlindungan dari segala kemungkianan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa depan. Dalam berbagai hal upaya pembinaan dan perlindungan tersebut, dihadapkan pada permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku dikalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Disamping itu, terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal tidak memiliki kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental maupun sosial. Mengingat keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik sengaja maupun tidak sengaja bahkan sering juga seorang anak melakukan tindakan atau perilaku yang dapat merugikan dirinya sendiri dan atau masyarakat. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh seorang anak, disebabkan oleh berbagai faktor antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasiinformasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan besar yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain seorang anak yang kurang perhatian, kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan pribadinya. Pelacuran terhadap anak di bawah umur sangat menjanjikan permintaan pasar. Impian tersebut muncul dengan menjadikan wanita yang masih dibawah Universitas Sumatera Utara umur sebagai korban pelacuran. Terhadap perbuatan orang dewasa yang melacurkan anak tersebut semacam penyakit masyarakat yang muncul dari berbagai tuntutan hidup. Sehubungan dengan itu, para sarjana ilmu sosial sepakat mengkategorikan pelacuran ini ke dalam ”Patologi Sosial” atau penyakit masyarakat yang harus diupayakan penanggulangannya. 58 Dalam dunia kedokteran dan ilmu-ilmu lain yang terkait seperti ilmu biologi, anak-anak remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik ketika alat-alat kelamin manusia mencapai kematangannya. Secara anatomis berarti alat-alat kelamin khususnya dan keadaan tubuh umumnya memperoleh bentuk yang sempurna dan alat kelamin tersebut sudah berfungsi secara sempurna pula. Pada akhir dari peran perkembangan fisik ini seorang pria berotot, berkumis, dan berjanggut sudah mampu menghasilkan beberapa ratus juta sel telur spermatozoa setiap kali berejakulasi. Di lain pihak bagi wanita berpayudara dan Pelacuran sesama orang dewasa kerap sekali terjadi dan sudah merupakan hal yang lumrah. Akan tetapi pelacuran terhadap anak merupakan hal yang sangat menarik bagi para om-om sehingga meningkatkan permintaan pasar terhadap anak sebagai korban pelacuran semakin tinggi. Mungkin saja menurut penulis karena anak memiliki daya tarik tersendiri karena anak pada umumnya masih muda belia dan masih perawan. Tingginya permintaan pasar di dunia pelacuran terhadap anak karena pada usia anak mengalami perkembangan fisik yang sangat menarik perhatian orang dewasa khususnya om-om. 58 Kartini Kartono I., Loc. cit, hal. 13. Universitas Sumatera Utara berpinggul besar setiap bulannya sudah mulai mampu mengeluarkan sebuah sel telur dari indung telur. 59 Masa seperti inilah yang disebut dengan masa pubertas puber. Pada masa ini terjadi pula perkembangan jiwa anak tersebut dari kondisi entropy ke kondisi negentropy. 60 Pada masa remaja anak-anak menurut hukum positif di Indonesia, rentan sekali dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekitarnya. Anak mudah terpengaruh oleh faktor di sekelilingnya atau mudah dipengaruhi oleh perkembangan dunia orang dewasa seperti seks, karena pada usia remaja akan: Wanita dan laki-laki yang berada dalam negentropy merasa dirinya sebagai bagian yang utuh, merasa dirinya bertindak dengan jelas, tidak bimbang- bimbang lagi sehingga sangat mudah untuk diperdaya dan terperdaya oleh rayuan apa dan oleh siapa pun. 61 1. Menerima kondisi fisik dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif; 2. Menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin manapun; 3. Menerima peran jenis kelamin masing-masing laki-laki atau perempuan; 4. Berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua dan orang dewasa lainnya; 5. Mempersiapkan karir ekonomi; 6. Mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga; 7. Merencanakan tingkah laku sosial yang bertanggung jawa; 8. Mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah lakunya. Kecenderungan-kecenderungan di atas masa transisi pada perliku anak remaja, sangat rentan menjadi objek dijadikan sebagai pemuas sahwat bagi lelaki hidung belang atau om-om. Hal ini disebabkan karena remaja sangat mudah 59 Sarlito Wirawan Sarwono., Loc. Cit, hal. 7. 60 Kondisi entropy adalah keadaan dimana kesadaran manusia masih belum tersusun rapi. Sedangkan kondisi negentropy adalah keadaan berupa isi kesadaran sudah mulai tersusun dengan baik, pengetahuan yang satu terkait dengan pengetahuan yang lain. Ibid, hal. 11-12. 61 Ibid, hal. 41. Universitas Sumatera Utara diperdaya. Di samping itu, faktor seksualitas pada masa remaja ini mudah dialami karena keingintahuannya terhadap apa yang diperbuat oleh orang dewasa. Sehingga tidak jarang remaja masuk dalam perangkap pergaulan bebas free sex. 62 Polsek Kota Tanjung pinang berhasil membongkar sindikat pelacuran anak di bawah umur, dengan mengamankan 3 orang korban yang masih duduk di bangku sekolah SMP di Tanjung pinang dan menangkap dua orang tersangka Windi 15 Herry 30, pada hari Senin tanggal 18 Desember 2009. Tiga orang korban masing-masing Ad 13, Ca 13, dan Dn 15, yang mengaku warga Kampung Bugis Kecamatan Tanjungpinang Kota mengaku perawannya dijual kepada Windi seharga Rp 1 juta kepada seorang laki-laki dari Kalimantan beberapa waktu lalu. Kendati pertama melakukan hubungan intim akibat rayuan dan sedikit ada pemaksaan, tetapi ketiga korban mengakui, mereka sudah sering berhubungan intim, memuaskan laki-laki hidung belang di beberapa hotel di Tanjungpinang berkat orderan Windi. Salah seorang korban sebut saja Bunga menuturkan, dirinya terjerumus ke dalam pelacuran itu, akibat bujukan Windi, Hal inilah yang mendorong bagi pelaku bisnis haram pelacuran anak dapat dengan mudah merayu, menggoda, hingga sampai membawa anak, atau bahkan dijebak dalam suatu perangkap prostitusi. Seperti kejadian di bulan Desember 2009 yang lalu bahkan anak sebagai korban kerap mendapatkan kekerasan seperti pukulan, ancaman dan lain-lain. Berikut ini adalah contoh anak sebagai korban yang rentan menjadi objek mucikari karena permintaan pasar, kejadian tersebut terjadi di Tanjung Balai. 62 Yudho Purwoko., Loc. cit, hal. 25. Universitas Sumatera Utara bekerja sebagai pemuas nafsu laki-laki dengan bayaran yang mahal. Pertama ikut- ikut Windi germomucikari, lantas dibujuk melayani laki-laki. Dikatakan siswi yang masih duduk di bangku sekolah SMP ini, saat perawannya dijual Windi seharga Rp.1 juta, dirinya sempat menerima perlakuan kasar dibarengi ancaman dari tamu laki-laki yang dilayani. Waktu pertama melayani laki-laki saya dirayu dan diancam, kata tamunya kamu sudah saya beli dan sekarang menjadi milik saya, jelas Bunga lagi. Kendati ketiga korban anak di bawah umur yang terjerumus ke dalam sindikat pelacuran ini mengatakan tidak mengalami kehamilan, tetapi ketiganya terlihat trauma dan ketakutan. 63 Meski enggan mengatakan berapa jumlah anak-anak yang perawannya sudah dijualnya, Windi mengakui sudah menekuni profesi pelacuran anak perawan di bawah umur ini selama satu tahun, dan hal itu dilakukaan karena korban juga tidak keberatan. Modus operandi yang dilakukan Windi, dengan menyediakan stok orderan anak-anak di bawah umur, kemudian melalui sales yang berprofesi sebagai guide di Tanjungpinang. Ketika sales menelepon dengan harga yang sudah disepakati, Windi bersama salesnya langsung menyerahkan anak-anak di bawah umur itu, ke tamu yang mengordernya. Biasanya tamu-nya tidak menentu, kalau ada orderan langsung saya carikan, dan bawa kepada yang minta, dengan harga yang sudah ditentukan. 63 Kedua tersangka berprofesi sebagai mucikari dan pencari orderan laki-laki hidung belang yang biasa memesan wanita muda serta perawan, di Hotel Sakura, dan Melia Tanjung pinang. Kapolsek Kota AKP Darmawan mengatakan, terbongkarnya sindikat pelacuran anak di bawah umur dan masih sekolah di SMP ini berkat laporan keluarga korban, kepada Babinkamtibmas yang disebarkan di masyarakat, dan dikembangkan dengan pencarian korban, hingga menemukan korban di Hotel Sakura dan Melia dengan tersangka Windi dan Herry. http:www.batamtoday.comsitemeindex.php?Polisi-Bongkar-Sindikat-Pelacuran-di-Bawah- Umur,-Siswi-SMP-Jadi-Pemuas-Nafsumod=searchcid=3artid=8958set=publish, oleh: Charles, “Polisi Bongkar Sindikat Pelacuran di Bawah Umur, Siswi SMP Jadi Pemuas Nafsu”, diakses terakhir tanggal 18 Januari 2010. Universitas Sumatera Utara Jumlah persentase yang didapat Windi, berkisar antara 4-6 ratus ribu, dan sisanya diserahkan kepada korban, dipotong ongkos ojek, serta persentase pengorder, seperti tersangka Herry. Sementara Herry, tersangka lainnya mengaku hanya pengorder, pencari laki-laki hidung belang, dan setiap pengorderan dirinya diberikan Rp 50 ribu. Kapolsek Tanjung pinang Kota AKP Darmawan menambahkan, selain ketiga korban, sebelumnya juga ada korban lainnya yang akan dijadikan sebagai saksi dalam kasus ini. Kedua tersangka akan dijerat dengan Pasal 82 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, serta Pasal 2 Ayat 1 UU Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Saat ini, kasus pelacuran di bawah umur yang melibatkan siswa SMP 13-15 tahun ini masih terus dikembangkan, dan kedua tersangka diancam dengan hukuman 15 tahun penjara.

D. Penyebab Terjadinya Pelacuran Anak Di Bawah Umur

Beberapa faktor yang menimbulkan anak-anak di bawah umur, melakukan pelacuran di antaranya adalah karena faktor ekonomi, pengaruh gaya hidup, rendahnya kualitas pendidikan anak-anak yang menjadi korban pelacuran, dan karena trafficking. 64 Praktik trafficking atau perdagangan anak khususnya perempuan di bawah umur untuk dijadikan sebagai objek pelacuran di tingkat lokal, jauh lebih besar bila dibandingkan praktik yang sama yang bersifat lintas daerah, pernyataan ini dipublikasikan oleh M. Irfan Ilmie melalui situs di internet. Terungkapnya kasus 64 Tjahjo Purnomo., dan Ashadi Siregar., Op. cit, hal. 13. Universitas Sumatera Utara pelacuran siswi SMP di kota Medan oleh salah satu pejabat pemkot setempat dengan iming-iming imbalan uang jutaan rupiah untuk layanan seksual selama enam jam, pada pertengahan Januari 2010, merupakan satu contoh kecil adanya fenomena tersebut. 65 Faktor keluarga, faktor ekonomi, pengaruh gaya hidup, serta rendahnya kualitas pendidikan anak-anak yang menjadi komoditas perdagangan seksual orang dewasa itu menjadi penyebab tingginya potensi kasus trafficking di daerah- daerah. Mereka awalnya mungkin ada yang hanya iseng karena kebutuhan ekonomi keluarga atau gaya hidup, tetapi lama-kelamaan mereka akan Di permukaan memang terkesan seperti praktik prostitusi biasa, tetapi mengingat transaksi seksual itu selalu melibatkan pihak ketiga selaku perantara, maka kasus-kasus tersebut bisa dikategorikan sebagai bentuk perdagangan orang. Jika pelacuran dilakukan atas inisatif atau kemauan sendiri tanpa melibatkan orang lain pihak ketiga maka itu didefinisikan sebagai prostitusi biasa. Tetapi, jika praktik itu sudah melibatkan perantara dan diumbar janji akan diberikan imbalan sejumlah uang, maka itu masuk kategori perdagangan orang trafficking. Potensi kasus perdagangan orang dengan objek penderita anak perempuan di bawah umur sudah marak terjadi. Fakta itu setidaknya diakui oleh hampir semua aktivis penggiat masalah perlindungan anak dan pencegahan tindak pidana trafficking yang ada di daerah-daerah tertentu. Rata-rata anak yang menjadi korban trafficking berusia 14-17 tahun. Mereka umumnya berasal dari berbagai daerah tertentu. 65 http:lifestyle.id.finroll.comrumah-a-keluarga25-berita-terkini181080-lipsus- fenomena-gunung-es-perdagangan-dan-pelacuran-anak.html?tmpl=componentprint=1page=, diakses terakhir tanggal 24 Februari 2010. Universitas Sumatera Utara dimanfaatkan orang lain yang menjadi pihak ketiga untuk diperdagangkan. Dinamisasi praktik prostitusi terselubung dengan objek anak di bawah umur inilah, pada kelanjutannya sangat rentan menjadi komoditas trafficking dengan tujuan kota-kota besar di Indonesia. Masalahnya, meski kasus perdagangan orang disinyalir marak terjadi, jumlah maupun intensitas trafficking dengan objek anak di bawah umur sampai saat ini masih sulit diidentifikasi secara pasti. Pola transaksi yang bersifat terselubung serta jaringan pelaku perdagangan orang yang tidak pernah dilakukan secara terang-terangan, menjadi kendala utamanya. Berdasarkan pengamaan di lapangan, bahwa terhadap pelacuran anak di bawah umur tersebut, dipengaruhi oleh berbagai faktor, sebagai berikut:

a. Faktor keluarga

Keluarga menjadi faktor menyebabkan anak di bawah umur bisa melacurkan diri. Keluarga yang dimaksud tersebut adalah keluarga yang broken home keluarga yang berantakan. Keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan di dalamnya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali. Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan tetapi merupakan lingkungan paling kuat dalam membesarkan anak dan terutama bagi anak yang belum sekolah. Oleh karena itu, keluarga memiliki peranan yang paling penting dalam perkembangan anak, keluarga yang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan anak, sedangkan kelaurga yang jelek akan berpenagruh negatif. Oleh karena sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan untuk seterusnya, sebagian besar waktunya adalah di dalam keluarga maka Universitas Sumatera Utara sepantasnya kalau kemungkinan timbulnya perbuatan anak yang melacurkan diri itu, sebagian berasal dari faktor atau keadaan di dalam kelaurga anak keluarga. Adapun keadaan keluarga yang dapat menjadikan anak melacurkan diri dalam dunia seks dapat berupa keluarga yang tidak normal atau keadaan keluarga yang berantakan broken home. 1. Broken home dan quasi broken home Menurut pendapat umum pada broken home ada kemungkinan besar bagi terjadinya pelacuran anak di bawah umur, di mana terutama perceraian atau perpisahan orang tua mempengaruhi perkembangan si anak. Dalam broken home pada prinsipnya struktur keluarga tersebut sudah tidak lengkap lagi yang disebabkan adanya hal-hal: 1 Salah satu kedua orang tua atau kedua-duanya meninggal dunia; 2 Perceraian orang tua ; dan 3 Salah satu kedua orang tua atau keduanya “tidak hadir” secara kontiniu dalam tenggang waktu yang cukup lama. Keadaan keluarga yang tidak normal bukan hanya terjadi broken home, akan tetapi dalam masyarakat modern sering pula terjadi suatu gejala adanya broken homosemu, quasi broken home ialah kedua orang tuanya masih utuh, tetapi karena masing-masing anggota keluarga ayah dan ibu mempunyai kesibukan masing-masing sehingga orang tua tidak sempat memberikan Universitas Sumatera Utara perhatiannya terhadap pendidikan anak-anaknya. Dalam kaitan ini, Bimo Walgito menjabarkan lebih jelas lagi bahwa: 66 1 Anak yatim piatu; ”Tidak jarang orang tua tidak dapat bertemu dengan anak-anaknya. Coba bayangkan orang tua kembali dari kerja, anak-anaknya sudah bermain di luar, anak pulang orang tua sudah pergi lagi, orang tua datang anak-anak sudah tidur, dan seterusnya. Keadaan yang semacam ini jelas tidak menguntungkan perkembangan anak. Dalam situasi keluarga yang demikian anak muda mengalami frustasi, mengalami konflik-konflik psikologis, sehingga keadaan ini juga dapat mudah mendorong anak menjadi delinkuen atau kenakalan anak.” Baik broken home maupun quasi broken home dapat menimbulkan ketidakharmonisan dalam keluarga atau disintegrasi sehingga keadaan tersebut memberikan pengaruh yang kurang menguntungkan terhadap perkembangan anak. Sedangkan dalam kenyataannya menunjukkan bahwa anak-anak di bawah umur yang melakukan kejahatan disebabkan karena di dalam keluarga terjadi disintegrasi. Mereka terdiri dari: 2 Anak yang tidak jelas asal usul keturunannya anak lahir bukan karena perkawinan yang sah; 3 Karena perceraian kedua orang tuanya, anak yang ditinggalkan ayahnya tanpa perceraian yang sah; dan 4 Anak yang sering ditinggalkan kedua orang tuanya karena mencari nafkah berdagang, mengemudi becak, ayah tugas di luar daerah. Pada dasarnya pelacuran anak yang disebabkan karena broken home dapat diatasiditanggulangi dengan cara-cara tertentu. Dalam boken home cara 66 Bimo Walgito., Kenakalan Anak Juvenile Delinguency, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psykologi UGM, 1982, hal. 11. Universitas Sumatera Utara mengatasi agar anak supaya tidak terjerumus kepada dunia pelacuran anak adalah orang tua yang bertanggung jawab memelihara anak-anaknya hendaklah mampu memberikan kasih sayang yang sepenuhnya sehingga anak tersebut merasa seolah-olah tidak pernah kehilangan ayah dan ibunya. Di samping itu keperluan anak secara jasmaniah makan, minum, pakaian, dan sarana-sarana lainnya harus dipenuhi pula sebagaimana layaknya sehingga anak tersebut terhindar dari perbuatan pelacuran karena pergaulan bebas. 2. Keadaan jumlah anak yang kurang menguntungkan Aspek lain di dalam keluarga yang dapat menimbulkan anak di bawah umur menjadi delinkuen sehingga melacurkan diri adalah jumlah anggota keluarga anak serta kedudukannya yang dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Keadaan tersebut berupa: 67 1 Keluarga kecil. Titik beratnya adalah kedudukan anak dalam keluarga misalnya anak sulung, anak bungsu dan anak tunggal. Kebanyakan anak tunggal sangat dimanjakan oleh orang tuanya dengan pengawasan yang luar biasa, pemenuhan kebutuhan yang berlebih-lebihan dan segala permintaannya dikabulkan. Perlakuan orang tua terhadap anak akan menyulitkan anak itu sendiri di dalam bergaul dengan masyarakat dan sering timbul konflik di dalam jiwanya, apabila suatu ketika keinginannya tidak dikabulkan oleh anggota masyarakat yang lain, akhirnya mereka frustasi dan mudah berbuat nakal dan jahat misalnya melakukan penganiayaan, berkelahi, dan melakukan pengrusakan sehingga pada akhirnya memilih hidup bebas di dunia luar dengan teman-teman sebaya. 2 Keluarga besar. Di dalam rumah tangga dengan jumlah anggota warga yang begitu besar karena jumlah anak yang banyak, biasanya mereka kurang pengawasan dari kedua orang tua. Sering terjadi di dalam masyarakat kehidupan keluarga besar kadang-kadang disertai dengan tekanan ekonomi yang agak berat, akibatnya banyak sekali keinginan anak-anak yang tidak terpenuhi. Akhirnya mereka mencari jalan pintas yakni mencuri, menipu, melacurkan diri, dan memeras. Ada kemungkinan lain, dalam keluarga besar dengan jumlah anak yang banyak biasanya pemberian kasih sayang dan pemberian perhatian dari kedua orang tua 67 Sudarsono., Op. cit, hal. 127. Universitas Sumatera Utara sama sekali tidak sama. Akibatnya, di dalam intern keluarga timbul persaingan dan rasa iri hati satu sama lain yang pada dasarnya akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Pada prinsipnya sifat negatif dari kedua orang tua terhadap anak dalam kedua bentuk keluarga, baik keluarga kecil maupun keluarga besar ternyata menyesatkan anak-anak di bawah umur dan sangat merugikan masyarakatnya. Sebenarnya keadaan tersebut dapat dicari cara mendidiknya. Misalnya dalam keluarga kecil anak tunggal orang tua tidak berlebih-lebihan di dalam memberikan kasih sayang kepada anaknya dan supaya ditanamkan rasa hormat- menghormati sesama kawan. Sedangkan dalam keluarga besar yang mengalami tekanan ekonomi seharusnya anaknya dididik hidup sederhana, diberi pengertian tata cara mencari nafkah yang benar menurut norma sosial, norma agama, norma susila dan norma hukum. Orang tua, wali atau pengasuh harus memahami semua kebutuhan anak- anaknya baik yang bersifat biologis maupun yang bersifat psikologis. Anak-anak di dalam hidupnya perlu makan, minum, pakaian. Di samping itu mereka membutuhkan cinta kasih sayang serta rasa aman dalam keluarga, juga perlakuan adil dari kedua orang tua sangat mereka harapkan. Keluarga memiliki peranan untuk menanamkan disiplin bagi anak-anak sejak masih kecil agar setelah dewasa hal tersebut dapat menjadi kebiasaan.

b. Pendidikan

Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berpribadian, berdisiplin, bekerja Universitas Sumatera Utara keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada tanah air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial. Sejalan dengan itu dikembangkan iklim belajar dan mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri sendiri serta sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif. Dengan demikian pendidikan nasional akan mampu mewujudkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama tanggung jawab atas pembangunan bangsa. Sedangkan menurut Undang-Undang RI No.2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 4, menegaskan, pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahaesa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dalam konteks ini sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua setelah lingkungan keluarga bagi anak. Di kota-kota besar di Indonesia masa anak-anak masih merupakan masa di sekolah terutama pada masa-masa permulaan. Dalam masa tersebut pada umumnya anak duduk di bangku sekolah menengah pertama atau yang lebih setingkat. Adapun di desa-desa terutama dipelosok-pelosok masih dijumpai banyak anak remaja yang sudah tidak sekolah lagi, meskipun mereka pada umumnya dapat menikmati pendidikan sekolah dasar. Selama mereka menempuh pendidikan formal di sekolah terjadi interaksi Universitas Sumatera Utara antara anak dengan sesamanya, juga interaksi antara anak dengan pendidik. Interaksi yang mereka lakukan di sekolah sering menimbulkan akibat sampingan yang negatif bagi perkembangan mental sehingga anak menjadi delinkuen bahkan pengaruh tersebut merusak perkembangan jiwanya sehingga merasa tidak tabu baginya jika perbuatan seperti pelacuran telah menjadi bagian dalam hidupya. 1 Pengaruh negatif yang timbul di sekolah Anak-anak yang memasuki sekolah tidak semua berwatak baik, misalnya pengisap ganja, crossb boys dan cross girls yang memberikan kesan kebebasan tanpa kontrol dari semua pihak terutama dalam lingkungan sekolah. Dalam sisi lain, anak-anak yang masuk sekolah ada yang berasal dari keluarga yang kurang memperhatikan kepentingan anak dalam belajar yang kerap sekali berpengaruh pada teman yang lain. Sesuai dengan keadaan yang seperti ini sekolah-sekolah sebagai tempat pendidikan anak-anak dapat menjadi sumber terjadinya konflik- konflik psikologis yang pada prinsipnya memudahkan anak menjadi delinkuen. Pengaruh negatif yang menangani langsung proses pendidikan antara lain kesulitan ekonomi yang dialami pendidik dapat mengurangi perhatiannya terhadap anak didik. Pendidik sering tidak masuk, akibatnya anak-anak didik terlantar, bahkan sering terjadi pendidik marah kepada muridnya. Biasanya guru marah apabila terjadi sesuatu yang menghalangi keinginannya tertentu. Dia akan marah, apabila kehormatannya direndahkan, baik secara langsung maupun tidak Universitas Sumatera Utara langsung atau sumber rezekinya dan sebangsanya dalam keadaan bahaya, sebagian atau seluruhnya atau lain dari itu. 68 2 Upaya global dalam prevensi Dewasa ini sering terjadi perlakuan guru yang tidak adil, hukumansanksi- sanksi yang kurang tercapainya tujuan pendidikan, ancaman yang tiada putus- putusnya disertai disiplin, yang terlalu ketat, disharmonisasi antara peserta didik dan pendidik, kurangnya kesibukan belajar di rumah. Proses pendidikan yang kurang menguntungkan bagi perkembangan jiwa anak kerap kali memberi pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap peserta didik di sekolah sehingga dapat menimbulkan kenakalan remaja juvenile delinquency. Berdasarkan penelitian ini, kenakalan remaja merupakan salah satu faktor anak terjerumus kepada pergaulan bebas sehingga ujung-ujungnya melanggar norma-norma misalnya asusila dalam bentuk bebas melakukan seks dengan siapa pun dengan alasan karena ekonomi dan karena ingin bersenang-senang dengan lawan jenisnya atau pacarnya. Mewujudkan lingkungan sekolah yang sehat dimulai dari menetapkan peraturan tentang pakaian seragam dengan maksud agar kehidupan peserta didik tampak serasi, tidak terjadi penonjolan kemewahan di antara mereka, dididik untuk hidup sederhana agar tidak suka berfoya-foya di lingkungan sekolah khususnya. Dalam waktu-waktu tertentu diadakan operasi tertib di lingkungan sekolah secara kontiniu. Diusahakan sekmaksimal mungkin untuk menghilangkan 68 Dzakia Darajat., Pokok-Pokok Kesehatan JiwaMental, Jilid I, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 292. Universitas Sumatera Utara sumber-sumber pergaualan bebas. Jika perlu diadakan kontak-kontak dengan keluarga peserta didik di rumah agar orang tuawali ikut membangkitkan semangat mereka untuk menunaikan kewajiban-kewajiban di sekolah serta memberi motivasi agar sanggup meningkatkan kualitasprestasi belajar dalam segala bidang. Sebagian besar prestasi belajar yang dicapai peserta didik di sekolah di tunjang dengan dukungan positif dari orang tuawali. Bagi pendidik layak bersikap obyektif terhadap semua peserta didik di kelas, jika ada kebiasaansifat yang dapat mengganggu interaksi pendidik dan peserta didik atau emosional di dalam kelas, selayaknya cepat diubah dan diperbaiki. Pendidik harus memiliki disiplin yang tinggi terutama kehadiran mereka yang lebih teratur di dalam mengajar. Perhatian pendidik terhadap peserta didik diupayakan agar dapat mengetahui kelemahan peserta didik dalam banyak aspek terutama dalam proses belajar dan pergaulan yang sehat sehingga pendidik mendapat cara yang paling baik untuk menolong peserta didik serta mengatasi kesulitan lainnya. Anak yang hidup dengan bebas dan tinggal di sekitar anak-anak yang tidak bersekolah, rentan sekali berbuat jahat dan hidupnya tidak teratur bahkan pergaulan dunia bebas sering dan sudah menjadi tabiatnya. Tentu saja sangat berbeda dengan kehidupan anak yang tinggal di dalam sebuah kompleks perumahan yang serba diawasi dan sangat jarang ditemukan anak yang berkeliaran di malam hari. Ini juga salah satu menjadi faktor anak bisa terjerumus kepada dunia pergaulan yang bebas. Bahkan suatu saat anak tersebut tidak segan- segan melakukan perbuatan asusila seperti mencari uang atau pendapatan melalui melacurkan diri. Dunia pelacuran yang dilakukan anak bisa saja karena keinginan Universitas Sumatera Utara bersenang-senang bisa juga karena ingin mendapatkan uang. Tentu saja bagi anak yang terjerumus kepada pelacuran ini tidak memandang apakah laki-laki yang memesannya itu adalah sebaya dengannya atau om-om yang usianya sudah jauh berbeda dengannya yang penting laki-laki tersebut ada uangnya untuk membayar.

3. Lingkungan

Lingkungan masyarakat di sekitar anak menjadi pendukung bagi perkembangan jiwa anak sehingga pada akhirnya anak yang masih muda usianya melakukan pelacuran. Seperti yang telah dijelaskan di atas tadi, bahwa anak yang hidup dan tinggal di daerah perumahan atau kompleks tidak sama perkembangan jiwanya dengan anak yang hidup dan tinggal di daerah pinggiran seperti di pinggiran sungai, di pinggiran rel kereta api, di daerah perkampungan yang kumuh dan lain-lain. Anak sebagai anggota masyarakat selalu mendapat pengaruh dari keadaan masyarakat dan lingkungannya baik langsung maupun tidak langsung. Pengaruh yang dominan adalah akselerasi perubahan sosial yang ditandai dengan peristiwa- peristiwa yang sering menimbulkan ketegangan seperti persaingan dalam perekonomian, pengangguran, mass media, dan fasilitas rekreasi. Pada dasarnya kondisi ekonomi global memiliki hubungan yang erat dengan timbulnya delinkuen. Di dalam kehidupan sosial adanya kekayaan dan kemiskinan mengakibatkan bahaya besar bagi jiwa manusia sebab kedua hal tersebut akan mempengaruhi keadaan jiwa anak-anak di bawah umur. Dalam kenyataan ada sebagian anak di bawah umur yang hidup miskin memiliki perasaan rendah diri dalam masyarakat sehingga anak-anak tersebut melakukan Universitas Sumatera Utara perbuatan melawan hukum terhadap hak milik orang lain, seperti pencurian, penipuan dan penggelapan. Biasanya hasil dari perbuatan tersebut mereka gunakan untuk bersenang-senang, seperti membeli pakaian yang bagus-bagus, nonton film dan makan yang serba lezat. Dalam hal ini ada kesan bahwa perbuatan delinkuen tersebut timbul sebagai konpensasi untuk menyamakan dirinya dengan kehidupan para keluarga kaya yang biasa hidup gemerlapan dan berfoya-foya. Kemiskinan keluarga ekonomi lemah bukanlah penyebab satu- satunya bagi timbulnya pelacuran anak akan tetapi memiliki titik singgung di dalamnya. Titik singgung yang dimaksud tersebut seperti adanya hal yang saling berhubungan misalnya anak yang hidup miskin bisa saja melakukan kejahatan seperti pencurian, hasilnya untuk dinikmatinya sendiri karena ingin menyamakan kedudukannya dengan orang-orang kaya. Akan tetapi anak bisa saja melakukan perbuatan pencurian hanya karena untuk memenuhi kebutuhan keluarganya seperti makan dan kebutuhan sehari-hari. Bahkan jika titik singgung itu semakin komplit, anak perempuan yang melacurkan diri memiliki alasan adalah untuk mencari nafkah keluarganya juga. Jadi bukan saja perbuatan jahat seperti mencuri yang dilakukan bahkan perbuatan asusila pun juga bisa saja terjadi. Di negara-negara yang sedang berkembang atau dalam proses membangun pada umumnya masalah penyediaan lapangan kerja dalam proses upaya maksimal. Dalam satu sisi pemerintah berusaha terus menerus membangun sarana-sarana industri dan infrastrukturnya yang lebih memadai sedangkan disisi lain pertambahan penduduk tetap melaju dengan cepat, akhirnya pengangguran Universitas Sumatera Utara makin meningkat. Adanya pengangguran di dalam masyarakat terutama anak- anak remaja akan menimbulkan peningkatan kejahatan dan penyimpangan- penyimpangan norma dalam dikalangan masyarakat maupun anak-anak di bawah umur disebabkan karena menganggur. Pengangguran mempengaruhi naik turunnya asusila, sebagaimana dikatakan oleh Sleldon Gluck bahwa, ”Pengangguran tidak adanya pekerjaan akan sedikit banyak mempengaruhi naik turunnya kejahatan dan keadaan ini akan mempengaruhi pula tingkah laku seseorang. Bila anak tersebut bertingkah baik walaupun menganggur maka kejahatan akan turun dan sebaliknya, akan naik”. 69 Di kalangan masyarakat sudah sering terjadi perbuatan asusila seperti pemerkosaan karena dipaksa, melacurkan diri karena keinginannya sendiri, dilacurkan karena dipaksa melacurdijebak, trafficking perdagangan anak. Perbuatan asusial tersebut dilakukan oleh pelaku dari tingkatan umur yang beraneka ragam, terdiri dari orang lanjut usia, orang dewasa dan usia anak-anak. Bagi anak keinginankehendak untuk berbuat asusila kadang-kadang timbul karena bacaan, tontonan, gambar-gambar dan film yang berbau porno yang bisa menimbulkan birahi seks bagi anak yang masi muda belua. Bagi mereka yang mengisi waktu senggangnya dengan bacaan-bacaan porno misalnya novel seks, maka hal itu akan berbahaya dan dapat menghalang-halangi mereka untuk berbuat hal-hal yang baik. Demikian pula tontonan yang berupa gambar-gambar porno akan memberi rangsangan seks terhadap anak. Rangsangan seks tersebut akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan jiwa anak. Mengenai hiburan film 69 Hari Saherodji., Pokok-Pokok Kriminologi, Jakarta: Aksara Baru, 1980, hal. 48-49. Universitas Sumatera Utara termasuk video cassette adakalanya memiliki dampak kejiwaan yang baik, akan tetapi hiburan tersebut memberi pengaruh yang tidak menguntungkan bagi perkembangan jiwa anak. Misalnya film-film barat atau film india yang kadang- kadang menunjukkan bagian sensual aktor wanitanya walaupun tidak seluruhnya namun dari aksi gaya seks yang dipertontonkan tersebut, bagi anak yang tidak kokoh imannya bisa melakukan peniruan terhadap lawan jenisnya oleh karena ingin tahunya sangat tinggi. Jika pengawasan tidak dilakukan orang tuanya, maka bisa berlanjut ketingkat stadium tinggi seperti terjerumus kepada dunia seks dan melacurkan diri. Adegan-adegan film porno tersebut akan mudah mempengaruhi perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini dapat berpengaruh negatif terhadap perkembangan jiwa anak. Selain dari faktor-faktor di atas, terdapat faktor-faktor yang menjadi penyebab serta tujuan mengapa anak-anak di bawah umur ini terjun ke dalam dunia pelacuran. Faktor-faktor penyebab tersebut antara lain adalah: 70 1. Masalah ekonomi. Dari beberapa orang yang penulis temui mengemukakan bahwa masalah ekonomi menjadi salah satu faktor yang membuat para pelacur melakukan pelacuan, di tengah era teknologi maju dimana harga-harga melambung tinggi mereka mengakui bahwa pekerjaan tersebut menjadi jalan keluar yang cepat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarganya. 2. Masalah Keluarga 70 Wawancara langsung dengan Germo, para pelacur, dan pihak pengelola klub malam di sekitar jalan Nibung Raya Medan tanggal 12 Februari 2010. Universitas Sumatera Utara Dari beberapa PSK yang penulis temui sebagian menuturkan bahwa alasannya menjadi pelacur adalah karena kabur dari rumah sporing, akibat ketegangan yang diterjadi di rumah keluarganya yang berantakan dan kurangnya perhatian orang tua sehingga mengalami frustasi. 3. Patah Hati Alasan yang ketiga adalah dikarenakan patah hati, dikecewakan oleh pacar dengan dinodai lalu ditinggalkan begitu saja khususnya anak di bawah umur yang masih sekolah SMP dan SMA. Di antara mereka bahkan disakiti oleh mantan suami, hal ini disebabkan masyarakat di pedesaan masih saja cepat-cepat menikahkan anak gadisnya, meskipun anak tersebut masih jauh dari dewasa. 4. Dijebak Dijebaknya seorang gadis di bawah umur yang di iming-imingi mendapat pekerjaan dengan mudah dan bergaji besar di kota tertentu untuk kemudian dijual pada germo yang berada di wilayah lokalisasi sehingga terjebak dan tidak bisa keluar, cerita tragis yang bagi sebagian orang hanya ada di dalam film atau sinetron adalah menjadi kenyataan pahit yang harus dialami, menangis dan menyesali langkah yang telah mereka ambil saat mereka pergi ke kota menjadi kegiatan rutin mereka sehari-hari, kepedihan yang harus mereka telan disela caci maki orang yang merasa jijik akan kehadiran mereka membuat mereka kebal akan rasa sakit. 5. Atas Kemauan Sendiri Universitas Sumatera Utara Alasan ini agak mengejutkan bagi penulis, karena anak yang masih di bawah umur berpenampilan dewasa mengatakan bahwa melakukan pekerjaan ini atas kemauan sendiri tanpa desakan dari siapa pun, hal ini disebabkan pergaulan bebas serta kurangnya pendidikan moral dan agama sehingga mudah terpengaruh. 6. Ajakan dan rayuan Orang Tuanya sendiri Hal yang paling mengejutkan adalah para pelacur diantar oleh orang tuanya sendiri untuk bekerja di kota medan sebagai wanita penjaja seks, dan anak yang baru ini meminjam sejumlah uang pada germonya untuk orang tua mereka, dengan jaminan badan mereka sendiri. Apabila anak ini mempunyai banyak pelanggannya maka germo pun tidak segan-segan untuk memberikan apa yang diminta oleh anak tersebut. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, sehingga pembangunan tersebut harus mencerminkan kepribadian Bangsa Indonesia termasuk membangun generasi muda. Generasi muda merupakan bagian dari pembangunan nasional yang tidak terpisahkan dan menempati posisi sebagai subyek dan obyek dari pembangunan itu sendiri. Generasi muda sebagai subjek merupakan pelaku dan pelaksana pembangunan yang harus dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama membangun bangsanya. Generasi muda sebagai obyek merupakan generasi penerus sejarah dan sebagai penerus cita-cita perjuangan Bangsa Indonesia. Anak adalah generasi penerus dan pelaksana pembangunan terhadap dirinya sendiri, keluarga, dan bangsanya. Oleh karena itu, wajib bagi anak untuk memperoleh perlindungan. Jika anak telah dikangkangi haknya atau dieksploitasi kepribadiannya oleh orang dewasa disekelilingnya, jelas bahwa perbuatan orang dewasa tersebut telah merusak tujuan pembangunan nasional. Salah satu bentuk eksploitasi terhadap hak-hak anak adalah perbuatan pelacuran anak defenisi anak dibatasi pada konsep anak menurut hukum positif. Dunia pelacuran menjanjikan pemenuhan sejuta impian. Pelacuran terhadap anak di bawah umur sangat menjanjikan permintaan pasar. Impian tersebut muncul dengan menjadikan wanita yang masih dibawah umur sebagai korban pelacuran. Terhadap perbuatan orang dewasa yang melacurkan anak Universitas Sumatera Utara tersebut semacam penyakit masyarakat yang muncul dari berbagai tuntutan hidup. Sehubungan dengan itu, para sarjana ilmu sosial sepakat mengkategorikan pelacuran ini ke dalam ”Patologi Sosial” atau penyakit masyarakat yang harus diupayakan penanggulangannya. 1 Jika ditinjau dari anak sebagai pelaku pelacur, terdapat berbagai persoalan yang menyangkut tuntutan hidupnya sehingga tidak merasa bersalah dan enggan untuk dilindungi. Mereka seolah-olah senang dengan perbuatan tersebut. Salah satu faktor penyebabnya adalah tuntutan ekonomi dalam keluarga sehingga seks sebagai komoditi telah menumbuhkan suatu profesi yang memerlukan totalitas diri sebagai modal kerja. 2 Di samping itu, ada kalanya anak pada mulanya tidak mempunyai niat untuk melacur, melainkan suatu jebakan dengan iming-iming dipekerjakan pada sebuah perusahaan, namun pada akhirnya ternyata anak tersebut dipaksa melakukan pelacuran. 3 Hak asasi anak telah direnggut oleh situasi pelacuran yang demikian. Bukan saja itu, pelacuran terhadap anak telah melanggar nilai-nilai, norma, yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dalam termasuk pelanggaran hukum di Indonesia karena pelacuran anak melanggar berbagai ketentuan di dalam undang-undang seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan 1 Patologai berasal dari kata “phatos” artinya penderita, penyakit. Jadi Patologi artinya ilmu tentang penyakit. Sedangkan patologi sosial adalah ilmu tentang gejala-gejala sosial yang dianggap sakit disebabkan oleh faktor-faktor sosial. Defenisi sosiologisnya adalah semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin kebaikan dan hukum formal. Kartini Kartono I., Pathologi Sosial I, Jakarta: CV. Rajawali, 1981, hal. 13. 2 Ashadi Siregar., Menyusuri Remang-Remang Jakarta, Jakarta: Sinar Harapan, 1979, hal. 5. 3 Ibid. Universitas Sumatera Utara Anak, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1999 tentang HAM, dan Hukum Internasional tentang Konvensi Hak-Hak Anak. Banyaknya regulasi yang berkaitan dengan hak-hak anak tersebut, menggambarkan begitu pentingnya memberikan perlindungan terhadap pemerkosaan hak-hak anak seperti halnya pelacuran anak. Itulah sebabnya menurut Agustinus, bahwa, ”pelacuran sama pentingnya dengan selokan atau riool di dalam sebuah istana, mungkin tanpa selokan sebuah istana indah dan megah lambat laun akan berbau busuk karena tidak ada jalan untuk membuang kotoran yang terdapat di dalamnya”. 4 Menghalalkan segala cara dengan dalih untuk mencari sesuap nasipun dilakukan dengan melacur. Hal ini mengakibatkan menurunnya moral dan etika masyarakat Indonesia yang masih kental dengan budaya timur. Oleh karenanya, harus diberantas. Pemberantasan yang dimaksud dalam penelitian ini, difokuskan Pada dasarnya, pelacuran anak menyangkut masalah sosial yang mengganggu nilai-nilai sosial dan moral. Masalah tersebut merupakan persoalan, karena menyangkut tata kelakuan yang immoral, dan sangat berlawanan dengan hukum yang berlaku. Sebab itu, masalah-masalah sosial tidak akan mungkin dapat ditelaah tanpa mempertimbangkan ukuran-ukuran masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Apalagi belakangan ini di jaman yang serba penuh kesulitan ekonomi. Keadaan ekonomi yang sulit menyebabkan orang-orang berani melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, beberapa di antaranya ingin menghasilkan uang banyak melalui jalan pintas tanpa pertimbangan akibat hukumnya. 4 Tjahjo Purnomo., dan Ashadi Siregar., Op. cit, hal. 9. Universitas Sumatera Utara kepada Kepolisian Republik Indonesia yang merupakan ujung tombak dalam pemberantasan dan penanggulangan kriminal, seperti pelacuran anak di bawah umur walapun Kepolisian banyak menghadapi kesulitan. Dalam melakukan penanggulangan pelacuran terhadap anak di bawah umur tersebut, Polisi tidak dapat bekerja sendirian untuk memberantasnya. Misalnya saja pembuatan Kartu Tanda Penduduk yang dapat melegalkan seorang anak bekerja sebagai pelacur. Biasanya mereka akan masuk ke Jakarta atau bekerja dengan melebihkan umurnya di KTP. Misalnya kelahiran sebenarnya tahun 1992, tetapi dicatatkan di KTP tahun 1991. Bahkan terkadang mereka sampai memberi uang untuk kelancaran pembuatan KTP tersebut dengan umur 17 tahun. Ironisnya, para anak bekerja memilih dunia malam sebagai tempatnya bekerja karena alasan ekonomi lemah. 5 Bisnis pelacuran tidak pernah merugi, karena dengan efisiensi modal yang kecil seperti menyediakan tempat dan wanita saja, dapat meraup keuntungan yang didapat dari penyelenggaraan kegiatan pelacuran tersebut. Besar kecilnya keuntungan tergantung pada cara pengelola pengelola selanjutnya disebut istilah germo. Belum cukup sampai di situ saja, bahkan germo dengan teganya melacurkan anak di bawah umur dengan kata lain anak dalam penelitian ini juga disebut Anak Baru Gede atau ABG untuk memuaskan syahwat lelaki iseng. Banyak tempat hiburan malam dan tempat remang-remang serta lokasi illegal di 5 http:www.ham.go.idindex.php?option=com_contentview=articleid=1470, diakses terakhir tanggal 16 Januari 2010, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia, ”Prostitusi Anak Bisa Dibasmi dengan Kerjasama”. Kepala Polsek Metro Taman Sari, Kompol Imam Saputra menghimbau perlunya kerjasama dengan berbagai institusi dan masyarakat untuk memberantas prostitusi dan perdagangan anak di bawah umur yang terjadi di wilayah Mangga Besar, Jakarta. Universitas Sumatera Utara Kota Medan khususnya di Kecamatan Pancur Batu yaitu di kawasan Bandar Baru misalnya yang menyediakan gadis-gadis di bawah umur ini untuk menjalankan transaksi seks secara langsung, karena tersedianya fasilitas yang legal maupun illegal. Adapun yang tidak langsung biasanya bertransaksi di pusat-pusat perbelanjaan secara tersamar, di pub, karaoke, panti pijat dan diskotik. Membicarakan kehidupan seks seputar dunia ABG, sepertinya tidak akan ada habis-habisnya. Pergaulan ABG semakin semarak dengan kebebasan yang melupakan norma-norma yang hidup di dalam masyarakat. Tingkat peradaban masyarakat yang semakin maju, kemajuan teknologi yang tidak terbendung menjadikan dunia komunikasi dan hiburan-hiburan yang ditayangkan di televisi sebahagian membawa berbagai pengaruh buruk dari budaya barat yang berbeda dan bertentangan dengan norma-norma adat di Indonesia. Ditambah dengan kurangnya filter bahkan sama sekali tidak ada filter serta kurangnya pendidikan agama menjadikan tontonan yang dilihat misalnya Film Blue, gambar porno, tayangan di televisi, langsung mencontohnya tanpa dipikir matang terlebih dahulu. 6 Kurangnya perhatian dan pengawasan dari orang tua, keluarga, orang-orang terdekat dan lingkungan pendidikan serta pengaruh lingkungan yang buruk semakin memudahkan ABG untuk mencari jati dirinya, mereka akan mencontoh segala hal seperti perilaku seks bebas pada remaja, 7 bahkan dalam penyalahgunaan narkoba. 8 6 Ibdi, hal. 6,. 7 Sarlito Wirawan Sarwono., Psikologi Remaja, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002, hal. 209. 8 Sudarsono., Kenakalan Remaja, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, hal. 67. Sehingga para ABG terjerumus dengan sendirinya kepada dunia pelacuran. Universitas Sumatera Utara Pelacuran anak merupakan kejahatan seksual. Banyak dilakukan oleh anak-anak pada usia sampai dengan umur menjelang dewasa dan kemudian pada usia pertengahan. 9 Hal ini disebabkan oleh dorongan seksual pada diri manusia tersebut berkembang sejalan dengan pertumbuhan fisik bologisnya sejak usia manusia menjelang remaja. 10 Dalam penelitian ini, penulis memberikan batasan bahwa anak yang dimaksud adalah anak menurut ilmu hukum bukan anak menurut ilmu sosial. Anak menurut ilmu sosial dikenal dengan istilah ”remaja”, sedangkan di dalam hukum positif di Indonesia tidak mengenal istilah remaja terkecuali dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan walaupun tidak secara terbuka terdapat dalam Pasal 7 11 . Dalam hukum positif hanya mengenal istilah anak-anak dan dewasa. 12 9 Kartini Kartono II., Pathologi Sosial 2, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persadda, 2008, hal. 7. 10 Yudho Purwoko., Memecahkan Masalah Remaja dari Masalah Agama Hingga Pergaulan dan Dari Masalah Seks Hingga Pernikahan, Bandung: Nuansa, 2001, hal. 15. 11 Usia minimal untuk suatu perkawinan menurut undang-undang perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria. Maka jelaslah bahwa undang-undang perkawinan tersebut menganggap orang di atas usia tersebut bukan lagi anak-anak sehingga mereka sudah boleh menikah batas usia ini dimaksudkan untuk mencegah perkawinan anak-anak seperti yang terjadi pada kasus Ulfa dan Syeh Puji. Walapun begitu selama seseorang belum mencapai usia 21 tahun maih diperlukan orang tua untuk menikahkan orang tersebut. Setelah berusia di atas 21 tahun, seseorang boleh menikah anpa izin orang tuanya Pasal 6 Ayat 2 UU Perkawinan, maka tampaklah di sini bahwa walaupun undang-undang tidak menganggap mereka yang di atas usia 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria sebagai bukan anak-anak lagi, dan mereka juga belum bisa dianggap sebagai dewasa penuh, oleh sebab itu, masih diperlukan izin orang tua untuk menikahkan mereka. Maka, waktu atau usia 1619 samapi dengan usia 21 tahun inilah yang dapat disejajarkan dengan pengertian-pengertian remaja dalam ilmu-ilmu sosial yang lain, Sarlito Wirawan Sarwono., Op. cit, hal. 6. 12 Ibid, hal. 5-6. Hukum perdata misalnya memberikan batasan usia anak kurangsama dengan 21 tahun atau sudah menikah. Sedangkan menurut hukum pidana mengenai perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh anak di bawah usia 16 tahun diatur dalam Pasal 45 KUHP berbunyi sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara ”Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat menentukan, memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, wali atau memeliharanya tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan Pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 504, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540, serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana pada yang bersalah. Jika ditinjau pelacuran dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Pasal 296, Pasal 297 dan Pasal 506 diatur hanya mengenai sanksi-sanksi kepada mereka yang memudahkan perbuatan cabul saja dengan pidana penjara satu tahun empat bulan, memperdagangkan wanita dan laki-laki yang belum cukup umur dengan enam tahun dan menarik keuntungan dari perbuatan cabul kurungan selama satu tahun, akan tetapi tidak mengatur secara jelas sanksi pidana terhadap pelacur dan para konsumennya, kecuali terhadap germo yaitu yang mengambil keuntungan dari pelacuran dan orang yang melakukan perbuatan untuk menghubungkan atau pencaharian atau kebiasaan. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas maka pelacuran itu sendiri bukan merupakan tindak pidana karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Indonesia tidak mengaturnya. Demikian pula Peraturan Daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Medan tidak mengatur secara jelas, tegas dan terperinci.Di lain pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai salah satu penegak hukum dan sebagai pintu pertama dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Dalam hal ini Kepolisian dalam menangani pelacuran yang dilakukan Universitas Sumatera Utara oleh anak di bawah umur seperti mendapat kesulitan, hal ini terjadi disebabkan berbagai faktor yang kurang mendukung dalam penegakan hukum di lapangan. Meskipun begitu sesuai dengan fungsi hukum yaitu untuk menjaga ketertiban maka segala bentuk pelanggaran terhadap moral dan kesusilaan tetap harus ditindak atau dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggarannya dalam hukum yang berlaku. Sehubungan dengan hal di atas menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian hukum yang berjudul, “PELACURAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA STUDI KASUS DI POLSEK MEDAN BARU”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi inti permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah penegakkan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap pelacuran anak di bawah umur? 2. Bagaimanakah strategi penanggulangan terhadap pelacuran anak di bawah umur oleh Polsek Medan Baru?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Adapun Tujuan dan Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan mendalami penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap pelacuran anak di bawah umur. Universitas Sumatera Utara 2. Untuk mengetahui dan mendalami strategi penanggulangan terhadap pelacuran anak di bawah umur yang dilakukan oleh Polsek Medan Baru. Sedangkan manfaat dari penelitian ini dikategorikan dalam dua dimensi yakni secara teoritis dan secara praktis. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut: 1. Secara Teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana terutama pembaharuan hukum dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana KUHP Indonesia. 2. Secara Praktis. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada praktisi hukum khususnya, serta kepada masyarakat umumnya untuk mengetahui dan turut serta berpartisipasi dalam penanggulangan pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur.

D. Keaslian Penelitian

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka peneliti melakukan pemeriksaan data tentang judul skripsi, ”Pelacuran Anak Di Bawah Umur Dalam Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Republik Indonesia Studi Kasus Di Polsek Medan Baru. Menurut data yang diperoleh mengenai judul yang persis sama dengan judul di dalam penelitian ini, baik di Perpustakaan Fakultas Hukum maupun di Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara serta di perpustakaan di luar dari pada Kampus Universitas Sumatera Utara, di institusi lain mengenai judul di atas, ternyata penelitian ini Universitas Sumatera Utara belum pernah dilakukan peneliti lain dalam topik dan permasalahan yang sama, meskipun dalam bentuk makalah pada seminar-seminar, maupun dalam diskusi panel sudah pernah dilakukan pembahasan atau diskusi. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan penulis, bahwa skripsi ini memiliki keaslian, dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah pada sidang terbuka di hadapan publik.

E. Tinjauan Kepustakaan

Perbuatan yang dapat dipidana menurut KUHP Indonesia harus berpedoman pada Asas Legalitas, yaitu asas yang terdapat di dalam Pasal 1 Ayat 1 KUHP yang menyatakan, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang terdahulu dari perbuatan itu”. Apabila tidak ada peraturan perundang-undangan yang jelas dan tegas mengenai pelacuran, maka perbuatan ini dapat dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh anak di bawah umur, untuk itu peranan masyarakat dan usaha non- penal benar-benar harus di laksanakan dalam menghadapi masalah pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur untuk mencapai tujuan yaitu kenyamanan, ketentraman, dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya serta anak-anak di bawah umur pada khususnya. Universitas Sumatera Utara

1. Pengertian Tindak Pidana

Dalam hukum pidana, aspek larangan berbuat yang disertai dengan ancaman pidana disebut tindak pidana atau perbuatan pidana berasal dari kata strafbar feit, yang juga sering disebut delik berasal dari kata delict. Tindak pidana merupakan rumusan tentang perbuatan yang dilarang untuk dilakukan dalam peraturan perundang-undangan yang disertai ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi, perbuatan feit adalah pokok dari suatu tindak pidana yang dirumuskan tersebut. 13 Perbuatan-perbuatan yang ditentukan yang dilarang pada garis besarnya ada dua golongan yakni, Pertama, perbuatan-perbuatan aktifperbuatan positif yang sering juga disebut dengan perbuatan materil materiil feit, Kedua, perbuatan-perbuatan pasifperbuatan negatif. Perbuatan materiil adakalanya disebut dengan perbuatan jasmani adalah yang untuk mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan nyata dari tubuh dan bagian dari tubuh orang, misalnya memukul dengan gerakan tangan dan menyepak dengan gerakan kaki. Sementara itu, perbuatan pasif sesungguhnya berarti tidak melakukan perbuatan secara fisik, dimana hal tersebut justru melanggar suatu kewajiban hukum karena dituntut bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan perbuatan tertentu. Seseorang dalam keadaan-keadaan dan dengan syarat-syarat tertentu oleh undnag-undang diwajibkan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, yang apabila kewajiban hukum untuk berbuat itu diabaikannya, misalnya perbuatan ”membiarkan dalam 13 Adam Chazawi., ”Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan Batas Belakunya Hukum Pidana”, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005, hal. 4-5. Universitas Sumatera Utara keadaan sengsara” Pasal 304, maka sebenarnya yang demikian itu telah berbuat pasif. Oleh karena itu, dia dijatuhi pidana. 14 Dalam referensi lain, bahwa tindak pidan juga disebut dengan strafbar feit. Tentang hukum pidana ini sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana, atau tindak pidana, atau perbuatan pidana. Menurut Vos, pengertian dari istilah strafbar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang- undangan, jadi, suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana. 15 Menurut Pompe, pengertian strafbar feit dibedakannya ke dalam dua kelompok yakni: 16 1 Defenisi menurut teori memberikan pengertian ”strafbar feit” adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum; dan 2 Defenisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian ”strafbar feit” adalah suatu kejadian feit yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum. Sejalan dengan pengertian yang di atas, J.E. Jonkers juga mengemukakan mengenai strafbar feit dengan membagi ke dalam dua kelompok yakni: 17 1 Defenisi pendek memberikan pengertian ”strafbar feit” adalah suatu kejadian feit yang dapat diancam pidana oleh undang-undang; dan 2 Defenisi panjang atau yang lebih mendalam memberikan pengertian ”strafbar feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. 14 Ibid, hal. 5. 15 Bambang Poernomo., “Asas-Asas Hukum Pidana”, Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hal. 90. 16 Ibid, hal. 91. 17 Ibid. Universitas Sumatera Utara Jalan pemikiran dalam pengertian pendek ini pada hakekatnya menyatakan bahwa pastilah untuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan undang- undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dan pendapat umum tidak dapat menentukan lain dari pada yang telah ditentukan undang-undang. Sedangkan dalam pengertian yang panjang tersebut di atas menitikberatkan pada sifat melawan hukum dan pertanggungjawaban yang merupakan unsur-unsur yang secara tegas di dalam setiap delik, atau unsur-unsur yang tersembunyi secara diam-diam dianggap ada. Apabila dirumuskan secara tegas justru dalam membuktikan unsur-unsur delik tersebut akan banyak persoalan, untuk setiap kali harus dibuktikan yang merupakan beban yang berat bagi penuntut umum. Di samping itu akan dapat ditimbulkan suatu keadaan delik yang terdapat kelakuannya yang bersifat melawan hukum itu dapat diancam dengan pidana, akan tetapi karena ketiadaan pertanggungjawaban terhadap si pembuatnya yang melakukan ternyata tidak dapat dikenakan pidana. Dalam mencari elemen yang terdapat di daam strafbar feit oleh Vos, telah ditunjuk pendapat dari Simons yang menyatakan, ”suatu perbuatan feit adalah perbuatan yang melawan hukum dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa suatu strafbar feit mempunyai elemen ”wederrechtelijkheid perbuatan melanggar hukum pidana dan ”schuld” kesalahan. 18 18 Ibid, hal. 92. Universitas Sumatera Utara

2. Pengertian Pelacuran