Pengaruh Pemberian Antibiotika pada Kultur in vitroPulai (Alstonia scholaris (L.) R.Br)

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br) merupakan salah satu tumbuhan yang termasuk dalam kategori tumbuhan obat langka (LIPI 2001). Pulai banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tumbuhan yang berkhasiat obat untuk meluruhkan dahak, peluruh haid, stomakik, antipiretik, pereda kejang, menurunkan kadar gula darah (hipoglikemik), tonik, antiseptik, mengobati bisul dan memperlancar ASI (Dalimartha 1999). Kayunya dimanfaatkan untuk konstruksi ringan di dalam ruangan, pulp dan kertas, bahan-bahan kerajinan tangan seperti patung, topeng dan papan tulis sekolah karena kayunya tidak awet (IFSP 2001). Selain itu, kayunya juga digunakan sebagai bahan ukir-ukiran dan bahan dasar pembuat pensil(Sutomo & Putri 2005).

Semakin meningkatnya pemanfaatan tumbuhan pulai oleh masyarakat tanpa adanya pengelolaan yang baik dapat menyebabkan semakin menipisnya pulai di alam dan bukan tidak mungkin pada suatu saat nanti tumbuhan ini akan musnah. Oleh karena itu, untuk menjaga kelestariannya di alam dan juga memenuhi kebutuhan masyarakat akan tumbuhan pulai maka diperlukan suatu tindakan konservasi melalui kegiatan penangkaran atau budidaya. Salah satu teknik budidaya yang dapat dilakukan yaitu dengan kultur in vitro.

Melalui kultur in vitromaka dapat diperoleh bibit dalam jumlah besar, dapat diperbanyak secara kontinyu serta lebih efisien tempat dan waktu. Namun, dalam kegiatan kultur in vitro sendiri juga terdapat permasalahan yang sangat umum terjadi dan harus ditemukan solusinya dengan baik dan tepat. Adapun permasalahan tersebut yaitu kontaminasi. Adanya kontaminasi ini akan sangat mengganggu jalannya kegiatan kultur in vitro karena dapat menurunkan tingkat produksi secara drastis. Kontaminasi dapat berasal dari kontaminan eksternal maupun internal. Salah satu tahap yang perlu mendapat perhatian lebih karena sering terkait dengan masalah kontaminasi yaitu inisiasi.

Inisiasi merupakan tahap yang penting untuk menentukan tahap selanjutnya dan merupakan tahap yang paling sulit dilakukan karena memasukan


(2)

bahan eksplan dari luar untuk dikulturkan di dalam botol sehingga perlu dilakukan kegiatan sterilisasi eksplan untuk mendapatkan kultur aseptik. Namun, selama ini sebagian besar para pelaku kultur hanya melakukan sterilisasi eksternal saja untuk menghilangkan mikroba. Padahal untuk eksplan sendiri juga dapat memberi andil yang cukup besar sebagai penyebab terjadinya kontaminasi karena di dalam eksplan sudah terkandung mikroba yang bersifat sistemik sehingga proses sterilisasi internal juga perlu dilakukan. Oleh karena itu, salah satu upaya sterilisasi internal yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian antibiotikapada media kultur.

Antibiotika adalah senyawa kimia khas yang dihasilkan atau diturunkan oleh organisme hidup, termasuk struktur analognya yang dibuat secara sintetik, yang dalam kadar rendah mampu menghambat proses penting dalam kehidupan satu spesies atau lebih mikroorganisme (Siswandono & Soekardjo 1995). Adapun jenis antibiotika yang dapat digunakan dalam percobaan yakni Plant Preservative Mixture (PPM) dan Propolis. Menurut Syatria (2010) PPM adalah preservative (biosida) spektrum luas yang sangat efektif untuk mencegah atau menurunkan tingkat kontaminasi mikroba pada kultur jaringan.Penggunaan PPM dengan dosis yang optimum sangat efektif dan tidak mempengaruhi vitro germination, proliferasi kalus dan regenerasi kalus. Draper’s Super Bee Apiaries (2007) diacu dalam Adiprabowo (2008) menyatakan bahwa propolis dapat melawan bakteri berbahaya dan bersifat antibakteri karena memiliki senyawa-senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri seperti flavonoid.

Berdasarkan hal tersebut di atas perlakuan pemberian antibiotika diharapkan mampu untuk menekan atau meminimalisir terjadinya kontaminasi sehingga diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan kultur in vitro tumbuhan pulai.


(3)

1.2Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi pengaruh pemberian jenis antibiotika pada kultur in vitro

terhadap tingkat kontaminasi yang terjadi pada kultur in vitropulai.

2. Mengidentifikasi jenis dan konsentrasi antibiotika yang baik dan tepat untuk meminimalkan terjadinya kontaminasi.

1.3Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah pemberian antibiotika pada kultur berpengaruh terhadap tingkat kontaminasiyang terjadi pada kultur in vitro pulai (Alstonia scholaris (L.) R.Br).

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dasar mengenai pemberian jenis antibiotika dan konsentrasi yang baik untuk meningkatkan keberhasilan kultur in vitro pulai.


(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioekologi Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br)

Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br) merupakan salah satu jenis yang tumbuhan obat yang termasuk dalam kategori langka (LIPI 2001). Berdasarkan taksonominya tumbuhan pulai tergolong ke dalam :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Contortae

Famili : Apocynaceae

Genus : Alstonia

Spesies : Alstonia scholaris (L.) R. Br

Daerah penyebaran pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br), antara lain meliputi Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara dan Jawa (Rifai et al 1992). Pada umumnya pulai tumbuh di daerah yang terbuka, bersemak atau hutan campuran pada ketinggian 50-1500 mdpl (Hendrian & Hadiah 1999 diacu dalam Sutomo & Putri 2005). Sedangkan menurut Heyne (1987) di pulau Jawa pulai tumbuh pada ketinggian kurang dari 900 m diatas permukaan laut. Pulai dapat tumbuh pada tanah liat dan tanah berpasir yang kering atau digenangi air dan terdapat juga pada lereng bukit berbatu pada ketinggian 0-1000 m di atas permukaan air laut (Martawijaya et al. 2005)

Pulai umumnya dapat mencapai tinggi 20 hingga 25 m dan diameter 40 hingga 60 cm. Pulai memiliki pertumbuhan yang sangat baik dan dapat dibiakkan dengan setek dan cabang (Heyne 1987). Adapun ciri morfologinya yakni memiliki batang lurus dengan kulit batang yang rapuh, rasanya pahit dan bergetah putih. Daun tunggal warna hijau berbentuk lonjong hingga lanset atau lonjong hingga bulat telur sungsang dengan permukaan atas licin, permukaan bawah buram, tepi daun rata, pertulangan daun menyirip dengan panjang 10-23 cm, lebar 3-7,5 cm dan tersusun melingkar antara 4-9 helai (Yuniarti 2008).


(5)

Keterangan : (1) Daun; (2) Susunan bunga; (3) Irisan memanjang bunga; (4) Kelopak bunga; (5) Buah; (6) Benih.

Sumber: Plant Reources of South East Asia 5:1 diacu dalam Sutomo dan Putri (2005).

Gambar 1. Bagian-bagian tumbuhan pulai

Pulai termasuk ke dalam jenis yang selalu hijau atau tidak gugur daun dengan jenis benih ortodoks. Benih pulai yang segar memiliki daya kecambah yang tinggi yaitu mendekati 100%, akan tetapi cepat pula kehilangan viabilitasnya (IFSP 2001). Menurut Martawijaya et al. (2005) biji pulai yang telah dijemur selama 2 hari dan disimpan dalam kaleng tertutup selama 2 bulan masih mampu berkecambah hingga 90%.

Dalimartha (1999), Hikmat dan Zuhud (2010) menyatakan bahwa kulit kayu pulai mengandung alkaloida ditamin, ekitamin (ditamin), ekitanin, ekitamidin, alstonin, ekiserin, ekitin, porfirin,dan triterpen (α-amyrin dan lupeol), daun mengandung pikrinin, dan bunga pulai mengandung asam ursolat dan lupeol.

2.2 Manfaat Pulai

Pemanfaatan pulai oleh masyarakat yaitu sebagai obat tradisional untuk meluruhkan dahak, peluruh haid, stomakik, antipiretik, pereda kejang, menurunkan kadar gula darah (hipoglikemik), tonik dan antiseptik, mengobati bisul dan memperlancar ASI (Dalimartha 1999). Kayunya dimanfaatkan untuk konstruksi ringan di dalam ruangan, pulp dan kertas, bahan-bahan kerajinan tangan seperti patung, topeng dan papan tulis sekolah karena kayunya tidak awet (IFSP 2001). Adapun bagian tumbuhan pulai yang biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu akar dan getah daun sebagai obat tradisional (Setyowati & Wardah 2007).


(6)

2.3 Teknik Kultur in Vitro

Kultur in vitro adalah teknik budidaya sel, jaringan, dan organ tumbuhan dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik atau bebas mikroorganisme (Santoso & Nursandi 2003). Dasar kultur jaringan adalah totipotensi yaitu kemampuan setiap sel dari mana saja sel tersebut diambil, apabila diletakkan dalam lingkungan yang sesuai akan dapat tumbuh menjadi tumbuhan yang sempurna (Suryowinoto 1991 diacu dalam Hendaryono & Wijayani 1994). Akan tetapi, persentase keberhasilan kultur jaringan akan lebih besar jika menggunakan jaringan meristem karena jaringan meristem adalah jaringan muda yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis, belum mempunyai penebalan dari zat pektin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil (Hendaryono & Wijayani 1994). Adapun prinsip kerja kultur jaringan menurut Santoso dan Nursandi (2003) terdiri dari :

1. kegiatan isolasi bagian tanaman yang akan digunakan sebagai bahan tanam (eksplan) dari tanaman induknya,

2. penanaman bahan tanam (eksplan) pada medium yang tepat sehingga terjadi percepatan induksi totipotensi,

3. Terpenuhinya kondisi aseptik (bebas dari kontaminan atau mikroorganisme). Menurut Acquaah (2004) dalam teknik kultur jaringan, secara umum dapat dibagi menjadi lima tahapan yakni seleksi eksplan dan persiapan, inisiasi dan pembuatan kondisi yang steril, perkembangbiakkan tunas aksiler (multiplikasi), pengakaran dan aklimatisasi.

1. Seleksi eksplan dan persiapan

Eksplan adalah bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan inisiasi dalam kultur jaringan. Pada dasarnya eksplan dapat diambil dari semua bagian tumbuhan baik dari jaringan akar, batang dan daun atau berupa sel merismatik, kambium dan embrio yang belum mengalami perubahan bentuk dan kekhususan fungsi (Acquaah 2004). Namun, akan lebih baik jika eksplan diambil dari bagian yang masih muda (Conger 1981 diacu dalam Isnaeni 2008). Ukuran eksplan yang digunakan disesuaikan dengan tujuan dari pembiakannya. Conger (1981) diacu dalam Isnaeni (2008) menyatakan bahwa ukuran eksplan yang lebih besar cenderung lebih mudah terkontaminasi,


(7)

namun eksplan yang kecil memiliki persentase kematian jaringan yang lebih tinggi.

2. Inisiasi dan Pembuatan kondisi yang steril

Proses inisiasi merupakan salah satu tahap yang penting dalam teknik kultur jaringan untuk menentukan langkah selanjutnya. Oleh karena itu inisiasi kultur yang terbebas dari kontaminan merupakan hal yang harus dilakukan. Inisiasi adalah penanaman bagian tumbuhan sebagai eksplan untuk ditumbuhkan pada media kultur jaringan. Pada tahap ini dilakukan kegiatan sterilisasi eksplan untuk mendapatkan kultur aseptik. Eksplan yang telah disterilisisasi kemudian ditanam pada media prekondisi untuk memastikan eksplan telah terbebas dari kontaminan dan jaringan berinisiasi untuk tumbuh. 3. Perkembangbiakkan tunas aksiler (multiplikasi)

Multiplikasi merupakan kegiatan memindahkan tunas-tunas dari dalam wadah kultur secara aseptik yang tumbuh dari hasil induksi dan ditanam lagi dalam botol kultur lain yang berisi media dan hormon yang mampu merangsang pertunasan. Tujuan utama dari proses multiplikasi adalah perbanyakan pucuk atau tunas atau klon tumbuhan dan meningkatkan terjadinya percabangan aksial dan pembentukan pucuk secara adventif.

4. Pengakaran

Proses pengakaran dapat dilakukan dengan penggunaan media yang ditambahkan ZPT jenis auksin. Wattimena (1988) diacu dalam Isnaeni (2008) menyatakan bahwa pemberian auksin diketahui dapat memicu pertumbuhan tunas dan akar. Proses ini dilakukan untuk mempersiapkan plantlet agar dapat ditanam di lapang.

5. Aklimatisasi

Aklimatisasi merupakan tahap pemindahan plantlet dari kondisi aseptik (in vitro) ke kondisi lapang (ex vitro) atau dari keadaan heterotrop ke keadaan

autrotop. Proses aklimatisasi merupakan proses yang menentukan apakah kultur jaringan berhasil atau tidak karena pada tahap ini akan diketahui apakah tumbuhan yang diaklimatisasi dapat bertahan hidup di lapang atau tidak. Proses aklimatisasi sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keberhasilan


(8)

aklimatisasi sebaiknya lingkungan tumbuhnya harus mendekati lingkungan asalnya pada saat pembiakan. Selain itu, pemberian hara tumbuhan yang cukup pada media maupun penyemprotan daun akan sangat membantu proses aklimatisasi (Mattjik 2005 diacu dalam Isnaeni 2008).

Salah satu faktor yang juga berperan penting dalam menentukan keberhasilan kegiatan kultur jaringan adalah media tanam. Media tanam merupakan tempat tumbuh untuk tumbuhnya eksplan. Menurut Soerianegara (1994) diacu dalam Hidayat (2009) media tanam dalam kultur jaringan tumbuhan dibedakan menjadi dua yaitu media dasar dan media perlakuan. Bentuk media tanam yang digunakan dalam kultur jaringan ada 3 yaitu media tanam bentuk padat, semi padat dan cair. Pada umumnya, media dasar yang sering digunakan adalah media dasar Murashige dan Skoog (MS, 1962). Menurut Acquaah (2004) media kultur jaringan mengandung komponen yang dapat dikategorikan menjadi empat kelompok yaitu unsur mineral, senyawa organik, zat pengatur tumbuh dan sistem penyokong, dengan uraian sebagai berikut :

1. Unsur mineral terdiri dari unsur makronutrien dan unsur mikronutrien. Adapun unsur-unsur yang terdapat pada unsur makronutrien terdiri dari nitrogen-NO3, NH4, fosfor-P, potassium-K. Sedangkan unsur mikronutrien terdiri dari Ca, Mg, Cl, Fe, S, Na, B, Mn, Zn, Cu, Mo,Co, I.

2. Senyawa organik menyediakan sumber karbon dan faktor-faktor lain untuk mendukung pertumbuhan. Pada umumnya, senyawa organik terdiri dari gula, vitamin, dan myo-inositol.

3. Zat pengatur tumbuh pada tanaman sama dengan hormon pertumbuhan pada hewan. Zat pengatur tumbuh ini digunakan atau dicampurkan ke dalam media. Adapun contoh senyawa zat pengatur tumbuh yang umum digunakan yaitu auksin, sitokinin, dan giberelin. Auksin berfungsi untuk mendukung terjadinya pertumbuhan akar. Contoh dari auksin alami yang umum digunakan yaitu indole-3-acetic-acid (IAA), indole-3-butyric-acid (IBA), dan contoh auksin sintetik yaitu naphtalene acetic acid (NAA), 2,4-dichlorophenoxyacetic cid (2,4-D). Sitokinin berfungsi untuk mendukung terjadinya pertumbuhan tunas, contohnya yaitu zeatin (alami), benzyladenine


(9)

(BA) dan kinetin (sintetik). Sedangkan giberelin berfungsi untuk mendukung pertumbuhan batang dan pembungaan, contohnya GA3 dan GA4+7.

4. Sistem penyokong dalam kultur jaringan yakni media kultur jaringan.

2.4 Kontaminasi

Kontaminasi merupakan salah satu gangguan yang umum terjadi pada kultur jaringan. Menurut Santoso dan Nursandi (2003) tingkat kontaminasi media berbanding lurus dengan tingkat kekayaan unsur hara dalam media yaitu semakin diperkaya suatu media maka tingkat kontaminasinya juga semakin besar,demikian pula sebaliknya semakin sederhana suatu media maka tingkat kontaminasinya juga semakin kecil. Pada umumnya, kontaminasi karena jenis media disebabkan karena kontaminasi mikroorganisme dari lingkungan luar dan yang berasal dari eksplan. Oleh karena itu, jika mikroorganisme dari lingkungan luar dan eksplan tidak ada maka tidak akan terjadi kontaminasi media dan eksplan. Adapun sumber-sumber kontaminan menurut Santoso dan Nursandi (2003) dapat berasal dari :

1. Udara : kontaminan yang ada di udara dapat berupa spora bakteri atau cendawan dan umumnya banyak terdapat pada daerah yang berkelembaban tinggi.

2. Bahan tanam (eksplan) : untuk eksplan yang berasal dari tanah umumnya lebih banyak mengandung bahan kontaminan dibanding eksplan yang ada di permukaan atau pucuk. Kontaminan yang berada di permukaan eksplan dapat dibersihkan menggunakan air dan larutan pensteril. Sedangkan untuk kontaminan yang berasal dari dalam eksplan ditangani dengan penggunaan antibiotika.

3. Manusia atau pekerja : kontaminan yang berasal dari manusia dapat terbawa melalui pakaian yang dikenakan, anggota badan dan pernapasan.

4. Alat-alat yang digunakan : kontaminan dapat berasal dari peralatan yang digunakan dalam kegiatan penanaman karena proses sterilisasi yang kurang sempurna sehingga kontaminan masih melekat dalam peralatan.


(10)

Menurut Gunawan (2007) untuk mengurangi kontaminasi yang berhubungan dengan media maka sebaiknya menggunakan media ½ MS. Kontaminasi sangat beragam mulai dari jenis kontaminannya (bakteri, jamur, virus, yeast, kapang),waktu terjadinya kontaminasi (cepat, dalam hitungan jam; sedang, dalam hitungan hari; lambat, dalam hitungan minggu dan bulan), dan apa yang terkontaminasi (media atau eksplan).

Jenis kontaminasi ada dua yaitu kontaminasi eksternal dan kontaminasi internal. Kontaminasi eksternal dapat disebabkan oleh jamur dan bakteri, sedangkan kontaminasi internal umumnya disebabkan oleh bahan eksplan itu sendiri. Menurut Denish (2007) untuk mengatasi kontaminasi internal dapat digunakan HgCl2 karena dapat menurunkan laju kontaminasi bakteri internal tanpa merusak jaringan. Selain itu juga dapat dilakukan dengan penggunaan fungisida, HgCl2 dan klorin karena dengan penggunaan kombinasi bahan sterilan tersebut merupakan upaya sterilisasi berlapis untuk mereduksi resiko kontaminasi baik yang berasal dari cendawan, bakteri maupun kotoran-kotoran lain yang menempel pada permukaan eksplan.Sedangkan untuk pencegahan kontaminasi eksternal dapat dilakukan dengan sterilisasi kontak (Gunawan 2007).

Gunawan (1987) diacu dalam Gunawan (2007) menyatakan bahwa setiap bahan tumbuhan memiliki tingkat kontaminasi permukaan yang berbeda tergantung dari :

1. Jenis tumbuhannya

2. Bagian tumbuhan yng dipergunakan

3. Morfologi permukaan (misalnya berbulu atau tidak) 4. Lingkungan tumbuhnya (Green house atau lapang)

5. Musim waktu pengambilan (musim penghujan atau musim kemarau) 6. Umur tumbuhan (seedling atau tumbuhan dewasa)

7. Kondisi tumbuhannya (sehat atau sakit)

Menurut Gunawan (1995) kontaminasi dapat berasal dari sterilisasi yang kurang sempurna, lingkungan kerja dan pelaksanaan, eksplan, serangga atau hewan kecil yang berhasil masuk ke dalam botol kultur setelah diletakkan di ruang kultur. Sedangkan menurut Sandra (2010) beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi yaitu proses sterilisasi yang kurang


(11)

sempurna, lingkungan kerja dan pelaksanaan atau cara kerja saat penanaman, eksplan, molekul-molekul atau benda-benda asing berukuran kecil yang jatuh atau masuk ke dalam botol kultur jaringan setelah penanaman dan ketika diletakkan di ruang kultur (Sandra 2010). Adapun dari semua jenis sumber kontaminan Gunawan (1995)berpendapat bahwa kontaminan yang berasal dari eksplanlah yang paling sulit diatasi karena untuk menanggulanginya diperlukan metode sterilisasi yang selektif yaitu hanya mengeliminasi organisme mikro yang tidak diinginkan dengan gangguan seminimal mungkin terhadap bahan tanaman.

2.5 Antibiotika

Antibiotika adalah senyawa kimia khas yang dihasilkan atau diturunkan oleh organisme hidup, termasuk struktur analognya yang dibuat secara sintetik, yang dalam kadar rendah mampu menghambat proses penting dalam kehidupan satu spesies atau lebih mikroorganisme (Siswandono & Soekardjo 1995). Salah satu contoh antibiotika alami yaitu propolis dan contoh antibiotika sintetik yaitu

Plant Preservative Mixture (PPM). Menurut Siswandono dan Soekardjo (1995) antibiotika dapat dikelompokkan berdasarkan tempat kerja, spektrum aktivitas dan struktur kimianya.

Berdasarkan spektrum aktivitasnya antibiotika dapat digolongkan menjadi enam yaitu :

1. Antibiotika dengan spektrum luas, efektif baik terhadap Gram-positif maupun

Gram-negatif.

2. Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri Gram-positif

3. Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri Gram-negatif

4. Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap Mycobacteriae (antituberkulosis)

5. Antibiotika yang aktif terhadap jamur (anti jamur) 6. Antibiotika yang aktif terhadap neoplasma (antikanker)

Berdasarkan struktur kimianya, Siswandono dan Soekardjo (1995) mengelompokkan antibiotika menjadi sepuluh yaitu antibiotika β-laktam (turunan pesisilin, sefalosporin dan β-laktam nonkllasik), turunan amfenikol, turunan tetrasiklin, aminoglikosida, antibiotika makrolida, antibiotika polipeptida,


(12)

linkosamida, antibiotika polien, turunan ansamisin dan turunan antrasiklin. Gale (1963) diacu dalam Gale et al. (1972) menyatakan bahwa berdasarkan reaksi biokimia umum, antibiotika dikelompokkan menjadi lima kelompok yakni : (1) reaksi dalam metabolisme energi, (2) reaksi dalam fungsi membran bakteri, (3) reaksi dalam sintesis protein, (4) reaksi dalam metabolisme asam nukleat, dan (5) reaksi dalam sintesis peptidoglycan.

Berdasarkan tempat kerjanya antibiotika dapat digolongkan menjadi empat yaitu sebagai berikut :

Tabel 1. Penggolongan antibiotika berdasarkan tempat kerjanya

Tempat kerja Proses yang

dihambat

Antibiotika Tipe aktivitas

Dinding sel -Biosintesis

peptidoglikan -Penisilin -Sefalosporin -Basitrasin -Vankomisin -Sikloserin Bakterisid Bakterisid Bakterisid Bakterisid Bakterisid

Membran sel Fungsi dan

integritas membran sel -Nistatin -Amfoterisin -Polimiksin B Fungisid Fungisid Bakterisid

Asam nukleat -Biosintesis ADN

-Biosintesis m ARN -Biosintesis ADN dan mARN -Mitomisin C -Rifampisin -Griseofulvin Fansidal (Antikanker) Bakterisid Fungisid Ribosom

-Sub unit 30 S

prokariotik

-Sub unit 50 S

prokariotik

-Sub unit 60 S

eukariotik -Biosintesis protein -Biosintesis protein -Biosintesis protein -Aminosiklitol -Tetrasiklin -Amfenikol -Makrolida -Linkosamida -Glutarimid -Asam fusidat Bakterisid Bakteriostatik Bakteriostatik Bakteriostatik Bakteriostatik Fungisid Bakterisid Sumber : Doerge RF (1982) diacu dalam Siswandono dan Soekardjo (1995)

2.5.1 Plant Preservative Mixture

Plant Preservative Mixture (PPM) merupakan preservative atau biosida spektrum luas yang sangat efektif untuk mencegah atau menurunkan tingkat kontaminasi mikroba pada kultur jaringan. Penggunaan PPM dengan dosis yang optimum sangat efektif dan tidak mempengaruhi vitro germination, proliferasi kalus dan regenerasi kalus. Kandungan zat aktif yang terkandung dalam PPM


(13)

terdiri dari 5-Chloro-2 methyl-3-(CH)-isothiazolone 0,1350 % dan 2-methyl-3(H)-isothiazolone 0,0412% dan komposisi lain 99,82338% (Syatria 2010).

Pada umumnya rentang dosis PPM yang disarankan yaitu 0,05%-0,2% untuk kontaminasi endogen sedangkan untuk proliferasi kalus, organogenesis dan embriogenesis yaitu 0,5%-0,75%. Selain itu, penggunaan dosis PPM yang sering digunakan yaitu 0,5 ml/liter atau menurut rekomendasi dari pabrik dengan dosis 1 ml sampai 2 ml/liter media. Cara pemakaian PPM yaitu dengan menambahkan langsung pada saat pembuatan media ketika media sudah ditambahkan dengan agar dan dimasak hingga mendidih lalu ditambahkan hormon yang dikehendaki selanjutnya ditambahkan dengan PPM lalu diukur pH media dan dimasukan kedalam botol-botol (Syatria 2010). Dosis penggunaan PPM yang baik yakni 0,5 ml/liter media atau rekomendasi dari pabrik penggunaan PPM yang baik yaitu antara 1 sampai 2 ml/liter media.

Pembuatan PPM ini dirancang untuk menghambat kontaminasi yang berasal dari udara, air, dan yang melalui kontak dengan manusia serta kontaminasi yang berasal dari dalam tumbuhan itu sendiri. Bahan aktif yang ada dalam PPM inipun dapat menghambat tumbuhnya jamur atau menembus dinding sel bakteri dan menghambat aktivitas enzim kunci dalam siklus metabolisme sentral seperti siklus asam sitrat dan transpor elektron. Selain itu juga dapat menghambat proses pengangkutan monosakarida dan asam amino dari medium ke dalam sel bakteri atau jamur. Adapun kelebihan penggunaan PPM daripada antibiotika lain yakni : 1. PPM dapat digunakan secara luas dan efektif untuk menghambat tumbuhnya

jamur

2. PPM lebih murah dibandingkan dengan antibiotika sehingga lebih terjangkau jika akan digunakan dalam jumlah yang besar dan rutin

3. Sasaran PPM yaitu menghambat beberapa jenis enzim, akan tetapi untuk pembentukan mutan resisten tidak efektif.

4. PPM memiliki sifat tahan panas yang stabil dan dapat diautoclave dengan media


(14)

2.5.2 Propolis

Propolis berasal dari bahasa Yunani yaitu Pro = sebelum dan Polis = sistem pertahanan kota. Propolis adalah bahan perekat atau dempul yang bersifat resin yang dikumpulkan oleh lebah pekerja dari kuncup, kulit tumbuhan atau bagian-bagian lain dari tumbuhan (Gojmerac 1983). Woo (2004) diacu dalam Saputra (2009) menyatakan bahwa propolis berwarna kuning hingga coklat tua, ataupun transparan tergantung kandungan flavonoidnya. Umumnya propolis akan meleleh pada suhu 60-690C dan beberapa sampel mempunyai titik leleh diatas 1000C. Pada suhu dibawah 150C propolis keras dan rapuh, namun akan kembali lengket pada suhu 25-450C.

Menurut Gojmerac (1983) kandungan senyawa yang terdapat pada propolis yaitu bahan campuran campuran kompleks malam, resin, balsam, minyak dan sedikit polen. Sedangkan menurut Khismatullina (2005) diacu dalam Saputra (2009) propolis mengandung senyawa resin, lilin, minyak esensial, polen, senyawa organik dan mineral, sebagaimana tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi propolis

Kelas Senyawa Golongan Senyawa Jumlah

Resin Flavonoid, asam aromatik, dan esternya 50%

Lilin Asam lemak dan esternya 30%

Minyak esensial Volatil 10%

Polen Protein dan asam amino bebas 5%

Senyawa organik dan mineral Mineral, lakton, quinon, steroid, vitamin,

dan gula

5%

Sumber : Khismatullina (2005) diacu dalam Saputra (2009)

Selain itu, unsur aktif yang terkandung dalam propolis antara lain flavonoid (flavon, flavonol, flavonon), senyawa fenolat, serta senyawa aromatik. Senyawa flavonoid yang ada yaitu flavonol (galangin, kaemferol, quersetin), flavonon (pinocembrin dan pinsobrin), serta flavon (chrysin, acacetin, apigenin, ermanin). Adapun senyawa fenolat yang ada antara lain hidroksisimat, asam sinamat, vanilin, benzil alkohol, asam benzoat, kafeat, kumarat, serta asam ferulat. Menurut Winingsih (2004) diacu dalam Suseno (2009) zat aktif yang diketahui bersifat antibiotika adalah asam ferulat yang efektif terhadap bakteri gram positif dan negatif. Komposisi kimia propolis sangat kompleks dan tergantung vegetasi lingkungan tempat pengumpulannya. Untuk aktivitas biologis propolis dapat dilihat pada Tabel 3.


(15)

Tabel 3 Aktivitas biologis komponen propolis

No Jenis aktivitas Senyawa

1 Antibakteri Prenylated p-coumaric acids Lignans

Diterpenic acids

2 Sitotoksik Flavonoid

Prenylated p-coumaric acids Lignans

Diterpenics acid

3 Imunomodulasi Caffeoulquinic acids

4 Antihepatotoksik Caffeoulquinic acids Sumber : Bankova et al. (2000) diacu dalam Saputra (2009)

Propolis digunakan untuk mensterilkan sarang lebah dari bakteri, jamur, dan virus, dimanfaatkan oleh lebah pekerja untuk melapisi bagian dalam rongga sarang dan mengurangi pintu masuk sarang yang bertujuan untuk menggunakan sifat antibakteri dan antifungi propolis sehingga dapat melindungi koloninya dari serangan penyakit (Adiprabowo 2008) digunakan untuk mengisi celah dan retakan serta menghaluskan permukaan yang kasar pada sarang lebah madu (Gojmerac 1983). Anggraini (2006) menyatakan bahwa beberapa bakteri gram positif yang mampu dihambat oleh propolis adalah Bacillus subtilis dan Staphylococcus aureus. Sedangkan untuk bakteri gram negatif yang efektif dihambat oleh propolis yakni Escherichia coli dan Pseudomonas aeuriginosa (Anggraini 2006),

Klebsiella sp., Salmonela sp., Campylobacter sp. (Tukan 2008 diacu dalam Abidin 2010) dan Enterobacter sakazakii (Fitriannur 2009). Abidin (2010) juga menyatakan bahwa senyawa aktif yang terdapat pada propolis mampu menghambat pertumbuhan bakteri Lactobacillus bulgaricus.

Propolis yang berasal dari sarang lebah madu (Trigona spp) merupakan propolis yang sangat berpotensi sebagai antibakteri alami (Adiprabowo 2008) Kelebihan propolis sebagai antibiotika alami dibandingkan dengan bahan sintetik yaitu lebih aman serta dengan efek samping yang relatif kecil. Propolis bekerja melawan bakteri berbahaya tanpa membinasakan bakteri yang dibutuhkan oleh manusia karena propolis memiliki daya selektivitas yang tinggi sebagai antibiotika (Winingsih 2004 diacu dalam Saputra 2009). Propolis juga telah terbukti efektif untuk melawan strain bakteri yang tahan terhadap antibakteri sintetik (Drapper’s Super Bee Apiaries 2007 diacu dalam Adiprabowo 2008). Adapun senyawa aktif yang memberikan efek antibakteri di dalam propolis adalah pinocembrin, galangin, asam kafeat, dan asam ferulat. Senyawa


(16)

antifunginya adalah pinocembrin, pinobaksin, asam kafeat. Benzil ester, sakuranetin dan pterostilbena. Senyawa antiviralnya yakni asam kafeat, lutseolin, dan quersetin (Winingsih 2004 diacu dalam Suseno 2009).

Menurut Abidin (2010) meskipun propolis memiliki manfaat kesehatan sebagai antibakteri, namun propolis pada konsentrasi tertentu memiliki peranan simbiotik terhadap beberapa spesies bakteri probiotik. Berdasarkan hasil penelitian Abidin (2010) diketahui bahwa pada konsentrasi 0,6% propolis mampu menstimulasi pertumbuhan bakteri Lactobacillus casei subsp. Rhamnosus dan aktivitas bakteri Streptococcus thermophillus yaitu dengan menstimulasi produksi asam laktat.


(17)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Lingkungan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB) dari bulan Maret hingga Juli 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam persiapan media yaitu meliputi timbangan analitik, gelas ukur, pipet, labu erlenmeyer, labu takar, gelas piala, pengaduk, botol kultur dan autoclave. Sedangkan untuk kegiatan penanaman alat-alat yang digunakan antara lain laminar air flowcabinet, handsprayer, lampu bunsen, pinset, pisau, scalpel, tissue, dan cawan petri.

Bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan media antara lain agar-agar, gula pasir, air steril, larutan stok media MS, BAP, propolis, dan PPM. Sedangkan untuk kegiatan sterilisasi dan penanaman bahan-bahan yang digunakan yaitu deterjen, fungisida dan bakterisida, clorox, HgCl2, betadine, air steril, alkohol dan eksplan Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br) bagian titik tumbuh. Bahan eksplan pulai merupakan jenis pulai darat yang berasal dari PT. Xylo Indah Pratama yang didatangkan dari pulau Sumatra.

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Sterilisasi alat dan media Kultur

Alat-alat yang akan digunakan dalam kegiatan kultur jaringan seperti botol kultur, pinset, scalpel, cawan petri, pipet, pengaduk, gelas piala, labu takar dicuci bersih menggunakan detergen. Kemudian, alat-alat yang digunakan dalam penanaman disterilisasi dengan membungkus alat-alat tersebut menggunakan kertas tebal dan selanjutnya semua alat-alat tersebut diautoclave pada suhu 121⁰C -126⁰C dan tekanan 1,5 atm selama 60 menit. Sedangkan untuk media yang telah dimasukan ke dalam botol kultur lalu dimasukan ke dalam autoclave pada suhu 121⁰C -126⁰C dan tekanan 1,5 atm selama 20 menit.


(18)

3.3.2 Sterilisasi lingkungan kerja

Pembersihan laboratorium dilakukan setiap hari terutama untuk penyeleksian botol kultur yang terkontaminasi. Pengepelan dan penyemprotan rak kultur dengan alkohol juga dilakukan secara berkala. Pembersihan tempat kerja (laminar air flow cabinet) dapat dilakukan dengan mengelap permukaan atau meja kerja menggunakan kapas atau tisu yang telah disemprot alkohol 70%. Lalu, sebelum dan selama pemakaian, blower atau peniup udara dalam laminar air flow cabinet harus dinyalakan untuk menghindari adanya kontaminan yang masuk ke dalam botol kultur ketika penanaman. Kemudian sebelum melakukan pekerjaan maka dilakukan penyemprotan dengan alkohol 70% terhadap kedua telapak tangan, botol kultur, ataupun alat-alat yang akan digunakan dalam penanaman.

3.3.3 Sterilisasi bahan tumbuhan (indukan)

Proses dan tahapan karantina bahan indukan meliputi :

1. Penyemprotan dengan fungisida dan bakterisida atau antibiotika setiap sore secara bergiliran.

- Fungisida (Antracol) 1 g/l dan Bakterisida (Agrept) 1 g/l dicampur dan dilarutkan

- Antibiotika (Amoxiciline) 200 ml/l

2. Penyemprotan dengan hormon tunas atau Hyponex hijau + GA setiap pagi secara bergiliran

- Hormon tunas 10 ml/l

- Hyponex Hijau 2 g/l + GA 100 ml/l

3. Penggunaan Dekastar (N Tinggi) pada media tanam 4. Penyemprotan dengan insektisida

3.3.4 Sterilisasi bahan eksplan

Pulai yang sudah dikarantina dan akan diambil sebagai eksplan diberi perlakuan sterilisasi yang meliputi sterilisasi eksplan di luar laminar air flow cabinet dan sterilisasi eksplan di dalam laminar air flow cabinet. Adapun tahapan sterilisasi eksplan di luar lamiar air flow cabinet meliputi :


(19)

2. Pengolesan dengan alkohol 70 % 3. Pencucian dengan air

4. Pencucian dengan detergen (10 menit) 5. Pencucian menggunakan air hingga bersih

Sedangkan tahapan sterilisasi eksplan di dalam laminar air flow cabinet

meliputi :

1. Pencucian menggunakan air steril selama ± 5 menit

2. Perendaman dengan HgCl2 0,01 mg/100 ml selama 7-10 menit 3. Perendaman menggunakan clorox 5 % selama ± 3 menit

4. Perendaman dengan larutan betadine 0,5 ml/100 ml selama 7-10 menit 5. Pembilasan dengan air steril sebanyak 3 kali masing-masing selama 5 menit.

3.3.5 Pembuatan media

3.3.5.1 Pembuatan larutan stok

Pembuatan larutan stok dilakukan secara terpisah sesuai dengan pengelompokannya yaitu larutan stok makro, stok mikro, stok Fe-EDTA, stok vitamin dan stok hormon (BAP).Adapun rincian komposisinya yaitu larutan stok makro terdiri dari KNO3, NH4NO3, CaCl2. 2H2O, MgSO4.7H2O dan KH2PO4 (masing-masing dibuat secara terpisah). Larutan Stok mikro terdiri dari campuran MnSO4.H2O, ZnSO4.7H2O, H3BO3, KI, Na2MoO4. 2H2O, CoCl.6H2O, 4CuSO4.5H2O. Larutan Stok Fe-EDTA terdiri dari campuran senyawa C10H14N2Na2O82H2O (Na-EDTA) dan FeSO4.7H2O. Larutan stok vitamin terdiri dari Thiamin HCl, Nicotinic acid, Pyridoxin HCl, dan Glycin. Larutan stok hormon (BAP). Unsur hara yang telah ditimbang beratnya sesuai dengan yang telah ditentukan kemudian dilarutkan dengan 1 liter aquades. Setelah larutan stok selesai dibuat selanjutnya disimpan di lemari es.

3.3.5.2 Pembuatan media Murashige Skoog (MS) dengan larutan BAP

Pembuatan media dimulai dengan pembuatan larutan stock MS dan hormon BAP yang telah dipersiapkan sebelumnya. Untuk pelaksananaan pembuatan media yaitu sebagai berikut :


(20)

2. Memipet dan memasukan larutan A, B, C, D, E, F, myo inositol masing-masing 5 ml, vitamin 2 ml, dan hormon (BAP) sebanyak 1,5 ml.

3. Memasukan 30 gram gula pasir

4. Menambahkan air aquadest hingga volume menjadi tepat 1000 ml

5. Mengukur pH larutan yaitu antara 5-6, jika terlalu asam tambahkan NAOH dan jika terlalu basa tambahkan HCl

6. Memasukan 6 gram agar-agar kedalam larutan tersebut 7. Memasak larutan media dalam panci hingga mendidih 8. Menuangkan media kedalam botol kultur (±10 ml) 9. Menutup botol dengan plastik dan karet

10. Mensterilisasikan media didalam autoclave pada suhu 121⁰C-126⁰C dan tekanan 1,5 atm selama 20 menit.

11. Memasukan media-media yang sudah steril kedalam plastik dan simpan di lemari

3.3.5.3 Pembuatan media perlakuan

Pembuatan media perlakuan diawali dengan proses yang sama ketika membuat media kontrol (MS0+BAP1,5). Akan tetapi untuk media perlakuan pada larutan MS0+BAP1,5 ditambahkan antibiotika berupa PPM dan/atau propolis sesuai dengan perlakuan yakni sebesar 0 ml/l, 0,5 ml/l, 1ml/l, 1,5 ml/l dan 2 ml/l. Penambahan antibiotika ini (PPM dan/atau propolis) dilakukan sebelum larutan MS0+BAP1,5 diencerkan dengan air aquades hingga volume akhir 1 liter terdapat pada media yang sudah lengkap.

Setelah larutan media perlakuan selesai dibuat, larutan tersebut lalu diukur dengan menggunakan pH meter. Pada umumnya pH media yang digunakan yakni 5,6-5,8, bila larutan Ph>5,8 maka dilakukan penambahan HCL dan jika pH< 5,6 maka dilakukan penambahan NAOH. Selanjutnya larutan media ditambahkan dengan agar-agar sebanyak 6 gr/l dan dimasak hingga mendidih. Setelah itu larutan dituang kedalam botol-botol kultur sebanyak 10 ml. Lalu botol ditutup dengan rapat dan beri label. Langkah selanjutnya yaitu melakukan sterilisasi media tersebut dalam autoclave pada suhu 121⁰C-126⁰C dengan 1,5 atm selama 20 menit.


(21)

3.3.6 Penanaman

Penanaman eksplan pulai dilakukan di dalam laminar air flow cabinet. Setelah dilakukan sterilisasi pada eksplan kemudian eksplan dimasukan ke dalam

petridish dan potong bagian tumbuhan yang terkena bahan sterilan lalu tanam dalam media kultur, setelah selesai penanaman botol kultur diletakan dalam ruang kultur.

3.4 Pengamatan

Pengamatan dilakukan selama kurang lebih 8 minggu setelah tanam dan pengambilan data dilakukan setiap satu minggu sekali. Hal yang diamati yaitu : - Jumlah eksplan yang hidup ditandai dengan jumlah eksplan yang berwarna

kehijauan.

- Jumlah eksplan yang mati ditandai dengan jumlah eksplan yang mengalami

browning (pencoklatan) atau berwarna merah dan tidak muncul tunas.

- Jumlah eksplan yang mengalami kontaminasi ditandai dengan adanya jamur (cendawan) dan bakteri.

Selain itu, untuk mengetahui pengaruh pemberian antibiotika pada pertumbuhan eksplan pulai maka dilakukan pengamatan terhadap :

- Jumlah tunas yang tumbuh - Pertambahan tinggi tunas - Jumlah daun yang tumbuh

3.5 Rancangan Percobaan

Percobaan ini dilakukan pada tahap inisiasi dengan jenis eksplan pucuk. Adapun rancangan percobaan ini dirancang dengan menggunakan percobaan faktorial dua faktor dengan dasar rancangan acak lengkap (RAL). Faktor pertama adalah jenis antibiotika yang terdiri dari : Plant preservative mixture (PPM) dan Propolis. Faktor yang kedua yakni konsentrasi yang terdiri dari lima taraf yaitu 0ml/l, 0,5 ml/l, 1 ml/l, 1,5 ml/l, dan 2 ml/l. Dengan demikian terdapat 52 = 25 perlakuan dan setiap perlakuan terdiri dari 10 ulangan sehingga seluruhnya terdapat 250 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri dari satu botol


(22)

yang berisi satu eksplan. Berikut merupakan gambaran interaksi antar faktor dari percobaan yang dilaksanakan :

Tabel 4. Interaksi faktor jenis antibiotika dengan konsentrasinya PPM (ml/l)

(A)

Propolis (ml/l) (B)

0 (B0) 0,5 (B1) 1 (B2) 1,5 (B3) 2 (B4)

0 (A0) A0B0 A0B1 A0B2 A0B3 A0B4

0,5 (A1) A1B0 A1B1 A1B2 A1B3 A1B4

1 (A2) A2B0 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4

1,5 (A3) A3B0 A3B1 A3B2 A3B3 A3B4

2 (A4) A4B0 A4B1 A4B2 A4B3 A4B4

Keterangan : A0B0 = Kontrol

3.6 Analisis Data

Perhitungan parameter kualitatif meliputi persentase kontaminasi oleh jamur dan bakteri, browning (pencoklatan), dan kematian pada eksplan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

%Tingkat kontaminasi = ∑eksplan yang terkontaminasi x 100% N

%Tingkat pencoklatan = ∑eksplan yang mengalami pencoklatan x 100% N

%Tingkat kematian = ∑eksplan yang mengalami kematian x 100% N

%Tingkat keberhasilan = ∑eksplan yang bertunas x 100% N

Keterangan : N adalah jumlah total eksplan yang tersedia pada setiap perlakuan

Adapun model linear rancangan percobaan yang digunakanyaitu sebagai berikut (Mattjik & Sumertawijaya 2002) :

Dimana : i = 1,2 j = 1,2,3,4,5

k = 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10


(23)

Keterangan :

Yijk : Hasil pengamatan terhadap eksplan Alstonia scholaris (L) R.Br pada pengaruh jenis antibiotika ke-i, konsentrasi ke-j, dan ulangan ke-r

µ : Nilai tengah umum (rata-rata populasi) αi : Pengaruh perlakuan antibiotika ke-i

βj : Pengaruh perlakuan konsentrasi antibiotika ke-j

(αβ)ij : Pengaruh interaksi perlakuan antibiotika ke-i dan konsentrasi ke-j εijk : Pengaruh acak pada perlakuan antibiotika ke-i, konsentrasi ke-j dan

ulangan ke-r.

Hipotesis : H0 : P1 = P2= Pi= 0 H1 : ada satu Pi≠ 0 Uji Hipotesis :

Terima H0 = Perbedaan taraf pemberian antibiotika pada kultur tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kontaminasi pada selang kepercayaan 95% (α=0,05)

Terima H1 = Sekurang-kurangnya ada taraf pemberian antibiotika pada kultur yang berpengaruh nyata terhadap tingkat kontaminasi pada selang kepercayaan 95% (α= 0,05)

Untuk mengetahui pengaruh yang diberikan pada percobaan dilakukan uji-F yang diperoleh dari hasil analisis ragam atau analysis of variance (ANOVA). Kemudian dibandingkan dengan F tabel pada selang kepercayaan 95% (α=0,05) dengan kaidah :

1. Jika F hitung < F tabel maka H0 diterima, H1 ditolak sehingga pemberian antibiotika pada kultur tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kontaminasi.

2. Jika F hitung > F tabel maka H0 ditolak H1 diterima sehingga pemberian antibiotika pada kultur berpengaruh nyata terhadap tingkat kontaminasi.


(24)

Jika sidik ragam memberikan hasil berpengaruh nyata, selanjutnya dilakukan uji Duncan untuk mengetahui beda antar perlakuan. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 16.0.


(25)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tingkat Keberhasilan Kultur

Kultur in vitro pulai merupakan salah satu metode perbanyakan yang dikembangkan dalam upaya konservasi tumbuhan pulai. Pemanfaatan perbanyakan tumbuhan pulai menggunakan metode tersebut juga tidak terhindar dari permasalahan umum yang terjadi dalam kultur in vitro. Adapun permasalahan tersebut yakni kontaminasi baik yang berasal dari bakteri maupun jamur. Penambahan antibiotika pada media merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mengurangi tingkat kontaminasi yang terjadi pada kultur in vitro. Antibiotika adalah senyawa kimia khas yang dihasilkan atau diturunkan oleh organisme hidup, termasuk struktur analognya yang dibuat secara sintetik, yang dalam kadar rendah mampu menghambat proses penting dalam kehidupan satu spesies atau lebih mikroorganisme (Siswandono & Soekardjo 1995). Adapun jenis antibiotika yang ditambahkan pada media kultur in vitro dalam penelitian ini yaitu antibiotika alami (propolis), antibiotika sintetik (Plant Preservative Mixture atau PPM) dan kombinasi dari kedua antibiotika tersebut.

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan selama 8 minggu dengan 25 jenis media perlakuan didapatkan hasil sebagai berikut (Gambar 1). Adapun persentase keberhasilan tiap perlakuan beragam mulai dari yang terkecil 10% hingga yang tertinggi yaitu 70%. Sedangkan untuk rata-rata persentase keberhasilan totalnya yaitu 50,60% atau berkisar 126 eksplan yang berhasil tumbuh. Berdasarkan gambar grafik yang disajikan dapat diketahui bahwa jenis media dengan persentase keberhasilan tertinggi terdapat pada jenis media perlakuan PPM:0 ml/l + Propolis:1 ml/l (A0B2), PPM:0,5 ml/l + Propolis:0,5 ml/l (A1B1), PPM:0,5 ml/l + Propolis: 2 ml/l (A1B4), PPM:1 ml/l + Prop:0ml/l (A2B0), PPM:1 ml/l + Propolis:0,5 ml/l (A2B1), PPM:1 ml/l + Propolis:1 ml/l (A2B2), PPM:2 ml/l + Prop:0ml/l (A4B0) (Gambar 2 ).


(26)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 A0B0

A0B1 A0B2 A0B3 A0B4 A1B0 A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A2B0 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A3B0 A3B1 A3B2 A3B3 A3B4 A4B0 A4B1 A4B2 A4B3 A4B4

Persentase keberhasilan (%)

P

e

r

lak

u

an

Gambar 2 Persentase keberhasilan per media perlakuan.

Berdasarkan hasil pengamatan secara visual terhadap eksplan, perlakuan penambahan PPM 0,5ml/l dan propolis 0,5 ml/l (A1B1) memperlihatkan pertumbuhan dan perkembangan yang lebih baik dari pada 6 jenis perlakuan dengan persentase keberhasilan tumbuh tertinggi yang lain.

4.2 Perlakuan Penambahan Propolis

Berdasarkan hasil pengamatan pada perlakuan penambahan propolis dapat diketahui bahwa perlakuan penambahan propolis 1 ml/l (A0B2) merupakan salah satu perlakuan yang menghasilkan persentase keberhasilan tumbuh yang tertinggi.


(27)

Sedangkan penambahan propolis 2 ml/l (A0B4) merupakan perlakuan dengan persentase keberhasilan tumbuh yang terendah.

Perlakuan penambahanantibiotika propolis 1 ml/l (A0B2) menghasilkan eksplan dengan tingkat kontaminasi yang cukup rendah karena di dalam propolis terdapat kandungan zat aktif yang bersifat antibiotika seperti asam ferulat yang efektif terhadap bakteri gram positif dan negatif (Winingsih 2004 diacu dalam Suseno 2009). Dari adanya kandungan zat aktif tersebut maka dengan penambahan propolis pada media dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang ada. Selain itu, propolis juga memiliki kandungan senyawa aktif antifungi dan antiviral yang mampu menghambat pertumbuhan jamur dan serangan virus. Hasil pengamatan visual terhadap eksplan pada perlakuan menunjukkan adanya respon yang positif terhadap pertumbuhan eksplan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan tunas, pertambahan tinggi tunas dan jumlah daun yang tumbuh memiliki kondisi yang baik. Winingsih (2004) diacu dalam Saputra (2009) menyatakan bahwa kelebihan propolis sebagai antibiotika alami dibandingkan dengan bahan sintetik yaitu lebih aman serta dengan efek samping yang relatif kecil. Hal ini karena propolis memiliki daya selektivitas yang tinggi sebagai antibiotika sehingga cara kerja propolis yaitu melawan bakteri berbahaya tanpa membinasakan bakteri yang dibutuhkan.

Persentase keberhasilan kultur yang terendah terdapat pada media perlakuan penambahan propolis 2 ml/l (A0B4). Rendahnya persentase keberhasilan pada perlakuan yang diberi penambahan ppm 0ml/l dan propolis 2ml/l diduga karena terlalu tingginya konsentrasi propolis yang ditambahkan ke dalam media. Darmono (2003) menyatakan bahwa pemberian konsentrasi antibiotika yang terlalu tinggi pada tanaman dapat menyebabkan terjadinya efek fitotoksik pada tanaman sehingga dapat menyebabkan kematian. Tingginya tingkat kontaminasi pada perlakuan ini diduga karena propolis merupakan bahan antibiotika alami yang bersifat tidak membunuh bakteri dan jamur, namun hanya bersifat pengendalian atau menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur. Abidin (2010) menyatakan bahwa propolis pada konsentrasi tertentu memiliki peranan simbiotik terhadap beberapa spesies bakteri probiotik. Berdasarkan hasil penelitian Abidin (2010) diketahui bahwa pada konsentrasi 0,6% propolis mampu


(28)

menstimulasi pertumbuhan bakteri Lactobacillus casei subsp. Rhamnosus dan aktivitas bakteri Streptococcus thermophillus yaitu dengan menstimulasi produksi asam laktat. Hasil pengamatan visual pada eksplan yang berhasil steril, ditemukan bahwa eksplan tersebut tidak mengalami pertumbuhan maupun perkembangan sehingga tunas yang tumbuh dari eksplan tersebut pun tidak mengalami perubahan. Fenomena tersebut dapat disebut bahwa eksplan yang ditanam mengalami stagnasi. Santoso dan Nursandi (2003) menyatakan bahwa stagnasi pertumbuhan dapat disebabkan oleh penggunaan bahan yang tidak merismatik atau potensial merismatik. Selain itu juga dapat disebabkan oleh tindakan sterilisasi yang berlebihan, media yang tidak cocok atau llingkungan yang tidak mendukung.

4.3 Perlakuan Penambahan Plant Preservative Mixture (PPM)

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari 4 jenis perlakuan penambahan antibiotika PPM dihasilkan 2 jenis perlakuan yang memperoleh persentase keberhasilan tumbuh tertinggi yakni penambahan PPM 1ml/l (A1B0) dan 2 ml/l (A2B0). Perlakuan A1B0dan A2B0mendapatkan hasil yang baik dengan persentase keberhasilan yang cukup tinggi (70%). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan antibiotika PPM dengan konsentrasi 1ml/l dan 2 ml/l pada media mampu memberikan respon yang positif terhadap adanya kontaminasi pada eksplan dan pertumbuhan eksplan sendiri. Plant Preservative Mixture (PPM) merupakan biosida dengan spektrum yang luas sehingga mampu mencegah atau menurunkan tingkat kontaminasi mikroba pada kultur jaringan. Syatria (2010) menyatakan bahwa bahan aktif yang ada dalam PPM dapat menghambat tumbuhnya jamur atau menembus dinding sel bakteri dan menghambat aktivitas enzim kunci dalam siklus metabolisme sentral seperti siklus asam sitrat dan transpor elektron. Selain itu juga dapat menghambat proses pengangkutan monosakarida dan asam amino dari medium ke dalam sel bakteri. Adapun kandungan zat aktif yang terkandung dalam ppm yakni 5-Chloro-2 methyl-3-(CH)-isothiazolone 0,1350 % dan 2-methyl-3(H)-isothiazolone 0,0412% dan komposisi lain 99,82338%. Syatria (2010) mengemukakan bahwa dosis


(29)

penggunaan PPM yang baik berdasar rekomendasi pabrik yaitu konsentrasi antara 1-2 ml/l media.

4.4 Perlakuan Kombinasi Propolis dan Plant Preservative Mixture (PPM) Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari 16 jenis kombinasi propolis dan PPM dengan masing-masing konsentrasinya didapatkan 4 jenis kombinasi yang menghasilkan tingkat keberhasilan tumbuh tertinggi yakni kombinasi PPM 0,5 ml/l dan propolis 0,5 ml/l (A1B1), kombinasi PPM 0,5 ml/l dan propolis 2 ml/l (A1B4),kombinasi PPM 1 ml/l dan propolis 0,5 ml/l (A2B1),serta kombinasi PPM dan propolis 1 ml/l (A2B2)

Penambahan PPM 0,5 ml/l dan propolis 0,5 ml/l (A1B1) mampu menghasilkan persentase keberhasilan yang cukup tinggi dikarenakan adanya kandungan zat aktif pada propolis dikombinasikan dengan kandungan zat antibiotika yang ada pada PPM dapat menghambat pertumbuhan dari bakteri maupun jamur.Plant Preservative Mixture (PPM) merupakan antibiotika sintetik yang memiliki spektrum luas sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri gram positif maupun gram negatif. Sedangkan propolis merupakan antibiotika alami yang juga memiliki spektrum luas dan mampu menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif dan positif. Selain itu terdapat kandungan zat antibakteri, di dalam propolis juga terdapat kandungan zat antifungi dan antiviral. Pada konsentrasi ini antara antibiotika PPM dan propolis mampu bekerja secara efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri ataupun jamur. Pengamatan secara visual, memperlihatkan bahwa hasil pertumbuhan eksplan dalam perlakuan ini memiliki pertumbuhan yang cukup baik dengan adanya pertambahan tinggi tunas tiap minggu, jumlah tunas yang tumbuh cukup banyak

Adanya kombinasi perlakuan penambahan PPM 0,5 ml/l dan propolis 2 ml/l (A1B4) dilihat dari perhitungan persentase keberhasilan memiliki persentase yang cukup tinggi. Hal tersebut diduga pada penambahan antibiotika dengan perbandingan konsentrasi tersebut mampu menghambat terjadinya pertumbuhan bakteri, namun masih kurang efektif dalam proses menghambat pertumbuhan jamur karena 3 eksplan dari 10 eksplan yang terkontaminasi disebabkan oleh tumbuhnya jamur. Untuk pertumbuhan eksplan pada perlakuan ini sebagian besar


(30)

kurang terlalu baik karena jumlah tunas dan daun serta pertambahan tinggi tunas pada tiap minggunya tidak terlalu berbeda.

Perlakuan penambahan PPM 1 ml/l dan propolis 0,5 ml/l (A2B1) berdasarkan hasil perhitungan persentase keberhasilan memperlihatkan persentase yang cukup baik yakni sebesar 70%. Hal ini, selain disebabkan karena antibiotika PPM dan propolis yang bersifat antibakteri dan antifungi juga karena perbandingan konsentrasi yang diberikan masih dalam selang pemberian konsentrasi yang efektif untuk menghambat terjadinya pertumbuhan bakteri dan jamur. Adanya kombinasi antibiotika pada konsentrasi tersebut memberikan hasil yang baik pula pada pertumbuhan eksplan. Kontaminasi yang disebabkan oleh bakteri dan jamur yang terjadi pada perlakuan ini cukup kecil yakni masing-masing hanya 10%.

Berdasarkan hasil perhitungan persentase keberhasilan kombinasi penambahan PPM dan propolis 1 ml/l (A2B2) pada media juga menghasilkan persentase keberhasilan yang cukup tinggi. PPM dan propolis merupakan antibiotika yang sama-sama memiliki spektrum luas sehingga mampu menghambat terjadinya pertumbuhan bakteri gram positif dan negatif. Diduga adanya kombinasi dari antibiotika sintetik dan alami mampu memberikan respon positif terhadap adanya kontaminasi baik berasal dari bakteri maupun jamur yang terjadi pada kultur jaringan pulai. Adanya konsentrasi 1 ml/l pada masing-masing antibiotika yang ditambahkan pada media juga merupakan konsentrasi yang umumnya efektif ditambahkan pada media untuk menekan terjadinya kontaminasi. Berdasarkan hasil pengamatan visual terhadap eksplan pada perlakuan ini, walaupun persentase keberhasilannya cukup tinggi namun terdapat 3 eksplan dari 7 eksplan yang steril mengalami stagnasi dalam pertumbuhan. Hal ini diduga terjadi karena adanya penambahan PPM dan propolis dengan konsentrasi yang cukup tinggi sehingga membuat media menjadi kurang cocok untuk pertumbuhan dari eksplan itu sendiri. Santoso dan Nursandi (2003) menyatakan bahwa adanya stagnasi pertumbuhan dapat disebabkan karena adanya tindakan sterilisasi yang berlebihan dan media yang tidak cocok.


(31)

4.5 Hasil Analisis Sidik Ragam

Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95%, menunjukkan bahwa nilai F hitung lebih kecil dari F tabel, sehingga keputusan yang diambil adalah menerima hipotesis nol. Hal ini berarti pemberian antibiotika pada kultur tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kontaminasi yang terjadi pada kultur in vitro pulai (Tabel 5), sehingga tidak perlu dilakukan uji lanjut wilayah Duncan. Hal ini diduga karena adanya jumlah ulangan yang tidak terlalu banyak sehingga kurang memberikan hasil yang optimal. Selain itu, waktu pengamatan 8 minggu diduga masih belum optimal untuk pengamatan kultur pohon dikarenakan jenis pohon berkayu merupakan jenis yang pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan tanaman pertanian.

Tabel 5. Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam tingkat kontaminasi pada kultur in vitro pulai

Signifikansi minggu ke-

1 2 3 4 5 6 7 8

Perlakuan 0.716 0.906 0.972 0.928 0.882 0.805 0.737 0.737 Keterangan : Signifikansi lebih dari 0,05, tidak berpengaruh nyata

Walaupun berdasarkan hasil analisis sidik ragam pemberian antibiotika tidak memberikan pengaruh yang nyata, namun hasil pengamatan menunjukkan bahwa dengan pemberian antibiotika pada konsentrasi tertentu menghasilkan tingkat keberhasilan kultur steril dan tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan dengan kontrol. Hal ini, berarti pemberian antibiotika pada konsentrasi tertentu (PPM:0 ml/l + Propolis:1 ml/l (A0B2), PPM:0,5 ml/l + Propolis:0,5 ml/l (A1B1), PPM:0,5 ml/l + Propolis: 2 ml/l (A1B4), PPM:1 ml/l + Prop:0ml/l (A2B0), PPM:1 ml/l + Propolis:0,5 ml/l (A2B1), PPM:1 ml/l + Propolis:1 ml/l (A2B2), PPM:2 ml/l + Prop:0ml/l (A4B0)) memberikan pengaruh yang positif terhadap tingkat keberhasilan kultur in vitro pulai.

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa dari total 250 eksplan yang ditanam terdapat 126 eksplan yang tumbuh atau sekitar 50,4%. Kemudian diikuti oleh kondisi eksplan yang terkontaminasi oleh jamur sebanyak 74 eksplan dan kontaminasi bakteri sebesar 30 eksplan. Fenomena pencoklatan juga dapat ditemukan pada penelitian ini dengan jumlah 16 eksplan. Presentase terkecil terdapat pada kondisi eksplan yang gugur. Gugur


(32)

50,40%

12,00% 29,60%

6,40% 1,60%

Tumbuh Bakteri Jamur Browning Gugur

yang terjadi pada eksplan disini 3 dari 4 eksplan gugur pada minggu ke-5 setelah tanam dan 1 eksplan gugur pada minggu ke-8 setelah tanam. Hal ini diduga disebabkan karena terjadinya proses metabolisme yang lebih besar daripada proses fotosintesis sehingga bahan makanan yang diserap lebih sedikit daripada yang dibutuhkan.Adapun persentase total kondisi eksplan dari hasil pengamatan yakni dapat dilihat pada gambar 3 dan gambaran dari eksplan pada gambar 4.

Gambar 3 Persentase total kondisi eksplan.

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 4 Kondisi eksplan; (a) eksplan tumbuh, (b) eksplan terkontaminasi bakteri, (c) eksplan terkontaminasi jamur, (d) eksplan browning, (e) eksplan gugur.


(33)

4.6 Kontaminasi Jamur

Kontaminasi merupakansalah satu gangguan yang umum terjadi pada kultur jaringan (Santoso & Nursandi 2003). Berdasarkan hasil penelitian persentase kontaminasi total yang terjadi sebesar 41,6% yang terbagi ke dalam dua jenis penyebab kontaminasi yaitu jamur sebesar 29,60% dan bakteri 12%. Dari total 104 eksplan yang mengalami kontaminasi 72,82% diantaranya disebabkan karena jamur (Gambar 5).Wudianto (2002) diacu dalam Gunawan (2007) menyatakan bahwa jamur atau cendawan pada umumnya berbentuk seperti benang halus yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Akan tetapi, kumpulan dari benang halus yang disebut miselium ini dapat dilihat dengan jelas.

Gambar 5 Eksplan terkontaminasi jamur

Kematian eksplan akibat kontaminasi jamur umumnya terjadi karena pertumbuhan cendawan yang lebih cepat daripada pertumbuhan eksplan sendiri. Hal ini menyebabkan cendawan dapat mendominasi permukaan media dan dapat menginvasi (menutupi) eksplan. Adanya dominasi cendawan dalam botol kultur mengakibatkan eksplan yang ditanam tidak memiliki ruang tumbuh yang cukup sehingga pertumbuhannya menjadi terhambat dan akhirnya berujung pada kematian eksplan.Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan dari 74 eksplan yang mengalami kontaminasi karena jamur dapat diketahui bahwa terdapat 2 jenis warna jamur yang berbeda. Menurut Wudianto (2002) diacu dalam Gunawan (2007) warna miselium bermacam-macam yaitu ada yang berwarna putih, cokelat, hitam, merah dan lain sebagainya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar jenis jamur yang menyebabkan kontaminasi pada penelitian ini memiliki warna miselium putih. Adapun rinciannya yaitu 82,43% jamurdengan


(34)

miselium berwarna putih, 17,57 jamur dengan miselium berwarna hitam(Gambar 6).

(a) (b)

Gambar 6 Kontaminasi jamur; (a)jamur miselium warna putih, (b) jamur miselium warna hitam.

Dari keseluruhan eksplan yang terkontaminasi jamur 95,95% diantaranya sumber kontaminan berasal dari eksplan dan sisanya 4,05% berasal dari media. Gunawan (2007) menyatakan bahwa besarnya sumber kontaminasi yang terjadi pada eksplan dan tidak terjadinya browning menunjukkan bahwa adanya kegagalan sterilisasi yang terletak pada ketidakmampuan bahan yang dipakai untuk menghilangkan kontaminan jamur maupun bakteri.

4.7 Kontaminasi Bakteri

Kontaminasi yang disebabkan karena bakteri memiliki persentase yang lebih kecil dibandingkan dengan kontaminasi karena jamur. Dari 104 eksplan yang terkontaminasi 28,85% disebabkan karena bakteri.Hasil pengamatan visual menunjukkan bahwa eksplan yang mengalami kontaminasi bakteri memperlihatkan adanya cairan putih yang keluar seperti lendir dari eksplan dan menyebar pada media yang berada di sekitar eksplan. Darmono (2003) menyatakan bahwa kontaminasi bakteri yang menyerang eksplan pada umumnya ditandai dengan keluarnya cairan berwarna putih keruh seperti susu dan berbau busuk. Sandra (2002) juga mengemukakan hal yang hampir sama yaitu terjadinya kontaminasi karena bakteri dapat menyebabkan pembusukan yang ditandai dengan keluarnya lendir dan bau busuk. Adanya kontaminasi yang berasal dari bakteri sebagian besar menyebabkan kematian maupun pencoklatan (browning) pada


(35)

eksplan. Gambar 7 menunjukkan kondisi eksplan yang terkontaminasi oleh bakteri.

Gambar 7 Eksplan terkontaminasi bakteri

4.8 Waktu Teriadinya Kontaminasi

Waktu terjadinya kontaminasi baik karena jamur maupun bakteri bervariasi mulai dari minggu 1 hingga ada yang baru terkontaminasi pada minggu ke-7. Perbedaan waktu kontaminasi ini terjadi karena adanya perbedaan sumber kontaminan penyebabnya. Santoso dan Nursandi (2003) mengemukakan bahwa kontaminasi yang terjadi secara bertahap tersebut membuktikan adanya sumber kontaminan yang tidak hanya berada pada bagian permukaan eksplan saja tetapi juga berada pada bagian dalam eksplan. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa terjadinya kontaminasi yang paling cepat yakni pada minggu pertama dengan jumlah 22 eksplan dari 104 eksplan. Sedangkan waktu kontaminasi terlama yakni terjadi pada minggu ke-7. Sumber kontaminan yang hanya berada pada bagian permukaan saja memiliki respon kontaminasi yang sangat cepat yakni dalam waktu antara 1-2 hari sudah dapat terlihat (Darmono 2003). Infeksi eksternal yang disebabkan oleh mikroorganisme pada umumnya terjadi karena sterilisasi permukaan bahan tanaman yang tidak steril (Darmono 2003). Sedangkan bila sumber kontaminan bersifat internal respon yang muncul dapat terlihat setelah beberapa hari atau bahkan sampai 1 bulan (Gunawan 2007). Menurut Darmono (2003) respon kontaminasi internal yang agak lama ini disebabkan oleh adanya mikroorganisme yang terdapat dalam ruang antar sel memerlukan waktu untuk keluar dari dalam ruang antar sel. Setelah mikroorganisme keluar maka dapat menginfeksi semua bagian eksplan.


(36)

4.9 Persentase Keberhasilan Tumbuh Eksplan Terkontaminasi

Dari keseluruhan eksplan yang terkontaminasi baik jamur maupun bakteri ditemukan 19 eksplan yang masih dapat bertahan hidup. Dari 19 eksplan terkontaminasi yang masih dapat tumbuh 2 eksplan diantaranya terkontaminasi bakteri dan 17 eksplan sisanya terkontaminasi jamur.Hal ini berarti pertumbuhan eksplan lebih cepat daripada jamur sehingga jamur tidak mampu mendominasi ataupun menginvasi eksplan dan juga karena jenis jamur yang menginfeksi tidak bersifat toksik sehingga tidak menyebabkan kematian pada eksplan (Gambar 8). Selain itu, tumbuhnya eksplan yang sudah terkontaminasi diduga karena mikroba yang menyerang adalah mikroba sistemik.

(a) (b)

Gambar 8 Kondisi pertumbuhan eksplan yang terkontaminasi; (a) kontaminasi jamur, (b) kontaminasi bakteri

4.10 Pencoklatan (Browning)

Pencoklatan merupakan peristiwa alamiah yang umum terjadi pada sistem biologi tanaman sebagai respon tanaman terhadap pengaruh fisik atau biokimia seperti pengupasan, memar, pemotongan, serangan penyakit dan kondisi yang tidak normal (Santoso & Nursandi 2003). Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan persentase total pencoklatan (browning) yang terjadi pada eksplan yakni 6,4% atau berkisar 16 eksplan dari 250 eksplan.Tingkat pencoklatan yang tertinggi berada pada perlakuan pemberian antibiotika propolis dengan konsentrasi 2 ml/l (A0B4). Pemberian antibiotika propolis dengan konsentrasi yang cukup tinggi ini diduga mampu membuat eksplan mengalami stress. Collin dan Edward (1998) diacu dalam Denish (2007) menyatakan bahwa terjadinya stress yang terjadi pada eksplan (tanaman) dapat membuat eksplan memproduksi


(37)

senyawa fenolik yang akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya pencoklatan (browning) pada eksplan. Pengamatan secara visual terhadap fenomena pencoklatan yang terjadi pada eksplan pulai dimulai dari daerah eksplan yang paling ujung atau daerah yang terluka akibat pemotongan eksplan kemudian baru meluas ke daerah sekitarnya (Gambar 9).

(a) (b) (c)

Gambar 9Pencoklatan pada eksplan; (a) coklat pada tepi ujung, (b) coklat pada seluruh ujung permukaan, (c) coklat pada seluruh bagian eksplan.

Adanya perluasan pencoklatan pada eksplan pada akhirnya menyebar keseluruh tubuh eksplan dan menyebabkan kematian eksplan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Collin dan Edward (1998) diacu dalam Denish (2007) yang menyatakan bahwa browning merupakan terjadinya warna coklat pada jaringan yang baru disayat atau dipotong. Terjadinya kematian eksplan akibat browning disebabkan oleh terjadinya peristiwa oksidasi fenol yang menghasilkan quinon.Adanya senyawa fenol di dalam tumbuhan dapat menyebabkan terhambatnya proses pembelahan sel, pemanjangan sel, perkembangan jaringan dan organ (Prawinata et al. 1995 diacu dalam Hidayat 2009). Santoso dan Nursandi (2003) mengemukakan bahwa terjadinya browning dapat mengakibatkan eksplan tidak dapat mengalami pertumbuhan dan perkembangan.

4.11 Jumlah Tunas

Tunas adalah tumbuhan muda yang baru timbul yang berasal dari tunggul, ketiak daun, buku batang induk, batang yang ditebang dan lain sebagainya. Pertumbuhan tunas dalam kegiatan budidaya merupakan salah satu parameter keberhasilan kegiatan budidaya tumbuhan. Sebagian besar tunas yang tumbuh


(38)

pada penelitian ini adalah tunas lateral. Tunas lateral adalah tunas yang terbentuk pada ketiak daun (Gardner et al, 1991 diacu dalam Hidayat 2009). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tunas lateral yang muncul dimulai dari adanya tonjolan pada ketiak daun yang pada umumnya berwarna hijau muda dan selanjutnya tunas muncul dengan daun yang menguncup dan beberapa hari kemudian daun tersebut mulai membuka (Gambar 10).

(a) (b)

Gambar 10 Kondisi tunas; (a) tunas daun kuncup, (b) tunas daun membuka

Hasil analisis ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa pada minggu ke-8 nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel sehingga keputusan yang diambil adalah menerima hipotesis satu. Hal ini berarti pemberian antibiotika memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas pada minggu ke-8 (Tabel 6).

Tabel 6 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam jumlah tunas Signifikansi minggu ke-

1 2 3 4 5 6 7 8

Perlakuan 0.484tn 0.531tn 0.575tn 0.794tn 0.633tn 0.358tn 0.103tn 0.025* Keterangan:

Signifikansi lebih dari 0,05, tidak berpengaruh nyata tn = Tidak berpengaruh nyata

* = Berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95%

Selanjutnya, untuk melihat beda antar perlakuan maka dilakukan uji lanjut wilayah Duncan. Adapun hasil analisis uji lanjut wilayah Duncan terhadap jumlah tunas dapat dilihat pada Tabel 7.


(39)

Tabel 7 Hasil uji Duncan rata-rata jumlah tunas Jenis

media

Minggu ke-

1 2 3 4 5 6 7 8

A0B0 1.00b 1.00a 1.00a 1.00a 1.00a 1.00a 1.33a 1.67ab

A0B4 1.00b 1.00a 1.00a 1.00a 1.00a 1.00a 1.00a 1.00a

A1B0 1.00b 1.00a 1.00a 1.00a 3.33b 4.67b 5.00b 5.33c

Keterangan : Nilai dalam kelompok pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan adanya pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%.

Berdasarkan hasil analisis uji lanjut wilayah Duncan dapat diketahui bahwa pada minggu ke-8 perlakuan penambahan antibiotika PPM 0,5 ml/l (A1B0) pada media menghasilkan jumlah tunas tertinggi yakni sebesar 5,33 buah. Apabila dibandingkan dengan perlakuan kontrol (A0B0) yang memiliki jumlah tunas 1,67 buah, penambahan PPM 0,5 ml/l pada media menunjukkan adanya pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas yang tumbuh. Adanya penambahan PPM 0,5 ml/l mampu menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak dari pada media yang tidak ditambahkan PPM 0,5 ml/l. Hal ini diduga penambahan PPM 0,5 ml/l pada media mampu berinteraksi dengan baik dan ataupun tidak mempengaruhi kinerja hormon BAP yang ditambahkan pada media untuk merangsang terjadinya pertumbuhan tunas. Syatria (2010) menyatakan bahwa penggunaan PPM dengan dosis yang optimum sangat efektif dan tidak mempengaruhi vitro germination, proliferasi kalus dan regenerasi kalus.

Sedangkan jumlah tunas terendah terdapat pada perlakuan penambahan propolis 2 ml/l (A0B4), dengan jumlah 1 buah tunas. Jika dibandingkan dengan perlakuan pada kontrol dengan jumlah tunas 1,67 buah, perlakuan A0B4 yang menghasilkan tunas satu buah tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang besar namun tetap lebih kecil. Adanya hal tersebut diduga karena jenis antibiotika dan konsentrasi yang diberikan kurang sesuai dengan sifat dari eksplan dalam perlakuan sehingga tidak mampu berinteraksi secara baik dengan hormon BAP yang ditambahkan pada media. Selain itu, adanya jenisantibiotika dengan konsentrasi yang cukup tinggi kemungkinan mampu mempengaruhi kerja hormon, pertumbuhan dan perkembangan eksplan.


(40)

Gambar 11 Rata-rata jumlah tunas per minggu pada perlakuan kontrol (A0B0), A0B4, dan A1B0.

Gambar 11 menunjukkan rata-rata pertambahan jumlah tunas pada tiga hasil utama yakni perlakuan kontrol (A0B0), perlakuan dengan jumlah tunas tertinggi (A1B0) dan perlakuan dengan jumlah tunas terkecil (A0B4). Pada perlakuan kontrol (A0B0) rata-ratajumlah tunas pada minggu ke 1-6 tetap yakni 1 buah. Kemudian mulai bertambah pada minggu ke 6-8 dengan jumlah tunas rata-rata pada akhir pengamatan 1,67 buah. Hal ini, menunjukkan bahwa kerja hormon yang mempengaruhi pertumbuhan tunas mulai bekerja efektif pada minggu ke-6. Rata-rata jumlah tunas terbesar terdapat pada perlakuan penambahan PPM 0,5 ml/l (A1B0) dengan jumlah 5,33 buah tunas pada akhir pengamatan. Pada minggu ke 1-4, jumlah tunas pada perlakuan ini tetap yaitu 1 buah, selanjutnya mengalami peningkatan pada minggu-minggu selanjutnya. Hal ini, diduga karena kerja hormon pada perlakuan ini mulai bekerja efektif pada minggu ke 4-8 dan penambahan antibiotika (PPM) pada perlakuan ini tidak mempengaruhi kerja hormon serta proses pertumbuhan dan perkembangan dari eksplan. Sedangkan rata-rata jumlah tunas terkecil terdapat pada perlakuan penambahan propolis 2 ml/l (A0B4). Selain itu, pertumbuhan tunasnya pun tidak mengalami perubahan sehingga dari awal pengamatan hingga akhir pengamatan jumlah, besar dan tinggi tunasnya tetap. Hal ini, kemungkinan karena adanya penambahan antibiotika dengan konsentrasi yang tinggi sehingga mampu mempengaruhi kerja hormon, pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Faktor lain yang mempengaruhi kondisi

0 1 2 3 4 5 6

0 2 4 6 8 10

Jum la h tun as (b ua h ) Minggu ke-A0B0 A0B4 A1B0


(41)

tersebut yakni sifat dari eksplan itu sendiri, karena setiap eksplan akan memberikan reaksi yang berbeda untuk setiap pemberian perlakuan.

4.12 Pertambahan Tinggi Tunas

Pertambahan tinggi merupakan salah satu parameter yang mengindikasikan adanya pertumbuhan. Pertambahan tinggi eksplan yang terlihat sudah terlihat pada minggu pertama setelah tanam. Pertambahan tinggi tiap eksplan berbeda-beda.

Gambar 12 Rata-rata pertambahan tinggi tunas per minggu pada perlakuan kontrol (A0B0), A1B0, dan A4B3.

Berdasarkan Gambar 12 dapat diketahui bahwa pertambahan tinggi tunas hampir terjadi pada semua perlakuan, namun dengan rata-rata pertambahan tinggi yang berbeda-beda. Perlakuan kontrol (A0B0) umumnya mengalami pertambahan tinggi pada tiap minggunya hingga akhir pengamatan dengan rata-rata pertambahan yang cukup besar. Kemudian, pada perlakuan penambahan PPM 0,5 ml/l juga menunjukkan adanya pertambahan tinggi tunas yang cukup besar pada tiap minggunya, namun pada minggu ke 5-7 tunas tidak mengalami pertambahan tinggi. Kemudian kembali tumbuh pada minggu 7 menuju ke minggu 8. Hal ini, kemungkinan karena kerja hormon pada minggu ke 5-7 tidak efektif sehingga tidak mampu menyokong proses pertumbuhan tunas pada perlakuan tersebut. Sedangkan pada perlakuan penambahan PPM 2 ml/l dan propolis 1,5 ml/l,

rata-0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9

0 2 4 6 8 10

P er ta m b ah an ti n ggi (c m ) Minggu ke-A0B0 A1B0 A4B3


(42)

rata pertambahan tinggi tunasnya kecil dan cenderung tidak tumbuh atau mengalami stagnasi pada minggu ke 3-5 dan minggu ke 6-7. Hal ini, diduga karena adanya pemberian antibiotika pada media dengan dosis yang cukup tinggi sehingga mampu mempengaruhi pertumbuhan eksplan.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel sehingga keputusan yang diambil adalah menerima hipotesis satu. Hal ini berarti pemberian antibiotika berpengaruh nyata terhadap tinggi tunaspada minggu ke-2. Namun, pada minggu-minggu berikutnya tidak terlihat adanya pengaruh nyata dari penambahan antibiotika tersebut (Tabel 8).

Tabel 8 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertambahan tinggi tunas Signifikansi minggu ke-

1 2 3 4 5 6 7 8

PPM 0.164tn 0.010* 0.601tn 0.843tn 0.749tn 0.608tn 0.500tn 0.442tn Keterangan :

Signifikansi lebih dari 0,05, tidak berpengaruh nyata tn = Tidak berpengaruh nyata

(*) = Berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95%

Kemudian, untuk melihat beda antar perlakuan dilakukan uji lanjut wilayah Duncan (Tabel 9).

Tabel 9 Hasil uji Duncan rata-rata pertambahan tinggi tunas Jenis

media

Minggu ke-

1 2 3 4 5 6 7 8

A0B0 0.05ab 0.28de 0.33ab 0.48a 0.68a 0.75a 0.78a 0.78a A1B0 0.13c 0.35e 0.38ab 0.52a 0.63a 0.63a 0.63a 0.70a A4B3 0.05ab 0.05a 0.10a 0.10a 0.10a 0.13a 0.13a 0.18a

Keterangan : Nilai dalam kelompok pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan adanya pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%.

Hasil analisis uji lanjut wilayah Duncan pada minggu ke-2 setelah tanam menunjukkan bahwa pertambahan tinggi tunas yang tertinggi terdapat pada perlakuan penambahan ppm 0,5 ml/l yakni sebesar 0,35 cm. Hal ini karena pada penggunaan PPM dengan dosis yang optimum sangat efektif dan tidak mempengaruhi vitro germination, proliferasi kalus dan regenerasi kalus (Syatria 2010). Namun, bila dibandingkan dengan perlakuan pada kontrol (A0B0) dengan pertambahan sebesar 0,28 cm, pertambahan tinggi tunas pada penambahan


(43)

PPM0,5 ml/l tidak menunjukkan adanya perbedaan yang terlalu besar atau tidak berpengaruh nyata.

Sedangkan pertambahan tinggi terendah terdapat pada perlakuan penambahan PPM 2 ml/l + propolis 1,5 ml/l (A4B3) pada media dengan pertambahan tinggi sebesar 0,05 cm. Jika dibandingkan dengan perlakuan pada kontrol (A0B0) yang memiliki pertambahan tinggi sebesar 0,28 cm, pertambahan tinggi pada perlakuan penambahan ppm 2 ml/l + propolis 1,5 ml/l menunjukkan adanya perbedaan yang cukup besar sehingga perlakuan A4B3 memberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tunas pulai. Adanya penambahan PPM 2 ml/l + propolis 1,5 ml/l dapat menghambat pertumbuhan tunas dari eksplan pulai. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhannya yaitu pertambahan tinggi tunas hanya terjadi pada minggu ke- 3, 6, dan 8 dengan pertambahan sebesar 0,05 cm, 0,03 cm dan 0,05 cm akhir pengamatan.Hal ini diduga karena adanya penambahan kombinasi antibiotika ppm dan propolis dengan konsentrasi yang tinggi sehingga mampu mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan dari eksplan tersebut. Santoso dan Nursandi (2003) menyatakan bahwa stagnasi pertumbuhan dapat disebabkan oleh tindakan sterilisasi yang berlebihan yaitu dengan pemberian antibiotika konsentrasi tinggi. Darmono (2003) menyatakan bahwa pemberian konsentrasi antibiotika yang terlalu tinggi pada tanaman dapat menyebabkan terjadinya efek fitotoksik pada tanaman sehingga dapat menyebabkan kematian.

4.13 Jumlah Daun

Daun merupakan batang yang telah mengalami modifikasi yang kemudian berbentuk pipih dan juga terdiri dari sel-sel serta jaringan seperti yang ada pada batang. Adapun perbedaan antara batang dan daun yaitu batang mempunyai pertumbuhan yang tidak terbatas, sedangkan daun memiliki pertumbuhan yang terbatas yakni daun akan segera terhenti tumbuhnya pada umur tertentu (Tjitrosomo 1984 diacu dalam Hidayat 2009). Berdasarkan hasil penelitian, pengamatan jumlah daun sudah dapat terlihat pada minggu pertama, namun sebagian besar daun dari eksplan yang diamati masih dalam bentuk daun yang menguncup. Kemudian pada minggu-minggu selanjutnya daun yang masih


(44)

kuncup akan membuka. Banyaknya jumlah daun pada masing-masing tunas bervariasi yakni mulai dari kelipatan 3 hingga kelipatan 5.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel sehingga keputusan yang diambil adalah menerima hipotesis satu. Hal ini berarti pemberian antibiotika berpengaruh nyata terhadap rata-rata jumlah daun pada minggu ke-7 setelah tanam (Tabel 10).

Tabel 10 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam jumlah daun Signifikansi minggu ke-

1 2 3 4 5 6 7 8

Perlakuan 0.307tn 0.448tn 0.546tn 0.989tn 0.570tn 0.202tn 0.050* 0.105tn Keterangan :

Signifikansi lebih dari 0,05, tidak berpengaruh nyata tn = Tidak berpengaruh nyata

(*) = Berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95%

Kemudian untuk melihat beda antar perlakuan selanjutnya dilakuan uji lanjut wilayah Duncan (Tabel 11).

Tabel 11 Hasil uji duncan rata-rata jumlah daun Jenis

media

Minggu ke-

1 2 3 4 5 6 7 8

A0B0 0.00a 3.00ab 4.00a 5.00a 8.00ab 8.00a 8.67a 10.33ab A1B0 2.00a 3.00ab 5.00a 6.00a 11.67b 19.67b 23.00b 26.00c

A4B3 0.00a 3.33ab 3.33a 3.33a 3.33a 3.33a 3.33a 3.33a

Keterangan : Nilai dalam kelompok pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan adanya pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%.

Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata jumlah daun tertinggi berada pada perlakuan penambahan PPM 0,5 ml/l (A1B0) dengan jumlah 23.00 helai daun. Bila dibandingkan dengan jumlah daun pada perlakuan kontrol (A0B0), penambahan PPM 0,5 ml/l pada media juga menunjukkan adanya pengaruh yang nyata karena jumlah daun pada perlakuan kontrol berjumlah 8.67 helai daun. Hal ini diduga penambahan PPM konsentrasi 0,5 ml/l tidak mempengaruhi kerja hormon BAP yang diberikan pada media sehingga proses metabolisme, pertumbuhan dan perkembangan dari tanaman tidak terganggu dan membuat tanaman masih dapat membentuk daun dengan baik. Syatria (2010) menyatakan


(45)

bahwa penggunaan PPM dengan dosis yang optimum sangat efektif dan tidak mempengaruhi vitro germination, proliferasi kalus dan regenerasi kalus. Banyaknya jumlah daun yang tumbuh mengindikasikan bahwa semakin banyak pula jumlah tunas yang akan tumbuh pada masing-masing ketiak daun.

Sedangkan rata-rata jumlah daun terendah terdapat pada perlakuan kombinasi antara ppm dan propolis dengan konsentrasi PPM 2 ml/l + propolis 1,5 ml/l (A4B3) dengan jumlah 3,33 helai daun. Apabila dibandingkan dengan jumlah daun pada perlakuan kontrol yang berjumlah 8,67 helai daun, penambahan PPM 2 ml/l + propolis 1,5 ml/l(A4B3) tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan namun jumlah daun yang dihasilkan lebih sedikit. Hal ini mungkin terjadi karena penambahan antibiotika kombinasi yang cukup tinggi sehingga dapat mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan dari tanaman sehingga pembentukan daun hanya dalam jumlah yang sedikit.

Gambar 13 Rata-rata jumlah daun per minggu pada perlakuan kontrol (A0B0), A1B0, dan A4B3.

Berdasarkan Gambar 13diatas dapat diketahui bahwa pada perlakuan A0B0 dan A1B0 jumlah daun pada tiap minggunya mengalami peningkatan. Sedangkan untuk perlakuan A4B3 jumlah daun pada minggu 1-2 mengalami peningkatan. Namun, pada minggu selanjutnya yakni minggu 2-8 jumlah daun tidak mengalami pertambahan jumlah atau mengalami stagnasi.Hal ini diduga terjadi karena adanya penambahan ppm dan propolis dengan konsentrasi yang

0 5 10 15 20 25 30

0 2 4 6 8 10

Ju m lah d au n (b u ah ) Minggu ke-A0B0 A1B0 A4B3


(1)

Jumlah eksplan pulai (A. scholaris) yang tumbuh (%)

AxBy = 100%

A0B0 = x 100% = 50% A2B3 = x 100% = 50% A0B1 = x 100% = 40% A2B4 = x 100% = 40% A0B2 = x 100% = 70% A3B0 = x 100% = 60% A0B3 = x 100% = 30% A3B1 = x 100% = 50% A0B4 = x 100% = 10% A3B2 = x 100% = 60% A1B0 = x 100% = 50% A3B3 = x 100% = 30% A1B1 = x 100% = 70% A3B4 = x 100% = 30% A1B2 = x 100% = 40% A4B0 = x 100% = 70% A1B3 = x 100% = 30% A4B1 = x 100% = 60% A1B4 = x 100% = 70% A4B2 = x 100% = 40% A2B0 = x 100% = 70% A4B3 = x 100% = 60% A2B1 = x 100% = 70% A4B4 = x 100% = 40% A2B2 = x 100% = 70 %


(2)

Jumlah eksplan pulai (A.scholaris) browning (%)

AxBy = 100%

A0B0 = x 100% = 0% A2B3 = x 100% = 10%

A0B1 = x 100% = 0% A2B4 = x 100% = 0%

A0B2 = x 100% = 0% A3B0 = x 100% = 0%

A0B3 = x 100% = 20% A3B1 = x 100% = 10% A0B4 = x 100% = 40% A3B2 = x 100% = 0% A1B0 = x 100% = 10% A3B3 = x 100% = 20%

A1B1 = x 100% = 0% A3B4 = x 100% = 0%

A1B2 = x 100% = 10% A4B0 = x 100% = 0%

A1B3 = x 100% = 0% A4B1 = x 100% = 10%

A1B4 = x 100% = 0% A4B2 = x 100% = 0%

A2B0 = x 100% = 0% A4B3 = x 100% = 0%

A2B1 = x 100% = 10% A4B4 = x 100% = 10% A2B2 = x 100% = 10 %


(3)

Jumlah eksplan pulai (A.scholaris) kontaminasi bakteri (%)

AxBy = 100%

A0B0 = x 100% = 20% A2B3 = x 100% = 10% A0B1 = x 100% = 40% A2B4 = x 100% = 30% A0B2 = x 100% = 10% A3B0 = x 100% = 20% A0B3 = x 100% = 10% A3B1 = x 100% = 0% A0B4 = x 100% = 10% A3B2 = x 100% = 10%

A1B0 = x 100% = 0% A3B3 = x 100% = 10%

A1B1 = x 100% = 10% A3B4 = x 100% = 20% A1B2 = x 100% = 10% A4B0 = x 100% = 20% A1B3 = x 100% = 30% A4B1 = x 100% = 10%

A1B4 = x 100% = 0% A4B2 = x 100% = 10%

A2B0 = x 100% = 0% A4B3 = x 100% = 0%

A2B1 = x 100% = 10% A4B4 = x 100% = 10% A2B2 = x 100% = 0 %


(4)

Jumlah eksplan pulai (A.scholaris) kontaminasi jamur (%)

AxBy = 100%

A0B0 = x 100% = 20% A2B3 = x 100% = 30% A0B1 = x 100% = 20% A2B4 = x 100% = 30% A0B2 = x 100% = 20% A3B0 = x 100% = 20% A0B3 = x 100% = 40% A3B1 = x 100% = 40% A0B4 = x 100% = 40% A3B2 = x 100% = 30% A1B0 = x 100% = 40% A3B3 = x 100% = 30% A1B1 = x 100% = 20% A3B4 = x 100% = 40% A1B2 = x 100% = 40% A4B0 = x 100% = 10% A1B3 = x 100% = 40% A4B1 = x 100% = 20% A1B4 = x 100% = 30% A4B2 = x 100% = 50% A2B0 = x 100% = 30% A4B3 = x 100% = 30% A2B1 = x 100% = 10% A4B4 = x 100% = 40% A2B2 = x 100% = 20 %


(5)

Jumlah eksplan pulai (A.scholaris) yang gugur (%)

AxBy = 100%

A0B0 = x 100% = 10% A2B3 = x 100% = 0%

A0B1 = x 100% = 0% A2B4 = x 100% = 0%

A0B2 = x 100% = 0% A3B0 = x 100% = 0%

A0B3 = x 100% = 0% A3B1 = x 100% = 0%

A0B4 = x 100% = 0% A3B2 = x 100% = 0%

A1B0 = x 100% = 0% A3B3 = x 100% = 10%

A1B1 = x 100% = 0% A3B4 = x 100% = 10%

A1B2 = x 100% = 0% A4B0 = x 100% = 0%

A1B3 = x 100% = 0% A4B1 = x 100% = 0%

A1B4 = x 100% = 0% A4B2 = x 100% = 0%

A2B0 = x 100% = 0% A4B3 = x 100% = 10%

A2B1 = x 100% = 0% A4B4 = x 100% = 0%

A2B2 = x 100% = 0 %


(6)

of Pulai (Alstonia scholaris (L.) R.Br). Under supervision of EDHI SANDRA and AGUS HIKMAT.

Pulai (Alstonia scholaris (L.) R.Br.) is listed in the category of rare medicinal plants (LIPI 2001). Pulai also used by the community as raw material in lightweight construction, handicrafts, such as statues, masks, carvings and pencil manufacture. High utilization of Pulai by community without proper management could threaten its sustainability in the nature. Conservation action through cultivation was needed in order to maintain the sustainability of and to fulfil the community’s needs on pulai. Cultivation techniques through in vitro culture faced external and internal contamination which was difficult to overcome. An effort of internal sterilization was by adding antibiotics, such as Plant Preservative Mixture (PPM) and Propolis in to the media. The objective of this research was to identify the effect of antibiotics on the level of contamination that occurs in in vitro culture of Pulai and identify the best type and concentration of antibiotics to minimize the occurrence of contamination.

Research was conducted at the Laboratory of Environmental Biotechnology, Center for Environmental Research, Bogor Agricultural University (PPLH IPB) from March to July 2011. This experiment wasdesigned using two-factor factorial experimental design with a basis of Completely Randomized Design (CRD). Qualitative data on explant condition included fungal and bacterial contamination and browning of explant, while quantitative data measured included number of shoots, height of shoots, and number of leaves.

The results showed that there was 29,60% of the total fungal contamination, 12% bacterial contamination and 6,40% browning. Average percentage of growth success was 50,40% with highest percentage of 70%. Results of analysis of variance at 95% confidence intervals showed that addition of a combination of antibiotics PPM and propolis did not significantly affect the level of contamination that occurs in in vitro culture of Pulai. However, addition of PPM 0,5 ml/l + propolis 0,5 ml/l (treatment A1B1) provided the best growth and development of explant.

The conclusion of this study shows that PPM antibiotic, propolis and its combination with concentration of 0 ml/l, 0,5 ml/l, 1 ml/l, 1,5 ml/l and 2 ml/l in the culture based on the results of the analysis of variance has no significant impact in the level of contamination in the in vitro culture of Pulai. The most appropriate treatment type of antibiotic and its concentration was PPM 0,5 ml / l + propolis 0,5 ml/l (treatment A1B1).