Konteks IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA ANGKATAN 1970 DAN

dalam cerita, yaitu dalam Perempuan Kedua, Namaku Hiroko, dan Pada Sebuah Kapal. Adapun pada Angkatan 2000, kesemua novel melakukan tindakan seperti yang tersebut dalam tabel di atas tidak terkecuali juga memasukkan unsur seksualitas dalam cerita. Pada Angkatan 2000, tokoh-tokoh perempuan dari ketujuh novel yang mewakili, ditemukan telah melakukan tindakan-tindakan seperti yang dijelaskan dalam tabel di atas. Dalam Angkatan Reformasi ini semua data yang mewakili memasukkan adegan seksualitas dengan versinya masing-masing.

4.2 Konteks

Menurut Eriyanto 2001: 8 dalam mengkaji sebuah wacana, dalam hal ini karya sastra, analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks wacana seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Analisis wacana juga mengkaji konteks komunikasi yaitu siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa dia melakukan hal tersebut, dalam jenis masyarakat dan situasi seperti apa, melalui media apa seseorang berbicara, bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi dan hubungan bagi setiap pihak. Ada dua konteks penting yang mempengaruhi produksi wacana yaitu, 1. Partisipan wacana Yang termasuk partisipan wacana adalah apa latar belakang seseorang yang menghasilkan wacana tersebut. Apa jenis kelaminnya, berapa umurnya, status sosial serta apa etnis dan agama yang dianutnya. Universitas Sumatera Utara 2. Latar sosial tertentu Konteks latar sosial melingkupi tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik merupakan konteks yang berguna untuk memahami sebuah wacana. Apabila konteks di atas dikaitkan dengan novel yang dianalisis, sangat banyak kalimat-kalimat atau dialog-dialog yang menggambarkan berbagai konteks seperti yang terlihat dalam cuplikan novel Bukan Impian Semusim berikut. Nina memandangi mata biru itu. Aneh. Keduanya kini tampak lebih ramah. Kelopak yang menaungi mereka tampak berkedip-kedip. ”So,” kata Mere dengan nada sedikit lunak, ”saya sangat menghargai keberanianmu. Saya sungguh-sungguh sangat menghargainya. Berbuat kesalahan adalah bias. Tapi berani mengakuinya adalah sesuatu yang luar biasa. Itu sungguh-sungguh membutuhkan kurnia dan rahmat Tuhan.” Mere kini tersenyum. Nina ikut-ikutan tersenyum. Aneh. Dia tidak akan dimarahi? ”Tapi selain itu, saya ingin tahu mengapa engkau melakukannya? Setahu saya, engkau adalah anak yang sopan.” ”Saya...saya...tidak sengaja, Mere. Waktu melempar kertas itu, saya tidak menengok ke bawah.” Mere mengangguk-angguk sambil memandangnya dengan tajam. Muka Nina memerah dan dia menunduk. ”Oke. Kembalilah ke kelasmu. Persoalan ini saya akhiri sampai di sini. Lain kali berhati-hatilah.” BIS: 21. Konteks dalam dialog antara Nina dan Mere Rosa, seorang biarawati sekaligus berstatus sebagai kepala sekolah tempat Nina mengenyam pendidikan. Diceritakan pula di novel ini bahwa siswa yang kesemuanya perempuan begitu menghormati dan menyegani mere-mere yang ada di lingkungan sekolahnya, Universitas Sumatera Utara terutama Mere Rosa. Hal ini tentu tidak terlepas dari status Mere Rosa sebagai kepala sekolah. Pada kutipan dari novel yang lain,masih Angkatan 1970, kalimat yang berkaitan dengan konteks dapat dilihat pada novel Perempuan Kedua berikut. ”Barangkali Anda punya problem?” ”Adakah manusia yang tidak punya problem, Dok?” Sial, mengapa aku yang ditanya? Gerutu Yanuar dalam hati. Untung saja pasien ini cantik. Kalau tidak... ”Problem yang tidak dapat dipecahkan barangkali? Yang sangat mengganggu pikiran Anda?” Sesaat perempuan yang telah sampai di dekat meja tulisnya itu menatapnya. Dan Yanuar harus menurunkan pelupuk matanya, pura- pura menulis sesuatu di kartu statusnya, jika tidak mau berkeringat lagi. Tatapan itu... ya, Tuhan Mengapa demikian memikat? PK: 58. Pada kutipan di atas dapat dilihat bahwa tokoh Yanuar yang berprofesi sebagai dokter mengharuskannya bersikap formal, serius, dan menjaga jarak ketika menghadapi para pasien, meskipun lawan bicaranya seorang perempuan yang cantik dan memikat hatinya. Hal ini dilakukannya untuk menjaga citra sebagai seorang dokter. Sebenarnya pofesi dokter tidak terlalu penting dalam pengisahan cerita tersebut. Bisa saja latar dunia kedokteran tersebut diganti menjadi latar antara mahasiswa dan dosen atau pengacara dengan kliennya, misalnya. Seandainya Yanuar seorang dosen yang berhadapan dengan mahasiswanya yang berparas cantik tentu ia juga harus menjaga citra dan berperan sebagai dosen. Contoh kutipan lain yang menggambarkan konteks dapat pula disimak seperti dalam novel Namaku Hiroko sebagai berikut. Universitas Sumatera Utara Sekali lagi hari itu Suprapto menunjukkan betapa dia berbeda dari laki-laki lain yang selama itu kugauli. Di samping sikapnya yang tanpa cemburu ketika mengetahui pekerjaan sampinganku di malam hari, diam-diam dengan caranya yang patut dia selama ini telah mencintaiku. Sabar dan tekun, dia mencoba mengajariku hidup sebagaimana orang berkebudayaan, mengerti serta tahu menilai mutu hasil ciptaan yang baik. ”Anda dapat berterus terang kepada saya kalau memang ada pemuda lain. Tetapi selama kita bergaul, saya perhatikan Anda selalu bebas,” Suprapto mengakhiri pembicaraan tunggalnya NH: 157. Apabila kutipan di atas diperhatikan secara saksama maka dapat dilihat konteks yang terjadi dalam wacana tersebut, yaitu seorang tokoh laki-laki bernama Suprapto yang berasal dari Indonesia dan sedang menimba ilmu di Jepang, ternyata mencintai Hiroko meskipun Suprapto mengetahui Hiroko bekerja sebagai penari telanjang striptease di sebuah kelab malam. Suprapto sebenarnya tidak menyukai pekerjaan malam Hiroko tersebut, namun Suprapto tidak menyatakannya secara lugas, dia hanya meminta Hiroko untuk menikah dengan dirinya. Pola pikir yang maju dan terbuka ditambah pendidikan yang tinggi serta perilaku yang baik membuat Hiroko jatuh hati kepada Suprapto. Namun sayang, pada akhir cerita Hiroko ternyata tidak jadi menikah dengan Suprapto yang telah pulang ke Indonesia dan hal ini tidak lantas membuat Hiroko terlalu sedih. Kekhawatiran akan berbagai hal ketika sudah menikah dan egoismenya sebagai perempuan mengakibatkan dia bertahan pada pendiriannya yang tidak ingin menikah. Sebulan lagi Suprapto akan meninggalkan Jepang. Dia semakin tidak sabar karena aku belum juga hendak kawin. Menurut pendapat Nakajima-san, lebih baik aku meninjau dahulu negeri pemuda tersebut. Suprapto yang mengetahui betapa cintaku kepada pekerjaan dan cara hidupku, berusaha agar aku pada akhirnya dapat memilih Universitas Sumatera Utara tugas wanita yang sebenarnya: kawin dan memiliki keluarga. Tapi alasan yang mencegahku bermacam-macam, di antaranya khawatir tidak akan kerasan di negerinya NH: 168. Tetapi bukan disebabkan oleh pendapat tersebut jika aku ”menolak” lamaran Suprapto. Kami telah hidup bersama. Menurut adat pergaulan ”sopan”, kami mendapat sebutan bertunangan. Perkawinan yang selalu kutangguhkan beberapa kali memang pernah kuinginkan. Sebagai hasil dari pengaruh di luar diriku. Tetapi keragu-raguan menghadapi kesukaran hari depan lebih besar daripada keinginan itu NH: 169. Pada kedua kutipan di atas dapat dilihat bahwa tokoh Hiroko telah mengalami perubahan perilaku yang sangat signifikan. Dari seorang perempuan desa yang merantau ke kota, namun pada akhirnya menjadi perempuan yang kurang memperhatikan norma-norma kesusilaan, baik pola pikir maupun tingkah lakunya. Kutipan yang memiliki karakteristik konteks pada novel yang mewakili Angkatan 2000 di antaranya dapat dilihat dialog dalam novel Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh karya Dee sebagai berikut. ”Ikatan saya banyak. Bukan hanya pernikahan dua orang, tapi saya juga menikah dengan keluarganya. Dengan seluruh lapisan sosialnya. Saya tidak seperti kamu yang punya banyak kebebasan. Kamu tidak bisa membandingkan...” Re memutar tubuh tubuh Rana, menatapnya lurus-lurus. ”Saya tidak membandingkan karena saya tahu persis pembandingan tidak akan membawa kita kemana-mana. Tapi saya bisa melihat kamu memilikinya. Kekuatan untuk mendobrak. Membebaskan diri kamu sendiri.” ”Mendobrak apa? Moralitas? Norma sosial? Kita hidup di dalamnya, Re. Saya cuma ingin mencoba realistis...” ”Tidakkah kamu menyakiti dirimu sendiri dengan menempatkannya demikian? Apa yang jahat di sini, Rana? Jahatkah saya mencintai kamu mati-matian? Begitu amoralkah semua perasaan ini?” KPBJ: 78. Universitas Sumatera Utara Konteks yang ingin dikemukakan pada kutipan di atas mengenai tokoh Rana yang menyadari posisinya sebagai istri dari seorang laki-laki. Dalam episode perjalanan hidupnya, ia berselingkuh dengan Ferre Re, seorang eksekutif muda dari sebuah perusahaan multinasional. Namun kisah kasih mereka akhirnya terpisahkan oleh sebuah kenyataan. Pengarang mengembalikan Rana kepada suaminya, Arwin, dan Rana pun menyadari bahwa perselingkuhan yang telah dilakukannya tersebut bisa menimbulkan pertentangan nilai moral, nilai sosial, terlebih nilai agama yang dianut masyarakat. Adapun cuplikan dari novel Geni Jora dapat dilihat konteksnya, yaitu ketika Kejora, sang tokoh sentral di novel ini, mengusung ide-ide feminisme yang sebagian besar mewarnai karya-karya pengarangnya meski terkadang disampaikan dengan nada sinis. Dalam hal ini konteks meliputi semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan memengaruhi pemakaian bahasa. Pada cuplikan berikut yang menjadi konteks adalah partisipan yang memproduksi wacana tersebut. Dalam novel ini, Kejora digambarkan sebagai seorang perempuan intelelek yang telah mengecap pendidikan tinggi. Tentu saja wacana yang dihasilkannya pun menggambarkan pemikirannya. Berikut merupakan contoh dari wacana yang ditinjau dari sisi konteks. ”Benar jika dilihat dari sudut pandangmu,” kataku. ”Tetapi salah dalam sudut pandangku. Aku merasa, diriku mengalir sebagaimana takdir yang diperuntukkan bagiku. Sebagai perempuan, demikianlah kehadiranku. Merdeka. Mencoba beradaptasi dengan makhluk lain bergerak. Jika laki-laki pandai menipu, perempuan tak kalah lihainya dalam hal menipu. Jika laki-laki senang berburu, tak ada salahnya perempuan menyenangi hal yang sama.” Apakah aku sedang mendengar terompet feminisme mendesing di antara debur ombak Agadir?” Universitas Sumatera Utara ”Tidak. Tetapi Zakky sedang gelisah bilamana moncong senapan berbalik menghadap ke arahnya, ditodongkan oleh mangsa yang berabad-abad menjadi sasaran buruannya.” Agaknya bagimu, tak boleh satu hari pun berlalu tanpa menyindirku GJ: 9. Dari kutipan dialog di atas terlihat nyata sikap yang ditunjukkan Kejora bahwa ia membenci ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak laki-laki. Sebagai seorang perempuan yang cerdas dan berpendidikan tinggi, Kejora selalu digambarkan lugas ketika berbicara mengenai perempuan. Hal ini sesuai dengan karakteristik konteks dalam sebuah wacana, yang menyatakan bahwa pendidikan menjadi salah satu unsur yang berpengaruh terhadap produksi wacana Eriyanto, 2001: 10. Tabel 2 : Konteks yang Memengaruhi No Angkatan Konteks yang Memengaruhi Partisipan Wacana Latar Sosial Tertentu 1970 Pendidikan Status Sosial Agama Posisi Pembicara Pendengar 1 Perempuan Kedua √ √ ─ √ 2 Karmila √ √ ─ √ 3 Bukan Impian Semusim ─ √ √ √ 4 Namaku Hiroko ─ √ ─ √ 5 Pada Sebuah Kapal ─ √ ─ √ 6 Melati di Musim Kemarau √ √ ─ ─ Universitas Sumatera Utara 2000 1 Larung √ √ √ √ 2 Saman √ √ √ √ 3 Perempuan Berkalung Sorban √ √ √ √ 4 Geni Jora √ √ √ √ 5 Supernova: Ksatria, Puteri,dan Bintang Jatuh √ √ √ √ 6 Supernova: Akar √ √ √ √ 7 Nayla ─ √ ─ √ Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa konteks yang berkaitan dengan status sosial selalu ditemukan dalam setiap novel, baik pada Angkatan 1970 maupun pada Angkatan 2000. Hal ini dapat dimaklumi karena konteks selalu ada dalam setiap kisah. Jika suatu cerita tidak memiliki konteks, maka dapat dipastikan cerita tersebut pasti terasa hambar. Adapun maksud konteks yang berkaitan dengan status sosial merupakan peranan tokoh-tokoh cerita dalam kehidupan kemasyarakatannya. Misalnya saja tokoh Yanuar dalam novel Perempuan Kedua memiliki status sosial yang berprofesi sebagai dokter di sebuah rumah sakit selain sebagai ayah dan suami, tentunya. Sedangkan pendidikan seorang tokoh, serta apa agama dan bagaimana budaya yang dianut sang tokoh juga turut memengaruhi jalan cerita. Budaya setempat Lanjutan tabel 2 Universitas Sumatera Utara yang dianut oleh para tokohnya ternyata memberikan andil pada perilaku serta pemikiran para tokoh. Dari tabel Angkatan 1970 di atas dapat dilihat bahwa konteks yang memengaruhi yang berkaitan dengan pendidikan terdapat dalam tiga novel. Status sosial tokoh terdapat pada semua data, yaitu enam novel. Adapun konteks yang berkaitan dengan agama hanya terdapat dalam satu novel. Sedangkan posisi pembicara dan pendengar terdapat dalam lima novel. Pada Angkatan 2000 faktor pendidikan lebih banyak ditemukan dalam novel, yaitu berjumlah enam novel. Konteks yang berkaitan dengan status sosial ditemukan pada semua novel, yaitu tujuh novel. Adapun konteks yang berkaitan dengan faktor agama ditemukan hampir seluruh data, yaitu berjumlah enam novel. Sedangkan posisi pembicara dan pendengar juga terdapat dalam semua data Angkatan 2000, yaitu tujuh novel. Di beberapa novel baik dari Angkatan 1970 maupun dari Angkatan 2000 memang terdapat konteks yang berkaitan dengan agama. Konteks agama ternyata menjadi bagian penting serta turut memengaruhi jalannya cerita. Kepercayaan lama yang selama ini banyak diyakini masyarakat, perlahan mengalami pergeseran tidak terkecuali yang terjadi pada tokoh-tokoh dalam Angkatan 2000. Dalam Geni Jora, misalnya. Tokoh Kejora digambarkan seorang perempuan yang berjiwa pemberontak, termasuk dalam urusan agama terutama yang berkaitan tafsiran mengenai perempuan. Perempuan ini juga selalu mempertanyakan kembali kitab-kitab fikih yang seakan menyerukan perlunya reinterpretasi atas kitab-kitab fikih tersebut. Universitas Sumatera Utara

4.3 Historis