Angkatan Sastra Konsep .1 Ideologi Feminisme

bersumber dari sistem patriarki inilah yang menjadi faktor pendorong lahirnya gerakan feminisme Fakih, 2004:11-12. Ketidakadilan yang selalu diterima perempuan dan sering disaksikan dalam kehidupan nyata, misalnya kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun psikologis. Orang yang melakukannya pun selalu orang yang seharusnya menjadi pelindung dan bertanggung jawab pada perempuan tersebut. Orang-orang dekat tersebut bisa saja suami, ayah, atau majikan jika ia seorang pekerja rumah tangga. Contoh lain yang dianggap ketidakadilan untuk perempuan adalah ruang publik yang masih saja didominasi oleh kaum adam karena pencarian ekonomi dilakukan oleh mereka dan kalaupun pada masa sekarang ini sudah banyak perempuan yang beraktivitas di wilayah publik, tetapi selalu saja mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan terutama dari rekan-rekan laki-laki mereka.

2.2.2 Angkatan Sastra

Oleh karena penelitian ini mengkaji masalah ideologi femisme yang dikaitkan dengan angkatan sastra, maka hal yang perlu pula diperhatikan adalah adanya berbagai penafsiran beberapa pihak mengenai angkatan sastra. Terlebih dahulu harus ditinjau kembali pengertian angkatan sastra dari beberapa sastrawan dan pemerhati sastra. Adapun yang dimaksud dengan angkatan sastra menurut Yudiono 2007: 47 ialah sekumpulan sastrawan yang hidup pada satu kurun atau masa yang menempati periode tertentu karena kesamaan atau sekurang-kurangnya memiliki kemiripan ide, gagasan, atau semangat sebagai akibat logis dari interaksi mereka yang hidup Universitas Sumatera Utara sezaman. Sedangkan menurut Toer, dkk. melalui Yudiono 2007: 170, “Angkatan adalah suatu golongan yang diikat oleh kesatuan semangat dalam rangkuman tempat, masa, dan lingkungan yang sama”. Adapun dari pihak Pradopo, dkk. yang pendapat mereka masih dikutip oleh Yudiono 2007:170 memandang bahwa angkatan sastra merupakan bagian waktu yang dibatasi oleh sistem norma kehidupan yang berkaitan dalam proses sejarah. Sementara Lampan 2000: xxxvii mengatakan bahwa angkatan sastra sebenarnya estafet atau penerus pembaruan yang dilahirkan oleh zaman tentang dinamika suatu zaman. Menurut Laelasari dan Nurlaila 2006: 34-35, ”Angkatan sastra merupakan generasi; sekelompok orang sezaman sepaham dan sebagainya; yang diangkat jabatan, pangkat; kelompok sastrawan yang bertindak sebagai suatu kesatuan yang berpengaruh pada masa tertentu dan secara umum menganut prinsip yang sama untuk mendasari karya sastra”. Satu angkatan tidak muncul begitu saja karena hitungan tahun atau dasawarsa. Suatu angkatan muncul disebabkan ada yang ingin diungkapkan oleh para seniman dan angkatan yang baru dalam kesenian dengan sendirinya memiliki ciri-ciri khas yang membedakannya dari angkatan-angkatan sebelumnya Saini:1993: 240. Masalah angkatan ini sering juga disamakan dengan periodisasi sastra, namun periodisasi lebih menekankan pada pembabakan atau periode yang dikuasai oleh sistem dan norma sastra, standar, serta konvensi sastra yang kemunculannya, keberagamannya, dan kelenyapannya dapat dirunut. Para pakar sastra mencoba untuk Universitas Sumatera Utara melakukan pembabakan angkatan yang dimulai dengan lahirnya kesusasteraan Indonesia baru. Di antara yang melakukan hal tersebut sebut saja seperti Pradopo dalam Yudiono 2007: 48 yaitu Balai Pustaka 1920-1940, Pujangga Baru 1930- 1945, Angkatan 45 1940-1955, Angkatan 50 1950-1970, dan Angkatan 70 1965- 1984. Sedangkan secara garis besar Rosidi 1969:13 membagi sejarah kesusasteraan sebagai berikut. I. Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945 dan terbagi lagi atas beberapa periode, yaitu 1. Periode awal hingga 1933 2. Periode 1933-1942 3. Periode 1942-1945 II. Masa Perkembangan 1945-1968 yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa periode, yaitu 1. Periode 1945-1953 2. Periode 1953-1961 3. Periode 1961-1968. Pendapat Rachmad Djoko Pradopo dalam Yudiono 2007: 48 mengenai periodisasi sejarah sastra Indonesia dapat pula dijelaskan sebagai berikut: 1. Periode Balai Pustaka : 1920-1940, 2. Periode Pujangga Baru: 1930-1945, 3. Periode Angkatan ‘45: 1940-1955, Universitas Sumatera Utara 4. Periode Angkatan ‘50: 1950-1970, dan 5. Periode Angkatan ‘70: 1965-1984. Masih menurut Pradopo yang dikutip Yudiono 2007: 49, memasuki Angkatan 1970 1965-1984 warna perpolitikan di Indonesia agak bergeser dengan munculnya sastra-sastra yang lebih “ringan” dibaca atau dikenal dengan istilah sastra populer dari angkatan-angkatan yang sebelumnya banyak menceritakan masalah kemasyarakatan ditambah pengaruh-pengaruh dari suasana perpolitikan di Indonesia. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, selain dikenal dengan bermunculannnya sastra populer, pada Angkatan 1970 ini juga ditandai dengan lahirnya karya-karya sastra yang eksperimental dan tidak mudah dicerna oleh semua pembaca. Diperlukan pemahaman serta pemikiran yang mendalam jika ingin menafsirkan makna yang terkandung di dalam karya-karya sastra tersebut. Para sastrawan yang terkenal di era 1970-an ini seperti Putu Wijaya, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Iwan Simatupang. Perlu diingat kembali bahwa pada masa itu pihak penguasa sangat mengawasi kebebasan para seniman Indonesia, tidak terkecuali pada sastrawan. Karya-karya sastra yang dianggap mengkritik dan berseberangan dengan pemerintah tentu tidak dibiarkan beredar begitu saja. Jika telanjur beredar, pembredelan dan pemberangusan tidak akan terelakkan lagi. Oleh sebab itulah dengan caranya sendiri para sastrawan tersebut ingin mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakannya tentang kondisi sosial budaya dan politik pada waktu itu dan tentunya menggunakan kata-kata yang Universitas Sumatera Utara agak kacau dan penuh simbol supaya selamat dari kecaman penguasa yang tidak bersedia dikritik. Jika pada karya-karya sastra eksperimental ala Putu Wijaya, dkk. penuh dengan simbol dan jungkir balik, maka hal tersebut tidak terjadi dengan karya-karya pengarang perempuan di masa yang sama. Sebaliknya karya-karya mereka cenderung mudah dipahami dan tidak sampai mengernyitkan dahi ketika membacanya karena dalam karya-karya mereka, ceritanya hanya berkisar tentang ragam permasalahan perempuan dan hal tersebut ternyata disukai pembaca yang umumnya didominasi kaum perempuan sehingga model-model cerita seperti itu laris manis di pasaran. Berbanding terbalik dengan karya sastra yang beredar di tahun 1970-an, karya sastra yang berkembang di masa reformasi, yang ditandai dengan tumbangnya pemerintahan orde baru, sudah sedemikian bebas dalam bertutur dan dengan beraneka tema. Sastrawan yang lahir dan tumbuh di masa reformasi ini akhirnya tergabung dalam Angkatan 2000. Para pengarang tidak perlu khawatir lagi dengan adanya pencekalan dari pihak penguasa karena semua masyarakat berhak untuk mengutarakan apa yang dirasakan dan dipikirkannya, termasuk sastrawan yang juga sebagai anggota masyarakat. Pada tahun 2000, Lampan meyusun pembabakan baru yang dimasukkan ke dalam Angkatan 2000. Dalam buku tersebut Rampan menunjukkan kepada masyarakat bahwa telah hadir suatu angkatan yang berbeda dengan angkatan- angkatan sebelumnya. Hal tersebut diketahui ketika di penghujug tahun 1990-an, tepatnya di tahun 1998 terbit dua novel yakini Saman karya Ayu Utami dan Universitas Sumatera Utara Hempasan Gelombang karya Taufik Ikram Jamil. Kedua sastrawan ini mencoba melakukan ekperimen dalam penulisan serta beruaha menampilkan tema-tema yang tidak lazim. Seiring dengan itu bermunculan karya-karya dari pengarang muda dan dapat dikatakan sangat inovatif, termasuk di antaranya pengarang-pengarang perempuan seperti yang telah disinggung pada bab pendahuluan. Pembaruan terjadi dalam karya sastra pada masa ini bukan hanya dalam kata-kata yang sudah bebas dan lugas, tetapi juga pada unsur-unsur intrinsik yang dibangun dengan cara yang tidak biasa sehingga menghasilkan karya sastra yang lebih estetis dan dinamis.

2.2.3 Novel