Kekuasaan IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA ANGKATAN 1970 DAN

Adapun konteks budaya sudah cenderung kontemporer yaitu terdapat di semua novel yang mewakili. Sedangkan konteks yang berkaitan dengan peristiwa politik terdapat dalam empat novel. Dalam hal politik ini ditemukan ternyata pada Angkatan 2000 persoalan ini lebih banyak dikemukakan. Berbagai ragam peristiwa politik yang pernah terjadi di tanah air tentunya begitu menarik perhatian para pengarang perempuan yang seakan mengingatkan kembali atas peristiwa yang disebutkan serta tentunya diharapkan pembaca dapat mengambil hikmahnya. Representasi berbagai peristiwa politik yang pernah terjadi di Indonesia disinggung dan yang paling menonjol adalah Larung dan Saman. Berikutnya yang juga menyinggung arena politik adalah Geni Jora, Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh yang mewakili Angkatan 2000. Sedangkan dalam novel Perempuan Kedua dan Pada Sebuah Kapal mewakili Angkatan 1970.

4.4 Kekuasaan

Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam analisisnya. Sebuah wacana sebenarnya merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Dalam menganalisis ideologi feminisme Angkatan 1970 dan Angkatan 2000, kekuasaan tentu hal yang penting untuk dibicarakan karena ideologi feminisme sangat erat kaitannya dengan adanya kekuasaan. Kekuasaan yang muncul di sini tentu saja kekuasaan yang bersumber dari budaya patriarki yang telah mengakar kuat dalam masyarakat. Dominasi dan hegemoni superior yang dilakukan kaum laki-laki telah Universitas Sumatera Utara menjadikan kaum perempuan menjadi kaum inferior selama berabad lamanya. Namun seiring dengan berkembangnya pemikiran feminisme, terkadang kekuasaan itu justru terletak di tangan perempuan seperti yang terdapat pada penggalan novel Karmila berikut. Feisal tetap menunduk mempermainkan kuncinya. ”Jadi kapan kita buat perjanjian itu? ”Perjanjian? tanya Feisal seraya mengangkat kepalanya. ”Tentu,” sahut gadis itu sambil memandang ke jalan. ”Kau pikir, aku mau menikah tanpa kertas yang menguatkan perjanjian kita?” ”Engkau tidak percaya kepada saya?” ”Kalau kau tidak sudi menulis perjanjian itu, tidak mengapa. Aku akan kembali pada rencana semula. Anak ini akan kuberikan pada orang tuaku. Dan engkau takkan berhak lagi datang-datang kemari, menggangguku” Karmila: 73. Dalam cuplikan novel di atas terlihat tokoh perempuannya, Karmila, memiliki hak dan kekuasaan untuk menekan tokoh laki-laki, Feisal. Karmila dilukiskan begitu membenci Feisal yang telah memerkosanya dan menghamilinya. Pihak keluarga menginginkan Karmila menikah dengan Feisal supaya anak yang dilahirkan Karmila nantinya memiliki ayah. Meskipun hatinya berat dan tidak mencintai orang yang memerkosanya tersebut, akhirnya Karmila bersedia juga menikah. Banyaknya persyaratan yang diajukan Karmila mengisyaratkan adanya kekuasaan yang dimilikinya dan Feisal sendiri menerima saja asalkan Karmila tetap mau melahirkan dan mengasuh anaknya. Selain itu, diam-diam Feisal juga telah mencintai Karmila. Universitas Sumatera Utara Meskipun terkesan memiliki kekuasaan, namun pada hakikatnya Karmila tunduk dan mengalah pada keinginan keluarga. Pernikahan yang sebenarnya tidak diinginkannya terpaksa ia lakukan demi menjaga kehormatan keluarga. Contoh lain pada Angkatan 1970 dapat dilihat pada novel Perempuan Kedua sebagai berikut. Aku belum membuangmu, pelacur Tapi kau telah main gila dengan lelaki lain. Tidak seorang pun kubiarkan mengkhianati diriku. Tidak juga kau Akan kubuat kau dan doktermu itu menyesal” ”Mas, saya bukan budak. Mas tidak dapat memenjarakan saya terus- menerus di bawah kekuasaanmu. Mas tidak mau mengawini saya. Berarti tidak ada ikatan apa-apa di antara kita. Saya bukan istrimu. Mas tidak berhak melarang saya memilih laki-laki lain” ”Oh, sekarang kau bicara soal hak?” Primodarso tertawa menyeramkan. Matanya bersinar buas... PK: 166-167. Dialog antara tokoh Patricia dan Primodarso di atas terasa sangat jelas kekuasaan yang dimiliki Primodarso. Sebagai orang yang terpandang di masyarakat, kedudukan Primodarso tentu lebih tinggi daripada Patricia yang statusnya hanya sebagai perempuan simpanan. Kemampuannya untuk mengontrol bahkan menghabisi nyawa seseorang yang tidak disukainya bisa ia lakukan. Hal ini terlihat pada Primodarso yang ditempatkan pengarang sebagai tokoh antagonis. Dia merasa berhak memiliki apa saja yang dikehendakinya dan tidak bersedia melepaskan sesuatu. Semua ini lebih dikarenakan pada sifat egois yang dipunyainya. Apabila seseorang tidak memiliki landasan iman yang kuat, uang dan kekuasaan yang dimiliki bisa menjadikan seseorang menjadi orang yang sombong dan tidak memiliki hati nurani. Universitas Sumatera Utara Dalam novel Pada Sebuah Kapal, aspek kekuasaan juga dapat disaksikan dalam cuplikan berikut. Setiap kata suamiku kusetujui meskipun dalam hati aku menyangkalnya. Setiap tindakan keras hanya kupandangi dengan mata sedihku. Dan setiap kata-katanya yang kasar kutanam dan kupendam dalam-dalam tanpa kujawab... PSK: 130. Begitu pula yang terdapat dalam cuplikan novel Namaku Hiroko di bawah ini. Dengan sikap kelaki-lakiannya yang memerintah ia menyuruh aku mengerjakan segala khayal yang dikehendakinya. Ditunjukkannya kepadaku sebuah buku, kertasnya kuning ketuaan, di mana dilukiskan gambar serta keterangan-keterangan letak badan dalam hubungan intim maupun percintaan. Dengan sikap pasip yang mendendam bercampur rasa ingin tahu, aku menurutinya. Kemudian, jika perbuatan itu telah berlalu, aku berkata keras-keras dalam hati memberanikan diri, esok aku akan menolaknya... NH: 75. Dari kedua cuplikan di atas dapat dilihat dominasi dan kekuasaan yang dimiliki pihak laki-laki sehingga tokoh-tokoh perempuan dalam kedua novel tersebut menjadi tidak berdaya. Dalam Pada Sebuah Kapal terlihat tokoh Sri selama hidup berumah tangga dengan Charles Vincent, seorang diplomat asal Prancis, merasa selalu diperlakukan tidak semestinya. Sikap Charles yang keras menjadikan Sri tidak bahagia dan tersiksa meskipun pada akhirnya Sri membalas kelakuan suaminya dengan sikap yang berani melawan dan juga perselingkuhanya dengan Michel Dubanton. Pada Namaku Hiroko, unsur kekuasaan tampak jelas pada sikap majikan laki- laki tempat Hiroko bekerja. Ia setengah memaksa Hiroko untuk berhubungan jasmani Universitas Sumatera Utara meski Hiroko juga tidak sepenuhnya menolak karena ia juga terbakar nafsu yang membuat ia pasrah pada tindakan sang majikan. Pada berbagai contoh penggalan novel di atas, dapat dikatakan perempuan dipandang tidak lebih hanya sebagai alat pemuas bagi laki-laki saja. Sikap yang mereka tunjukkan seakan ingin menegaskan bahwa mereka adalah pihak yang berkuasa atas perempuan. Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan Faruk 2000: 94, ”...wanita menjadi tidak lebih dari sekedar alat bagi peragaan kekuasaan laki- laki. Sebagai alat, wanita tidak mempunyai tujuan dalam dirinya sendiri selain takluk pada laki-laki yang memiliki dan menggunakannya”. Sikap yang ditunjukkan para tokohnya, terutama tokoh perempuan pada cuplikan yang mewakili Angkatan 1970 di atas seakan terasa sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan dalam novel-novel yang mewakili Angkatan 2000 meskipun orang-orang di sekitar tokoh-tokoh perempuan ini masih terbawa dan mendukung sistem patriarki yang telah mengakar kuat. Di antaranya dapat dilihat pada penggalan novel Saman sebagai berikut. Kenapa ayahku harus tetap menjadi bagian dari diriku? Tapi hari-hari ini semakin banyak orang Jawa tiru-tiru Belanda. Suami istri memberi nama si bapak pada bayi mereka sambil menduga anaknya bahagia atau atau beruntung karena dilahirkan. Alangkah melesetnya. Alangkah naif [...] Lalu aku melobi mereka agar tidak memaksaku mengenakan nama ayahku dalam dokumen-dokumen, sebab kami tak punya konsep itu. Dan kukira tidak perlu. ”Tapi tak mungkin orang cuma mempunyai satu kata,” kata mereka. Atau, barangkali aku ini bukan orang? Lalu aku terpaksa kompromi, sebab jangan-jangan aku memang bukan orang padahal aku betul-betul ingin melihat negeri mereka. First name: Shakun. Family name: Tala Saman: 137-138. Universitas Sumatera Utara Dari cuplikan novel di atas dapat dilihat adanya kebencian tokoh Shakuntala pada ayah dan kakaknya serta cibirannya pada sistem patriarki yang masih dianut oleh masyarakat pada umumnya yang menyebabkan para perempuan harus memakai nama ayah mereka di belakang nama asli. Diceritakan juga bahwa Shakuntala tetap bersikukuh tidak ingin menggunakan nama ayahnya ketika ingin mengurus visa meski petugas Kedutaan Besar Nederland tetap memaksa menggunakan nama ayahnya. Masih pada novel dan tokoh yang sama, adanya nuansa kekuasaan juga ditunjukkan dari kisah Shakuntala yang merasa telah dibuang olah sang ayah ke sekolah yang tidak disukainya. Sang ayah yang merasa berkuasa atas kehidupan anaknya tidak merasa bersalah meski terjadi penolakan dari Shakuntala. Atas peristiwa traumatis tersebut mengakibatkan Shakuntala pada akhirnya begitu membenci sang ayah. Dari sini juga terlihat Shakuntala seolah mencemooh segala petuah yang didengarnya sejak remaja seperti yang terdapat pada penggalan berikut. Inilah wewejangnya: Pertama. Hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang mengejar-ngejar lelaki pastilah sundal. Kedua. Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak, ketika dewasa, aku menganggapnya sebagai persundalan yang hipokrit Saman: 120-121. Aku sendiri masih memendam dendam pada ayahku. Sedang Laila, aku tak tahu apakah ia masih menganggap lelaki sebagai penjahat utama. Dia telah jatuh cinta beberapa kali, dan tak pernah menyakiti lelaki seperti Cok memanfaatkan dan membohongi pacar-pacarnya Saman: 154. Universitas Sumatera Utara Demikian halnya yang terdapat dalam Nayla. Novel karya Djenar Maesa Ayu ini juga begitu terbuka dalam bertutur. Nayla berkisah tentang seorang perempuan bernama Nayla yang mengalami pengalaman masa kecil yang tidak bahagia karena ditinggal pergi sang ayah sejak lama dan seorang ibu yang begitu keras dalam mendidiknya. Kekuasaan yang terdapat di novel ini di antaranya adalah pelukisan tokoh ibu Nayla yang cukup kejam kepadanya hingga tega menusuk vagina Nayla yang masih kecil dengan peniti yang telah dipanaskan. Sikap sang ibu yang demikian membuat Nayla membenci ibu yang telah melahirkannya tersebut. Ia juga masih heran, kenapa Ibu tega menghukumnya dengan cara seperti itu. Kenapa Ibu tak bisa berpikir bahwa tak akan ada satu orang anak pun yang memilih ditusuki vaginanya dengan peniti hanya karena ingin mempertahankan rasa malas. Rasa sakit di hatinya pun masih kerap menusuk setiap kali melihat sosok ibu tak ubahnya monster. Padahal ia ingin melihat Ibu seperti ibu-ibu lain yang biasa dilihatnya di sekolah ataupun di ruang tunggu dokter Nayla: 2. Selain mendapat didikan yang sangat keras dan kasar dari sang ibu, Nayla juga diceritakan pernah mengalami pelecehan seksual dari pacar ibunya. Perlu diketahui pekerjaan sang ibu digambarkan sebagai perempuan yang melacurkan diri demi bisa mendapatkan uang yang banyak. Apakah saya sudah melakukan kesalahan besar? Apakah sebaiknya saya berteriak ketika ia sedang menggesekkan penisnya ke tengkuk saya. Apakah seharusnya saya melawan ketika penisnya menghunus lubang vagina saya? Apa yang harus saya lakukan? Mengatakan semuanya kepada ibu? Apa reaksi Ibu? Apakah ia akan menusuki vagina saya tidak hanya dengan peniti namun dengan linggis. Apakah ia akan tidak sekadar menempel tahi ke mulut saya dengan plester, tapi malah memaksa saya menelannya Nayla: 114. Universitas Sumatera Utara Dalam cuplikan di atas terlihat nyata Nayla telah mengalami tindakan kekerasan. Ia telah mengalami kekerasan yang dari orang-orang terdekatnya. Segala perlakuan yang diterimanya tersebut dikarenakan orang-orang yang melakukan kekerasan tersebut, termasuk ibu Nayla, merasa memiliki hak dan kekuasaan atas diri Nayla. Nayla yang masih berusia belia dan polos tentu tidak bisa berbuat banyak ketika ia diperlakukan tidak sepantasnya. Menurut Fakih 2004: 17, tindakan kekerasan terhadap perempuan yang paling sering terjadi dalam masyarakat adalah pelecehan seksual sexual and emotional harrasment. Di antara bentuk yang dapat dikategorikan pelecehan seksual adalah bentuk pemerkosaan terhadap perempuan. Adapun bentuk perkosaan itu apabila seseorang melakukan paksaan untuk mendapat pelayanan seksual tanpa kerelaan yang dari yang bersangkutan. Selain perkosaan, yang termasuk kekerasan terhadap perempuan adalah penyiksaan terhadap anak-anak child abuse dan penyiksaan yang mengarah pada organ kelamin genital mutilation. Apa yang dikatakan Fakih di atas ternyata dapat dilihat dalam novel Nayla ini. Pengalaman seksual yang tidak mengenakkan di masa kecilnya dan perjalanan hidup yang berliku membuat tokoh Nayla saat remaja diceritakan pernah memiliki kekasih sesama perempuan bernama Juli. Ketika berusia dewasa dan setelah lepas dari Juli, Nayla juga sempat memiliki pacar laki-laki yang bernama Ben. Ketika bersama Ben, Nayla terlihat sangat mendominasi hubungan mereka. Terlihat juga betapa Nayla terbiasa memaki-maki Ben jika ada sesuatu yang tidak sesuai kehendak Universitas Sumatera Utara Nayla dan ia pun bisa berbuat brutal ketika sedang bertengkar. Perhatikan cuplikan berikut. Nayla menerkam Ben. Menghajar mukanya. Menjambak rambutnya. Ben mempertahankan diri dengan memegangi tangan Nayla. Nayla semakin brutal. Digigitnya tangan Ben, berusaha melepaskan tangannya. Pegangan tangan Ben terlepas. Nayla meraih botol bir dan memecahkannya, lalu mengacungkannya ke depan muka Ben. ”Heh, Setan Lu tau ya gue belajar dari jalanan Jangan sampe gue gorok leher lu sekarang” Nayla: 89 Contoh pada cuplikan novel lain yang masih mengenai aspek kekuasaan yang mewakili Angkatan 2000 dapat disaksikan dalam novel Geni Jora berikut. ”E... anu, Bi. Jora menginginkan kalung ini,” kata paman sambil memperlihatkan kalungnya di depan mata nenek, ”tetapi ia tidak sabar untuk memilikinya. Ia terus merebutnya dari tanganku.” ”Bukankah kau bisa minta ayahmu untuk membelikannya, Cucu? Mengapa pakai rebut-rebutan dengan pamanmu? Secara bergantian, kulihat wajah nenek lalu wajah pamanku. Dari kedua wajah itu, ternyata aku hanya menemukan wajah-wajah maling yang suka mencuri hak-hakku. Menyadari itu, tak ada gunanya berbicara dengan mereka, baik tentang kebenaran ataupun penipuan GJ: 87. Laki-laki yang kebetulan masih berkerabat dengan ayah Kejora itu, seperti yang dilihat pada cuplikan di atas telah berbohong dan mengambinghitamkan Kejora yang dikatakannya hendak mengambil kalung. Nyatanya lelaki tersebut telah memperlakukan Kejora dengan tidak semestinya. Sang paman mencoba memperkosa Kejora kala di rumah tidak ada siapapun kecuali mereka berdua. Ketidakberdayaan Kejora menghadapi pamannya yang akan berbuat asusila tersebut merupakan bukti kekuasaan patriarki yang masih begitu kuat dalam keluarga khususnya dan masyarakat pada umumnya. Hal ini tampak dari kutipan tokoh Nenek yang seolah Universitas Sumatera Utara menjadi bagian dari sistem patriarki karena begitu kukuh membela anggota keluarganya yang berjenis kelamin laki-laki serta hampir tidak pernah memedulikan anggota keluarga yang berjenis kelamin perempuan, termasuk cucu-cucunya yang perempuan. Tabel 4 : Aspek Kekuasaan No Angkatan Kekuasaan 1970 Hegemoni Laki-laki Hegemoni Perempuan Ekonomi Politik Kekerasan 1 Perempuan Kedua √ ─ √ √ √ 2 Karmila √ √ ─ ─ √ 3 Bukan Impian Semusim ─ √ ─ ─ ─ 4 Namaku Hiroko √ √ ─ ─ √ 5 Pada Sebuah Kapal √ ─ ─ ─ √ 6 Melati di Musim Kemarau √ ─ √ ─ ─ 2000 1 Larung ─ √ √ √ √ 2 Saman ─ √ √ √ √ 3 Perempuan Berkalung Sorban √ ─ √ ─ √ 4 Geni Jora ─ √ √ √ √ 5 Supernova:Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh √ √ √ √ ─ 6 Supernova: Akar ─ √ ─ ─ √ 7 Nayla ─ √ √ ─ √ Universitas Sumatera Utara Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat pula aspek kekuasaan yang meliputi adanya hegemoni laki-laki, hegemoni perempuan, kekuasaan yang berkaitan dengan kuat dan lemahnya ekonomi, kekuasaan yang berkaitan dengan politik serta kekuasaan yang berkaitan dengan tinggi rendahnya posisi seseorang sehingga bisa melakukan kekerasan terhadap orang lain. Pada Angkatan 1970, umumnya hegemoni dilakukan oleh pihak laki-laki. Hal ini ditandai dengan dialog, monolog serta berbagai perilaku dalam berbagai novel di angkatan tersebut. Tokoh-tokoh perempuan seolah tidak berdaya menghadapi keadaan yang selalu menjadikan mereka pihak yang tertindas. Bahkan tokoh-tokoh perempuan di Angkatan 1970-an ini umumnya tidak merasa ditindas meskipun mereka harus melakukan berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan wilayah domestik. Adapun di Angkatan 2000, keadaan menjadi sebaliknya. Para tokoh perempuan sudah lebih berani dalam bersikap. Mereka umumnya digambarkan sebagai perempuan-perempuan yang lebih mandiri, berpendidikan, dan kerap memiliki jiwa yang pemberontak. Hal ini terbukti dalam beberpa novel Angkatan 2000 ternyata kekuasaan umumnya sudah didominasi oleh kaum hawa. Sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan ekonomi juga banyak terdapat dalam Angkatan 2000. Adapun kekuasaan dalam bidang politik yang dimiliki oleh para pelakunya, ditemukan satu novel pada Angkatan 1970 serta empat novel dalam Angkatan 2000. Aspek kekerasan juga terdapat dalam Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. Kekerasan juga hampir ditemukan dalam setiap novel yang mewakili Angkatan 2000. Hal ini dapat diketahui melalui uraian dalam jalinan cerita. Universitas Sumatera Utara Dari tabel di atas juga dapat dilihat bahwa pada Angkatan 1970 terdapat lima novel yang terdapat di dalamnya hegemoni laki-laki. Sedangkan yang di dalamnya terdapat hegemoni perempuan berjumlah tiga novel. Kekuasaan yang berkaitan dengan faktor ekonomi berjumlah dua novel. Adapun kekuasaan yang berkaitan dengan politik hanya terdapat satu novel saja. Adanya faktor kekuasaan yang di dalamnya terdapat kekerasan berjumlah empat novel. Pada Angkatan 2000 ditemukan ternyata hanya dua novel saja yang di dalamnya terdapat hegemoni laki-laki. Adapun hegemoni perempuan jumlahnya melonjak hingga hampir keseluruhan data Angkatan 2000, yaitu enam novel. Faktor ekonomi ditemukan dalam enam novel. Kekuasaan yang berkaitan dengan politik berjumlah empat novel. Faktor kekerasan juga lebih meningkat dibandingkan pada Angkatan 1970, yaitu berjumlah enam novel.

4.5 Ideologi