Ideologi IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA ANGKATAN 1970 DAN

Dari tabel di atas juga dapat dilihat bahwa pada Angkatan 1970 terdapat lima novel yang terdapat di dalamnya hegemoni laki-laki. Sedangkan yang di dalamnya terdapat hegemoni perempuan berjumlah tiga novel. Kekuasaan yang berkaitan dengan faktor ekonomi berjumlah dua novel. Adapun kekuasaan yang berkaitan dengan politik hanya terdapat satu novel saja. Adanya faktor kekuasaan yang di dalamnya terdapat kekerasan berjumlah empat novel. Pada Angkatan 2000 ditemukan ternyata hanya dua novel saja yang di dalamnya terdapat hegemoni laki-laki. Adapun hegemoni perempuan jumlahnya melonjak hingga hampir keseluruhan data Angkatan 2000, yaitu enam novel. Faktor ekonomi ditemukan dalam enam novel. Kekuasaan yang berkaitan dengan politik berjumlah empat novel. Faktor kekerasan juga lebih meningkat dibandingkan pada Angkatan 1970, yaitu berjumlah enam novel.

4.5 Ideologi

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa ideologi pada dasarnya merupakan kumpulan dari berbagai kepercayaan, prinsip tertentu untuk mengatur suatu masyarakat Ratna, 2008:448. Sebuah wacana tentu tidak akan terlepas dari unsur ideologi yang tergambar dari tulisan yang dihasilkan penulis wacana. Keterbukaan dalam mengungkapkan ideologi feminisme pada karya sastra Angkatan 1970 ternyata tidak sevulgar apa yang terdapat pada Angkatan 2000. Tema- tema feminisme yang diusung pengarang perempuan pada Angkatan 1970 biasanya berkisar keinginan perempuan untuk setara dengan kaum laki-laki dalam berbagai hal. Masalah percintaan homoseksual gay dan lesbian, yang menjadi ciri khas Universitas Sumatera Utara feminisme radikal hampir tidak ditemukan dalam karya-karya perempuan pada masa itu. Sebaliknya tema-tema feminisme yang diungkapkan para pengarang perempuan Angkatan 2000 ternyata sudah lebih berani sekalipun memasuki wilayah yang masih dianggap tabu bagi sebagian masyarakat Indonesia. Para pengarang perempuan ini dengan ringan menceritakan kisah pengalaman seksual yang sedemikian bebas dari tokoh-tokohnya meski tanpa ada ikatan pernikahan, kehidupan cinta pasangan sejenis, perselingkuhan yang semakin ramai terjadi, dan kebencian terhadap budaya patriarki yang telah mengakar kuat. Selain telah terjadi pergeseran konsep ideologi feminisme dalam hal keterbukaan, yang juga perlu diperhatikan adalah keinginan untuk menegaskan jati diri dan otoritas sebagai pengarang. Artinya, sikap yang ditunjukkan oleh para pengarang feminis ini mulai bergeser dari masa ke masa. Pada Angkatan 1970 para pengarang perempuan umumnya masih menggunakan pakem lama yang dibentuk oleh wacana masyarakat dan campur tangannya pemerintahan pada waktu itu. Wacana yang berkembang pada masa itu yakni perempuan istri harus mendukung aktivitas suami sebagai kepala rumah tangga. Begitu pula halnya dalam karya sastra. Banyak novel yang memiliki perempuan stereotip dengan wacana di atas. Kebanyakan perempuan-perempuan tersebut ketika sudah menikah hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Dalam novel Perempuan Kedua, misalnya, dapat dilihat contoh bagaimana kekecewaan yang dialami seorang istri dan ibu yang telah mengabdikan diri hanya untuk mengurus keluarga semata, tetapi tetap saja sang suami berselingkuh pada perempuan lain. Universitas Sumatera Utara ”Aku sudah menyerahkan seluruh hidupku untuk keluarga. Aku hampir tidak punya waktu untuk diriku sendiri Tapi apa yang kini kuperoleh?” hlm. 114. Meskipun ada usaha untuk mencoba untuk menggugat dan memberontak sistem patriarki yang tercermin dari sikap para pelakunya, namun terkadang pengarang mengambil sikap yang hati-hati dalam menyuarakan ideologinya tersebut agar jangan sampai terlalu vulgar dan tidak sampai menyinggung ke sistem pemerintahan yang mendukung wacana patriarki karena tindakan itu tentu saja bisa berakibat dibredelnya karya sastra tersebut. Dibandingkan dengan karya-karya sastra Angkatan 1970, karya-karya sastra pengarang perempuan yang berkembang di era reformasi ini sudah lebih tegas dalam bersikap. Segala pemikiran dan pergulatan batinnya dituangkan nyaris tanpa ada intervensi dari pihak pemerintah sehingga tidak heran para pengarang ini memiliki argumen logis tentang pilihan sikap mereka yang tercemin di dalam karya sastra. Meskipun masih terdapat pro dan kontra di antara masyarakat dan pembaca atas sikap yang mereka tunjukkan, namun pengarang tetap saja memiliki hak untuk menyatakan apa yang dianggapnya benar selama hal tesebut tidak melecehkan dan merugikan pihak-pihak lain. Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian konsep ideologi feminisme, bahwa ideologi feminisme secara umum dapat dibagi ke dalam empat bagian, yaitu feminisme liberal, feminisme radikal atau kultural, feminisme sosialis, dan feminisme Africana atau Black Feminism. Universitas Sumatera Utara Adapun contoh cuplikan novel yang memasukkan ideologi feminisme di antaranya terdapat dalam novel Pada Sebuah Kapal berikut. Aku tidak lagi menaruh perhatian sedikit jua akan apa pun yang dia katakan. Aku telah jauh darinya. Berapa kali pun dia mengatakan bahwa dia mencintaiku, aku tidak akan mempercayainya. Antara dia dan aku, bagiku tidak ada lagi perasaan yang lebih dari keharusan- keharusan yang membosankan. Undang-undang perkawinan mengharuskanku untuk tidur bersamanya, menemaninya pada waktu- waktu susah dan gembira PSK: 137. Pada novel Angkatan 1970 lainnya dapat disaksikan dalam Namaku Hiroko berikut. Menurut pendapat Nakajima-san, aku harus berhati-hati. Perkawinan antara suku bangsa sukar, apalagi jika suami istri terdiri dari bangsa yang berlainan. Aku harus berpikir panjang sebelum terlanjur. Lingkungan yang mengenal kami berdua kebanyakan tidak dapat mengerti maupun memahami sikapku. Rekan-rekan sekerja semua menyalahkan aku. Begitu banyak perempuan yang ingin kawin Kebanyakan tanpa melihat lebih jauh, hanya karena takut kesepian hidup bersendiri, atau hanya mengharapkan jaminan kesejahteraan hidup secukupnya, atau asal menjadi seorang istri sebelum mencapai umur tertentu. Perkawinan demikian biasanya terdampar, mengakibatkan kehidupan-kehidupan seperti apa yang dialami Emiko... NH: 168. Pada kedua novel karya Nh. Dini tersebut bisa tercium aroma feminisme yang diungkapkan secara lugas dan dengan nada kemarahan. Sejak lama Nh. Dini selalu menulis mengenai perempuan dan pemikirannya pun dinilai cenderung kebarat- baratan, maka dapat dimaklumi jika perempuan kelahiran Semarang ini dikenal juga sebagai pengarang feminis. Pada kedua cuplikan cerita di atas ideologi yang disampaikan dapat terbaca melalui kalimat-kalimat yang seolah-olah mencibir institusi perkawinan. Pada Universitas Sumatera Utara penggalan Pada Sebuah Kapal dipaparkan meskipun Sri masih tinggal bersama suaminya, Sri menjalani semua itu hanya sebagai kewajiban di mata hukum semata bukan dengan rasa cinta. Meski beberapa waktu Sri mencoba tetap setia akan komitmen perkawinannya dengan Charles, namun di kemudian hari ia berani mengambil langkah untuk berselingkuh dengan laki-laki lain yang dikenalnya di kapal dalam perjalanan menuju Merseille, Prancis. Tidak berbeda jauh dengan Pada Sebuah Kapal, dalam Namaku Hiroko terlihat bahwa tokoh Hiroko tidak terlalu memikirkan kehidupan perkawinan. Meskipun telah mengecap kehidupan yang bebas, bahkan pernah hidup bersama dengan laki-laki tanpa ikatan yang resmi, Hiroko tidak pernah menyesalinya dan ia merasa nyaman-nyaman saja dengan keadaan tersebut. Dalam novel Melati di Musim Kemarau, ideologi feminisme dapat pula disaksikan dalam cuplikan berikut. ”Karena sekarang ini saya yang menjadi kepala keluarga di sini, maka seluruh tanggung jawab berada di pundak saya. Dengan demikian, sayalah yang mencari makan. Saya pula yang mengusahakan agar kesejahteraan keluarga ini tetap dapat dipertahankan. Sekali lagi, saya rasa Anda tak perlu mengkhawatirkan keadaannya” ”Lalu apa mata pencaharian Anda untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan yang serba sulit ini?” tanyanya. Ada nada ejekan dalam suaranya. ”Saya bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang ekspor dan impor, dan barangkali Anda perlu juga mengetahui di mana letak kantornya dan apa yang saya kerjakan di sana dan berapa pula besarnya jumlah gaji saya?” MdMK: 75. Masih dalam Angkatan 1970, contoh cuplikan lain dapat pula disaksikan dalam novel Perempuan Kedua sebagai berikut. Universitas Sumatera Utara ”Laki-laki mana ada sih yang tidak menyeleweng, Ran?” Sekarang seringai Dora mengambang. Matanya memancarkan sorot berbahaya. Sinar yang lahir dari lubuk dendam yang masih membara. Meskipun sudah empat tahun terkubur di bawah puing-puing perceraiannya. ”Mereka memang sudah rusak dari sananya kok Diberi makan di rumah sampai kenyang pun tetap juga jajan di luar” ”Habis aku mesti bagaimana?” ”Gampang. Cuma ada dua pilihan. Cerai atau cuek.” PK: 115. Dalam novel Karmila juga dapat dilihat ideologi feminisme yang terungkap dari tokoh Karmila seperti berikut ini. ”Aku memang tidak sudi menyusui dia. Aku tidak menghendakinya. Mau apa? Aku tidak merasa itu anakku. Engkau boleh bawa dia pergi sekarang juga. Bila engkau kurang senang... ”Baik,” kata Feisal dengan amat gusar. ”Baik” Dia duduk di atas tempat tidur Karmila lalu merenung sebentar. ”Aku akan bawa dia ke rumahku. Aku akan sewa orang untuk menyusuinya” ”Mila,” bujuknya beberapa saat kemudian, ”bila engkau sudi menyusuinya, kami—ayah dan anak— akan sangat berterima kasih seumur hidup kami. Pikirkanlah, Mila. Daripada kau buang-buang air susu itu. Bukankah kau tahu, air susu ibu yang paling baik? Dan mengenai kanker pada wanita yang tidak menyusui... atau apalagi engkau pasti lebih tahu. ”Jangan takut-takuti aku” bentak Karmila dengan geram. Karmila: 95. Dari cuplikan ketiga novel di atas, pengarang juga ingin memaparkan ideologi feminisme yang disampaikan melalui tokoh-tokoh perempuannya. Dalam Melati di Musim Kemarau diceritakan bahwa tokoh Tuning menjadi kepala keluarga karena kedua orang tua dan kakaknya telah meninggal dunia, mau tidak mau semua beban hidup harus ditanggungnya untuk membiayai adiknya yang masih kuliah dan juga keponakannya. Dalam novel ini, pengarang menggambarkan Tuning sebagai sosok yang tegar meski mengalami berbagai cobaan. Universitas Sumatera Utara Pada cuplikan novel Perempuan Kedua tampak adanya usaha pengarang untuk lebih berani dalam mengungkapkan ideologi feminisme, yaitu melalui tokoh Dora, sahabat Rani. Perempuan yang telah bercerai ini diceritakan berusaha memprovokasi Rani untuk segera berpisah dari suaminya, dokter Yanuar yang diketahui telah berselingkuh dengan pasiennya, Patricia. Dalam kamus Dora, tidak ada kata kompromi jika suami telah mendua cinta. Menurut Dora, perempuan jangan mau dibodohi kaum laki-laki hanya karena tidak tega melihat anak-anak yang tidak menginginkan perceraian orangtuanya. Hal ini senada dengan nilai-nilai feminis yang dikemukakan Sagala dan Ellin 2007: 43, bahwa perempuan memiliki kekuasaan personal. Artinya perempuan memiliki kekuasaan sebagai pribadi utuh atas dirinya, pikiran, perasaan, dan tubuhnya. Perempuan berhak merumuskan arti tentang dirinya sendiri dan memutuskan pilihan hidupnya, dalam bekerja, berorganisasi, berbusana, menikah, tidak menikah, bercerai, menjadi ibu, dan sebagainya. Pada Angkatan 2000 novel yang dianggap mewakili dapat disaksikan dalam Perempuan Berkalung Sorban cuplikan berikut. ”... Alquran saja menegaskan untuk mu’asyarah bil ma’ruf dalam pergaulan suami istri . Itu artinya, pergaulan suami istri harus dilakukan dengan cara yang baik bagi kedua pihak, yaitu suami istri yang menurut Alquran adalah setara. Jadi tidak berlaku hukum, satu majikan satunya budak. Jika Alquran telah mengatakan seperti itu, bagaimana bisa kiai Ali menegas-negaskan pernyataan yang bertentangan dengan Alquran sebagai hadist Nabi? Kupikir beliau terlalu berani mengatakannya.” ”Tetapi pernyataan itu ada dalam kitab, Lek.” ”Dan kitab itu dikarang oleh seseorang kan?” ”Benar.” Universitas Sumatera Utara ”Dan bukan oleh Yang Maha Tahu dan Mengerti tentang ciptaannya.” ”Iya.” PBS: 169. Pada contoh selanjutnya dapat pula dilihat pada cuplikan novel Abidah yang lain, Geni Jora sebagai berikut. Saat para perempuan berkumpul dalam satu majelis, dengan makalah di tangan, dengan bermacam pergolakan yang dibawa dari negara masing-masing, mengenai kondisi kaum yang disayangi yang ternyata lemah dan terpinggirkan, yang menghuni pojok-pojok sejarah, menempati baris-baris di luar pagina, yang kelaparan dan buta aksara, ditempeleng para suami dan diperkosa para laki-laki. Saat para perempuan gelisah dan menjadi cemas oleh kesenjangan membabi buta... GJ: 20 Seperti yang dapat disaksikan dalam kedua cuplikan novel di atas, terlihat cukup jelas ideologi feminisme yang hendak diusung oleh pengarang asal Jombang ini. Latar belakang kehidupan pesantren yang tampak pada kedua karyanya tersebut seakan ingin menegaskan kefasihannya berbicara mengenai perempuan dan kedudukannya dalam Islam serta tentunya kehidupan dunia pesantren yang pernah didiaminya tersebut. Pengarang mencoba mengambil perspektif yang berbeda dari para pengarang feminis yang seangkatan dengannya. Sebagai perempuan yang telah lama mengenyam pendidikan agama di pesantren, pengarang seolah menegaskan bahwa Islam tidak pernah menjadikan perempuan sebagai makluk marjinal atau makluk kelas dua. Keduanya merupakan mitra yang sejajar Dalam kehidupan beragama juga tidak luput dikritik oleh Abidah melalui tokoh utama perempuannya. Selama pendidikan di pesantren, Kejora dan Annisa — Universitas Sumatera Utara nama tokoh dalam Geni Jora dan Perempuan Berkalung Sorban— berkesimpulan bahwa kitab-kitab fiqih turut ambil bagian untuk menyubordinasi keberadaan perempuan dan seolah menyatakan perlunya merekonstruksi fiqih yang selama ini dirasakan telah menjadikan perempuan menjadi warga kelas dua. Menurutnya kitab- kitab fiqih yang ditafsirkan para ulama selama ini tidak lebih tinggi nilainya daripada isi kandungan Alquran dan Al Hadist. Jadi tindakan untuk menggugat interpretasi kitab-kitab fiqih dari para ulama dirasa sebagai sikap yang wajar karena selama ini pemahaman masyarakat tentang kedudukan perempuan cukup memprihatinkan. Dalam hubungan seksual misalnya. Dikatakan istri wajib memenuhi hajat suami meski sang istri sedang tidak ingin melakukannya. Jika istri tidak memenuhinya, maka malaikat akan melaknat dan mengutuk perempuan tersebut. Namun terkadang istri bisa saja sedang sakit atau kehilangan moodnya, apakah hal itu termasuk dosa? Seharusnya hubungan tersebut dilakukan apabila keduanya sama- sama dalam keadaan siap. Masih banyak hal-hal yang dipertanyakan tokoh-tokoh utama perempuan kreasi Abidah tentang perempuan dan Islam. Sebenarnya dalam ajaran Islam terdapat beberapa ayat yang mengungkapkan adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan jika mereka beriman kepada Allah SWT. Begitu pula dalam pergaulan suami istri. Suami disuruh untuk menggauli istrinya secara patut. Seperti yang diutarakan dalam Quran berikut. “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki- laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang Universitas Sumatera Utara menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” QS. Al-Ahzab: 35. Apa yang disampaikan Abidah tentu agak berbeda dibandingkan dengan ideologi feminisme yang disampaikan oleh Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu dalam karya-karya mereka. Meskipun secara lugas menggugat nilai-nilai patriarki yang pernah dilihatnya, Bahasa yang digunakan Abidah tidak sevulgar kalimat-kalimat yang diutarakan Ayu maupun Djenar. Ideologi feminisme yang selama ini selalu digaungkan tidak membuat tokoh-tokoh perempuan Abidah sampai membenci dan mengumpat tokoh laki-laki. Bahkan para tokoh perempuan tersebut dikisahkan memiliki kekasih dan juga mengalami pernikahan. Hal ini sedikit berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Ayu dan Djenar, misalnya. Pada Saman dapat disaksikan aroma ideologi feminisme sebagai berikut. Dia mengambil analogi yang menarik antara sikap Orde Baru terhadap perempuan dengan struktur organisasi dalam ABRI. Menempatkan perempuan dalam kementrian sosial dan urusan wanita sebetulnya pararalel dengan kegiatan Dharma Wanita atau Persit Kartika Chandra. Itu merupakan perpanjangan dari rumah tangga yang patriarki. Perempuan diseklusi dalam perkara domestik, urusan rawat-merawat. Keputusan strategis tetap di tangan laki-laki. Lebih dari itu, menurut dia, mengadakan kementrian urusan wanita sebetulnya justru merupakan penolakan bahwa persoalan wanita adalah persoalan politik bersama. Masalah perempuan dianggap masalah yang khas kaumnya, yang laki-laki tak perlu bertanggung jawab, padahal seluruh penindasan terhadap perempuan bersumber dari patriarki... Saman: 180. Ideologi feminisme pada novel Larung dapat pula disimak seperti berikut. Brigjend Rusdyan Wardhana, nama aslinya. Karena tentara, tentunya dia bersepatu lars. Kami bertemu di sebuah pesta pariwisata di Medan tak lama setelah aku membuka hotelku di jalan Sisingamangaraja. Universitas Sumatera Utara Waktu itu dia masih colonel, baru dipindahkan dari Jakarta ke Kodam Bukit Barisan, gagah sekali, dan aku membayangkan seorang pria yang garang dan jalang, serdadu yang liar sepulang tempur, yang merobek-robek bajuku dengan buas. Kami pun berkencan. Tetapi di tempat tidur ternyata dia anak manis, yang menunggu aku melucuti pakaiannya. Dan baru dua menit putus kayak telepon koin. Aku baru mencari posisi yang enak ketika tiba-tiba, lho kok loyo?. Dia bukan macan. Dia apalagi kalau bukan kucing bersepatu lars. Aku rada kecewa. Tapi tak apa. Setiap pria memiliki daya tariknya sendiri, juga daya tahan. Hahaha… Larung: 88. Dalam cuplikan Saman di atas, Ayu menyinggung berbagai gerakan perempuan di Indonesia. Ide-ide emansipatif sebenarnya telah lama muncul di negeri ini. Persit Kartika Chandra Kirana, misalnya, merupakan salah satu perkumpulan istri abdi negara Tentara Angkatan Darat. Begitu pula dengan Bhayangkari untuk organisasi istri polisi, Dharma Wanita untuk perkumpulan istri pegawai pemerintahan, serta segudang organisasi-organisasi perempuan lainnya. Di balik berkembangnya aktivitas organisasi perempuan di masa Orde Baru ternyata ada sekelumit kekhawatiran dan pengalaman traumatis atas pengkhianatan yang dilakukan PKI yang berimbas pada kebebasan organisasi perempuan Nugroho, 2008: 98. Fenomena itu seakan dijadikan pembenaran untuk selalu mengawasi dengan ketat untuk menjaga terjadinya penyimpangan pandangan dengan segala doktrin Orde Baru. Cuplikan Saman di atas dapat dikatakan sebagai protes dari kaum feminis yang tidak menyukai sistem patriarki. Seperti yang diketahui, meskipun telah ada usaha dari pihak pemerintah untuk membuat perempuan lebih produktif, ternyata hal tersebut malah menegaskan kekuasaan laki-laki suami dalam kehidupan rumah Universitas Sumatera Utara tangga. Kegiatan yang selalu dilakukan kaum ibu itu didominasi oleh urusan domestik, seperti arisan, PKK, masak memasak, jahit-menjahit, dan tidak jarang kegiatan ini dijadikan ajang bergosip di antara ibu-ibu tersebut. Adapun cuplikan dalam novel Larung seakan menegaskan kedigdayaan perempuan atas laki-laki. Hal ini digambarkan secara blak-blakan oleh Ayu melalui ketidakmampuan seorang laki-laki di atas ranjang. Meskipun dari luar terlihat gagah dan perkasa, namun dalam hal bercinta ternyata oknum abdi negara ini masih kalah dengan tokoh perempuannya Cok. Sedangkan pada novel Nayla, penggalan berikut juga menegaskan pesan- pesan ideologi feminisme yang disampaikan Djenar. Dalam salah satu adegan ketika tokoh Nayla yang dikisahkan seorang penulis cerita fiksi, diwawancarai mengenai tulisan-tulisannya yang banyak bercerita tentang perempuan dan seksualitas. Perhatikan cuplikan berikut. “Jadi bukan karena pertimbangan pasar?” “Sama sekali tidak. Saya memang mengakrabi masalah seksualitas karena saya merasa berada di dalam pusaran masalah itu. Saya yakin semua perempuan terlibat di dalamnya, juga Anda.” “Masalah seksualitas seperti apa yang Mbak maksud?” “Masalah perempuan yang menekan perempuan.” “Contohnya?” “Tubuh perempuan direpresi dan hanya difungsikan sebagai alat reproduksi. Tubuh perempuan tidak diberi hak bersenang-senang atau disenangkan. Perempuan harus perawan. Perempuan harus bisa hamil dan melahirkan. Perempuan harus menyusui. Perempuan harus pintar memuaskan laki-laki di ranjang. Perempuan hanya masyarakat nomor dua setelah laki-laki… Nayla: 117. Universitas Sumatera Utara Dari beberapa contoh cuplikan di atas dapat dilihat adanya keinginan untuk mengemukakan ideologi feminisme yang hendak disampaikan para pengarang perempuan ini melalui sejumlah metafora, terutama dapat dilihat pada karya sastra Angkatan 2000. Para pengarang perempuan yang dapat dikatakan sebagai bagian dari kaum feminis ini berkeinginan untuk mendekonstruksi oposisi biner antara laki-laki dan perempuan yang selama ini bersifat patriarki karena pada kondisi seperti itu perempuan dipaksa menjadi kaum yang termajinalkan. Ayu Utami dalam Saman dan Larung mencoba mempresentasikan gagasan ideologi feminisme melalui tokoh-tokoh perempuan yang digambarkan lebih berkuasa dan bisa menaklukkan laki-laki, sedangkan para tokoh laki-lakinya sering dibuat tidak berdaya dalam menghadapi segala sesuatu. Tokoh Yasmin, misalnya, bisa menundukkan tokoh Saman baik dari segi seksualitas maupun aktivitasnya Nasution, 2007: 327. Begitu pula halnya ketika diceritakan Yasmin dan Cok menyelamatkan Saman sampai keluar negeri, sedangkan Saman dan Larung tidak berhasil menyelamatkan Wayan Togog, Bilung, dan Koba aktivis Solidaritas Wong Alit yang menjadi buronan polisi. Begitupun yang terjadi pada Cok. Perempuan ini diceritakan memiliki kehidupan yang bebas, terutama petualangannya terhadap beberapa lelaki di atas ranjang termasuk menaklukkan oknum tentara. Adapun tokoh laki-laki yang dikisahkan Ayu, Larung, misalnya dianggap sebagai laki-laki yang tidak pernah berhubungan seks. Universitas Sumatera Utara Begitu pula halnya dengan dominasi yang diberikan pengarang kepada tokoh Yasmin. Diceritakan Saman hanya menjadi objek dalam berhubungan jasmani dengan Yasmin, sedangkan yang lebih berperan adalah Yasmin. Kamu biarkan aku mengikatmu pada ranjang seperti kelinci percobaan. Kamu biarkan jari-jariku bermain-main dengan tubuhmu seperti liliput mengeksplorasi manusia yang terdampar. Kamu biarkan aku menyakitimu seperti polisi rahasia menginterogasi mata-mata yang tertangkap. Kamu tak punya pilihan lain selain membiarkan aku menunda orgasmemu, atau membiarkan kamu tak memperolehnya, membuatmu menderita oleh coitus interuptus harafiah Larung: 160. Hampir senada dengan kedua karya Ayu Utami di atas, pada karya Dewi Lestari untuk novelnya Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh dan Djenar Maesa Ayu dalam novelnya Nayla juga mengemukakan ideologi feminisme secara lugas. Dalam Supernova, pengarang menempatkan tokoh perempuan —Diva— sebagai tokoh yang memiliki pengetahuan yang luas serta amat membenci kemunafikan. Tokoh yang menggunakan nama Supernova ketika bermain di dunia cyber ini dikisahkan pula memiliki kedudukan khusus dalam cerita. Diva menjadi tokoh yang diciptakan oleh tokoh Ruben dan Dhimas. Kedua lelaki yang menjadi sepasang kekasih ini menciptakan tokoh Cyber Avatar, yaitu Diva. Diva merupakan tokoh yang tidak terlalu ramah pada orang lain, merdeka dari segala keinginan dan perintah orang lain. Meski berprofesi sebagai pelacur, namun sang Supernova ini bisa “menasihati” orang lain melalui chatting di internet hlm. 128-129. Hal ini dibuktikan dengan beberapa tokoh di novel ini yang berkonsultasi dengan sang Cyber Avatar ini seperti yang terdapat pada cuplikan berikut. Universitas Sumatera Utara Mendadak segala penat dan perih lukanya hilang, tergantikan oleh secercah semangat. Secepat kilat, ia langsung mengirim pesan. Berkali-kali, sampai akhirnya Supernova merespon tulisannya… KPBJ: 149. Jemari jentiknya kembali mengetik secepat kilat. Terlalu banyak e- mail yang harus dibalas, ia hampir tidak merespon para penanya di jalur chat room ICQ. Tiba-tiba muncul sebuah nomor asing… ia pun tersenyum. Sapaan pertama mereka telah bercerita segalanya. guest Cyber Avatar. Ternyata kamu ada TNT Senang berkenalan dengan kalian KPBJ: 203. Adapun Djenar dalam berkisah pada Nayla bisa dikatakan sangat lancar bertutur tentang seksualitas dan juga secara gamblang menunjukkan perlawanannya pada sistem patriarki, meskipun terkadang terasa pengarang menurutkan emosi pribadinya sebagai seorang Djenar yang selalu menulis kisah seputar seks. Ideologi feminisme dalam Nayla juga tergambar ketika tokoh Nayla begitu sangar terhadap laki-laki, meski laki-laki tersebut merupakan pacarnya. Sama halnya dengan Ayu Utami, Djenar juga memberikan kekuatan pada tokoh Nayla, bahkan ketika melakukan hubungan seksual dengan laki-laki, ia menjadi pihak yang aktif sedangkan pacarnya Ben menjadi pihak yang pasif. Maka dituntunnya laki-laki itu menuju kamar mandi. Dicumbunya di depan pintu. Ditariknya masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi yang tak berlampu. Dibukanya ritsleting celana laki-laki itu. Dilakukannya semua yang ingin ia lakukan saat itu, di kamar mandi yang tak berlampu, dengan laki-laki itu…Nayla: 144. Adapun Abidah El Khalieqy dalam mempresentasikan ideologi feminisme dapat dilihat pada novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora. Di kedua novel ini memperlihatkan adanya konflik antara ideologi patriarki dan ideologi feminisme. Hal ini tergambar dalam cuplikan-cuplikan yang memperlihatkan Universitas Sumatera Utara pertentangan di antara kedua ideologi tersebut, terutama pertentangan mengenai penafsiran kitab-kitab fiqih dalam Islam. Pengarang tampak begitu jelas menunjukkan sikap pemberontakannya dalam memaknai dan menafsirkan beberapa kitab dari para ulama. Pengarang merasa pendapat dari kitab-kitan tersebut ditafsirkan untuk membuat kaum perempuan menjadi tersubordinasi dalam kehidupan sosialnya padahal kitab suci Quran sendiri tidak pernah menyudutkan kaum keturunan Hawa ini. Perhatikan cuplikan di bawah ini. “Tetapi anak perempuan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, cukup jika telah mengaji beberapa kitab…Kami juga tidak terlalu keburu, ya…mungkin menunggu sampai si udin wisuda kelak. Yang penting…kita sepakat untuk saling menjaga. Mengenai kapan dilangsungkannya pernikahan, nanti bisa dirembug lagi… Mendengar kata-kata itu, darahku serasa beku. Aku tertahan dan berdiam seperti patung. Rupanya mereka tengah merundingkan sesuatu untuk masa depanku. Alangkah jauhnya mereka melewati nasibku. Pastilah mereka mengira, alangkah bodoh dan naifnya aku ini, sehingga untuk menentukan nasib masa depanku sendiri, tak perlu lagi mereka melibatkanku” PBS: 90-91. “Ini kan raport sekolahan, Cucu. Berapa pun nilai Prahara di sekolahan, sebagai laki-laki, ia tetap ranking pertama di dunia kenyataan. Sebaliknya kau. Berapa pun rankingmu, kau adalah perempuan dan tetap sebagai perempuan.” GJ: 62. “… namun aku tak mampu mengikuti kemurah-hatian yang diajarkan. Sekalipun aku tahu jawaban kitab fiqih, tetapi lidahku enggan menyatakan, sebab pikiran dan hatiku kurang berkenan dengan jawaban-jawaban yang tertera…” GJ: 33. Dalam beberapa novel Angkatan 1970, ideologi feminisme yang ditampilkan pada umumnya takluk pada sistem patriarki. Namun tetap saja tokoh perempuan yang Universitas Sumatera Utara ada dalamnya sudah cukup merasa nyaman dengan kondisi yang demikian. Misalnya saja dapat dilihat pada novel Namaku Hiroko berikut. Belum selesai aku mengatakan apa yang hendak kukatakan, tangannya yang berat menampar mukaku. Satu kali. Dua kali. Keduanya kurasakan seperti irisan pisau yang menyambarku. Aku terlempar ke kaki kursi di sudut ruangan. Aku tidak terkejut menerimanya. Telah kuduga. Telah menjadi hakku. Yoshida memang patut menghajarku, perempuan yang tidak mengerti arti kesabaran menunggu. Perempuan yang memalingkan muka di saat kesempatan tersedia. Ah, kusadari betapa rendahnya sifatku yang terkutuk. Dan aku menangis. Tidak karena kesakitan. Melainkan karena kehilangan daya. Aku tidak mengerti mengapa aku begitu. NH: 238. Bandingkan dengan apa yang diuraikan dalam novel Angkatan 2000 berikut. Zakky terkesima. Tak percaya oleh keberanianku melawan mata dan kuasa laki-lakinya. Ayo bertanding Zakky Satu lawan satu. Kejar daku, kau akan kutembak. Atau tinggalkan aku Kau boleh pergi dengan yang lain. GJ: 171. Dari kedua cuplikan di atas dapat dilihat bahwa pada Angkatan 2000, tokoh perempuan umumnya digambarkan lebih mandiri dan bisa menantang siapa saja yang merasa menyakiti mereka. Pergeseran begitu kental terasa ketika membaca novel yang berbeda generasi ini. Tabel 5 : Tipologi Ideologi Feminisme No Angkatan Ideologi Feminisme 1970 Feminisme Liberal Feminisme Radikal Feminisme Sosialis Feminisme Africana 1 Perempuan Kedua √ ─ √ ─ 2 Karmila √ ─ ─ ─ Universitas Sumatera Utara 3 Bukan Impian Semusim √ ─ ─ ─ 4 Namaku Hiroko √ ─ √ ─ 5 Pada Sebuah Kapal √ ─ √ ─ 6 Melati di Musim Kemarau √ ─ ─ ─ 2000 1 Larung ─ √ √ ─ 2 Saman ─ √ √ ─ 3 Perempuan Berkalung Sorban √ ─ √ ─ 4 Geni Jora √ ─ √ ─ 5 Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh ─ √ ─ ─ 6 Supernova: Akar ─ √ ─ ─ 7 Nayla ─ √ ─ ─ Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa terdapat berbagai jenis ideologi feminisme, yaitu Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Sosialis, dan Feminisme Africana. Pada Angkatan 1970 yang mendominasi adalah feminisme yang liberal, yaitu gerakan feminisme yang mencoba memperkuat kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Feminisme liberal ini menurut Nugroho 2008: 63, mulai berkembang di Barat pada abad ke-18, bersamaan dengan semakin populernya gerakan pemikiran baru enlightment atau age of reason. Lanjutan Tabel 5 Universitas Sumatera Utara Berdasarkan tabel di atas juga dapat dilihat bahwa pada Angkatan 1970 kesemua data yang berjumlah enam novel termasuk dalam katagori feminisme liberal. Adapun tipe feminisme sosialis berjumlah tiga novel. Sedangkan masa Angkatan 2000-an, yang lebih mendominasi adalah feminisme yang sudah radikal yang berjumlah lima novel. Adapun feminisme ini merupakan gerakan yang lebih melihat bahwa segala akar permasalahan lebih pada sistem seks dan jender serta pemberontakannya pada setiap diskriminasi yang dilakukan sistem patriarki dan tentunya selalu berujung pada penindasan terhadap kaum perempuan. Di setiap kisah yang ditampilkan, tampak begitu jelas ideologi feminisme yang terungkap dari setiap dialog-dialognya. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ciri feminisme radikal yang terdapat pada Angkatan 2000 ini termasuk di dalamnya adalah kisah cinta sejenis. Para pengarang perempuan di angkatan ini tidak ragu dalam mengisahkan cerita yang berkaitan dengan cinta sejenis homoseksual. Dari tujuh novel yang mewakili Angkatan 2000, tercatat ada lima novel yang menyinggung terjadinya hubungan asmara sejenis yang tidak lazim dilakukan ini. Kelima judul novel tersebut adalah Larung, Saman, Geni Jora, Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh, dan Nayla. Selain beraliran feminisme liberal dan feminisme radikal, terdapat pula beberapa novel yang memiliki kecendrungan feminisme sosialis. Feminisme sosialis merupakan gerakan untuk membebaskan perempuan melalui struktur patriarki. Perubahan struktur patriarki ini bertujuan supaya kesetaraan jender dapat terwujud serta menjadi syarat demi terciptanya suatu masyarakat tanpa kelas dan tanpa hierarki Universitas Sumatera Utara horizontal Nugroho, 2008: 75. Kaum feminisme sosialis ini selalu menuding bahwa pekerjaan perempuan yang selalu berkisar pada sektor domestik dan pekerjaan laki- laki yang berada di wilayah publik sebagai cikal bakal timbulnya struktur patriarki dalam keluarga. Dalam novel-novel yang mewakili Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 terdapat delapan judul yang di dalamnya juga disinggung tentang feminisme sosialis, yaitu Perempuan Kedua, Namaku Hiroko, Pada Sebuah Kapal, Larung, Saman, Perempuan Berkalung Sorban, dan Geni Jora. Adapun dengan ideologi feminisme Africana setelah diamati tidak terdapat di dalam ketigabelas novel yang menjadi data, baik dari angkatan 1970 maupun dari Angkatan 2000. Universitas Sumatera Utara

BAB V FAKTOR-FAKTOR PERGESERAN IDEOLOGI FEMINISME DALAM