Tindakan IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA ANGKATAN 1970 DAN

BAB IV IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA ANGKATAN 1970 DAN

ANGKATAN 2000

4.1 Tindakan

Hal pertama yang harus diperhatikan ketika menganalisis karya sastra bahwa karya sastra tersebut harus dipahami sebagai sebuah tindakan action. Karya sastra dapat dikatakan sebagai bentuk interaksi antara pengarang dan pembaca masyarakat serta tidak bisa ditafsirkan secara denotatif. Dengan pemahaman seperti ini maka sebuah karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang mempunyai tujuan. Seseorang, dalam hal ini pengarang, dalam berbicara atau menulis pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu. Tujuan tersebut boleh jadi merupakan kata-kata yang berupa memengaruhi, mendebat, membujuk, menyanggah, bereaksi, dan sebagainya. Selain itu kata-kata yang diekspresikan tersebut harus dilakukan secara sadar dan terkendali, bukan di luar kesadaran. Untuk merepresentasikan ideologi feminisme dalam novel-novel Angkatan 1970 dan Angkatan 2000, maka karakteristik pertama analisis wacana kritis ini dapat dipergunakan dalam penganalisisan. Tindakan mendebat dan menyanggah dapat disaksikan dalam beberapa kutipan novel seperti yang terdapat dalam novel Perempuan Kedua dari Mira W berikut. ”Cerai? Rani tertegun bingung. Memang sudah hampir sebulan dia mencurigai suaminya. Jengkel terhadap suaminya. Menjauhi suaminya. Tetapi cerai? Astaga. Belum pernah terpikir sekalipun ”Masa sampai bercerai sih” Universitas Sumatera Utara Nah, itulah kelemahan perempuan bangsa kita Tiba-tiba saja Dora bersemangat seperti orator di atas podium. ”Takut bercerai Malu, kasihan anak, resah memikirkan masa depan, macam-macamlah. Akhirnya? Laki-laki pun jadi merajalela Toh dikhianati bagaimana pun istrinya tetap tidak berani minta cerai. Rela saja dihina Yah, daripada anak-anak kehilangan bapak. Daripada malu sama tetangga. Daripada mesti kesepian kalau malam...Bah Nih, contoh aku Begitu aku tahu dia menyeleweng, cerai Habis perkara. Tanpa dia pun aku masih dapat mencari makan. Usahaku malah bertambah maju pesat setelah aku menjadi janda” PK: 115-116. Dalam kutipan di atas telah terjadi perdebatan antara tokoh Rani dan temannya, Dora. Kedua perempuan ini berdebat karena tindakan Rani yang ragu-ragu memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya dengan suaminya yang dicurigainya telah berselingkuh setelah belasan tahun hidup berumah tangga. Sedangkan Dora bersikap sebaliknya. Begitu mengetahui suaminya telah mengkhianati ikrar pernikahan, maka Dora langsung memutuskan untuk mengakhiri pernikahan mereka. Tindakan Dora yang cepat mengambil keputusan boleh jadi disebabkan seringnya ia menghadiri seminar pernikahan yang menjamur serta pergaulannya yang luas, ditambah Dora seorang pengusaha yang notabene bisa mencari nafkah. Jadi, meskipun tanpa ada dukungan dari suami, Dora merasa bisa berdiri sendiri. Tidak heran Dora bisa mengambil keputusan untuk bercerai dengan sang suami. Contoh kutipan lain yang memperlihatkan tindakan atau reaksi, khususnya yang dilakukan Sri yaitu tindakan tegas kepada suaminya, dapat dilihat pada cuplikan novel Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini berikut. ”Ya, memang itu yang kumaksudkan. Mulai hari ini aku tidur sendiri. Empat bulan lagi anak kita lahir. Aku telah terlampau lelah dengan kepadatan perasaanku. Kalau kau mau, aku segera menyetujuinya.” Universitas Sumatera Utara ”Kau gila,” serunya cepat. ”Memang harus ada salah satu yang gila di antara kita berdua, sebab itu kita kawin. Kalau kita berdua berpikiran waras, kita tidak akan kawin.” ”Aku mencintaimu, Sri, katanya. Dia berdiri hendak mendekatiku. Aku mundur selangkah. ”Kau lelah. Pikiranmu kacau,” suaranya perlahan. Ah, betapa aku tidak akan lelah. Betapa pikiranku tidak akan kacau. ”Keluar,” aku membuang pandang dan menguatkan suaraku PSK: 122. Tindakan yang dilakukan tokoh Sri pada tokoh Charles Vincent adalah puncak kemarahannya setelah berkali-kali Sri disakiti secara psikologis dengan selalu dimarahi, dibentak, dan tidak dihargai sebagai seorang istri. Sri merasa sudah tidak tahan hidup dengan suami yang sedari awal tidak dicintainya itu. Untuk itu Sri mulai berani mengambil sikap yang tegas pada suaminya. Sebagai perempuan, ia tidak ingin direndahkan. Dia tidak ingin terus menerus diperlakukan sebagai objek kekerasan yang dilakukan suaminya, dia harus berani mengekspresikan dirinya tidak hanya berdiam diri saja. ”Bagiku laki-laki seperti Charles tidak perlu mengetahui hal yang sebenarnya. Dia terlalu yakin bahwa perempuan yang telah diambilnya sebagai istrinya adalah seseorang yang tidak berpengalaman, yang akan menganut dan mengikuti langkahnya setapak demi setapak. Dan sejak malam itu dia kuharap mengerti bahwa aku akan sanggup, benar- benar sanggup meninggalkannya...” PSK: 213. Pada novel Nh. Dini yang lain, Namaku Hiroko, tindakan yang dilakukan tokoh Hiroko terhadap laki-laki yang mendekatinya adalah mencoba melepaskan diri karena Hiroko tidak ingin terikat padanya. Universitas Sumatera Utara ”Aku harus berani melepaskan diri dari laki-laki itu. Lebih-lebih dari cengkeraman pengaruh materi yang dimilikinya. Sebagai laki-laki berpengalaman,dia mengetahui kelemahanku.Dengan kedermawanannya suatu kali dia berkata akan membuka nomor tabungan di bank kota atas namaku. Ini merupakan tantangan yang berat bagiku. Di samping itu pula merupakan keinginannya agar aku tetap melayaninya kemauannya, yang berarti aku harus menjadi miliknya. Hanya didorong oleh kemauan yang luar biasa kuatnyalah aku berhasil menolaknya. Kujelaskan terus terang, aku tidak ingin menjadi perempuan kedua yang selalu siap sedia di mana diperlukan. Aku lebih suka bebas...”NH: 141. Hiroko merupakan tokoh utama perempuan yang pada awalnya diceritakan sangat lugu dan pemalu, namun lama kelamaan sikapnya berubah tatkala ia lama tinggal dikota. Berbagai pekerjaan ia lakoni, mulai menjadi pembantu rumah tangga, pengasuh anak, penjaga toko hingga menjadi penari telanjang striptease yang memberinya limpahan materi. Orientasi hidup dan keinginannya juga tidak terlepas dari kekayaan materi yang akhirnya membuat Hiroko memilih jalan yang tidak baik menurut ukuran kebanyakan orang. Setelah lama hidup di kota Kobe pun Hiroko tidak pernah berpikir untuk menikah. Aku puas dengan hidupku, dengan apa yang kumiliki waktu itu. Dengan umurku yang muda, aku seakan-akan telah mencapai apa yang kuidamkan. ”Dalam arti kebendaankah yang Anda maksudkan?”tanyanya kemudian. ”Ya. Karena memang kebendaanlah yang saya cari. Saya tidak ingin hidup dalam kekurangan.” ”Tidak ada orang yang ingin hidup kekurangan,” sahut Suprapto. ”Tetapi, adakah Anda memiliki ambisi, mempunyai keinginan buat mencapai yang lebih tinggi lagi?” ”Tentu saja saya mempunyai ambisi, yaitu mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.” ”Lalu untuk apa?” ”Untuk hidup tentu saja.” Universitas Sumatera Utara Suprapto terdiam, meneruskan makan. ”Lalu menurut pikiran Anda, ambisi apa yang baik bagi saya.” ”Seperti kebanyakan wanita: kawin.” Mengapa hal itu tak pernah terpikirkan olehku. Atau barangkali pernah. Tetapi demikian selintas, demikian ringan dan kabur secepatnya sehingga terlupa atau tak kuanggap sesuatu yang menguasai diriku, lalu lepas entah kemana tanpa kusesali. Barangkali pula oleh kuatnya cengkraman pikiran, kehendak hidup semaunya dengan bebas. NH: 156. Kutipan dari novel lain, Karmila, juga memperlihatkan tindakan Karmila yang pada awalnya diceritakan sangat membenci Feisal yang telah memerkosanya dan menolak untuk menyusui anak hasil perkosaan Feisal. Betapa pun kasarnya perlakuan Karmila terhadap Feisal, namun Feisal tetap bersabar untuk menebus rasa bersalahnya kepada gadis yang masih duduk di bangku kuliah fakultas kedokteran tersebut. ”Tidak peduli. Pokoknya tertulis di situ bahwa aku menikah denganmu, cuma supaya anak ini punya ayah titik. Aku tidak terikat hubungan apa-apa dengan engkau. Aku tidak akan tinggal menikah denganmu. Aku tidak akan tinggal bersamamu. Aku tidak akan menikah dengan engkau di gereja. Aku tidak akan menjadi istrimu. Dan segera setelah anak ini lahir, kita akan bercerai kembali dan anak ini kau ambil.” ”Sebaiknya anak itu kau pelihara. Dia lebih membutuhkan ibu daripada ayah.” ”Tidak Bila engkau mau menikah denganku, anak ini harus kau ambil. Bila engkau tidak mau, engkau boleh pergi dan tinggalkan aku sendiri” Karmila: 74. Adapun pada novel-novel yang mewakili Angkatan 2000 dapat dilihat ideologi feminismenya melalui tindakan dari tokoh-tokohnya seperti yang terdapat dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy berikut. Universitas Sumatera Utara Dari atas kursinya, nenekku mulai berceramah. Bahwa perempuan harus selalu mau mengalah. Jika perempuan tidak mau mengalah, dunia ini akan jungkir balik berantakan seperti pecahan kaca. Sebab tidak ada laki-laki yang mau mengalah. Laki-laki selalu ingin menang dan mengusai kemenangan. Sebab itu perempuan harus siap me-nga- lah pakai awalan me-. ”Jadi selama ini Nenek selalu mengalah?” ”Itulah yang harus dilakukan, Cucu.” ”Pantas Nenek tidak pernah diperhitungkan.” ”Diperhitungkan?”Nenek terlonjak. ”Benar. Nenek tidak pernah diperhitungkan. Nenek tahu apa sebabnya? ”Apa sebabnya, Cucu?” ”Sebab Nenek telah mematok harga mati, dan harga mati Nenek adalah kekalahan. Siapakah yang mau memperhitungkan pihak yang kalah?” GJ: 61. Sesuai dengan judul novelnya, pengarang ingin menampilkan sosok perempuan yang berani menantang siapa saja yang mencoba untuk menindas hak- haknya sebagai seorang perempuan, tidak terkecuali pemikiran sang nenek pun dibantahnya. Bagi Jora, perempuan dan laki-laki adalah mitra sejajar. Perempuan tidak berhak untuk disakiti dan dinomorduakan. Sikap memberontak ini juga banyak dideskripsikan dalam dialog yang merupakan refleksi dari pemikiran yang sangat berani apabila dikaitkan dengan lingkungan kebudayaan Jawa yang sangat mengakar dan sangat kuat unsur patriarkinya. Hampir senada dengan novel Abidah yang lain, Perempuan Berkalung Sorban juga sangat kental nuansa feminismenya yang dilukiskan dalam bentuk tindakan, seperti yang dapat disaksikan dalam kutipan berikut. “Lagi pula, tak ada satu pun di antara orang-orang bertaqwa, baik laki-laki atau perempuan, yang diperintahkan untuk menjauhi atau Universitas Sumatera Utara berjauhan dengan ayat-ayat Allah. Alangkah sialnya jadi perempuan. Bukan hanya itu. Perempuan yang sedang menstruasi juga dilarang masuk masjid. Padahal wak Tompel yang setiap malam minum tuak dan berjudi di kedai Yu Sri, tidak dilarang tidur menggelosor di dalam masjid dan tak seorang pun berani mengatakan bahwa itu haram. Kepada Mbak May aku bertanya, benarkah semua yang kudengar dari kitab itu? Ia tersenyum ragu-ragu dan mengangguk. Maka aku pun ragu-ragu dan tak pernah mau mengangguk dan menjadi keledai…” PBS: 73-74. Dari dua cuplikan di atas, pengarang tampak sangat jelas mengusung warna feminisme. Berusaha untuk menyuarakan hak-hak perempuan serta menggugat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang hingga kini dirasakan masih sangat diskrimatif. Kedua cerita yang berlatar pesantren ini dapat dimaklumi karena sang pengarang juga pernah mengenyam pendidikan di salah satu pesantren modern puteri di Jawa Timur sehingga tidak mengherankan apabila pengarang sangat fasih berbicara seluk-beluk di pesantren. Benarlah apa yang dikatakan A. Teeuw yang dikutip oleh Pradopo 1995: 80, “Suatu karya sastra tidak lahir dalam kekosongan kebudayaan”. Artinya, pengarang tidak serta merta menciptakan suatu karya sastra tanpa ada konteks sosial budaya yang melatarbelakanginya. Sedikit berbeda dengan Abidah yang bernuansa relijius dalam mengungkapkan ide-ide feminismenya, Ayu Utami justru terlihat blak-blakan dan sensasional ketika berbicara mengenai perilaku seks tokoh-tokohnya. Novel Saman dan larung mengisahkan tentang tokoh-tokoh perempuan yang mandiri, wanita karier, cerdas, serta berani menyatakan diri sebagai perempuan yang membutuhkan seks lebih dari apa yang bisa diberikan para lelaki dalam kehidupan mereka. Tokoh- Universitas Sumatera Utara tokoh tersebut merasa harus mengambil tindakan terhadap budaya patriarkal yang selalu mendominasi selama ini, termasuk menyangkut masalah seks. Beragam tindakan yang mereka lakukan untuk menunjukkan ketidaksukaan atas budaya patriarki ini. Mulai menyatakan sikap dan jati diri, berupaya memegang kendali hingga memilih pasangan sejenis lesbian. Saman mempunyai tokoh-tokoh utama perempuan yang sudah bersahabat sejak masih remaja. Selain tentunya memiliki tokoh laki-laki, di antaranya Romo Wis Saman, Sihar, dan Anson. Keempat tokoh perempuan yang ada di novel ini adalah Cokorda Gita Magaresa, Laila Gagarina, Shakuntala, dan Yasmin Moningka. Sedangkan novel Larung merupakan lanjutan dari novel Saman. Kutipan berikut menunjukkan tindakan dilihat pada novel Saman seperti berikut. Di sini sangat nyata terlihat kebencian tokoh Shakuntala terhadap ayah yang menurutnya telah menyakitinya. Terutama juga agar aku bisa pergi amat jauh dari ayah dan kakakku yang tidak kuhormati. Yang tidak menghormati aku, tak pernah menyukai aku. Aku tidak menyukai mereka. Tapi ketika pertama kali mengurus visa di kedutaan Besar Nederland, yang mereka tanyakan adalah nama keluarga. “Nama saya Shakuntala. Orang Jawa tak punya nama keluarga.” “Anda memiliki ayah, bukan?” “Alangkah indahnya kalau tak punya.” “Dan mengapa saya harus memakainya?” Formulir ini harus diisi.” Aku pun marah. “Nyonya, Anda beragama Kristen, bukan? Saya tidak, tapi saya belajar dari sekolah Katolik: Yesus tidak mempunyai ayah. Kenapa orang harus memakai nama ayah?” Saman: 137. Adapun novel Larung senada dengan novel Saman dalam hal keterbukaan. Larung terbagi dalam tiga bagian. Secara ringkas, pada bagian pertama mengisahkan Universitas Sumatera Utara tokoh Larung yang sedang mencari cara untuk membunuh neneknya yang berusia lebih dari dari 100 tahun namun belum meninggal juga. Diceritakan juga bahwa Larung turut merasakan luka sejarah yang dimilikinya karena ayahnya terlibat dalam G30SPKI. Bagian kedua bercerita tentang empat sahabat, yaitu Laila, Yasmin, Shakuntala, dan Cok yang datang ke New York untuk menonton Shakuntala menari. Selain itu mereka juga mempunyai tujuan lain, seperti Yasmin yang membantu Saman untuk mencari dukungan bagi gerakan demokrasi di Indonesia. Laila ingin bertemu dengan kekasih gelapnya, Sihar, yang ternyata datang membawa serta istrinya. Bagian ketiga mengisahkan upaya Larung dan Saman menyelamatkan para aktivis yang dituduh sebagai dalang kerusuhan 27 Juli dan menjadi buronan polisi. Adapun contoh kutipan yang menunjukkan tindakan dalam melakukan aktivitas seksual dapat dilihat sebagai berikut. Aku bosan juga. Lalu kami mencoba melakukan anal seks, untuk menjaga keperawananku. Tapi aku jadi ambeien. Lalu kupikir-pikir, kenapa aku harus menderita untuk menjaga selaput daraku sementara pacarku mendapat kenikmatan? Enak di dia nggak enak di gue. Akhirnya kupikir bodo amat, ah udah tanggung. Aku pun melakukannya, sanggama. Aku bertukar cerita ini dengan Shakuntala. Aku tidak tahu apakah dia membocorkannya kepada Yasmin dan Laila…Larung: 83. Perempuan Eksperimen. Bayangkan Tak ada yang percaya bahwa perempuan eksperimen berarti perempuan yang bereksperimen. Semua akan mengartikannya perempuan untuk eksperimen… Kadang aku jengkel, apapun yang kita lakukan, yang juga dilakukan lelaki, kok kita mendapat cap jelek. Laki-laki tidur bergantian dengan banyak Universitas Sumatera Utara cewek akan dicap jagoan. Tapi perempuan yang tidur bergantian dengan banyak lelaki dibilang piala bergilir. Pelacur. Apapun yang kita lakukan, kita selalu dianggap obyek. Bahkan oleh sesama perempuan. Misalnya, oleh si Yasmin brengsek itu Larung: 84. Kutipan di atas secara gamblang merepresentasikan aktivitas seksualitas yang dapat dikatakan menyimpang dari norma masyarakat Indonesia, dalam arti bukan hubungan yang disahkan oleh surat nikah dan diakui oleh agama dan norma sosial. Selain itu pada kutipan yang selanjutnya terdapat uraian kekesalan hati Cok atas tanggapan masyarakat mengenai perempuan eksperimen seperti yang dilakukannya. Cok seolah-olah memprotes penilaian masyarakat bahwa ketika laki-laki melakukan tindakan yang bejat mereka tidak disalahkan. Berbeda halnya ketika perempuan yang melakukan kesalahan tersebut, mereka akan dicap negatif oleh masyarakat. Cok digambarkan pengarang sebagai sosok yang jujur, terbuka, bebas serta liar. Sejak masih SMA Cok telah kehilangan keperawanannya maka tidak heran kemudian teman-temannya menjulukinya ‘Si Perek’ atau ‘muka orang yang sedang sanggama’. Tabel 1 : Tindakan Tokoh-Tokoh Perempuan No Angkatan Tindakan Tokoh Perempuan 1970 Menyanggah Memengaruhi Menggugat Aktivitas Seksual 1 Perempuan Kedua √ √ √ √ 2 Karmila √ √ √ ─ 3 Bukan Impian Semusim ─ √ ─ ─ 4 Namaku Hiroko √ √ √ √ Universitas Sumatera Utara 5 Pada Sebuah Kapal √ √ √ √ 6 Melati di Musim Kemarau ─ √ ─ ─ 2000 1 Larung √ √ √ √ 2 Saman √ √ √ √ 3 PerempuanBerkalung Sorban √ √ √ √ 4 Geni Jora √ √ √ √ 5 Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh √ √ √ √ 6 Supernova: Akar √ √ √ √ 7 Nayla √ √ √ √ Dari tabel di atas menunjukkan bahwa tindakan-tindakan ekspresif yang dilakukan oleh para tokoh perempuan, seperti menyanggah, memengaruhi, menggugat, serta tindakan yang berkaitan dengan aktivitas seksual didominasi oleh tokoh-tokoh perempuan pada novel-novel yang mewakili Angkatan 2000. Berbagai tindakan yang diperlihatkan oleh tokoh-tokoh perempuan, misalnya dalam novel Perempuan Kedua, dilakukan tokoh Dora yang sudah mendapat pengaruh pemikiran feminisme. Perkataannya tersebut dibuktikan dengan ketegasannya untuk mengakhiri pernikahan dengan suami yang diketahuinya telah berselingkuh. Begitu pula halnya dengan tokoh Sri dalam Pada Sebuah Kapal. Selain Lanjutan tabel 1 Universitas Sumatera Utara itu, tokoh Hiroko pada novel Namaku Hiroko juga mencoba memberontak dan ingin melepaskan diri terhadap laki-laki yang ingin memilikinya. Sedangkan tokoh Karmila pada novel Karmila mencoba untuk bersikap tegas dengan tidak ingin menikah secara hukum agama dengan laki-laki yang telah memerkosanya. Beragam tindakan yang terlihat pada ucapan-ucapan serta perilaku yang berujung pada ketegasan tokoh-tokoh perempuan memberikan kesimpulan bahwa tokoh-tokoh perempuan pada Angkatan ini mulai berani untuk mengekspresikan diri dan seolah tidak ingin harga dirinya diinjak-injak oleh laki-laki. Meski demikian, para perempuan di Angkatan 1970 ini boleh dikatakan lebih lunak apabila dibandingkan dengan tokoh perempuan di Angkatan 2000. Kelunakan sikap ini misalnya dapat dilihat pada tokoh Karmila yang pada akhirnya dikisahkan menikah dan hidup bahagia dengan Feisal yang pada awalnya tidak dicintai Karmila. Selain itu diceritakan pula bahwa tokoh-tokoh perempuan di Angkatan 1970 ini sudah menikah kecuali tokoh Hiroko pada novel Namaku Hiroko. Tokoh ini menjalin hubungan dengan beberapa laki-laki, namun hingga di akhir cerita, Hiroko tidak pernah menikah meski sudah memiliki anak dari hubungan dengan kekasihnya. Pada tokoh-tokoh perempuan di Angkatan 1970, memang ditemukan tindakan menyanggah, memengaruhi, menggugat, dan aktivitas seksual seperti yang disebutkan pada tabel di atas, namun hal tersebut dapat dikatakan tidak terlalu menonjol. Jika ada tokoh-tokoh perempuan yang mencoba menggugat dan memengaruhi, biasanya dilakukan oleh tokoh yang dekat dengan sang tokoh utama. Misalnya teman tokoh perempuan yang tidak tega melihat ketidakadilan yang Universitas Sumatera Utara dialami oleh tokoh perempuan tersebut. Contoh konkretnya dapat dilihat pada salah seorang tokoh perempuan dari novel Perempuan Kedua yang bernama Dora. Dora merupakan teman sang tokoh utama, Rani, yang telah dikhianati suaminya. Dora begitu marah dan tidak bisa menerima temannya diperlakukan demikian. Berbagai tindakan pun dilakukannya agar Rani memilih jalan hidup sesuai dengan apa yang disarankan Dora. Begitu pula dengan tokoh Sri atau Hiroko dalam novel Pada Sebuah Kapal dan Namaku Hiroko. Meski pada awal-awal cerita para tokoh perempuan ini dikisahkan cenderung pasrah dan menurut, namun di tengah hingga akhir cerita, tindakan tokoh-tokoh tersebut begitu ekspresif pada tokoh laki-laki yang telah menindas hak-hak mereka. Berdasarkan tabel yang tertera di atas, pada Angkatan 1970, tindakan menyanggah ditemukan ada empat novel. Tindakan memengaruhi lebih banyak lagi yaitu terdapat dalam 6 novel. Sedangkan tindakan menggugat dan aktivitas seksual masing-masing empat dan tiga novel. Adapun pada Angkatan 2000 kesemua tindakan yang ada pada tabel dapat ditemukan pada setiap novel yang mewakili angkatan tersebut. Berkaitan dengan tindakan yang dilakukan tokoh perempuan Angkatan 2000 ternyata bisa dikatakan lebih berani dibandingkan apa yang telah dilakukan tokoh- tokoh perempuan di Angkatan 1970, terlebih ketika menggambarkan aktivitas seksual yang dilakukan oleh tokohnya. Pada Angkatan 1970, pelukisan tentang aktivitas seksual tidak seterbuka pada Angkatan 2000. Dari enam novel yang menjadi data pada Angkatan 1970, hanya ada tiga novel yang memasukkan unsur seksualitas Universitas Sumatera Utara dalam cerita, yaitu dalam Perempuan Kedua, Namaku Hiroko, dan Pada Sebuah Kapal. Adapun pada Angkatan 2000, kesemua novel melakukan tindakan seperti yang tersebut dalam tabel di atas tidak terkecuali juga memasukkan unsur seksualitas dalam cerita. Pada Angkatan 2000, tokoh-tokoh perempuan dari ketujuh novel yang mewakili, ditemukan telah melakukan tindakan-tindakan seperti yang dijelaskan dalam tabel di atas. Dalam Angkatan Reformasi ini semua data yang mewakili memasukkan adegan seksualitas dengan versinya masing-masing.

4.2 Konteks