Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000

(1)

IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA

ANGKATAN 1970 DAN ANGKATAN 2000

TESIS

Oleh

KIKI AMELIA

077009012/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA

ANGKATAN 1970 DAN ANGKATAN 2000

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

KIKI AMELIA

077009012/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA

ANGKATAN 1970 DAN ANGKATAN 2000

Nama Mahasiswa : Kiki Amelia Nomor Pokok : 077009012 Program Studi : Linguistik

Konsentrasi : Analisis Wacana Kesusastraan

Menyetujui, Komisi Pembimbing,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 30 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D Anggota : 1. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.

2. Prof. Ahmad Samin Siregar, S.S. 3. Dra. Pujiati, Ph.D


(5)

ABSTRAK

Ideologi feminisme merupakan ideologi yang sudah berkembang di berbagai belahan dunia, temasuk di Indonesia. Ideologi ini juga telah memasuki ruang-ruang kehidupan, tidak terkecuali dalam karya sastra.

Penelitian tesis ini membicarakan ideologi yang terdapat dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 serta berbagai faktor yang melatarbelakangi pergeseran ideologi tersebut. Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori analisis wacana kritis dan kritik sastra feminis. Adapun metode penelitian digunakan metode kualitatif.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ideologi feminisme dalam karya sastra tersebut meliputi tindakan tokoh perempuan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi. Sedangkan faktor pendidikan, status sosial ekonomi, politik, budaya, serta agama ditemukan menjadi faktor-faktor yang melatarbelakangi pergeseran ideologi feminisme tersebut.


(6)

ABSTRACT

The feminism ideology was developing in all parts of the world including Indonesia. This Ideology has penetrated the aspects of life, including the literary works.

This thesis deals with the ideology contained in literary works of 1970 and 2000 and some factors underlying the ideological shifts. The theory used in this reseach was critical discourse analysis and feminist literary criticism. This research method used the qualitative method.

The results of research indicates that feminism ideology in literary works include the figures of women, context, history, power, and ideology. However the factors of education, socioeconomic status, political, cultural and religion have been found to be factors underlying the feminism ideology shifts.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirrabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan sekalian alam, Allah SWT. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW. Tesis ini berjudul Ideologi Feminisme dalam Karya Sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik, Konsentrasi Analisis Wacana Kesusasteraan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Tidak lupa penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D selaku pembimbing I yang selalu memberikan masukan berharga dan juga kepada Bapak Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si yang telah bersedia menjadi pembimbing II yang selalu sabar dan telaten dalam membimbing penyusunan tesis ini.

Dalam penulisan tesis ini, penulis menyatakan bertanggung jawab atas isi yang terdapat di dalamnya serta dengan tangan terbuka menerima kritik, saran, dan berbagai masukan yang membangun dari berbagai pihak. Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Penulis,

Kiki Amelia 077009012


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah karena atas karunia-Nya serta bantuan dari berbagai pihak akhirnya tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H., Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana. 3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. selaku Ketua Program Studi Linguistik

Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara sekaligus dosen pembimbing I yang telah banyak memberikan masukan dan nasihat yang berharga bagi penilis. 4. Bapak Drs. Umar Mono, M. Hum. selaku Sekretaris Program Studi Linguistik

Sekolah Pascasarjana yang selalu memberikan kemudahan dan masukan-masukan berharga.

5. Bapak Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si selaku pembimbing II yang selalu menyediakan waktu, meminjamkan bahan-bahan rujukan untuk penyusunan tesis, serta memberikan kritik dan saran yang berarti selama proses penyusunan tesis ini.

6. Bapak Rabullah, S.H. selaku staf di Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu penulis dalam urusan administrasi.

7. Seluruh dosen pada Program Studi Linguistik Konsentrasi Analisis Wacana Kesusasteraan yang telah memberikan ilmu yang berguna selama masa perkuliah berlangsung.

8. Ayahanda tersayang, Alm. Ahmad Fuad dan Ibunda tercinta, Hj. Nazad Farida yang selalu memberikan dukungan serta telah banyak berkorban demi penulis. Kepada ayah dan ibu pula tesis ini penulis persembahkan.

9. Saudara-saudara yang sangat penulis kasihi, Kakanda Syahril Fuad beserta kak Eby Suryani Rizki dan Kakanda Harun Al Rasyid beserta kak Maimuni Astuti.


(9)

Kepada para keponakan yang lucu-lucu, Nadia Shafira Fuad, Hafidza Yumna Al Khansa, M. Gibran Al Fathir, dan Syaamil Al Rasyid.

10. Teristimewa untuk suami terkasih, Irsan Bastari, S.T. sang belahan jiwa yang selalu memberikan cinta dan kasih sayang tulus serta dukungan bagi penulis yang menjadikan hidup lebih berarti.

11. Sahabat-sahabat mahasiswa Program Studi Linguistik Angkatan 2007, Muharrina, Kak Rosliani, Kak Zuraidah, Putri Nst., Kak Lela, Kak Kamalia, Halimah, Nur Chalida, Andi, Muhajir, Yeni, Juli, Bu Roswani, Bu Rosita, Bu Erma, Kak Tina, Bang Rahmat, Bang Rudi, Bang Ramlan, Bang Elisten, Bang Yunus, Bang Kadir, Pak Jamorlan, Pak Amhar, dan Pak Gustaf.

12. Seluruh staf di Program Studi Liguistik, Kak Nila, Kak Karyani, Puput yang selalu membantu para mahasiswa dalam berbagai urusan.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang tidak disebut namanya namun turut membantu penulis dalam penyusunan tesis ini.

Medan, Juli 2009 Penulis,

Kiki Amelia 077009012


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Kiki Amelia

Tempat/Tanggal Lahir : Tanjungbalai/05 Maret 1981 Agama : Islam

Status : Belum menikah

Hobi : Membaca, mendengarkan musik Nama Orangtua : Alm. Ahmad Fuad.

Alamat : Jl. Jamin Ginting Gg. Sarmin No. 57, Medan No. Telepon : 08126309466

Pekerjaan : Staf pengajar SMA Dr. Wahidin Sudirohusodo, Medan.

RIWAYAT PENDIDIKAN

Tahun 1987-1994 : SD Negeri 14, Tanjungbalai Tahun 1994-1996 : SMP Negeri 1, Tanjungbalai Tahun 1996-1999 : SMA Negeri 1, Tanjungbalai

Tahun 1999-2003 : S1 Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, USU, Medan.

Tahun 2004-2005 : Akta IV, Fakultas Ilmu Pendidikan, UNIMED, Medan.

Tahun 2007-2009 : S2 Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana USU.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Batasan Masalah ... 11

1.4 Tujuan Penelitian ... 12

1.5 Manfaat Penelitian ... 12

1.5.1 Manfaat Teoretis ... 12

1.5.2 Manfaat Praktis ... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI... 14

2.1 Kajian Pustaka ... 14

2.2 Konsep ... 16

2.2.1 Ideologi Feminisme... 16

2.2.2 Angkatan Sastra ... 22

2.2.3 Novel ... 27

2.3 Landasan Teori ... 28

2.3.1 Teori Analisis Wacana Kritis ... 29


(12)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 35

3.1 Metodologi ... 35

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 35

3.3 Teknik Analisis Data ... 36

3.4 Teknik Penyajian Analisis Data ... 37

3.5 Sumber Data ... 38

BAB IV IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA ANGKATAN 1970 DAN ANGKATAN 2000 ... 40

4.1 Tindakan ... 40

4.2 Konteks ... 53

4.3 Historis ... 62

4.4 Kekuasaan ... 73

4.5 Ideologi ... 84

BAB V FAKTOR-FAKTOR PERGESERAN IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA ANGKATAN 1970 DAN ANGKATAN 2000 ... 104

5.1 Faktor Pendidikan ... 104

5.2 Faktor Status Sosial Ekonomi ... 109

5.3 Faktor Politik (Kekuasaan) ... 111

5.4 Faktor Budaya ... 113

5.5 Faktor Agama ... 116

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN... 124

6.1 Simpulan ... 124

6.2 Saran ... 126


(13)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1. Tindakan Tokoh-Tokoh Perempuan ... 49

2. Konteks yang Memengaruhi ... 59

3. Konteks Historis ... 71

4. Aspek Kekuasaan ... 82

5. Tipologi Ideologi Feminisme ... 100


(14)

ABSTRAK

Ideologi feminisme merupakan ideologi yang sudah berkembang di berbagai belahan dunia, temasuk di Indonesia. Ideologi ini juga telah memasuki ruang-ruang kehidupan, tidak terkecuali dalam karya sastra.

Penelitian tesis ini membicarakan ideologi yang terdapat dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 serta berbagai faktor yang melatarbelakangi pergeseran ideologi tersebut. Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori analisis wacana kritis dan kritik sastra feminis. Adapun metode penelitian digunakan metode kualitatif.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ideologi feminisme dalam karya sastra tersebut meliputi tindakan tokoh perempuan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi. Sedangkan faktor pendidikan, status sosial ekonomi, politik, budaya, serta agama ditemukan menjadi faktor-faktor yang melatarbelakangi pergeseran ideologi feminisme tersebut.


(15)

ABSTRACT

The feminism ideology was developing in all parts of the world including Indonesia. This Ideology has penetrated the aspects of life, including the literary works.

This thesis deals with the ideology contained in literary works of 1970 and 2000 and some factors underlying the ideological shifts. The theory used in this reseach was critical discourse analysis and feminist literary criticism. This research method used the qualitative method.

The results of research indicates that feminism ideology in literary works include the figures of women, context, history, power, and ideology. However the factors of education, socioeconomic status, political, cultural and religion have been found to be factors underlying the feminism ideology shifts.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Suatu karya sastra pada dasarnya merupakan hasil pemikiran dan perenungan pengarang terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di dunia nyata. Tentu saja karya sastra yang dihasilkan tersebut tidak terlepas dari kondisi sosial budaya yang melatarbelakanginya. Sebagai anggota masyarakat, pengarang tentu memiliki pendapat tersendiri mengenai situasi dan masalah yang terjadi di lingkungannya. Berbagai pendapat dan pengalaman tentang kehidupan kemudian dimaknai lalu dituangkan dalam bentuk karya sastra yang tentunya sudah dibumbui dengan peristiwa imajinatif dan kreatif dari sang pengarang.

Pencerapan keadaan sosial melalui karya sastra merupakan hal yang harus diperhatikan pengarang, sebab ia menulis sebuah tulisan yang diciptakan berdasarkan peristiwa faktual kemudian digubah ke dalam bentuk yang bersifat imajinasi. Hal ini sesuai dengan fungsi karya sastra yaitu berguna dan memberikan hiburan bagi pembaca (utile dan dulce).

Begitupun ketika di berbagai belahan dunia terjadi arus gelombang perlawanan, khususnya ketika terjadi pemberontakan terhadap sistem patriarki yang dipelopori kaum feminis ramai dibicarakan. Tidak mengherankan sejak masa kelahirannya hingga kini, pembicaraan mengenai wacana perempuan seolah tidak pernah habis digali. Dalam berbagai wilayah kehidupan baik sosial, politik, ekonomi,


(17)

agama, maupun budaya, posisi perempuan selalu dan masih saja dimarjinalkan dibawah dominasi superioritas kaum laki-laki. Kondisi yang telah mapan inilah yang hendak diubah oleh para aktivis perempuan yang merasa peduli dengan nasib kaum sesamanya yang pada akhirnya memunculkan gerakan feminisme.

Feminisme muncul sebagai upaya perlawanan dan pemberontakan atas berbagai kontrol dan dominasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan yang dilakukan selama berabad-berabad lamanya. Gerakan feminisme ini pada awalnya berasal dari asumsi yang selama ini dipahami bahwa perempuan bisa ditindas dan dieksploitasi dan dianggap makluk kelas dua. Maka feminisme diyakini merupakan langkah untuk mengakhiri penindasan tersebut (Fakih, 2004:99).

Asal pemikiran feminisme ini sebenarnya berasal dari Prancis, yaitu ketika terjadi revolusi Prancis dan masa pencerahan di Eropa Barat. Berbagai perubahan sosial besar-besaran tersebut turut pula memunculkan argumen-argumen politik maupun moral. Hal ini berdampak pada pemutusan ikatan-ikatan dan norma-norma tradisional (Ollenburger dan Helen, 2002: 21). Meskipun pemikiran feminisme ini bersumber dari negeri menara Eiffel tersebut, namun gerakannya sangat gencar dilakukan di Amerika. Feminisme sebenarnya diakibatkan ketidakpuasan kaum perempuan terhadap sistem patriarki yang dirasakan telah lama menindas hak-hak perempuan.

Pada tahun 1776 ketika Amerika memproklamasikan kemerdekaannya, telah menyebut “all men are created equal”. Padahal masyarakat dunia telah menjadikan Amerika sebagai barometer keadilan dan kebebasan hak asasi manusia. Mereka selalu


(18)

mendengung-dengungkan persamaan derajat di antara manusia, namun sayangnya hal tersebut tidak dialami oleh kaum perempuan. Hal yang sama berlaku pula pada masyarakat yang berkulit hitam. Masyarakat kulit putih sangat memandang rendah kaum kulit hitam yang kebanyakan imigran dari Afrika.

Deklarasi yang telah diproklamasikan tersebut mengakibatkan kekecewaan dan kemarahan dari kaum perempuan yang merasa tidak dihargai (Sikana, 2007: 321). Untuk menandingi deklarasi kemerdekaan Amerika sebelumnya, maka pada tahun 1848 kaum feminis menyebut “all men and women are created equal”. Kalimat tersebut dapat dikatakan versi lain dari deklarasi kemerdekaan Amerika sebelumnya yang dirasakan tidak adil oleh kaum perempuan (Djajanegara, 2000:1). Selain itu ada juga yang lebih menekankan bahwa gerakan feminisme lebih pada gerakan politik seperti yang dinyatakan oleh Moi (1991: 204), “Feminism are political labels indicating support for the aims of the new women’s movement…” (“Feminisme merupakan gerakan yang bemuatan politis yang menunjukkan dukungan untuk tujuan pergerakan perempuan yang baru…”).

Menurut Djajanegara (2000: 1-4), ada beberapa aspek yang turut memengaruhi terjadinya gerakan feminisme, yaitu aspek politik seperti yang telah disebut sebelumnya, yaitu ketika kaum perempuan merasa tidak dianggap oleh pemerintah. Begitu pula tatkala kepentingan-kepentingan kaum perempuan yang berkaitan dengan politik diabaikan. Lalu ada pula aspek agama serta aspek ideologi. Dari aspek agama disebutkan bahwa kaum feminis menuding pihak gereja bertanggung jawab atas doktrin-doktrin yang menyebabkan posisi perempuan di


(19)

bawah hegemoni kaum laki-laki. Ajaran gereja juga berpendapat bahwa kaum perempuan mewarisi Original Sin atau dikenal dengan Dosa Turunan yang menyebabkan manusia terusir dari surga hingga terlempar ke bumi. Bahkan kaum Yahudi kuno secara lugas selalu mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena tidak dilahirkan sebagai seorang perempuan (Sikana, 2007: 321).

Aspek ketiga yang memengaruhi gerakan feminisme yaitu aspek ideologi. Konsep di kalangan sosialisme menunjukkan adanya stratifikasi jender yang juga menjadi ciri khas masyarakat patriarkis. Perempuan mewakili kaum proletar atau kaum tertindas, sedangkan laki-laki disamakan dengan kaum borjuis atau kelas penindas. Selain itu dalam konsep sosialisme ini, perempuan dianggap tidak memiliki nilai ekonomis karena pekerjaan mereka hanya mengurus urusan domestik rumah tangga.

Pemikiran tentang gerakan pembebasan perempuan ini turut pula berimbas pada berbagai ranah kehidupan sosial, politik, budaya, dan termasuk karya sastra yang notabene merupakan salah satu wujud kebudayaan. Hal ini dapat dimaklumi karena sebuah karya sastra bisa dikatakan wadah untuk menanggapi berbagai peristiwa yang berkecamuk dalam kehidupan nyata yang sekaligus sebagai kritik sosial dari sang pengarang. Seperti yang dikemukakan oleh Wellek dan Austin (1989: 109), “… sastra menyajikan kehidupan, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karya sastra juga meniru alam dan subjektif manusia”.

Dalam karya sastra dunia telah diketahui bahwa banyak tokoh yang menggunakan media sastra untuk melakukan perlawanan terhadap budaya patriarki


(20)

yang selama ini dirasa telah mengungkung keberadaan perempuan di berbagai aspek kehidupan. Sebut saja Virginia Woolf seorang pengkritik sekaligus penulis yang selalu menuliskan karya-karya yang beraroma feminis. Salah satu karyanya berjudul A Room of One’s Own yang berbicara tentang perang dan perasaan perempuan (Arivia, 2006:164). Perempuan lain seperti Alice Walker, penulis feminis kulit hitam pemenang Pulitzer Prize yaitu penghargaan di bidang jurnalisme untuk bukunya The Color Purple. Pesan inti kedua karya ini setali tiga uang bahwa perempuan memiliki hak dan kebebasan atas dirinya. Orang lain, siapa pun itu, tidak berhak untuk memaksa perempuan melakukan apa yang tidak diinginkannya.

Demikian pula halnya yang terjadi pada karya sastra Indonesia. Sejak masa kelahirannya di awal tahun 1920-an atau yang dikenal dengan Angkatan Balai Pustaka, para pengarang yang didominasi oleh laki-laki banyak menciptakan karya-karya yang umumnya menceritakan kehidupan tokoh perempuan. Para tokoh perempuan ini selalu mengalami penderitaan yang sebagian besar dikarenakan ketidakberdayaan mereka terhadap aturan-aturan tradisi yang telah melekat erat pada sebagian besar masyarakat di Indonesia. Kelemahan ini bahkan tidak jarang berujung pada kematian. Meskipun ada beberapa karya sastra yang mulai menunjukkan emansipasi perempuan seperti karya Sutan Takdir Alisyahbana pada tahun 1930-an yaitu pada novel Layar Terkembang yang mulai membangkitkan semangat dengan menyadarkan para perempuan yang selama ini mengalami ketertindasan.

Memasuki dekade 1970-an pengarang perempuan mulai menjejali ranah sastra. Kebanyakan dari mereka mulai menulis novel. Hal ini ditandai dengan


(21)

lahirnya novel-novel yang menghadirkan tokoh–tokoh perempuan yang tidak lagi digambarkan sebagai makluk yang lemah dan pasrah pada keadaan. Para tokoh perempuan dituliskan menjadi pribadi yang kuat, memiliki pendirian, bahkan berani menyuarakan sikapnya meskipun masih terdapat juga penggambaran perempuan yang bersifat lemah dalam menghadapi berbagai permasalahan. Kemunculan para pengarang perempuan di tahun 1970-an yang mengusung novel-novel populer tentu dipengaruhi oleh budaya populer yang berkembang pada waktu itu. Di antara karya-karya pengarang perempuan yang sangat dikenal pada tahun 1970-an, seperti Karmila yang diusung Marga T, Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini, Kabut Sutra Ungu yang ditulis Ike Soepomo, Selembut Bunga ciptaan Aryanti. Di samping itu para pengarang perempuan lain yang cukup dikenal di tahun 1970-an adalah Titi Said, Titis Basino, Sariamin, S. Rukiah , La Rose, Maria A. Sarjono, Marianne Katoppo, dan masih banyak yang lain. Ramainya para pengarang perempuan yang mewarnai khazanah kesusasteraan Indonesia dikarenakan pemikiran bahwa perempuan tentu lebih memahami kondisi perasaan yang dialami oleh kaumnya selain tentunya alasan komersil dan desakan dari penerbit untuk menerbitkan karya-karya mereka. Hal tersebut dapat dimaklumi sebab pada masa itu masyarakat sangat menyukai karya-karya mereka karena dirasa lebih menyentuh perasaan perempuan, baik remaja maupun yang dewasa.

Meskipun di satu sisi pada tahun 1970-an perkembangan sastra Indonesia digemilangkan karya-karya eksperimental dari sastrawan laki-laki seperti karya-karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya maupun Sutardji Calzoum Bachri, namun di sisi lain


(22)

tidak menyurutkan semangat pengarang perempuan memeriahkan jagat kesusastraan Indonesia. Terbukti karya-karya pengarang perempuan ini selalu menjadi pembicaraan di kalangan pembaca, kritikus, dan pengamat sastra terlepas dari polemik mengenai sastra serius dan sastra populer.

Apabila dibandingkan dengan Angkatan 1970, maka apa yang dilakukan oleh pengarang perempuan Angkatan 2000 telah mengalami lompatan yang cukup jauh. Meskipun masih menyuarakan isu-isu ketertindasan perempuan, dalam Angkatan 2000 umumnya pesan ideologi feminisme yang disampaikan tidak sampai menceramahi dan terkesan memarahi pembaca. Terkadang hanya dengan isyarat tubuh dan tanpa banyak kata seorang tokoh perempuan dapat dengan mudahnya mengalahkan laki-laki dalam berbagai bidang, tidak terkecuali dalam hubungan seksual seperti yang berkembang pada karya sastra sekarang yakni di tahun 2000-an. Di masa sekarang, khususnya setelah terjadi reformasi pada medio 1998, karya-karya pengarang perempuan juga lebih berani dan terbuka dalam bersikap.

Perihal seksualitas yang selalu diungkapkan dalam banyak karya sastra pengarang perempuan Angkatan 2000 menjadi perdebatan hangat di kalangan sastrawan, kritikus, dan pembaca sastra pada umumnya. Ada yang memaklumi karena hal tersebut bagian dari kehidupan yang jamak terjadi dalam kehidupan nyata dan tidak perlu ditutup-tutupi. Sebagian lain kurang menyetujui karena dianggap karya-karya yang vulgar dengan mengatasnamakan seni. Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, misalnya. Mereka contoh para pengarang perempuan dari Angkatan 2000 yang selalu merepresentasikan kehidupan seksualitas tokoh-tokohnya. Permasalahan yang


(23)

berbau seksualitas yang terkadang dilukiskan secara gamblang dan tanpa tedeng aling-aling sebenarnya hanya salah satu dari sekian banyak masalah yang ingin disampaikan para penulis feminis.

Permasalahan kehidupan sosial, politik, dan budaya sepertinya juga ingin dikemukakan oleh mereka, sebut saja Helvy Tiana Rosa, misalnya. Pengarang yang juga termasuk dalam sastrawan Angkatan 2000 ini sangat menjaga jarak dengan tema-tema seputar aktivitas seksualitas seperti yang banyak ditulis oleh pengarang-pengarang perempuan masa kini. Sebaliknya Helvy selalu menampilkan tokoh-tokoh perempuan dari berbagai belahan dunia yang berjiwa kuat, relijius, dan tegar dalam menghadapi berbagai cobaan kehidupan. Contohnya seperti yang banyak diutarakan dalam kumpulan cerpennya Lelaki Kabut dan Boneka. Begitupun dengan pengarang lain, seperti Abidah El Khalieqy. Pengarang yang juga mantan santriwati pada salah satu pesantren di Jawa Timur ini banyak menciptakan tokoh-tokoh perempuan yang berjiwa pemberani dan pemberontak terhadap aturan-aturan yang dirasakan tidak adil bagi perempuan serta tidak ingin kaum perempuan menjadi makluk yang pasrah terhadap keadaan yang menimpa yang mengakibatkan mereka menjadi kaum yang terpinggirkan.

Hal ini tentu agak berbeda jika mengamati karya-karya pengarang perempuan pada Angkatan 1970. Perbedaan itu dikarenakan telah terjadi pergeseran konsep ideologi feminisme yang terjadi di antara kedua angkatan tersebut. Kalimat-kalimat yang digunakan pengarang dalam karya-karya kedua angkatan yang berbeda beberapa dekade itu menjadi salah satu pergeseran nilai yang terjadi. Pola pemikiran yang


(24)

semakin maju dan mengglobal dari para pengarang perempuan turut memengaruhi mereka dalam memilih dan menggunakan kata demi kata serta kalimat demi kalimat. Bahasa perempuan yang diutarakan tentu memiliki nuansa yang berbeda dengan apa yang dibahasakan oleh pengarang laki-laki. Bahkan penulis perempuan Virginia Woolf melalui Arivia, (2006:113) mengatakan, “Kalimat-kalimat perempuan berbeda dengan kalimat laki-laki”. Kalimat perempuan lebih mencerminkan konservatisme, prestise, mobilitas, keterkaitan, sensitivitas, solidaritas, dan sejenisnya (Sinar, 2004: 3).

Seiring dengan arus globalisasi dunia di samping pendidikan pengarang perempuan masa kini yang semakin tinggi membuat para pengarang perempuan tersebut semakin maju pola pikirnya. Tentu saja hal tersebut turut memengaruhi cara mereka menyuarakan isu-isu ketertindasan perempuan. Karya-karya mereka menurut banyak kalangan pemerhati sastra, dirasakan telah berhasil mendobrak keterkungkungan perempuan dan nilai-nilai patriarkis melalui ekspresi dan gaya bahasa yang digunakan. Mengenai penggambaran seksualitas yang demikian terbuka, mengindikasikan kekuatan yang ingin ditampilkan oleh para pengarang perempuan tersebut. Hal tersebut juga bisa dilihat dari kehidupan nyata. Sangat banyak kaum laki-laki takluk dan tidak berdaya menahan godaaan dan bisikan dari kaum perempuan. Meski banyak mendapatkan kritikan dari pengamat sastra karena banyak mendeskripsikan aktivitas seksualitas, tidak membuat para pengarang feminis ini risih karena mereka beranggapan bahwa hal tersebut sebenarnya merupakan simbol kedigdayaan perempuan.


(25)

Hal yang menyebabkan pergeseran ideologi feminisme antara kedua angkatan tersebut di antaranya karena perjuangan kaum perempuan masa kini yang ingin benar-benar dihargai sebagai perempuan dan tidak ingin dijadikan makluk kelas dua yang terpinggirkan. Mereka memiliki kemampuan untuk mandiri meski terkadang tanpa ada dukungan dari laki-laki. Agak berbeda jika dibandingkan dengan pemikiran dan perjuangan kaum feminis di tahun 1970-an yang belum seterbuka dan seberani kaum feminis sekarang.

Mengingat telah terjadi pergeseran ideologi feminisme pada karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000, maka penulis mencoba untuk mengkaji masalah yang berkaitan dengan hal yang telah disebutkan di atas. Dalam penelitian ini penulis akan meneliti ideologi feminisme khususnya karya-karya pengarang perempuan pada Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.

1.2 Rumusan Masalah

Secara garis besar pemasalahan yang ingin dikemukakan dalam penelitian ini adalah idelogi feminisme yang terdapat dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. Adapun masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah ideologi feminisme yang terdapat dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000?

2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pergeseran konsep ideologi feminisme dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000?


(26)

1.3 Batasan Masalah

Mengingat begitu banyak karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000, maka permasalahan yang akan dikaji pada penelitian ini dibatasi hanya ideologi feminisme dalam karya-karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 yang ditulis oleh pengarang perempuan. Karya-karya sastra tersebut berbentuk karya sastra prosa, yaitu novel.

Adapun judul-judul novel yang mewakili Angkatan 1970 adalah: 1. Karmila karya Marga T.

2. Bukan Impian Semusim (BIS) karya Marga T. 3. Namaku Hiroko (NH) karya Nh. Dini.

4. Pada Sebuah Kapal (PSK) karya Nh. Dini. 5. Perempuan Kedua (PK) karya Mira W

6. Melati di Musim Kemarau (MdMK) karya Maria A. Sardjono.

Sedangkan judul-judul novel yang dianggap mewakili pengarang perempuan Angkatan 2000 adalah:

1. Larung karya Ayu Utami 2. Saman karya Ayu Utami

3. Perempuan Berkalung Sorban (PBS) karya Abidah El Khalieqy. 4. Geni Jora (GJ) karya Abidah El Khalieqy.

5. Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh (KPBJ) karya Abidah El Khalieqy. 6. Supernova: Akar karya Dewi ”Dee” Lestari


(27)

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk:

1. Menguraikan ideologi feminisme yang terdapat dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.

2. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran konsep ideologi feminisme karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk: 1. Memperkaya kajian yang menerapkan teori analisis wacana kritis dan kritik

sastra feminis dalam karya sastra, khususnya karya sastra pengarang perempuan Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.

2. Menjadi model dalam pengungkapan ideologi feminisme dalam karya sastra serta dapat menjadi referensi bagi penelitian sastra mengenai adanya ideologi feminisme yang terdapat dalam novel Karmila dan Bukan Impian Semusim (BIS) karya Marga T, Namaku Hiroko (NH) dan Pada Sebuah Kapal (PSK) dari Nh. Dini, Perempuan Kedua(PK) karya Mira W serta Melati di Musim Kemarau (MdMK) dari Maria A. Sardjono yang mewakili Angkatan 1970 dan novel Larung dan Saman dari Ayu Utami, Perempuan Berkalung Sorban (PBS) dan Geni Jora (GJ) karya Abidah El Khalieqy, Supernova: Ksatria,


(28)

Puteri, dan Bintang Jatuh (KPBJ) dan Supernova: Akar karya Dewi ”Dee” Lestari, Nayla dari Djenar Maesa Ayu yang mewakili Angkatan 2000.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk:

1. Memberikan informasi kepada masyarakat pembaca tentang ideologi feminisme dalam karya sastra pengarang perempuan Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.

2. Sebagai perbandingan dan acuan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan ideologi feminisme dalam karya sastra Indonesia, khususnya pada karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.


(29)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian mengenai ideologi feminisme dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 sepanjang penulis ketahui belum ada. Namun penelitian-penelitian mengenai feminisme dalam karya sastra cukup sering ditemukan. Di antaranya adalah (1) Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan pada tahun 2007 secara bersama-sama pernah mengulas yang mempraktikkan kritik sastra feminis dalam penelitian mereka terhadap novel Nyai Dasima. Dalam penelitian mereka tersebut yang ditekankan adalah pemasalahan jender dan perempuan yang menjadi kaum inferioritas. Adapun judul penelitian tersebut adalah Gender dan Inferioritas Perempuan: Praktik Kritik Sastra Feminis. (2) Penelitian lain juga pernah dilakukan oleh Suyono Suratno pada tahun 2000. Beliau mengkaji novel Nh. Dini yang berjudul La Barka. Judul penelitian yang dipilih Suyono yaitu Ideologi Gender dan Refleksi Semangat Feminis: Catatan Novel La Barka yang terefleksi di dalam novel tersebut. Penelitian ini juga melakukan pendekatan kritik sastra feminis. (3) Selain itu penelitian tentang analisis kritik sastra feminis juga dilakukan oleh Nurelide di tahun 2005. Novel Perempuan di Titik Nol menjadi bahan kajian Nurelide yang bertajuk Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan dalam Perempuan di Titik Nol (Woman At Point Zero) Karya Nawal El Saadawi. (4) Penelitian kritik sastra feminis tentang Citra Dominasi Laki-Laki atas Perempuan dalam Saman pernah pula dilakukan oleh


(30)

Sugihastuti pada tahun 2000. Penelitian ini memfokuskan pada citra atau gambaran dominasi yang dilakukan laki-laki atas perempuan. Dominasi yang digambarkan tersebut diimbangi dengan tema penolakan atas dominasi laki-laki tersebut. (5) Jurnal mengenai kritik sastra feminis lainnya pernah pula dilakukan oleh Muhammad Nur Latif pada tahun 2006. Pada penelitiannya yang berjudul Analisis Kritik Sastra Arab Karya Nawal El Sadaawi, dosen jurusan Sastra Asia Barat Universitas Hasanuddin ini menekankan bahwa fenomena yang terjadi dalam masyarakat, tidak terkecuali masyarakat Arab yang selalu dituding sering memperlakukan perempuan dengan tidak adil dan sewenang-wenang dengan dalih ajaran agama. Hal ini sebenarnya bukanlah bagian dari tuntunan syariat Islam. Islam justru membela dan mengakui hak-hak perempuan serta memperbaiki kedudukan mereka. (6) Adapun Rahimah Haji A. Hamid, seorang guru besar sastra di Universitas Sains Malaysia pernah membahas masalah feminisme dalam karya sastra pada tahun 2007. Jurnal ilmiah tersebut berjudul Bahasa Wanita dalam Karya Sastra: Tentangan Terhadap Hegemoni Lelaki. Fokus perhatian dalam jurnal tersebut membandingkan ragam bahasa yang dipergunakan pengarang perempuan Indonesia yaitu Ayu Utami dalam kedua novelnya Saman dan Larung dibandingkan dengan ragam bahasa yang dipergunakan pengarang puisi perempuan Malaysia, Zurinah Hassan.

Berdasarkan beberapa keterangan di atas dapat diketahui bahwa pembicaraan mengenai feminisme cukup banyak, terlebih pada masa sekarang ketika perempuan-perempuan dan juga laki-laki sudah banyak yang peduli tentang kondisi kaum


(31)

perempuan yang masih saja mengalami ketertindasan dan dijadikan objek ketidakadilan.

2.2 Konsep

2.2.1 Ideologi Feminisme

Secara etimologi ideologi berasal dari bahasa yunani yaitu idea yang diartikan sebagai cita-cita; gagasan. Sedangkan logos merupakan ilmu. Jadi dapat disimpulkan bahwa ideologi ilmu tentang gagasan, cita-cita, sistem kepercayaan yang telah ditentukan secara sosial (Ratna, 2008: 370).

Ideologi sangat berkaitan dengan cara pandang hidup seseorang. Menurut Sargent dalam Suryadi (2007:63), ideologi didefinisikan sebagai, ”Sistem nilai atau sistem kepercayaan yang diterima secara nyata atau kebenarannya oleh suatu kelompok”. Demikian pula Santoso (2003: 39) mengungkapkan bahwa, “Ideologi dianggap sebagai nilai-nilai/ norma-norma kultural, pengalaman serta kepercayaan yang dimiliki seseorang dalam melihat fenomena-fenomena sosial di dalam masyarakatnya”. Masih menurut Santoso (2003:40), untuk melihat berbagai fenomena sosial, ideologi dapat menumbuhkan bermacam pikiran mengenai kekuasaan dan dominasi. Apabila suatu kekuasaan ditentang maka ideologi-ideologi dapat berkembang dalam suatu masyarakat.

Sebuah ideologi sebenarnya bukan hanya menunjuk pada hal-hal yang dianggap besar dan mapan seperti ideologi Pancasila, ideologi Liberal, ideologi Sosialis, ideologi Komunis, dan lain-lain, tetapi juga yang terkait dengan


(32)

permasalahan feminisme, keagamaan, paham filosofis tertentu serta termasuk paham tertentu yang hanya diyakini oleh individu tersebut.

Pakar sastra yang berdomisili di Bali, Ratna (2008: 448) mendefinisikan ideologi secara berbeda-beda sesuai dengan berbagai disiplin ilmu. Secara garis besar ideologi merupakan seperangkat kepercayaan, prinsip tertentu yang mengatur suatu masyarakat di dalamnya. Pendapat ini menurut Ratna diungkapkan oleh Antoine Destutt de Tracy pada akhir abad ke 18 kemudian dikembangkan dalam karya-karya Louiss Althusser. Althusser melalui Ratna (2008: 373) juga menghubungkan ideologi dengan bahasa, yaitu sebagai representasi. Ideologi kemudian muncul sebagai representasi suatu masyarakat tertentu. Ideologi tidak hanya sekadar konsep dan gagasan semata, melainkan meluas pada simbol, misalnya: mitos, gaya hidup, selera, mode, media massa serta keseluruhan cara-cara hidup dalam masyarakat (Ratna, 2008: 373). Dengan demikian ideologi berfungsi ibarat semen untuk membuat bangunan yang berfungsi untuk merekatkan dan menyatukan hubungan antarmanusia.

Menurut Fairclough (dalam Jorgensen dan Louise, 2007: 139), ideologi ditafsirkan sebagai konstruksi makna telah memberikan kontribusi bagi produksi, reproduksi dan transformasi, dan hubungan-hubungan dominasi. Maksud pernyataan ini bahwa sebuah ideologi bisa memberikan kontribusi dan upaya untuk mempertahankan serta mentranformasikan hubungan-hubungan kekuasaan.

Ideologi terbesar dari dahulu hingga masa kini dapat dikatakan terjadinya dikotomi antara Barat dan Timur serta orientalisme pada umumnya. Implikasinya, kebudayaan Barat selalu dianggap lebih kuat, tinggi dan bermutu dibandingkan


(33)

dengan hasil cipta dan karsa manusia Timur. Sepertinya masyarakat Timur sudah mengerti bahwa kebudayaan Barat seperti pergaulan dan seks bebas, kapitalisme, perlombaan senjata, hegemoni terhadap negara yang lemah dianggap wajar bagi negara yang sudah maju (Ratna, 2008: 373).

Hubungan ideologi dengan karya sastra tentu tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Di samping bertujuan sebagai hiburan, suatu karya sastra diciptakan karena ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarangnya. Meskipun perlu dicatat bahwa karya sastra bukanlah media yang resmi untuk mengemukakan ideologi, doktrin, atau norma-norma. Hal ini tentu disebabkan sifat karya sastra yang imajinatif meski berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya diambil dari beberapa peristiwa nyata.

Salah satu ideologi yang berkembang di masa sekarang ini adalah feminisme. Feminisme pada dasarnya merupakan gerakan untuk memartabatkan kaum perempuan dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Tuntutan dasar kaum ini sebenarnya adalah persamaan hak antara laki-laki dan perempuan diberbagai sektor kehidupan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ratna (2004:184), feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan dikendalikan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial pada umumnya. Hal yang senada juga dikatakan oleh Arivia (2006: 18) “… feminisme mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang konkret serta mempersoalkan perdebatan jender yang menyebabkan ketidakadilan sosial”. Hampir senada dengan berbagai pengertian feminisme di atas, dalam Alwi, dkk (2005: 315), dikatakan bahwa yang dimaksud


(34)

feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.

Di antara para ahli yang mengategorikan tipologi feminisme, penulis tentu harus memilih yang paling sesuai dengan penelitian ini. Untuk itu pilihan dijatuhkan pada pendapat Agger (2003: 215-230). Beliau membagi feminisme dalam empat jenis, yaitu feminisme liberal, feminisme radikal atau kultural, feminisme sosialis, dan feminisme Africana.

Feminisme liberal merupakan jenis gerakan feminisme yang mencoba memperkuat kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Asumsi dasar feminisme liberal berdasarkan pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality). Tujuan feminis liberal memperjuangkan persoalan masyarakat, yaitu menuntut kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kaum perempuan. Tidak boleh ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Menurut pandangan kaum feminisme liberal, keterbelakangan kaum perempuan dikarenakan kaum ini tidak turut berpartisipasi dalam pembangunan selain sikap yang juga masih berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional.

Perlu diperhatikan bahwa penganut feminisme liberal memandang bahwa pernikahan dan membentuk keluarga merupakan hal yang alami dan wajar. Mereka tidak membenci keluarga sebagaimana kaum feminis radikal. Homoseksualitas juga diyakini sebagi bentuk perilaku yang menyimpang dan tidak alami.

Adapun jenis yang kedua adalah feminisme radikal. Feminisme ini berpandangan bahwa segala penindasan yang terjadi dikarenakan diskriminasi yang


(35)

dilakukan oleh sistem patriarki. Masa feminisme ini mucul sekitar akhir 1960-an dan awal 1970-an. Bagi penganut feminisme radikal ideologi patriarki adalah dasar dari ideologi penindasan. Oleh sebab itu mereka mengkritik keluarga heteroseksis (perempuan berpasangan dengan laki-laki) yang dituding telah menyumbangkan penindasan bagi perempuan. Mereka menganggap bahwa perempuan akan terjebak dengan tanggung jawab dan kewajiban perempuan jika turut dalam heteroseksis tersebut. Hal ini sekaligus mengupayakan wacana homoseksual sehingga pada masa ini dikenal adanya orientasi seksual dengan yang sejenis (lesbian).

Jenis feminisme yang selanjutnya disebut dengan feminisme sosialis. Feminisme jenis ini berpendapat bahwa perempuan tidak akan dapat meraih keadilan sosial tanpa membubarkan patriarki dan kapitalisme. Feminisme sosialis menekankan aspek jender dan ekonomis dalam penindasan atas kaum perempuan. Menurut mereka, selama ini kaum perempuan dianggap menampilkan pelayanan berharga bagi kapitalisme baik sebagai pekerja maupun istri yang tidak menerima upah atas biaya pekerjaan domestik mereka.

Feminisme sosialis menggugat sistem kapitalisme yang mengambil keuntungan dengan menyuruh istri mereka untuk mengasuh anak serta melakukan berbagai pekerjaan rumah. Selain itu, dunia pekerjaan dalam masyarakat telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang lebih rendah dan tentunya dengan upah yang rendah pula.

Jenis feminisme yang keempat disebut dengan feminisme Africana atau Black Feminism. Aliran ini muncul dikarenakan ketidakpercayaan pada aliran-aliran


(36)

feminisme lain. Para feminis kulit hitam keturunan Afrika di Amerika Serikat berpendapat bahwa masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan kulit hitam jauh lebih sulit jika dibandingkan persoalan yang dihadapi oleh kaum perempuan kulit putih. Oleh karena itu mereka mengharapkan adanya perbaikan keadaan diri dari konsep baru dalam feminisme yang menyentuh kehidupan kelam para perempuan kulit hitam.

Dalam mengkaji permasalahan feminisme, ada baiknya memahami terlebih dahulu tentang konsep seks dan konsep jender (Fakih, 2004:7-9). Pengertian seks atau jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Jenis kelamin ini bentuknya permanen dan tidak bisa berubah karena hal tersebut merupakan ketentuan Tuhan atau kodrat dari Yang Mahakuasa.

Sedangkan konsep lainnya adalah konsep jender, yakni sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat secara sosial dan kultural. Contohnya selama ini perempuan dikenal dengan sifat lemah lembut, emosional serta keibuan. Di sisi lain laki-laki dianggap kuat, rasional atau perkasa. Konsep jender ini dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan sifat laki-laki serta dapat berubah dari waktu ke waktu.

Setelah jelas perbedaan antara konsep seks (jenis kelamin) dan jender maka akan muncul pertanyaan mengapa perbedaan jenis kelamin juga menimbulkan perbedaan jender? Hal ini tentu akan mengakibatkan ketidakadilan yang ditimbulkan perbedaan jender dalam masyarakat. Berbagai bentuk ketidakadilan jender yang


(37)

bersumber dari sistem patriarki inilah yang menjadi faktor pendorong lahirnya gerakan feminisme (Fakih, 2004:11-12).

Ketidakadilan yang selalu diterima perempuan dan sering disaksikan dalam kehidupan nyata, misalnya kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun psikologis. Orang yang melakukannya pun selalu orang yang seharusnya menjadi pelindung dan bertanggung jawab pada perempuan tersebut. Orang-orang dekat tersebut bisa saja suami, ayah, atau majikan jika ia seorang pekerja rumah tangga. Contoh lain yang dianggap ketidakadilan untuk perempuan adalah ruang publik yang masih saja didominasi oleh kaum adam karena pencarian ekonomi dilakukan oleh mereka dan kalaupun pada masa sekarang ini sudah banyak perempuan yang beraktivitas di wilayah publik, tetapi selalu saja mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan terutama dari rekan-rekan laki-laki mereka.

2.2.2 Angkatan Sastra

Oleh karena penelitian ini mengkaji masalah ideologi femisme yang dikaitkan dengan angkatan sastra, maka hal yang perlu pula diperhatikan adalah adanya berbagai penafsiran beberapa pihak mengenai angkatan sastra. Terlebih dahulu harus ditinjau kembali pengertian angkatan sastra dari beberapa sastrawan dan pemerhati sastra. Adapun yang dimaksud dengan angkatan sastra menurut Yudiono (2007: 47) ialah sekumpulan sastrawan yang hidup pada satu kurun atau masa yang menempati periode tertentu karena kesamaan atau sekurang-kurangnya memiliki kemiripan ide, gagasan, atau semangat sebagai akibat logis dari interaksi mereka yang hidup


(38)

sezaman. Sedangkan menurut Toer, dkk. melalui Yudiono (2007: 170), “Angkatan adalah suatu golongan yang diikat oleh kesatuan semangat dalam rangkuman tempat, masa, dan lingkungan yang sama”.

Adapun dari pihak Pradopo, dkk. yang pendapat mereka masih dikutip oleh Yudiono (2007:170) memandang bahwa angkatan sastra merupakan bagian waktu yang dibatasi oleh sistem norma kehidupan yang berkaitan dalam proses sejarah. Sementara Lampan (2000: xxxvii) mengatakan bahwa angkatan sastra sebenarnya estafet atau penerus pembaruan yang dilahirkan oleh zaman tentang dinamika suatu zaman.

Menurut Laelasari dan Nurlaila (2006: 34-35), ”Angkatan sastra merupakan generasi; sekelompok orang sezaman (sepaham dan sebagainya); yang diangkat (jabatan, pangkat); kelompok sastrawan yang bertindak sebagai suatu kesatuan yang berpengaruh pada masa tertentu dan secara umum menganut prinsip yang sama untuk mendasari karya sastra”.

Satu angkatan tidak muncul begitu saja karena hitungan tahun atau dasawarsa. Suatu angkatan muncul disebabkan ada yang ingin diungkapkan oleh para seniman dan angkatan yang baru dalam kesenian dengan sendirinya memiliki ciri-ciri khas yang membedakannya dari angkatan-angkatan sebelumnya (Saini:1993: 240).

Masalah angkatan ini sering juga disamakan dengan periodisasi sastra, namun periodisasi lebih menekankan pada pembabakan atau periode yang dikuasai oleh sistem dan norma sastra, standar, serta konvensi sastra yang kemunculannya, keberagamannya, dan kelenyapannya dapat dirunut. Para pakar sastra mencoba untuk


(39)

melakukan pembabakan angkatan yang dimulai dengan lahirnya kesusasteraan Indonesia baru. Di antara yang melakukan hal tersebut sebut saja seperti Pradopo (dalam Yudiono 2007: 48) yaitu Balai Pustaka (1920-1940), Pujangga Baru (1930-1945), Angkatan 45 (1940-1955), Angkatan 50 (1950-1970), dan Angkatan 70 (1965-1984).

Sedangkan secara garis besar Rosidi (1969:13) membagi sejarah kesusasteraan sebagai berikut.

I. Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945 dan terbagi lagi atas beberapa periode, yaitu

1. Periode awal hingga 1933 2. Periode 1933-1942 3. Periode 1942-1945

II. Masa Perkembangan (1945-1968) yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa periode, yaitu

1. Periode 1945-1953 2. Periode 1953-1961 3. Periode 1961-1968.

Pendapat Rachmad Djoko Pradopo dalam Yudiono (2007: 48) mengenai periodisasi sejarah sastra Indonesia dapat pula dijelaskan sebagai berikut:

1. Periode Balai Pustaka : 1920-1940, 2. Periode Pujangga Baru: 1930-1945, 3. Periode Angkatan ‘45: 1940-1955,


(40)

4. Periode Angkatan ‘50: 1950-1970, dan 5. Periode Angkatan ‘70: 1965-1984.

Masih menurut Pradopo yang dikutip Yudiono (2007: 49), memasuki Angkatan 1970 (1965-1984) warna perpolitikan di Indonesia agak bergeser dengan munculnya sastra-sastra yang lebih “ringan” dibaca atau dikenal dengan istilah sastra populer dari angkatan-angkatan yang sebelumnya banyak menceritakan masalah kemasyarakatan ditambah pengaruh-pengaruh dari suasana perpolitikan di Indonesia.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, selain dikenal dengan bermunculannnya sastra populer, pada Angkatan 1970 ini juga ditandai dengan lahirnya karya-karya sastra yang eksperimental dan tidak mudah dicerna oleh semua pembaca. Diperlukan pemahaman serta pemikiran yang mendalam jika ingin menafsirkan makna yang terkandung di dalam karya-karya sastra tersebut. Para sastrawan yang terkenal di era 1970-an ini seperti Putu Wijaya, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Iwan Simatupang.

Perlu diingat kembali bahwa pada masa itu pihak penguasa sangat mengawasi kebebasan para seniman Indonesia, tidak terkecuali pada sastrawan. Karya-karya sastra yang dianggap mengkritik dan berseberangan dengan pemerintah tentu tidak dibiarkan beredar begitu saja. Jika telanjur beredar, pembredelan dan pemberangusan tidak akan terelakkan lagi. Oleh sebab itulah dengan caranya sendiri para sastrawan tersebut ingin mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakannya tentang kondisi sosial budaya dan politik pada waktu itu dan tentunya menggunakan kata-kata yang


(41)

agak kacau dan penuh simbol supaya selamat dari kecaman penguasa yang tidak bersedia dikritik.

Jika pada karya-karya sastra eksperimental ala Putu Wijaya, dkk. penuh dengan simbol dan jungkir balik, maka hal tersebut tidak terjadi dengan karya-karya pengarang perempuan di masa yang sama. Sebaliknya karya-karya mereka cenderung mudah dipahami dan tidak sampai mengernyitkan dahi ketika membacanya karena dalam karya-karya mereka, ceritanya hanya berkisar tentang ragam permasalahan perempuan dan hal tersebut ternyata disukai pembaca yang umumnya didominasi kaum perempuan sehingga model-model cerita seperti itu laris manis di pasaran.

Berbanding terbalik dengan karya sastra yang beredar di tahun 1970-an, karya sastra yang berkembang di masa reformasi, yang ditandai dengan tumbangnya pemerintahan orde baru, sudah sedemikian bebas dalam bertutur dan dengan beraneka tema. Sastrawan yang lahir dan tumbuh di masa reformasi ini akhirnya tergabung dalam Angkatan 2000. Para pengarang tidak perlu khawatir lagi dengan adanya pencekalan dari pihak penguasa karena semua masyarakat berhak untuk mengutarakan apa yang dirasakan dan dipikirkannya, termasuk sastrawan yang juga sebagai anggota masyarakat.

Pada tahun 2000, Lampan meyusun pembabakan baru yang dimasukkan ke dalam Angkatan 2000. Dalam buku tersebut Rampan menunjukkan kepada masyarakat bahwa telah hadir suatu angkatan yang berbeda dengan angkatan-angkatan sebelumnya. Hal tersebut diketahui ketika di penghujug tahun 1990-an, tepatnya di tahun 1998 terbit dua novel yakini Saman karya Ayu Utami dan


(42)

Hempasan Gelombang karya Taufik Ikram Jamil. Kedua sastrawan ini mencoba melakukan ekperimen dalam penulisan serta beruaha menampilkan tema-tema yang tidak lazim.

Seiring dengan itu bermunculan karya-karya dari pengarang muda dan dapat dikatakan sangat inovatif, termasuk di antaranya pengarang-pengarang perempuan seperti yang telah disinggung pada bab pendahuluan. Pembaruan terjadi dalam karya sastra pada masa ini bukan hanya dalam kata-kata yang sudah bebas dan lugas, tetapi juga pada unsur-unsur intrinsik yang dibangun dengan cara yang tidak biasa sehingga menghasilkan karya sastra yang lebih estetis dan dinamis.

2.2.3 Novel

Secara garis besar karya sastra dibagi atas tiga bentuk, yaitu puisi, prosa, dan drama. Salah satu bentuk karya sastra yang mengalami perkembangan yang sangat signifikan adalah novel. Dalam penelitian ini yang akan dianalisis adalah karya sastra yang berbentuk prosa, khususnya novel. Novel di Indonesia muncul sejak terbitnya buku Si Jamin dan Si Johan karya Merari Siregar pada tahun 1919 (Semi,1988: 32).

Dalam Laelasari dan Nurlaila (2006:166), novel diartikan sebagai, “Prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku”.

Konsep novel yang lain dikemukakan oleh Semi (1988: 32). Menurutnya novel dapat diartikan sebagai bentuk karya sastra yang memberikan konsentrasi kehidupan yang lebih tegas. Panjang cerita novel tentunya berbeda dibanding cerpen.


(43)

Jika cerpen memusatkan perhatian pada perwatakan dan satu masalah, maka novel lebih luas dari itu. Kedudukan perwatakan dan jalan cerita yang ditampilkan pengarang berada dalam satu keseimbangan. Hampir senada dengan Semi, Nurgiantoro (1998: 11) mengatakan bahwa novel mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih rinci, lebih detil, dan lebih kompleks.

Menurut Umar Kayam dalam Nasution (2000: 22), novel mempermasalahkan kehidupan sehari-hari. Karya sastra (termasuk novel) merupakan media untuk menyampaikan ide, gagasan, protes, persetujuan, dan sebagainya.

Para pakar sastra lain, seperti Wellek dan Austin (1989: 281) mengatakan bahwa novel-novel modern melukiskan manusia lahir, tumbuh, dan mati. Tokoh-tokohnya mengalami perkembangan dan perubahan. Di samping itu, siklus kemajuan sebuah keluarga diuraikan sejelas mungkin.

Novel dapat dikatakan sebagai salah satu wujud kontemplasi dan reaksi pengarang terhadap berbagai persoalan dalam kehidupan nyata. Meskipun bersifat fiksi, namun sebuah novel yang baik tentu berisikan perenungan secara intens, penuh kesadaran, serta tanggung jawab pengarang mengenai hakikat kehidupan.

2.3 Landasan Teori

Seperti halnya ilmu-ilmu humaniora lainnya, sastra sebenarnya esensi dari kebudayaan. Penelitian suatu karya sastra memiliki manfaat agar manusia lebih memahami nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan bahkan ideologi yang diyakini pengarang. Untuk mengetahui hal-hal tersebut maka dalam membedah sebuah karya


(44)

sastra peneliti harus memiliki pisau yang tepat dan tajam agar isi karya tersebut dapat dilihat dan diteliti.

Dalam penelitian ini tentu dibutuhkan landasan teori yang berguna untuk mengupas permasalahan yang akan dikaji. Landasan teori dalam penelitian merupakan kerangka dasar dalam penelitian. Teori yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah teori analisis wacana kritis dan teori kritik sastra feminis.

2.3.1 Teori Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana kritis merupakan teori untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial budaya. Untuk menganalisis ideologi feminisme, yang salah satunya bisa dilihat dalam arena linguistik dengan memperhatikan kalimat-kalimat yang terdapat dalam teks (novel) bisa menggunakan teori analisis wacana kritis.

Menurut Eriyanto (2001: 7), analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat. Dalam analisis wacana kritis, wacana atau teks tidak hanya menganalisis bahasa dalam arti studi linguistik atau aspek kebahasaan semata, melainkan bahasa tersebut dianalisis dengan menghubungkannya dengan konteks. Konteks di sini bermaksud bahwa bahasa tersebut dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu.

Dalam Eriyanto (2001: 8) hal-hal di bawah ini merupakan karakteristik analisis wacana kritis, yaitu:


(45)

1. Tindakan

Dalam pemahaman tindakan sebagai salah satu karakteristik analisis wacana kritis, wacana dipandang untuk tujuan memengaruhi, mendebat, membujuk, bereaksi, dan sebagainya. Seseorang berbicara atau menulis pasti memiliki maksud tertentu. Selain itu wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar dan terkontrol yang dilakukan manusia.

2. Konteks

Pada tahap ini, analisis wacana kritis mempertimbangkan, memproduksi, dan menganalisis konteks dari latar, situasi, peristiwa, serta kondisi. Kepada siapa dan mengapa komunikasi tersebut dilakukan. Ada tiga hal yang penting yang menyangkut konteks dalam pembahasan analisis wacana kritis ini, yaitu teks, konteks, dan wacana.Teks merupakan semua bentuk bahasa, tidak hanya kata yang tertulis melainkan untuk semua jenis ekspresi komunikasi yang dilakukan manusia. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar yang memengaruhi pemakaian bahasa dan situasi teks di mana teks tersebut dihasilkan. Adapun wacana dimaknai sebagai teks dan konteks sekaligus. Fokus perhatian analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks sekaligus dalam suatu proses komunikasi.

3. Historis

Analisis wacana kritis juga menempatkan konteks historis tertentu untuk dapat memahami teks. Pemahaman tentang wacana teks hanya dapat diperoleh jika diketahui bagaimana situasi sosial, budaya, dan politik pada


(46)

waktu teks tersebut tercipta. Oleh sebab itu ketika menganalisis teks perlu ditinjau supaya pembaca dan masyarakat mengetahui dan mengerti mengapa suatu wacana tersebut dapat berkembang sedemikian rupa serta mengapa bahasa yang dipergunakan seperti itu.

4. Kekuasaaan

Kekuasaan juga menjadi elemen penting dalam analisis wacana kritis. Setiap wacana yang muncul dalam berbagai bentuk, tidak dianggap sebagai sesuatu yang alamiah melainkan sebagai bentuk kekuasaan. Konsep kekuasaan di sini artinya terdapat hubungan antara wacana dengan masyarakat. Misalnya kekuasaan dan dominasi laki-laki dalam wacana seksisme, kekuasaan kulit putih terhadap kulit hitam dalam wacana rasisme. Hal ini mengindikasikan analisis wacana kritis tidak membatasi pada detil teks atau struktur wacana saja, tetapi juga mengaitkannya dengan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya di mana teks tersebut tercipta.

5. Ideologi

Ideologi termasuk konsep sentral dalam analisis wacana kritis. Hal ini karena wacana adalah pencerminan ideologi tertentu. Ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk melegitimasi dominasi mereka. Ideologi dari kelompok yang dominan hanya efektif apabila masyarakat tersebut memandang ideologi yang disampaikan adalah sebagai suatu kebenaran dan kewajaran. Ideologi membuat anggota suatu kelompok akan


(47)

bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka serta memberikan kontribusi dalam membentuk solidaritas dalam kelompok. Dalam penelitian ini, yang menjadi fokus permasalahan tentu saja ideologi feminisme, khususnya ideologi feminisme dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.

Adapun teori analisis wacana kritis ini akan digunakan untuk membedah rumusan masalah yang pertama, yaitu menguraikan ideologi feminisme yang terdapat dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.

2.3.2 Teori Kritik Sastra Feminis

Teori kritik sastra feminis ini merupakan salah satu teori yang berkembang beberapa tahun belakangan ini termasuk di negara-negara Timur. Sebagaimana yang telah diungkapkan bahwa feminisme merupakan perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan hak yang sama dengan kaum laki-laki.

Kritik sastra feminis lahir dan berkembang sejalan dengan perkembangan gerakan feminisme. Dengan lahirnya gerakan feminisme ini, masyarakat mulai terbuka dengan kata seksisme (Sugihastuti, 2000: 82). Istilah ini pula membuka lembaran baru dalam kehidupan perempuan, baik yang berkaitan dengan keluarga, seks, pekerjaan, maupun yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan (Djajanegara, 2000:15).

Kritik sastra feminis diibaratkan sebagai alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa perempuan menyadari membaca karya sastra sebagai seorang


(48)

perempuan, pengarang menulis novel sebagai perempuan, dan mengungkapkan citra perempuan dalam novel (Sugihastuti, 2000: 85).

Pada umumnya, karya sastra menampilkan tokoh wanita bisa dikaji dari segi feministik. Baik dari cerita rekaan, lakon, maupun sajak bisa diteliti asal terdapat tokoh perempuan di sana. Penelitian dengan menggunakan kritik sastra ini tentu akan lebih mudah untuk dikaji apabila dikaitkan dengan tokoh laki-laki yang terdapat pada karya sastra tersebut.

Menurut Djajanegara (2000: 51-54) penerapan kritik feminis ada beberapa tahapan, yakni,

I. 1) Kedudukan tokoh-tokoh perempuan dalam masyarakat. 2) Tujuan hidup tokoh-tokoh perempuan.

3) Perilaku serta watak tokoh-tokoh perempuan.

4) Pendirian serta ucapan tokoh perempuan yang bersangkutan.

II. 1) Tokoh lain (laki-laki) yang memiliki keterkaitan dengan tokoh wanita III. 1) Sikap penulis karya sastra

2) Nada dan suasana yang dihadirkan 3) Latar belakang cerita.

Sugihastuti dalam Nurelide (2005: 15) menyebutkan bahwa kritik sastra feminis cenderung penelitian dari berbagai disiplin ilmu. Dengan demikian, kajian sastra yang objeknya khas berupa karya sastra tetap dikaitkan dengan disiplin ilmu lain, misalnya dengan ilmu sosial, budaya, ekonomi, psikologi, hukum, antropologi, dan sejarah.


(49)

Endraswara (2003:147) berpendapat bahwa melakukan kajian analisis feminis, peneliti sedapat mungkin harus bisa mengungkapkan secara jelas aspek-aspek tekanan dan penindasan yang dialami perempuan. Peneliti juga harus menggunakan kesadaran khusus yaitu kesadaran bahwa perbedaan jenis kelamin memiliki keterkaitan dengan masalah keyakinan, ideologi dan wawasan hidup dan pada akhirnya memengaruhi pemaknaan cipta sastra.

Untuk mengkaji rumusan masalah yang kedua, yaitu menganalisis latar belakang yang menyebabkan terjadinya pergeseran konsep ideologi feminisme dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 digunakan teori kritik sastra feminis.


(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metodologi

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dalam metode kualitatif memfokuskan perhatian pada data yang alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya (Ratna, 2000:47). Penelitian kualitatif mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antarkonsep. Metode kualitatif ini dapat pula diartikan sebagai prosedur untuk memecahkan masalah yang sedang diteliti dengan menggambarkan subjek dan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi,1998: 63).

Menurut Bogdan dan Taylor dalam Kaelan (2005: 5) metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, catatan-catatan yang berhubungan dengan makna, nilai serta pengertian. Hal senada juga diungkapkan oleh Whitney dalam Nazir (1988:63) metode penelitian kualitatif hampir sama dengan metode deskriptif, yaitu suatu metode dengan pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian untuk membongkar ideologi feminisme yang terdapat dalam Angkatan tahun 1970 dan Angkatan tahun 2000 menggunakan teknik kepustakaan.


(51)

Teknik ini dilakukan untuk memperoleh data-data dan informasi-informasi mengenai objek penelitian (Semi, 1993: 8). Teknik ini digunakan karena pada penelitian ini, sumber data yang tertulis lebih mendominasi.

Adapun langkah-langkah yang diterapkan dalam mengumpulkan data ini sebagai berikut.

1) Peneliti memulai dengan membaca secara cermat dan kritis untuk mengumpulkan data-data yang berkaitan. Pembacaan ini dimaksudkan untuk memahami makna sumber-sumber data.

2) Semaksimal mungkin membaca kembali secara berulang-ulang semua sumber informasi yang berkaitan dengan data.

3) Mengumpulkan bagian-bagian penting yang berkaitan dengan masalah.

4) Setelah melakukan ketiga langkah di atas maka peneliti memberi tanda sebagai bagian yang akan dianalisis lebih lanjut.

3.3 Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis data pada penelitian ini digunakan hermeneutika. Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuein yang artinya menafsirkan. Oleh sebab itu menurut Palmer dalam Sumaryono (2000: 24) hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.

Hermeneutika adalah metode yang selalu digunakan untuk penelitian karya sastra (Ratna, 2004: 44). Hermeneutika sangat relevan untuk menafsirkan berbagai


(52)

gejala, peristiwa, simbol, dan nilai yang terkandung dalam ungkapan bahasa atau kebudayaan yang terdapat pada kehidupan manusia. Dalam menganalisis data, hermeneutika memfokuskan pada objek yang behubungan dengan simbol-simbol, bahasa, atau pada teks-teks serta karya budaya lainnya (Kaelan, 2005: 80-81). Jadi, yang harus dilakukan dalam menganalisis data pada penelitian ini adalah pembacaan yang berulang-ulang (retroaktif) sehingga didapat data-data yang berkaitan dengan ideologi-ideologi feminisme di dalam karya tersebut. Namun, sebelum sampai ke tahap hermeneutika, analisis dengan menggunakan teknik heuristik adalah langkah awal yang perlu dilakukan. Heuristik merupakan pembacaan dari awal sampai akhir secara berurutan. Jadi, metode hermeneutika digunakan sesudah pembacaan heuristik (Pradopo, 2001: 84). Dalam penelitian ini data-data dianalisis berdasarkan setiap masalah bukan menganalis per data.

Sebagai seorang peneliti tidak boleh bersikap pasif, maksudnya peneliti tersebut harus merekonstruksikan berbagai makna yang terdapat dalam karya sastra yang diteliti tersebut. Dalam penelitian menggunakan metode hermeneutika, seorang peneliti harus dapat menginterpretasikan maksud pengarang, dalam hal ini khususnya yang menyangkut ideologi feminisme dalam karya sastra pengarang perempuan Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.

3.4 Teknik Penyajian Analisis Data

Teknik penyajian analisis data tesis ini menggunakan metode formal dan informal, sesuai dengan pandangan Sudaryanto melalui Nasution (2007: 66) yang


(53)

menguraikan bahwa secara formal dijelaskan dalam bentuk bagan, grafik, lambang, gambar, matrik, dan tabel. Sedangkan secara informal digunakan bentuk deskripsi atau narasi.

Dalam penyajian hasil analisis yang ada di tesis ini diutamakan dengan cara yang informal daripada yang formal agar uraian dapat dijelaskan dengan lebih terperinci.

3.5 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini berjumlah tiga belas novel dari pengarang perempuan Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.

Adapun judul-judul novel yang mewakili Angkatan 1970 adalah: 1. Karmila karya Marga T.

2. Bukan Impian Semusim (BIS) karya Marga T. 3. Namaku Hiroko (NH) karya Nh. Dini.

4. Pada Sebuah Kapal (PSK) karya Nh. Dini. 5. Perempuan Kedua (PK) karya Mira W

6. Melati di Musim Kemarau (MdMK) karya Maria A. Sardjono.

Sedangkan judul-judul novel yang mewakili pengarang perempuan Angkatan 2000 adalah:

1. Larung karya Ayu Utami 2. Saman karya Ayu Utami


(54)

4. Geni Jora (GJ) karya Abidah El Khalieqy.

5. Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh (KPBJ) karya Abidah El Khalieqy. 6. Supernova: Akar karya Dewi ”Dee” Lestari

7. Nayla karya Djenar Maesa Ayu.

Ketigabelas novel ini akan menjadi sumber data primer sedangkan sumber data pendukung dipeoleh dari buku-buku, majalah, surat kabar, internet serta makalah dari berbagai diskusi dan seminar. Semua ini dijadikan sebagai data sekunder dalam penelitian.


(55)

BAB IV

IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA ANGKATAN 1970 DAN ANGKATAN 2000

4.1 Tindakan

Hal pertama yang harus diperhatikan ketika menganalisis karya sastra bahwa karya sastra tersebut harus dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Karya sastra dapat dikatakan sebagai bentuk interaksi antara pengarang dan pembaca (masyarakat) serta tidak bisa ditafsirkan secara denotatif. Dengan pemahaman seperti ini maka sebuah karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang mempunyai tujuan. Seseorang, dalam hal ini pengarang, dalam berbicara atau menulis pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu. Tujuan tersebut boleh jadi merupakan kata-kata yang berupa memengaruhi, mendebat, membujuk, menyanggah, bereaksi, dan sebagainya. Selain itu kata-kata yang diekspresikan tersebut harus dilakukan secara sadar dan terkendali, bukan di luar kesadaran.

Untuk merepresentasikan ideologi feminisme dalam novel-novel Angkatan 1970 dan Angkatan 2000, maka karakteristik pertama analisis wacana kritis ini dapat dipergunakan dalam penganalisisan. Tindakan mendebat dan menyanggah dapat disaksikan dalam beberapa kutipan novel seperti yang terdapat dalam novel Perempuan Kedua dari Mira W berikut.

”Cerai? Rani tertegun bingung. Memang sudah hampir sebulan dia mencurigai suaminya. Jengkel terhadap suaminya. Menjauhi suaminya. Tetapi cerai? Astaga. Belum pernah terpikir sekalipun!


(56)

Nah, itulah kelemahan perempuan bangsa kita! Tiba-tiba saja Dora bersemangat seperti orator di atas podium. ”Takut bercerai! Malu, kasihan anak, resah memikirkan masa depan, macam-macamlah. Akhirnya? Laki-laki pun jadi merajalela! Toh dikhianati bagaimana pun istrinya tetap tidak berani minta cerai. Rela saja dihina! Yah, daripada anak-anak kehilangan bapak. Daripada malu sama tetangga. Daripada mesti kesepian kalau malam...Bah! Nih, contoh aku! Begitu aku tahu dia menyeleweng, cerai! Habis perkara. Tanpa dia pun aku masih dapat mencari makan. Usahaku malah bertambah maju pesat setelah aku menjadi janda!” (PK: 115-116).

Dalam kutipan di atas telah terjadi perdebatan antara tokoh Rani dan

temannya, Dora. Kedua perempuan ini berdebat karena tindakan Rani yang ragu-ragu memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya dengan suaminya yang dicurigainya telah berselingkuh setelah belasan tahun hidup berumah tangga. Sedangkan Dora bersikap sebaliknya. Begitu mengetahui suaminya telah mengkhianati ikrar pernikahan, maka Dora langsung memutuskan untuk mengakhiri pernikahan mereka. Tindakan Dora yang cepat mengambil keputusan boleh jadi disebabkan seringnya ia menghadiri seminar pernikahan yang menjamur serta pergaulannya yang luas, ditambah Dora seorang pengusaha yang notabene bisa mencari nafkah. Jadi, meskipun tanpa ada dukungan dari suami, Dora merasa bisa berdiri sendiri. Tidak heran Dora bisa mengambil keputusan untuk bercerai dengan sang suami.

Contoh kutipan lain yang memperlihatkan tindakan atau reaksi, khususnya yang dilakukan Sri yaitu tindakan tegas kepada suaminya, dapat dilihat pada cuplikan novel Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini berikut.

”Ya, memang itu yang kumaksudkan. Mulai hari ini aku tidur sendiri. Empat bulan lagi anak kita lahir. Aku telah terlampau lelah dengan kepadatan perasaanku. Kalau kau mau, aku segera menyetujuinya.”


(57)

”Kau gila,” serunya cepat.

”Memang harus ada salah satu yang gila di antara kita berdua, sebab itu kita kawin. Kalau kita berdua berpikiran waras, kita tidak akan kawin.”

”Aku mencintaimu, Sri, katanya.

Dia berdiri hendak mendekatiku. Aku mundur selangkah. ”Kau lelah. Pikiranmu kacau,” suaranya perlahan.

Ah, betapa aku tidak akan lelah. Betapa pikiranku tidak akan kacau. ”Keluar,” aku membuang pandang dan menguatkan suaraku (PSK: 122).

Tindakan yang dilakukan tokoh Sri pada tokoh Charles Vincent adalah puncak kemarahannya setelah berkali-kali Sri disakiti secara psikologis dengan selalu dimarahi, dibentak, dan tidak dihargai sebagai seorang istri. Sri merasa sudah tidak tahan hidup dengan suami yang sedari awal tidak dicintainya itu. Untuk itu Sri mulai berani mengambil sikap yang tegas pada suaminya. Sebagai perempuan, ia tidak ingin direndahkan. Dia tidak ingin terus menerus diperlakukan sebagai objek kekerasan yang dilakukan suaminya, dia harus berani mengekspresikan dirinya tidak hanya berdiam diri saja.

”Bagiku laki-laki seperti Charles tidak perlu mengetahui hal yang sebenarnya. Dia terlalu yakin bahwa perempuan yang telah diambilnya sebagai istrinya adalah seseorang yang tidak berpengalaman, yang akan menganut dan mengikuti langkahnya setapak demi setapak. Dan sejak malam itu dia kuharap mengerti bahwa aku akan sanggup, benar-benar sanggup meninggalkannya...” (PSK: 213).

Pada novel Nh. Dini yang lain, Namaku Hiroko, tindakan yang dilakukan tokoh Hiroko terhadap laki-laki yang mendekatinya adalah mencoba melepaskan diri karena Hiroko tidak ingin terikat padanya.


(58)

”Aku harus berani melepaskan diri dari laki-laki itu. Lebih-lebih dari cengkeraman pengaruh materi yang dimilikinya. Sebagai laki-laki berpengalaman,dia mengetahui kelemahanku.Dengan kedermawanannya suatu kali dia berkata akan membuka nomor tabungan di bank kota atas namaku. Ini merupakan tantangan yang berat bagiku. Di samping itu pula merupakan keinginannya agar aku tetap melayaninya kemauannya, yang berarti aku harus menjadi miliknya. Hanya didorong oleh kemauan yang luar biasa kuatnyalah aku berhasil menolaknya. Kujelaskan terus terang, aku tidak ingin menjadi perempuan kedua yang selalu siap sedia di mana diperlukan. Aku lebih suka bebas...”(NH: 141).

Hiroko merupakan tokoh utama perempuan yang pada awalnya diceritakan sangat lugu dan pemalu, namun lama kelamaan sikapnya berubah tatkala ia lama tinggal dikota. Berbagai pekerjaan ia lakoni, mulai menjadi pembantu rumah tangga, pengasuh anak, penjaga toko hingga menjadi penari telanjang (striptease) yang memberinya limpahan materi. Orientasi hidup dan keinginannya juga tidak terlepas dari kekayaan materi yang akhirnya membuat Hiroko memilih jalan yang tidak baik menurut ukuran kebanyakan orang. Setelah lama hidup di kota Kobe pun Hiroko tidak pernah berpikir untuk menikah.

Aku puas dengan hidupku, dengan apa yang kumiliki waktu itu. Dengan umurku yang muda, aku seakan-akan telah mencapai apa yang kuidamkan.

”Dalam arti kebendaankah yang Anda maksudkan?”tanyanya kemudian.

”Ya. Karena memang kebendaanlah yang saya cari. Saya tidak ingin hidup dalam kekurangan.”

”Tidak ada orang yang ingin hidup kekurangan,” sahut Suprapto. ”Tetapi, adakah Anda memiliki ambisi, mempunyai keinginan buat mencapai yang lebih tinggi lagi?”

”Tentu saja saya mempunyai ambisi, yaitu mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.”

”Lalu untuk apa?”


(59)

Suprapto terdiam, meneruskan makan.

”Lalu menurut pikiran Anda, ambisi apa yang baik bagi saya.” ”Seperti kebanyakan wanita: kawin.”

Mengapa hal itu tak pernah terpikirkan olehku. Atau barangkali pernah. Tetapi demikian selintas, demikian ringan dan kabur secepatnya sehingga terlupa atau tak kuanggap sesuatu yang menguasai diriku, lalu lepas entah kemana tanpa kusesali. Barangkali pula oleh kuatnya cengkraman pikiran, kehendak hidup semaunya dengan bebas.

(NH: 156).

Kutipan dari novel lain, Karmila, juga memperlihatkan tindakan Karmila yang pada awalnya diceritakan sangat membenci Feisal yang telah memerkosanya dan menolak untuk menyusui anak hasil perkosaan Feisal. Betapa pun kasarnya perlakuan Karmila terhadap Feisal, namun Feisal tetap bersabar untuk menebus rasa bersalahnya kepada gadis yang masih duduk di bangku kuliah fakultas kedokteran tersebut.

”Tidak peduli. Pokoknya tertulis di situ bahwa aku menikah denganmu, cuma supaya anak ini punya ayah titik. Aku tidak terikat hubungan apa-apa dengan engkau. Aku tidak akan tinggal menikah denganmu. Aku tidak akan tinggal bersamamu. Aku tidak akan menikah dengan engkau di gereja. Aku tidak akan menjadi istrimu. Dan segera setelah anak ini lahir, kita akan bercerai kembali dan anak ini kau ambil.”

”Sebaiknya anak itu kau pelihara. Dia lebih membutuhkan ibu daripada ayah.”

”Tidak! Bila engkau mau menikah denganku, anak ini harus kau ambil. Bila engkau tidak mau, engkau boleh pergi dan tinggalkan aku sendiri!!” (Karmila: 74).

Adapun pada novel-novel yang mewakili Angkatan 2000 dapat dilihat ideologi feminismenya melalui tindakan dari tokoh-tokohnya seperti yang terdapat dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy berikut.


(60)

Dari atas kursinya, nenekku mulai berceramah. Bahwa perempuan harus selalu mau mengalah. Jika perempuan tidak mau mengalah, dunia ini akan jungkir balik berantakan seperti pecahan kaca. Sebab tidak ada laki-laki yang mau mengalah. Laki-laki selalu ingin menang dan mengusai kemenangan. Sebab itu perempuan harus siap me-nga-lah (pakai awalan me-).

”Jadi selama ini Nenek selalu mengalah?” ”Itulah yang harus dilakukan, Cucu.”

”Pantas Nenek tidak pernah diperhitungkan.” ”Diperhitungkan?”Nenek terlonjak.

”Benar. Nenek tidak pernah diperhitungkan. Nenek tahu apa sebabnya?

”Apa sebabnya, Cucu?”

”Sebab Nenek telah mematok harga mati, dan harga mati Nenek adalah kekalahan. Siapakah yang mau memperhitungkan pihak yang kalah?”

(GJ: 61).

Sesuai dengan judul novelnya, pengarang ingin menampilkan sosok perempuan yang berani menantang siapa saja yang mencoba untuk menindas hak-haknya sebagai seorang perempuan, tidak terkecuali pemikiran sang nenek pun dibantahnya. Bagi Jora, perempuan dan laki-laki adalah mitra sejajar. Perempuan tidak berhak untuk disakiti dan dinomorduakan. Sikap memberontak ini juga banyak dideskripsikan dalam dialog yang merupakan refleksi dari pemikiran yang sangat berani apabila dikaitkan dengan lingkungan kebudayaan (Jawa) yang sangat mengakar dan sangat kuat unsur patriarkinya.

Hampir senada dengan novel Abidah yang lain, Perempuan Berkalung Sorban juga sangat kental nuansa feminismenya yang dilukiskan dalam bentuk tindakan, seperti yang dapat disaksikan dalam kutipan berikut.

“Lagi pula, tak ada satu pun di antara orang-orang bertaqwa, baik laki-laki atau perempuan, yang diperintahkan untuk menjauhi atau


(61)

berjauhan dengan ayat-ayat Allah. Alangkah sialnya jadi perempuan. Bukan hanya itu. Perempuan yang sedang menstruasi juga dilarang masuk masjid. Padahal wak Tompel yang setiap malam minum tuak dan berjudi di kedai Yu Sri, tidak dilarang tidur menggelosor di dalam masjid dan tak seorang pun berani mengatakan bahwa itu haram. Kepada Mbak May aku bertanya, benarkah semua yang kudengar dari kitab itu? Ia tersenyum ragu-ragu dan mengangguk. Maka aku pun ragu-ragu dan tak pernah mau mengangguk dan menjadi keledai…” (PBS: 73-74).

Dari dua cuplikan di atas, pengarang tampak sangat jelas mengusung warna feminisme. Berusaha untuk menyuarakan hak-hak perempuan serta menggugat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang hingga kini dirasakan masih sangat diskrimatif. Kedua cerita yang berlatar pesantren ini dapat dimaklumi karena sang pengarang juga pernah mengenyam pendidikan di salah satu pesantren modern puteri di Jawa Timur sehingga tidak mengherankan apabila pengarang sangat fasih berbicara seluk-beluk di pesantren. Benarlah apa yang dikatakan A. Teeuw yang dikutip oleh Pradopo (1995: 80), “Suatu karya sastra tidak lahir dalam kekosongan kebudayaan”. Artinya, pengarang tidak serta merta menciptakan suatu karya sastra tanpa ada konteks sosial budaya yang melatarbelakanginya.

Sedikit berbeda dengan Abidah yang bernuansa relijius dalam mengungkapkan ide-ide feminismenya, Ayu Utami justru terlihat blak-blakan dan sensasional ketika berbicara mengenai perilaku seks tokoh-tokohnya. Novel Saman dan larung mengisahkan tentang tokoh-tokoh perempuan yang mandiri, wanita karier, cerdas, serta berani menyatakan diri sebagai perempuan yang membutuhkan seks lebih dari apa yang bisa diberikan para lelaki dalam kehidupan mereka.


(62)

Tokoh-tokoh tersebut merasa harus mengambil tindakan terhadap budaya patriarkal yang selalu mendominasi selama ini, termasuk menyangkut masalah seks. Beragam tindakan yang mereka lakukan untuk menunjukkan ketidaksukaan atas budaya patriarki ini. Mulai menyatakan sikap dan jati diri, berupaya memegang kendali hingga memilih pasangan sejenis (lesbian).

Saman mempunyai tokoh-tokoh utama perempuan yang sudah bersahabat sejak masih remaja. Selain tentunya memiliki tokoh laki-laki, di antaranya Romo Wis (Saman), Sihar, dan Anson. Keempat tokoh perempuan yang ada di novel ini adalah Cokorda Gita Magaresa, Laila Gagarina, Shakuntala, dan Yasmin Moningka. Sedangkan novel Larung merupakan lanjutan dari novel Saman. Kutipan berikut menunjukkan tindakan dilihat pada novel Saman seperti berikut. Di sini sangat nyata terlihat kebencian tokoh Shakuntala terhadap ayah yang menurutnya telah menyakitinya.

Terutama juga agar aku bisa pergi amat jauh dari ayah dan kakakku yang tidak kuhormati. Yang tidak menghormati aku, tak pernah menyukai aku. Aku tidak menyukai mereka. Tapi ketika pertama kali mengurus visa di kedutaan Besar Nederland, yang mereka tanyakan adalah nama keluarga.

“Nama saya Shakuntala. Orang Jawa tak punya nama keluarga.” “Anda memiliki ayah, bukan?”

“Alangkah indahnya kalau tak punya.” “Dan mengapa saya harus memakainya?” Formulir ini harus diisi.”

Aku pun marah. “Nyonya, Anda beragama Kristen, bukan? Saya tidak, tapi saya belajar dari sekolah Katolik: Yesus tidak mempunyai ayah. Kenapa orang harus memakai nama ayah?”

(Saman: 137).

Adapun novel Larung senada dengan novel Saman dalam hal keterbukaan. Larung terbagi dalam tiga bagian. Secara ringkas, pada bagian pertama mengisahkan


(1)

Seperti yang diketahui, keberadaan sastra yang bernuansa feminisme serta orang-orang yang mendukung gerakan itu tentu tidak selalu disambut dengan baik dan tangan terbuka. Feminisme masih saja digambarkan kurang baik oleh kelompok-kelompok yang tidak menyetujui dengan beragam alasan, terlebih dengan aliran feminisme yang mengarah radikal.

6.2 Saran

Saran ini boleh dikatakan sebagai rekomendasi karena disampaikan kepada pengamat dan kritikus sastra, kaum intelektual, para sastrawan, dan pihak pemerintah. Saran dan rekomendasi tersebut yaitu.

1. Masih banyaknya permasalahan yang berkaitan dengan perempuan dalam karya sastra dan juga yang menyangkut pengarang perempuan

2. Khusus pada Angkatan 2000, permasalahan pornografi dan kehidupan seksual yang demikian bebas begitu lugas dinyatakan. Oleh sebab itu kiranya undang-undang antipornografi dan pornoaksi bisa lebih memfilter kalimat-kalimat yang ingin diungkapkan para pengarang perempuan tersebut. Boleh saja pengarang mengemukakan pemikirannya, namun perlu juga memperhatikan estetika bahasa agar ketika unsur-unsur pelukisan masalah seks yang masuk, cerita tidak terjebak menjadi vulgar

3. Masih ditujukan pada Angkatan 2000, sebaiknya jangan terlalu mengeksploitasi permasalahan cinta sejenis (lesbian dan gay) dalam tulisan karena hal tersebut bisa saja ditiru dan dijadikan model bagi kehidupan cinta


(2)

remaja yang sedang mencari jati diri serta orang-orang yang berjiwa labil, terlebih masih kurang ketatnya pengawasan terhadap buku-buku yang beredar di pasaran. Seperti yang diketahui, kehidupan cinta yang sejenis ini masih dianggap terlalu minor dalam masyarakat yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Selain itu, agama juga sangat melarang perbuatan tersebut.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis: Mazhab Frankfurt, Karl Marx, Cultures Studies, Teori Feminisme, Derrida Posmodernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Alwi, Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Arivia, Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Baso, Zohra Andi. 2000. Langkah Perempuan Menuju Tegaknya Hak-Hak

Konsumen. Makassar: YLK Sulsel-The Ford Foundation.

Djajnegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks dan Media. Yogyakarta: LkiS.

Fakih, Mansour. 2004. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Faruk. 2000. Women Womeni Lupus. Magelang: IndonesiaTera.

Hamid. A. Rahimah Haji. 2007. ”Bahasa Wanita dalam Karya Sastra: Tentangan Terhadap Hegemoni Lelaki”. Dalam Kajian Linguistik: Jurnal Ilmiah Ilmu Bahasa.Tahun Ke 4, No. 1. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Harris, Phillip R dan Robert T. Moran. 2005. ”Memahami Perbedaan-Perbedaan Budaya”. Dalam Mulyana dan Rakhmat (Penyunting). Komunikasi Antarbudaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Hermawan, Eman. 2001. Politik Membela yang Benar. Yogyakarta: KLIK.

Jorgensen, Marianne W dan Louise J. Philips. 2007. Analisis Wacana: Teori dan Metode. Diindonesiakan Imam Suyitno, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta:Paradigma.


(4)

Laelasari dan Nurlaila. 2006. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Aulia.

Lampan, Korrie Layun. 2000. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Mangunwijaya, Y.B. 2002. “Agama, Politik, dan Negara”. Dalam Sumartana (penyunting). Agama dan Negara. Yogyakarta: Institut DIAN/ Interfidei. Moi, Toril. 1991. “Feminist Literary Criticism”. Dalam Jefferson dan David Robey

(penyunting). Modern Literary Theory. London: B.T. Batsford Ltd.

Nasution, Ikhwanuddin. 2000. “Estetika Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana Denpasar.

Nawawi, Hadari. 1998. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia.

Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi: Pengarus Utamaannya di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurelide. 2005. Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan Dalam Perempuan di Titik Nol (Woman At Point Zero) Karya Nawal El Saadawi. Medan: Balai Bahasa Sumut.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nurlatif, Muhammad. 2006. Analisis Kritik Sastra Arab Karya Nawal El Saadawi. http://www.unhas.ac.id/sastra-arab/jurnal/2006/feb/indo-Nurlatif. Diakses, 24 Februari 2009.

Ollenburger, Jane C dan Helen A. Moore. 2002. Sosiologi Wanita. Diindonesiakan oleh Budi Sucahyono dan Yan Sumaryana. Jakarta: Rineka Cipta.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra: Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta Pustaka Pelajar.

--- . 2001. Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik” Dalam Jabrohim dan Ari Wulandari (penyunting). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.


(5)

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

---. 2008. Post Kolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta Pustaka Pelajar.

Rosidi, Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.

Sagala, R. Valentina dan Ellin Rozana. 2007. Pergulatan Feminisme dan HAM. Bandung: Institut Perempuan.

Saini KM. 1988. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya. --- . 1993. Puisi dan Beberapa Masalahnya. Bandung: ITB.

Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial. Pandangan Terhadap Bahasa. Surabaya: Pustaka Eureka.

Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa Raya.

Shihab, Quraisy, dkk. 2005. Al Quran dan Terjemahannya. Bandung: Jumanatul Ali-Art.

Sikana, Mana. 2007. Teras Sastera Melayu Tradisional. Selangor: Pustaka Karya. Sinar, T. Silvana. 2004. Isu-Isu Jender Kebahasaan. Dalam Pidato Ilmiah Peringatan

Dies Natalis Ke-52 USU. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Sugihastuti. 2000. “Citra Dominasi Laki-Laki Atas Perempuan dalam Saman”. Dalam Sodiro Satoto dan Zainuddin (penyunting). Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumaryono. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Suryadi, Budi. 2007. Sosiologi Politik: Sejarah, Definisi dan Perkembangan Konsep.

Yogyakarta: IRCiSoD.

Suyatno, Suyono. 2000. “Ideologi gender dan Refleksi Semangat Feminis: Catatan Novel La Barka Nh. Dini”. Dalam Soediro Satoto dan Zainuddin


(6)

(penyunting). Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Tjitrosubono, Siti Sundari Maharto. 1998. ”Kedudukan Wanita dalam Kebudayaan Jawa Dulu, Kini, dan Esok”. Dalam Bainar (penyunting). Wacana Perempuan dan Kemodernan. Yogyakarta: Pustaka Cidesindo.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan. Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.