Jika pada Angkatan 1970, persoalan politik hanya disampaikan melalui sindiran-sindiran halus maka di masa Angkatan 2000 atau pascareformasi,
permasalahan politik dan berbagai peristiwa yang terkait disampaikan lebih lugas sehingga pembaca terkadang seperti menemukan suatu fakta dalam setiap karangan.
5.4 Faktor Budaya
Faktor budaya menjadi salah satu penyebab bergesernya ideologi feminisme di antara kedua Angkatan yang dikaji. Karya sastra dapat dikatakan sebagai produk
budaya yang dapat memberikan hikmah terhadap manusia sebagai penikmat karya sastra karena dalam karya sastra terkandung isi, pesan serta berbagai konsep
kehidupan yang amat beragam. Kondisi budaya tentu tidak stagnan melainkan bersifat progresif sesuai dengan perkembangan zaman. Budaya itu sendiri dapat
dimaknai sebagai “Keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, adat istirahat, dan kemampuan-kemampuan atau kebiasaan-kebiasaan
lain yang diperoleh anggota-anggota suatu masyarakat” Taylor melalui Harris dan Robert, 2005: 56.
Apabila dikaitkan dengan karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000, maka dapat dikatakan bahwa faktor budaya telah mengakibatkan pergeseran ideologi
feminisme dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. Pada Angkatan 1970 budaya patriarki masih begitu melekat erat pada
kehidupan para tokoh perempuan dan para perempuan yang diceritakan tersebut umumnya tidak berdaya dan terlihat cukup nyaman dalam menghadapi sistem yang
Universitas Sumatera Utara
diterapkan oleh budaya patriarki tersebut. Pada angkatan ini juga terlihat adanya unsur primordial, yaitu kecenderungan kembali pada masa lampau Ratna,
2008:457. Sedangkan pada Angkatan 2000, budaya yang diyakini sudah mengalami pergeseran yang cukup signifikan seolah ingin melepaskan diri dari nilai-nilai budaya
yang dianggap sudah usang dan tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman. Nilai budaya tersebut boleh dikatakan bernuansa kontemporer, yaitu nilai-nilai yang dianut
pada masa kini Alwi, 2007: 591. Pendidikan yang cukup tinggi, pengaruh arus informasi dari multimedia
menjadikan pemikiran pengarang perempuan semakin terbuka sehingga budaya yang tercipta juga mengalami pergeseran. Pergeseran dari aspek budaya ini dapat
dibandingkan pada cuplikan novel Perempuan Kedua dan Geni Jora berikut. Aku harus berjuang keras memoles tubuh yang mulai menua ini
supaya masih tetap terpakai dan tidak membosankan suami Supaya suami tidak menoleh kepada perempuan lain dan mencari yang lebih
muda Oh, alangkah menyakitkan menjadi seorang istri Inikah bentuk pengabdian yang dituntut suami dari istrinya? Benar-benar
harus menjadi abdi luar dan dalam? PK: 113.
Zakky terkesima. Tak percaya oleh keberanianku melawan mata dan kuasa laki-lakinya. Ayo bertanding, Zakky Satu lawan satu. Kejar
daku, kau akan kutembak. Atau tinggalkan aku Kau boleh pergi dengan yang lain, memang lebih menarik dan bikin penasaran…GJ:
171-172.
Sebagai seorang perempuan yang berasal dari keluarga Jawa yang sangat mengakar kuat unsur patriarkinya tentu apa yang dilakukan Kejora merupakan hal
yang tidak lazim karena dalam kebudayaan Jawa yang mengharuskan seorang wanita
Universitas Sumatera Utara
dituntut untuk setia dan berbakti kepada suami. Istri dituntut selalu mengikuti suami ke surga maupun ke neraka suwargo nunut neroko katut. Perempuan tidak banyak
bertindak ke luar, lebih statis dan pasif serta harus tunduk dan taat pada keluarga. Tjitrosubono, 1998: 194.
Dari kedua contoh cuplikan di atas dapat diketahui ideologi feminisme yang mengalami pergeseran yang disebakan oleh faktor budaya pada konteks masyarakat
yang berbeda masa ini. Gambaran sikap yang ditunjukkan oleh para tokohnya bisa dikatakan sangat bertolak belakang. Dalam Perempuan Kedua, tokoh Rani
dilukiskan sangat kecewa dengan tingkah suaminya yang telah mengkhianatinya, namun ia tidak bisa berbuat banyak selain hanya bertanya pada diri sendiri dengan
pertanyaan-pertanyaan retoris. Berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh Kejora dalam novel
Geni Jora. Tokoh yang mewakili Angkatan 2000 ini begitu berani menantang siapa saja yang mencoba untuk menindas hak-haknya sebagai seorang perempuan. Bagi
Kejora keduanya adalah mitra sejajar. Perempuan tidak berhak untuk disakiti dan dinomorduakan.
Akan halnya dengan Ayu Utami, pengarang yang juga bersuku Jawa ini menyatakan bahwa selama ini pembicaraan mengenai seksualitas sangat tabu untuk
dibicarakan secara terbuka, terlebih dalam budaya yang menjunjung tinggi adab ketimuran. Namun, Ayu berpendapat bahwa pemikiran tersebut harus diruntuhkan
karena perempuan mempunyai hak untuk menikmati seks dan hidup bahagia seperti halnya laki-laki Hamid, 2008: 3.
Universitas Sumatera Utara
5.5 Faktor Agama