5.5 Faktor Agama
Adapun yang dikatakan dengan agama menurut Mangunwijaya 2002: 23 adalah ” Suatu perangkat hukum, ritus, adat tradisi, peninggalan historis, hasil
budaya serta organisasi dengan peraturan-peraturannya, impian pendamping dan harta miliknya”.
Dalam novel Angkatan 1970 dapat dilihat pada cuplikan novel Bukan Impian Semusim. Disini terdapat tokoh seorang biarawati yang menjadi kepala sekolah dari
sekolah khusus perempuan. Dalam beberapa ceramah kepada murid-muridnya, Mere Rosa berkata sebagai berikut.
Nah, Marilah kita lihat apa saja yang dapat dilakukan oleh seorang biarawati. Banyak orang berprasangka, terutama para orang tua di sini,
bahwa masuk biara adalah sama dengan dikubur hidup-hidup. Biarawati-biarawati itu pasti takkan mungkin bahagia. Itu sama sekali
tidak benar. Juga banyak orang menyangka, biarawan atau biarawati itu adalah oarang-oarang yang patah hati. Itu juga salah. Masyarakat
tidak tahu, bahwa biara mempunyai ketentuan-ketentuan yang cukup keras dalam menerima anggota-anggota baru... BIS: 25.
Sekarang, bisa dibandingkan dengan cuplikan novel Saman dan Perempuan Berkalung Sorban yang mewakili Angkatan 2000 seperti berikut.
Ia telah mati. Dan ia amat sedih karena Tuhan rupanya tidak ada. Kristus tidak menebusnya sebab ia kini berada dalam jurang maut,
sebuah lorong gelap yang sunyi mencekam, dan ia dalam proses jatuh dalam sumur tak berdasar...Saman: 102.
”Itulah yang terjadi. Bahkan di kalangan para suami yang mengerti hukum agama pun, berlaku tabiat seperti itu. Ini sangat menyedihkan.
Anehnya, jika ada perempuan yang mandiri dan penuh inisiatif malah ditakuti laki-laki dan dianggap maskulin. Ini kan cara berpikir yang
bias jender dan tidak sebagaimana apa yang dikehendaki oleh Sang Pencipta sendiri.” PBS: 231
Universitas Sumatera Utara
Persoalan agama teologi yang direpresentasikan Marga T, yang mewakili Angkatan 1970 dan Ayu Utami yang mewakili Angkatan 2000 dapat dikatakan
mengalami pergeseran. Pada Bukan Impian Semusim, pengarang melalui tokoh Mere Rosa, begitu menjunjug tinggi nilai-nilai agama dan berusaha memengaruhi lawan
bicaranya agar berbudi luhur dan mengabdikan hidup pada Tuhan. Kentalnya nuansa keagamaan yang diusung dalam novel Bukan Impian Semusim dapat dimaklumi
mengingat pengarang yang juga seorang dokter ini penganut Katolik yang taat. Sedangkan pada Saman nilai-nilai itu mulai berubah. Tokoh Saman yang pada
mulanya seorang frater atau pastor yang relijius, tetapi pada akhirnya menjadi ragu akan keberadaan Tuhan. Terlebih ketika Saman ditangkap dan disekap oleh aparat
keamanan. Sedangkan Abidah mencoba mengkritik dan seolah meluruskan bahwa penafsiran agama yang salah telah mengakibatkan kaum perempuan selalu terkekang
di bawah dominasi laki-laki. Apa yang diungkapkan Ayu yang diwakili tokoh Saman di atas seolah
mengesankan kegelisahnnya tentang keberadaan agama bagi kehidupan seseorang. Seperti yang diketahui bahwa salah satu sebab terjadinya gerakan feminis
dikarenakan faktor agama. Pihak gereja melalui doktrin-doktrinnya dituding telah membuat kaum perempuan menjadi kaum kelas dua.
Persoalan agama atau relijiusitas dalam karya sastra, khususnya yang ditulis oleh pengarang perempuan, pada Angkatan 2000 mulai diangkat bahkan tidak jarang
dijadikan tema sentral. Seperti yang diketahui bersama bahwa konflik yang terjadi
Universitas Sumatera Utara
pada bangsa Indonesia tidak jarang berasal dari persoalan yang sangat sensitif ini karena masyarakat di negara ini mempunyai keanekaragaman agama dan keyakinan.
Dalam Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh dan Supernova: Akar, Dewi Lestari sebagai pengarang mencoba mengungkapkan permasalahan seks yang
masih dianggap tabu untuk dikaitkan dengan masalah keagamaan. Namun, pengarang sebagai penulis yang feminis mencoba perspektif baru dalam berkeyakinan. Tersirat
pengarang hendak meninggikan derajat sang tokoh perempuan yang bernama Diva atau Supernova menjadi tokoh banyak mengetahui segala sesuatu dan terkesan
bersifat otoriter. Tokoh ini berniat mengajarkan cara mencapai kesadaran hidup yang lebih tinggi dan lebih intensif hingga dapat mengenali diri secara utuh. Lihatlah
cuplikan di bawah ini. Kita berusaha memuat apa yang hanya bisa dijangkau abstraksi
bernama ”iman” ke dalam sel-sel otak kita yang sudah usang [...] Saya bukan Guru. Anda bukan murid. Saya hanya pembeber fakta [...]
Hanya ada satu paradigma di sisni: KEUTUHAN. Bergerak untuk SATU tujuan: menciptakan hidup yang lebih baik. Bagi kita. Bagi
dunia. Supernova bukan okultisme. Bukan institusi religi. Bukan kursus filsafat.
KPBJ: 1.
Sedangkan dalam Supernova: Akar menekankan pada konsep tugas atau takdir. Konsep tugas di novel ini merupakan keyakinan bahwa manusia mempunyai
tugas yang mesti diselesaikan dalam kehidupannya di muka bumi. Dalam Supernova: Akar ini juga menyinggung ajaran agama Budha. Meski pada novel ini pengarang
tidak begitu ekstrem menyatakan ideologi feminismenya, namun di beberapa bagian cerita masih tampak juga sikap feminis dari tokoh perempuannya.
Universitas Sumatera Utara
”Kamu tahu apa yang paling menarik sekaligus paling menyebalkan dari diri kamu?” Semburnya tak tertahankan. ”Ketidaktahuanmu
Akan...akan...segalanya” Maksud kamu apa? Aku berdiri. Ia ikut berdiri. Berjalan mendekat.
”You have such a beautiful face, Bodhi”, Ia berbisik. ”So beautiful, it scares the shit outta me” Akar: 79.
Tokoh perempuan di sini Star digambarkan begitu aktif dan agresif merayu Bodhi, tokoh laki-laki utama di novel ini. Dengan berdalih menato bagian buah dada
Star akhirnya kesempatan itu tidak disia-siakan Star dan Bodhi. Setelah selesai menato, mereka pun sama-sama memuaskan gelora rasa dan gairah yang membakar.
Begitu pula pengarang memosisikan tokoh perempuan Star menjadi penakluk laki- laki. Salah satunya Star mengajarkan pada Bodhi bagaimana cara berciuman yang
mengasyikkan. Sikap yang ditunjukkan Star pada Bodhi ini mengindikasikan masih terasanya aroma feminisme pada karya Dewi Lestari ini.
Tabel 6 : Faktor-Faktor Pergeseran Ideologi Feminisme
No Angkatan
Faktor-Faktor Pergeseran Ideologi Feminisme 1970
Pendidikan Status
Sosial Ekonomi
Politik Kekuasaan
Budaya Agama
Primordial Kontemporer
1 Perempuan Kedua
√ √
─ √
─ ─
2 Karmila
√ √
─ ─
√ ─
3 Bukan Impian
Semusim √
─ ─
√ ─
─ 4
Namaku Hiroko ─
√ √
√ √
─ 5
Pada Sebuah Kapal ─
√ √
√ √
─ 6
Melati di Musim Kemarau
√ √
─ √
─ ─
Universitas Sumatera Utara
2000
1 Larung
√ √
√ ─
√ √
2 Saman
√ √
√ ─
√ √
3 Perempuan
Berkalung Sorban √
√ ─
─ √
√ 4
Geni Jora √
√ √
─ √
√ 5
Supernova: Ksatria,Puteri, dan
Bintang Jatuh √
√ √
─ √
√
6 Supernova: Akar
√ √
─ ─
√ √
7 Nayla
√ √
√ ─
√ ─
Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai faktor yang memengaruhi pergeseran ideologi feminisme adalah faktor pendidikan, status sosial
ekonomi, politik kekuasaan, budaya, serta agama. Hal ini dapat dilihat berdasarkan dialog-dialog, perilaku yang bernuansa feminisme dari para tokoh-tokohnya, terutama
tokoh-tokoh perempuan yang ada dalam ketigabelas novel yang mewakili Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 ini.
Faktor pertama yang melatarbelakangi terjadinya pergeseran ideologi feminisme di antara kedua angkatan tersebut adalah pendidikan. Dalam Angkatan
2000, ketujuh novel yang menjadi data diketahui bahwa semua tokoh utama perempuan di sana ternyata mendapat pendidikan formal yang baik. Setelah mereka
tamat, biasanya para tokoh perempuan tersebut memiliki pekerjaan dan karier yang baik sehingga terkesan lebih mandiri dan secara materi juga cukup. Sedangkan faktor
Lanjutan tabel 6
Universitas Sumatera Utara
pendidikan yang memengaruhi pada Angkatan 1970 terdapat empat novel. Di sini dapat dilihat meski para tokoh perempuan juga mengeyam pendidikan yang lumayan
tinggi—bahkan tidak jarang berpendidikan sarjana— namun pemikiran mereka masih didominasi sistem patriarki yang masih melekat kuat. Di samping itu dalam
menyelesaikan berbagai persoalan masih mengikutsertakan orangtua dan keluarga, di samping teman-teman dekat sehingga sangat terasa unsur kekeluargaannya.
Adapun faktor pergeseran ideologi feminisme yang selanjutnya adalah status sosial ekonomi. Faktor ini juga menjadi salah satu penyebab pergeseran ideologi
feminisme yang dapat dilihat dari para tokoh yang ada di dalam cerita maupun dari status sosial ekonomi dari sang pengarang sendiri. Dalam hal status sosial ekonomi
ini dapat dilihat berdasarkan tabel 6 karena hampir semua data novel, masing-masing lima novel pada Angkatan 1970 dan tujuh novel pada Angkatan 2000, menunjukkan
bahwa kehidupan sosial ekonomi yang dianggap mapan dapat mengubah cara berpikir seseorang dalam memandang sesuatu termasuk dalam tuntutan perempuan
dan feminisme ini. Dalam kaitannya dengan faktor sosial ekonomi, ternyata berkaitan dengan tingkat pendidikan yang baik sehingga status sosial ekonomi juga lebih tinggi
di mata masyarakat. Faktor berikutnya adalah kekuasaan dan politik yang juga memiliki pengaruh
dalam pergeseran ideologi feminisme. Kekuasaan dan politik yang berkaitan dengan pemerintahan juga bisa menyebabkan pergeseran tersebut karena sistem
pemerintahan yang berbeda pada tahun 1970-an dan tahun 2000-an di Indonesia. Jika pada masa 1970-an identik dengan kekuasaan orde baru yang dianggap sebagian
Universitas Sumatera Utara
pengarang perempuan telah mengungkung kehidupan perempuan dalam sistem patriarki maka hal itu berubah pada Angkatan 2000, tatkala kebebasan berpendapat
begitu dihargai. Tidak heran jika karya-karya sastra masa kini memiliki tema yang sangat beragam, termasuk tema feminisme. Faktor politik dan kekuasaan yang
bergeser pada Angkatan 1970 hanya terdapat dua novel saja. Sedangkan pergeseran politik dan kekuasaan pada Angkatan 2000 terdapat dalam lima novel.
Adapun faktor budaya yang bersifat primordial juga terdapat dalam lima novel. Sedangkan yang cenderung kontemporer berjumlah tiga novel. Perlu diketahui
bahwa ada dua novel yang berjudul Namaku Hiroko dan Pada Sebuah Kapal memiliki kecenderungan budaya primordial dan budaya kontemporer. Hal ini
disebabkan kisah pada kedua novel tersebut mulanya cenderung primordial, namun di pertengahan hingga akhir cerita pemikiran dan perilaku tokoh perempuan sudah
berubah menjadi budaya yabng lebih kontemporer. Adapun pada Angkatan 2000, ketujuh data menunjukkan sudah tidak ada lagi novel yang bersifat primordial,
semuanya sudah cenderung kontemporer. Faktor agama juga dianggap sebagai salah satu penyebab pergeseran ideologi
feminisme karena tokoh-tokoh pada Angkatan 1970 umumnya begitu patuh dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Sebaliknya pada Angkatan 2000 pada umumnya
nilai-nilai tersebut mulai dipertanyakan kembali bahkan terkadang diselipi keragu- raguan. Berdasarkan tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa pada Angkatan 2000,
pergeseran ideologi feminisme yang dilihat dari aspek agama berjumlah enam novel,
Universitas Sumatera Utara
dengan kata lain hampir keseluruhan data novel yang di dalamnya terdapat pergeseran ideologi feminisme tersebut.
Universitas Sumatera Utara
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN