Posisi Perempuan dalam Konstruksi Sosial yang Dipresentasikan dalam Cerita
cara dan kesempatan tanpa adanya kerelaan si pemilik tubuh. Dengan perkataan lain, Sri Penganti atau lebih dikenal dengan Lanjar Maibit tidak rela konstruksi tubunya dilihat
oleh orang lain. Kekerasan yang lain, karena perempuan dipandang inferior, terjadi ketika Minak Cepala mengejar Lanjar Maibit untuk dikawini.
Minak Cepala merasa dibohongi oleh Sri Penganti. Lantas ia, mengejar ke mana pun Sri Penganti berada untuk menagih janji yaitu Sri Penganti mempersilakan
dirinya dikawini oleh orang yang menemukan cincinnya. Ke manapun Sri Penganti melarikan diri terus dikejar. Berahi untuk mengawini Sri Penganti menggebu.
Akhirnya, Sri Penganti kembali ke Temayang mencari perlindungan. Cerita Rakyat Lanjar Maibit, wawancara Supardi, tanggal 3 Mei 2014, dokumen lengkap
ada pada peneliti.
Pemaksaan kehendak terhadap perempuan terjadi, karena belenggu yang diciptakan perempuan sendiri. Belenggu tersebut muncul sebagai akibat pendobrakan
konstruksi sosial antara laki-laki dan perempuan. Lanjar Maibit tidak mau dikatakan lemah, hanya berada di rumah. Lantas ia keluar rumah, demi membuktikan cintanya
kepada Minak Anggrung. Akan tetapi, tindakan yang dilakukan oleh Lanjar Maibit justru membelenggu dirinya. Berawal dari perebutan cincin, Ia diperebutkan laki-laki, lantas
berujung malapetaka bagi diri dan keluarganya.
Konstruksi perempuan dalam ruang sosial diperebutkan pula dalam cerita-cerita rakyat Tuban yang lain. Perempuan menginginkan kesetaraan gender dalam konstruksi
sosial. Sebagaimana dalam cerita Putri Nyikut, Putri Panggung, dan Rara Ombo. Ketiga cerita tersebut menuntut adanya kesetaraan perlakuan perempuan dalam ruang sosial.
Tokoh perempuan dalam cerita tersebut, memilih meninggalkan istana atau rumah untuk mendapatkan kebebasan dari kekangan laki-laki. Hal semacam ini juga terjadi dalam cerita
Putri Nglirip. Putri Nglirip memilih bertapa di balik air terjun, daripada harus diperlakukan tidak adil oleh ayahnya.
Sang putri pun akhirnya bertapa di salah satu goa di balik air terjun di tengah hutan, air terjun Nglirip. Putri yang patah hati ini menutup diri menolak ditemui
siapapun. Hingga kini sesekali sang putri muncul tengah mengambil air di dasar air terjun Nglirip Cerita Putri Nglirip, wawancara Mahmudi dilakukan bulan
Agustus 2012, dokumen lengkap ada pada peneliti.
Apabila dicermati lebih mendalam, manifestasi ketidakadilan gender terhadap posisi perempuan banyak terjadi di lingkup istana yang dekat dengan kekuasaan.
Meskipun tidak menampik manifestasi tersebut terjadi di dalam lingkungan rumah tangga seperti yang terjadi dalam cerita Lanjar Maibit. Laki-laki yang dekat dengan istana,
memosisikan dirinya lebih superior dan perempuan dipandang dalam posisi inferior. Manifestasi yang mengasumsikan bias gender, telah mengakar di dalam keyakinan laki-
laki dan perempuan berdampak buruk terhadap kehidupan laki-laki dan perempuan. Ketidakadilan gender yang tercermin dalam konstruksi sosial cerita rakyat Tuban, sama-
sama merugikan bagi perempuan dan laki-laki.
Dengan demikian, diperlukan pemahaman terhadap perempuan Tuban. Perempuan Tuban, yang dipandang inferior, melakukan pendobrakan bahwa ia bukan
lemah seperti tampak pada fisiknya. Perempuan dalam cerita rakyat Tuban memilih cara yang berbeda untuk mendapatkan kemerdekaan. Perempuan Tuban, di satu sisi, dalam
menghadapi persoalan ketidakadilan, memilih meninggalkan rumah atau istana. Perlawanan terhadap laki-laki dalam konstruksi sosial lebih halus, tidak terbuka secara
fisik, atau radikal seperti yang dilakukan oleh gerakan-gerakan feminis barat, baik gerakan feminis Amerika, Inggris, atau Prancis Barry, 2010:147
KONFERENSI NASIONAL SASTRA, BAHASA BUDAYA KS2B 2016 | 39 2.
Kekuasaan Laki-laki Terhadap Perempuan dalam Cerita Rakyat Tuban
Feminis marxis menyoroti di dalam sistem patriarki, seorang perempuan adalah makhluk yang harus di-rumah-kan. Perempuan yang sudah menikah harus melayani laki-
laki, menjaga anaknya, dan melakukan pekerjaan lain yang berkaitan dengan perempuan. Feminis Marxis mencoba mengangkat sistem kelas yang ada dalam kultur patriarki di
mana laki-laki adalah kelas pertama, sedangkan perempuan adalah kelas kedua sebagai kelas yang tersubordinasi Thoyib dan Lutfiah, 2015:201
Sama halnya dengan pandangan Hariwijaya, sebagaimana dikutip oleh Roqib 2007:71, bahwa bias gender menempatkan perempuan harus mengalah dan berbuat baik
seperti tatkala dimadu. Meskipun dimadu perempuan jawa harus tetap setia kepada suaminya.
Berbeda halnya dengan kesetiaan perempuan terhadap laki-laki dalam cerita rakyat Tuban. Laki-laki di dalam cerita rakyat Tuban, dipandang memiliki power kekuatan untuk
menguasai perempuan. Seperti halnya kekuatan yang dimiliki oleh ayah Putri Nglirip, untuk “menjinakkan” Putri Nglirip. Berdasarkan cerita Putri Nglirip, perempuan tidak
boleh menentukan nasibnya sendiri. Nasib perempuan sepenuhnya dikendalikan oleh kekuasaan laki-laki. Pilihan dan pedoman hidup perempuan ditentukan oleh laki-laki yang
menguasainya.
Kekuasaan laki-laki terhadap perempuan tercermin pula dalam cerita-cerita rakyat Tuban yang lain, seperti Sri Huning, Lanjar Maibit, Putri Gunung Nyikut, Roro Ombo, dan
Putri Panggung. Cerita-cerita tersebut memiliki kesamaan, bahwa tokoh perempuan dalam cerita rakyat tersebut sepenuhnya dikuasai dan dikendalikan oleh laki-laki istana. Lanjar
Maibit dikuasai oleh Minak Anggrung, putra mahkota Kadipaten Padangan, diperebutkan oleh Minak Cepala, Lurah Logawe, diperebutkan pula oleh Dalang Bedaya. Pada akhir
cerita, Lanjar Maibit mati karena bunuh diri. Kematian Lanjar Maibit tidak lain terjadi karena kekuasaan laki-laki atas perempuan.
Cerita rakyat Tuban yang lain, Sri Huning adalah putri asuh Adipati Wilatikta. Ia mencintai kakak angkatnya yang bernama Raden Wiratmaja. Sri Huning melakukan segala
hal untuk menerjemahkan cintanya. Dalam cerita tersebut, lagi-lagi perempuan dalam bayang-bayang laki-laki istana. Bayang-bayang tersebut, mengakar dalam hati Sri Huning,
bahkan ketika mengetahui Wiratmaja dijodohkan dengan Kumalaretna, putri Adipati Bojonegoro, ia tidak merasa kalah bersaing.
Sri Huning bahkan rela berperang bersama Raden Wiratmaja untuk membuktikan cintanya. Peperangan tersebut dalam rangka membantu Kadipaten Bojonegoro
yang diserang Kadipaten Lamongan. Sri Huning dan Raden Wiratmaja tewas dalam peperangan tersebut Cerita Sri Huning Mustika Tuban, Wawancara
Djaman, 13 Februari 2016.
Berdasarkan cerita tersebut, Sri Huning menjadi tokoh perempuan pahlawan Tuban. Dibalik ketokohan Sri Huning tersebut, sebenarnya ada yang tersembunyi, yaitu
pengaruh kekuasan laki-laki istana terhadap perempuan. Perempuan dalam hal ini, merupakan kelas kedua. Ia memosisikan dirinya sebagai makhluk yang dikuasai.
Kekuasaan laki-laki terhadap perempuan juga tercermin dalam cerita rakyat Rara Ombo, Putri Nyikut, dan Putri Panggung. Perempuan dalam ketiga cerita rakyat tersebut
menjadi orang yang terasing. Keterasingan itu terjadi karena pengaruh laki-laki yang berkuasa. Putri Nyikut harus mengasingkan diri ke Bukit Nyikut, untuk melepaskan diri
dari kekangan laki-laki, dalam hal ini suami. Ia lebih memilih menjadi pedagang kain tenun daripada harus ditekan suaminya.
Putri Panggung sengaja diasingkan oleh ayahnya karena sulit diatur. Di dalam cerita tersebut, Putri Panggung terkenal sebagai perempuan brutal penentang ayahnya. Ia
memiliki kegemaran untuk menggoda laki-laki. Hal ini, mengakibatkan ayah Putri
Panggung harus menahan rasa malu, mengingat ia adalah orang yang terhormat. Menurut etika istana, seorang perempuan harus anggun, lembut kepada laki-laki, penyabar, dan
santun. Sikap demikian, tidak terdapat dalam diri Putri Panggung. Kehadiran Putri Panggung di istana menambah masalah. Apalagi, ia tidak pernah taat kepada ayahnya.
Dengan perkataan lain, Putri Panggung ingin setara dengan laki-laki yang suka menggoda perempuan, berburu, dan bertindak seenaknya saja. Akan tetapi, hal tersebut mendapat
kecaman dari ayahnya. Hak-hak sebagai perempuan yang merdeka, cenderung dikuasai oleh ayahnya. Hal ini, dikarenakan sikap dan perilaku Putri Panggung bertentangan
dengan norma-norma istana.
Cerita Rara Ombo pun demikian, karena perlawanannya terhadap laki-laki, ia diusir dari istana. Kemudian ia memilih mengasingkan diri ke daerah tegalan
perladangan, jauh dari istana. Ia memilih menjadi pembatik daripada harus dikekang oleh suaminya.
Kekuasaan laki-laki yang memandang perempuan berada di kelas kedua atau kelas subordinasi, menyebabkan perempuan berada dalam realitas yang lain. Perempuan dalam
cerita rakyat Tuban, sebagai akibat subordinasi laki-laki, mengalami kehidupan yang tragis. Purbani 2013:375, bahwa para tokoh perempuan ingin menghapus diskriminasi,
subordinasi, dan kekerasan yang berujung pada kehidupan tragis.
Perlawanan yang dilakukan untuk mendobrak dominasi kekuasaan laki-laki, sia- sia. Perlawanan tersebut, bahkan berujung kesengsaraan. Perempuan dalam cerita rakyat
Tuban dipresentasikan sebagai makhluk yang tidak berdaya dan selalu di posisi bawah. Posisi di bawah dipresentasikan sebagai posisi yang tidak merdeka, dikekang, dan
berujung ketragisan.
Berangkat dari kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, Gilman dalam Thornham, 2010:29 berargumen bahwa feminitas adalah penindasan yang dibentuk secara
cultural dan ideologis. Dengan demikian, perempuan adalah perempuan sebagaimana kondisi biologis. Kekuasan perempuan yang menempatkan perempuan yang dikuasai oleh
laki-laki menyebabkan perempuan adalah jenis kelamin, mereka bukan siapa-siapa selain perempuan.
D.
KESIMPULAN
Berdasarkan kritik sastra feminis terhadap perempuan dalam cerita rakyat Tuban, dapat disimpulkan bahwa perempuan berada dalam dimensi yang sempit dalam
konstruksi sosial. Fenomena kehidupan masyarakat dalam cerita rakyat Tuban yang didominasi oleh laki-laki, memunculkan ketidakadilan dan ketertindasan kultur maupun
sosial terhadap perempuan. Fenomena kehidupan tersebut, menunjukkan potensi cerita rakyat untuk memberikan pemecahan terhadap permasalahan kekinian.
Konstruksi sosial dalam cerita rakyat Tuban merupakan gagasan yang dicita- citakan perempuan dalam cerita untuk mendapatkan kesetaraan perlakuan. Gagasan
tersebut, memunculkan fenomena penindasan terhadap perempuan. Selain itu, ketidakadilan terhadap perempuan mengakibatkan perempuan berada dalam po
sisi ‘yang lain’ dalam kehidupan sosial dan budaya. Hal ini, memunculkan ideologi, bahwa
perempuan menolak atau melawan bias-bias di dalam masyarakat. Perempuan menginginkan posisi yang merdeka dominasi laki-laki.
Di samping itu, kekuasaan laki-laki yang memandang perempuan berada di kelas kedua atau kelas subordinasi, menyebabkan perempuan berada dalam realitas yang lain.
Perempuan dalam cerita rakyat Tuban, sebagai akibat subordinasi laki-laki, mengalami kehidupan yang tragis. Selain itu, perempuan dipandang sebagai makhluk yang harus
KONFERENSI NASIONAL SASTRA, BAHASA BUDAYA KS2B 2016 | 41
dikuasai oleh laki-laki baik secara konsruksi sosial, politik maupun biologi. Akibat dari konstruksi sosial dan kekuasaan laki-laki, perempuan dalam cerita rakyat Tuban memilih
untuk mengasingkan diri dari kekangan patriarki. Pengasingan diri merupakan bentuk perlawanan untuk mendapatkan kesetaraan diwujudkan dalam bentuk yang lain yaitu
menjauhkan diri dari jaring-jaring laki-laki. DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan
Aplikasi . Yogyakarta:CAPS.
Santoso, Wijayanti M. 2011. Sosiologi Feminisme: Konstruksi Perempuan dalam Industri Media. Yogyakarta: LKIS.
Musthafa, Bachrudin. 2008. Teori dan Praktik Sastra dalam Penelitian dan Pengajaran. Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia: Bandung
Andersen, Margaret L.1983. Thinking About Women: Sosiological and Feminist Perspectives. New York: Macmillan Pubhlishing Co, Inc.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Madsen, L. Deborah. 2000. Feminist Theory and Literary Practice. London: Pluto Press. Prastowo, Andi. 2010. Menguasai Teknik-teknik Koleksi Data Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Diva Press. Bungin, 2003:64; Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta:Kencama
Kutha Ratna, Nyoman. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Spradley 2007:61 Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. diterjemahkan oleh Misbah
Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana. Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti. Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Citra Wacana.
Sudikan, Setya Yuwana. 2014. Metode Penelitian Sastra Lisan. Lamongan: Pustaka Ilalang Group.
Fakih, Mansour. 2012. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Purbani,Widyastuti. 2013. Watak dan Perjuangan Perempuan dalam Novel-Novel Karya Penulis Perempuan Indonesia dan Malaysia Awal Abad Ke-21
. Jurnal Litera Volume 12, nomor 2, oktober 2013. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta.
Barry, Peter. 2010. Beginning Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.
Thoyib, Muhammad Edy dan Lutfiah, Zumrotun. 2015. Konstruksi Gender dalam Cerpen Jaring Laba-Laba Karya Ratna Idraswari Ibrahim
, Proseding seminar Nasional Bahasa dan Sastra Senabastra VII, Prodi Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura:
Antilia Master Quality. Thornham, Sue. 2010. Teori Feminis dan Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
KONFERENSI NASIONAL SASTRA, BAHASA BUDAYA KS2B 2016 | 43
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA: SUMBER NILAI DIDIK ESTETIS
Anisa Ulfah Nur Aisyah Sefrianah Pendidikan Bahasa Indonesia, Pascasarjana, Universitas Negeri Malang
anisaulfah.pbigmail.com aisyahsefrianahgmail.com
ABSTRAK
Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dapat dijadikan sebagai sumber nilai didik dan estetis. Dikatakan demikian karena karya sastra merupakan sumber nilai
berbagai renungan dan cermin kehidupan masyarakat yang patut diteladani siswa saat ini. Selain itu, karya sastra juga dapat dijadikan sebagai model nyata penggunaan bahasa yang
mengandung nilai estetis. Pembelajaran sastra tidak hanya membelajarkan siswa untuk bisa mengindahkan bahasa, tetapi juga bahasa indah yang sarat makna yang sesuai
dengan ranah penggunaannya. Secara ringkas, artikel ini memaparkan tentang wujud pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai sumber nilai didik dan estetis,
tantangan yang akan dihadapi guru sebagai pelaksana pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, serta kiat yang dapat dilakukan untuk mendukung pelaksanaan pemebelajaran
bahasa dan sastra Indonesia sebagai sumber nilai didik dan estetis.
Kata kunci: pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, nilai didik, nilai estetis