KERANGKA TEORI SONG TO ENHANCE YOUNG LEARNERS ENGLISH SKILL - Repository UNIKAMA

C. METODE

Sesuai dengan tujuan penulisan, metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode kualitatif ini merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang orang-orang dan perilaku yang diamati Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 1989: 3. Secara praktis, metode yang digunakan dalam kajian ini dijabarkan dalam tiga metode sesuai dengan tahapan pelaksanaannya, yaitu 1 metode pengumpulan data; 2 metode analisis data; dan 3 metode penyajian hasil analisis.

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Realitas Sosial dalam Novel Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo Realitas sosial dalam novel Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo dapat dijelaskan sebagai berikut. Penggunaan nama orang yang dihubungkan dengan bulan Jawa. Orang Jawa sering memberikan nama kepada anak-anaknya sesuai dengan bulan Jawa. Penamaan tersebut bisa menyesuaikan bulan kelahiran bayi atau bulan perkawinan orang tua. Dalam novel tersebut nama Sapari diambil dari bulan jadi atau perkawinan. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut: “Ketika sang kakek –ayah dari ayah- mengetahui bahwa bayi yang dalam kandungan akan diberi nama Sapari kalau laki-laki dan Sapariah kalau perempuan, kakek keberatan dengan kata ‘sapar’. Katanya, “Sudah pasti anak itu lahir tidak di bulan Sapar” Dengan malu-malu sang calon ayah menjawab, “Memang tidak diambil dari bulan lahirnya. Tapi bulan jadinya.” Kuntowijoyo, 2001: 1. Kenyataan sosial juga tampak pada kebiasaan membacakan adzan dan qamat pada kedua telinga bayi yang baru lahir itu setelah dibersihkan. Tujuan dibacakannya adzan dan qamat ini adalah agar si jabang bayi kelak menjadi orang yang taat beragama. Kutipan berikut menggambarkan keadaan itu. “Bayi itu lahir laki-laki. Di rumah, ditolong oleh dukun berijazah setempat yang paling favorit. Setiap kali ke Puskesmas, dokternya wanita, masih kanak-kanak penampilannya, tapi amat cerdas, ramah, dan terampil selalu mengatakan bahwa kesehatannya bagus. Karena itu, dia dilahirkan oleh dukun, tidak oleh dokter seperti anak priayi. Setelah dibersihkan, ibunya bangun dan mengucapkan adzan dan qamat, karena ayah bayi itu tak pandai mengucapkan adzan sepatah pun. Ibu bayi itu pernah menyuruh suaminya untuk belajar sembahyang, tetapi selalu dikatakannya, “Nantilah, orang Jawa itu kalau sudah sembahyang, sembahyang sungguhan. Luar dalam.” “Lha iya, sungguhan. Tapi kapan mulai?” “Nanti itu ya nanti.” Kuntowijoyo, 2001: 2 Kutipan di atas menunjukkan bahwa adzan biasa dibacakan oleh seorang ayah pada saat bayinya lahir. Kutipan tersebut juga menggambarkan keadaan dokter di desa yang pada umumnya adalah dokter muda yang penampilannya seperti anak-anak, meskipun cerdas. Sehingga banyak orang desa yang lebih senang melahirkan dibantu dengan seorang dukun setempat. Selain itu, dalam hal beragama, banyak orang Jawa yang KONFERENSI NASIONAL SASTRA, BAHASA BUDAYA KS2B 2016 | 23 memeluk agama Islam tetapi tidak melaksanakan sembahyang, yang sering disebut dengan Islam abangan. Kenyataan sosial tampak pada kebiasaan orang Jawa mengadakan upacara sepasaran pada hari kelima kelahiran bayi. Pada acara sepasaran inilah bayi diberi nama. Diharapkan pemberian nama tersebut mempunyai pengaruh pada bayi yang baru lahir. Pada acara sepasaran ini juga diadakan kenduri dan doa yang dipimpin oleh modin desa. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut. “Pada hari kelima, diadakan sepasaran dengan mengundang macapatan dan gamelan sederhana. Dengan bangga kakek itu mengumumkan bahwa cucunya diberi nama Abu Kasan Sapari. Abu diambil dari nama sahabat nabi Abu Bakar, Kasan adalah nama cucu nabi, dan Sapar adalah bulan perkawinan kedua orang tuanya. Diharapkannya bahwa nama itu ada pengaruhnya pada jabang bayi yang baru lahir. Kemudian denga suara serak seseorang tua melagukan Dhandanggula peningggalan Sunan Kalijaga yang berisi doa keselamatan. Pembacaan macapat itu ditutup dengan kenduri dan doa yang dipimpin oleh modin desa.” Kuntowijoyo, 2001: 2-3 Realitas sosial yang lain adalah adanya acara akikah sebagaimana ajaran dalam agama Islam, apabila menerima bayi laki-laki harus menyembelih dua ekor kambing dan apabila perempuan harus menyembelih satu ekor kambing. Acara akikah dilaksanakan dengan mengundang kelompok slawatan dan bersama-sama membaca shalawat. Kutipan berikut menunjukkan hal ini. “Sesampai di desa baru, kakek nenek tahu bahwa kelahiran Abu belum disambut dengan akikah. Maka dipotonglah dua ekor kambing jawa. Betul kambing begituan lebih berbau tetapi dagingnya lebih enak. Anak-anak akan bermain teka- teki, “Ada kambing menari di atas sendok, apa?” Jawabnya: gulai kambing Kambing-kambing dimasak, dan malam hari diundang kelompok slawatan. Kelompok itu akan memulai pertunjukkan denga seruan untuk bersama-sama membaca shalawat, “Shalu ‘alaik” Kuntowijoyo, 2001: 6-7 Realitas sosial lain bahwa adanya kebiasaan untuk menyapih bayi bila sudah cukup umur. Disapih artinya bayi sudah tidak lagi minum air susu ibunya. “Sekalipun sudah dipersiapkan sebelumnya dan ibunya sudah me-nyapih bayi dalam umur 10 bulan, hingga Abu tidak lagi minum dari susu ibunya, rasanya berat juga bagi si ibu untuk berpisah. “Kuntowijoyo, 2001: 6. Realitas sosial juga tampak pada kehidupan bermasyarakat. Orang Jawa dalam lebih mementingkan gotong royong dalam menyelesaikan pekerjaan untuk kepentingan orang banyak, misalnya membuat saluran air, bekerja bakti, dan lain-lain. Kutipan berikut menjelaskan hal tersebut. “Abu ingin membayar jerih payah orang-orang yang bergotong-royong membangun saluran. Gagasan tentang saluran itu meledak seperti petasan di dusun yang gersang itu. Orang berembuk di kelurahan. Ia mengusulkan membuat saluran air dari bambu saja; lebih alami, praktis, tidak usah beli, sebab hampir setiap rumah ada bambunya. Setelah dihitung-hitung, orang lebih suka pakai pralon. Kata mereka pralon lebih awet, ukurannya sama, lebih mudah nyambungnya. Bambu bisa dijual ke kota, dan ditukarkan pralon. Diputuskan bahwa air akan disalurkan ke tiga tempat: kelurahan, masjid, dan gardu siskamling. Akan dibuat MCK di situ. Abu Kasan Sapari diserahi orang untuk menjadi Kepala Proyek.” Kuntowijoyo, 2001: 17. Realitas sosial bisa diamati pada adanya kebiasaan musim giling akan ditandai adanya cembeng atau pasar malam. Perayaan tersebut dimaksudkan untuk menghibur para buruh pabrik gula. Selain hiburan, juga pameran hasil-hasil pertanian. Berikut adalah kutipan yang menunjukkan hal itu. “Sebagai orang yang pernah tinggal di Palar, ia tahu persis bahwa hari-hari ini ada cembeng di pabrik gula Tasikmadu, perayaan tanda dimulainya musim giling. Perayaan itu dimaksudkan untuk menghibur para buruh, tetapi penduduk sekitar pabrik dan orang yang jauh juga datang. Ada pasar, ada pameran, ada pertunjukkan. Abu terpikir pergi, juga karena dia turut mempersiapkan kecamatannya untuk pameran. Kedudukannya sebagai staf kecamatan membuat dia tahu di mana bisa pinjam truk dan sopirnya.” Kuntowijoyo, 2001: 18 Realitas sosial yang lain adalah perlunya mengajarkan ilmu kepada orang lain. Pengertian ilmu itu sangatlah luas, karena hampir semua pengalaman manusia adalah ilmu. Kutipan berikut menjelaskan pentingnya mengajarkan ilmu kepada orang lain. “Nah, kaulah yang saya cari selama ini.” Ketika Abu menoleh, dilihatnya seseorang dengan iket lepasan, baju surjan lurik, dan sarung kotak-kotak. Dari cambang, kumis, dan janggutnya yang putih, serta jari-jarinya yang berotot di bawah lampu listrik tampak bahwa orang itu adalah pendekar. Laki-laki tua itu memintanya berdiri dan mengajaknya ke tempat sepi. Entah apa sebabnya, seperti kena sihir, ia mengikutinya. Sampailah keduanya di tempat sunyi. “Ini rahasia. Daun dan rumput tak boleh mendengar,” kata orang itu. Di kejauhan terdengar pengeras suara dengan musik dangdut. “Kau tidak boleh meninggal sebelum mengajarkan ilmu ini pada orang yang tepat.” “Apa itu?” “Mantra pejinak ular.” Kemudian orang itu mencari telinga kanan Abu, dan membisikkan sebuah kalimat. “Paham?” Kembali orang itu berbisik di telinga kanan Abu.” Kuntowijoyo, 2001: 19. Realitas sosial juga tampak pada persiapan akan diadakannya lomba desa. Agar menang seluruh warga desa mempersiapkan dengan bekerja keras. Berbagai persiapan dilakukan, seperti memasang bendera, umbul-umbul, adanya sambutan, panembromo, baca puisi, dan sebagainya. Dengan dipimpin oleh pak Camat, pak Lurah, sesepuh desa atau orang-orang yang disegani, seluruh warga desa bekerja mempersiapkan lomba desa. Berikut adalah kutipan yang menunjukkan hal itu. “Di kantornya ada sebuah surat tentang lomba desa se kabupaten. Tugasnya ialah supaya predikat Desa Teladan itu jatuh di salah satu desa di Kemuning. Pak Camat mempercayakan padanya. Setelah berpikir, ada dua hal yang akan dikerjakannya. Pertama, ia akan menggerakkan orang untuk membuat pagar hidup. Pagar hidup tepat untuk desa pegunungan. Lebih alamiah daripada pagar tembok, lebih murah, lebih awet, dan lebih manfaat. Kedua, tiap desa