PEMANFAAT MEDIA SOSIAL DALAM PROSES
Rahyono 2002 menjelaskan bahwa Bahasa yang merupakan ekspresi lingustis dan juga termasuk dalam lapisan kedua merupakan penanda, sedangkan nilai norma gagasan
merupakan petanda. bahasa meruppakan tanda yang merepresentasikan nilai norma ide gagasan, yakni isi atau kandungan kebudayaan. Wardhaugh 1987:212 juga menyatakan
bahwa makna-makna yang berada di dalam budaya diekspresikan dengan menggunakan bahasa. Akan tetapi, bahasa juga dapat digunakan untuk menghindari penyebutan hal-hal
tertentu.
Pembudayaan dalam kesantunan berbahasa merupakan ungkapan-ungkapan harus difilter, disesuaikan dengan kondisi agar bahasa yag digunakan berkaidah santun sesuai
dengan kesantunan bahasa. Kesantunan sendiri berarti baik halus dan berbudi luhur. Tentu kesantunan berbahsa tercermin dalam tata cara berkomunikasi secara verbal. Jadi,
hakikat kesantunan berbahasa adalah hal yang paling mendasar yang dapat menjadi sebuah prinsip dan strategi dalam hal kehalusan dalam berbahasa yang baik dan benar.
Kesantunan berbahasa suatu tuturan pada umumnya tergantung pada tiga kaidah yang harus dipatuhi. Menurut Chaer 2010:10 ketiga kaidah ini adalah 1 formalitas, 2
ketidaktegasan 3 kesamaaan atau kesekawanan. Kaidah pertama memiliki arti bahwa suatu tuturan tidak boleh memaksa dan menunjukkan keangkuhan. Kaidah kedua berarti
lawan tutur memiliki pilihan dalam merespon tuturan yang disampaikan, dan kaidah ketiga secara sederhana dapat diartikan adanya kesetaraan antara penutur dan lawan
tutur.
Menurut Leech 1993:206-207 sebagai retorika interpersonal, pragmatik masih memerlukan prinsip lain di samping prinsip kerja sama, yakni prinsip kesopanan
politeness principle . Prinsip kesopanan terbagi atas berbagai maksim kebijaksanaan tact
maxim , maksim kemurahan hati generosity maxim, maksim penerimaan approbation
maxim , maksim kerendahan hati modesty maxim, maksim kecocokan agreement maxim,
dan maksim kesimpatian sympathy maxim. Kesantunan berbahasa digunakan agar mitra tutur merasa nyaman dan nyambung dalam berkomunikasi, sehingga tujuan komunikasi
sesuai substansinya. Bahasa yang baik adallah bahasa yang digunakan dengan baik dan benar.
F.
CERMINAN KARAKTER
Karakter dalam KBBI cetakan ketiga 1990:389 diartikan “sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain; berkarakter
bermakna mempunyai kepribadian”. Karakter adalah gambaran yang dapat dilihat dari nilai benar dan salah dalam bentuk tindakan, perbuatan atau tingkah laku dalam
kehidupan sehari-hari.
Karakter manusia bisa dipupuk melalui sebuah pembelajaran, baik formal maupun informal. Terlebih di era ini karakter bisa dibentuk melalui pemanfaatan media sosial
terkhusus Whatsapp. Dengan media ini diharapkan, melatih peserta didik untuk belajar bertanggung jawab, jujur, berpendapat dan sebagainya.
Manusia yang memiki kesantunan berbahasa jelas mencerminkan karakter suatu komunitas tertentu, komunitas itu nantinya akan mencerminkan bangsa itu sendiri. Jadi,
bersikap arif dalam berbahasa merupakan perwujudan menjunjung tinggi nilai Pancasila.
KONFERENSI NASIONAL SASTRA, BAHASA BUDAYA KS2B 2016 | 91 G.
SIMPULAN
Bahasa memiliki peran yang sangat vital dalam pembangunan bangsa, khususnya pembangunan moral dan mental sebagai pondasi bangsa yang berdikari. Maka, bahasa
sudah selayaknya mendapatkan perhatian lebih. Tidak serta merta menuntut pada pemerintah saja melainkan peran serta penggguna bahasa itu sendiri. Bahasa sebagai
cerminan sebuah bangsa tidak terlepas dari budaya yang ada, budaya yang baik menghasilkan sebuah tata krama atau etika yang baik pada masyaraatnya. Secara teoritis
semua orang harus berbahasa santun, semua orang harus berpegang teguh pada etika berbahasa agar tujuan komunikasi dapat tercapai tanpa pergesekan sosial. Oleh karena itu,
pembudayaan kesantunan bahasa memegang peran vital untuk mencapai manusia yang berbudaya dan berkarakter.
DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka. Erlina. 2009. Belajar Menggunakan Internet. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kunarto, Ninik M. 2007. Cermat dalam Berbahasa, Teliti dalam Berpikir. Jakarta: Mitra Wacana
Media. Leech, Geoffrey. 1993. Oka Terjemahan. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas
Indonesia. Mulyasa, E. 2013. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan . Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Wardhaugh, R. 1987. Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell. Rahyono, F. X. 2002. Representamen Kebudayaann Jawa Teknik Komparatif Referensial
pada Teks Wedhatama. Wacana, Vol. 4, 18. Muslich, Masnur. 2006. “Kesantunan Berbahasa Indonesia sebagai Pembentuk Kepribadian
Bangsa ”.
Dalam http:muslich-m.blogspot.co.id200704kesantunan-
berbahasa-sebuah-kajian.html. Diunduh pada tanggal 06 Mei 2016 Pukul 20.58 WIB
Mustakim. Bahasa sebagai Jati Diri Bangsa. Diambil dari Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, diakses
06 Mei
2016, http:badanbahasa.kemdikbud.go.idlamanbahasaartikel321
KONFERENSI NASIONAL SASTRA, BAHASA BUDAYA KS2B 2016 | 93
SUBORDINATOR PENANDA RELASI FINAL ANTARKLAUSA DALAM KALIMAT MAJEMUK BERTINGKAT
Shofiyuddin
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP, Universitas PGRI Ronggolawe Tuban
Jalan Manunggal No. 61 Tuban, Jawa Timur Email: shofiunirowgmail.com
ABSTRAK
Kalimat majemuk dibedakan atas kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat. Perbedaan tersebut didasari oleh hubungan antarklausa di dalamnya. Struktur
kalimat majemuk setara terdiri atas dua klausa yang keduanya merupakan klausa inti. Kesamaan klausa tersebut menunjukkan bahwa antarklausa dalam kalimat majemuk
setara digabungkan dengan cara berkoordinasi dan antarklausa tersebut memiliki kedudukan yang sama. Berbeda dengan kalimat majemuk bertingkat, yang di dalamnya
terdapat klausa yang berfungsi sebagai konstituen klausa yang lain. Hubungan antarklausa yang terjadi dalam kalimat majemuk ditandai dengan kehadiran konjungtor
kata penghubung. Ada dua cara untuk menghubungkan antarklausa dalam kalimat majemuk, yaitu dengan koordinasi dan subordinasi. Koordinasi merupakan cara
penggabungan antarklausa yang masing-masing memiliki kedudukan yang setara dalam struktur konstituen kalimat. Hubungan seperti ini biasa disebut dengan kalimat majemuk
setara. Subordinasi merupakan penggabungan antarkalusa yang menunjukkan salah satu klausanya menjadi bagian dari klausa yang lain, sehingga antarklausa tersebut memiliki
kedudukan yang tidak sama. Klausa yang menjadi bagian dari klausa lainnya disebut klausa subordinatif, sedangkan lainnya disebut klausa utama. Hubungan seperti ini
disebut dengan kalimat majemuk bertingkat. Relasi semantis klausa subordinatif dengan klausa utama banyak ditentukan oleh jenis dan fungsi klausa subordinatif. Relasi tersebut
antara lain; relasi temporal, kondisional, konsesif, finaltujuan, komparatif, penyebaban, konsekutif, cara, sangkalan, kenyataan, hasil, penjelasan, dan atributif. Kajian ini
difokuskan pada subordinator penanda relasi final antarklausa dalam kalimat majemuk bertingkat. Relasi final terdapat dalam kalimat yang klausa subordinatifnya menyatakan
suatu tujuan atau harapan dari apa yang disebutkan dalam klausa utama. Relasi final dapat ditandai dengan konjungtor suborditif: agar, untuk, supaya, dan biar. Kehadiran
konjungtor tersebut dalam kalimat majemuk bertingkat menunjukkan hubungan harapan. Kata kunci: subordinator, relasi final, kalimat majemuk bertingkat
A.
PENDAHULUAN
Konstruksi kalimat dalam bahasa Indonesia dikenal atas kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Perbedaan kalimat tunggal dan kalimat majemuk dapat dilihat dari
jumlah konstituen yang terdapat dalam struktur kalimat. Ramlan 2001:49 menyebut kalimat majemuk dengan kalimat luas, yakni kalimat yang terdiri atas dua klausa atau
lebih.
Hasan Alwi, et.al. 2003;315 membedakan kalimat majemuk menjadi dua macam, yaitu kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat. Perbedaan tersebut
didasari oleh hubungan antarklausa di dalamnya. Dalam kalimat luas yang setara, klausa