The Effectiveness of Using Different Types of English Dictionaries on Students’
tersebut. Dengan demikian, kualitas argumentasi yang disajikan dalam esai tersebut menjadi lebih berkualitas.
Akan tetapi, walaupun peranan pola retorika argumen-kontrargumen seperti dijelaskan di atas sangatlah penting dalam menciptakan sebuah esai argumentatif yang
berkualitas, belum banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengkaji value atau pentingnya pola argumentasi semacam ini dalam konteks pembelajaran bahasa Inggris
sebagai bahasa asing EFL di Indonesia. Dalam hal retorika penulisan, banyak studi dilakukan di Indonesia e.g., Arsyad, 1999; Budiharso, 2006; Cahyono, 2000; akan tetapi
penelitian-penelitian ini lebih banyak berfokus pada penggunaan strategi menulis khususnya yang berkaitan dengan general macro-level dari struktur argumentasi,
keruntutan straightforwardness dari ide atau argumen yang disajikan, dan bagaimana ide utama didukung oleh justifikasi yang relevan; yaitu tema-tema yang umumnya dikaji
dalam perspektif Contrastive Rhetoric.
Aspek-aspek tersebut tentunya penting untuk dikaji, akan tetapi bukan hanya aspek-aspek itu saja yang berkontribusi pada tingkat persuasi dari argumen dan proses
pengembangan pengetahuan si penulis melalui esai. Aspek-aspek lainnya yang relevan seperti bagaimana seorang penulis mengembangkan sebuah interaksi resiprokal dengan
pembaca dalam imaginasi si penulis dengan cara mengakui keberadaan opini yang berbeda dan memberikan respons terhadap opini yang berbeda tersebut yang
didefinisikan oleh
Ede dan Lunsford 1984, p. 156 sebagai “audience invoked” dan bukan “audience addressed” belum banyak dikaji. Di samping itu, esai yang mengabaikan opini
pembaca yang kemungkinan berbeda dan hanya berfokus pada keruntutan argument yang disajikan dalam esai secara retorika, menurut Ede dan Lunsford, bersifat satu sisi atau one-
sided
; sehingga kurang meyakinkan atau persuasif. Berdasarkan penjelasan diatas, tulisan ini dibuat untuk memberikan deskripsi atau
ulasan baik secara teoritiskonseptual dan empiris, yaitu beberapa hasil penelitian sebelumnya terkait dengan penggunaan model argumentasi dialogis ini. Ulasan ini
penting untuk memberikan pemahaman lebih mendalam tentang penggunaan model pengembangan argumentasi multi-sided dalam esai bahasa Inggris, dan juga untuk
menemukan research gaps sebagai bahan atau ide untuk penelitian lanjutan. B.
Review Teoritis terhadap Model Pengembangan Argumentasi Multi-sided
Banyak pakar tentang menulis termasuk Hoey 2001 dan Thompson 2001 mengatakan bahwa menulis sejatinya adalah sebuah dialog resiprokal antara seorang
penulis dan pembaca dalam imajinasinya. Tujuan menulis dalam semua bahasa adalah untuk mengkomunikasikan makna pada orang lain yang ditandai dengan adanya
penggunaan berbagai textual clues seperti pernyataan, pertanyaan, konjungsi dan modalitas yang dimaksudkan untuk mengekspresikan possibilitas dan kepastian certainty. Ini
semua adalah sebuah bentuk proses komunikasi dialogis yang nyata. Akan tetapi, terdapat beberapa konsep yang berbeda dari sisi tingkatan ketersuratan transaksi ide dalam
menulis antara si penulis dan pembaca dalam imajinasi si penulis di berbagai bahasa
Čmejrková and Daneš, 1997. Dalam hal struktur retorika penulisan, Bahasa Inggris sering digambarkan memilki
konsep writer-responsible Hinds, 1987, sementara bahasa-bahasa lain seperti Bahasa Cina dan Bahasa Indonesia mengadopsi konsep dialog yang lebih bersifat implisit antara
penulis dan pembaca dalam imajinasi si penulis yang ditunjukkan dengan penyajian informasi yang lebih bersifat tidak langsung dan implisit Hinkel, 1999; Kuntjara, 2004.
Oleh karena itu, penggunaan struktur argument-kontraargumen dalam tulisan
KONFERENSI NASIONAL SASTRA, BAHASA BUDAYA KS2B 2016 | 191
argumentatif Bahasa Indonesia bisa saja tidaklah eksplisit atau tersurat. Penelitian yang dilakukan oleh Arsyad 1999 menemukan bahwa fitur
readers’ possible opposing views fitur dimana penulis mengikutsertakan pendapat yang kira-kira berbeda dengan opini si
penulis dan kontraargumen terhadap opini tersebut secara umum tidak digunakan dalam esai argumentatif Bahasa Indonesia yang ditulis oleh mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia
tahun ke tiga. Arsyad menyimpulkan bahwa absennya fitur ini dalam esai tersebut dikarenakan bahwa secara budaya orang Indonesia biasanya menghindari untuk
menentang opini atau pendapat orang lain secara langsung karena tindakan mengkritik orang lain, utamanya pada mereka dengan status sosial yang lebih tinggi, dianggap tidak
sopan. Oleh karena itu, penulis Bahasa Indonesia, utamanya mahasiswa, mungkin saja tidak pernah menerima pembelajaran secara eksplisit tentang struktur argument-
kontraargumen dalam menulis sewaktu mereka menjalani pendidikan formal.
Kalaupun mahasiswa telah menerima pengajaran tentang struktur argument- kontraargumen sewaktu kuliah di prodi pendidikan Bahasa Inggris baik secara langsung
maupun tidak langsung dari buku-buku teks tentang menulis, hal ini tidaklah menjadi jaminan untuk mampu membangun pola argumentasi yang bersifat dialogis ini secara
baik. Beberapa pakar menulis e.g., Bereiter Scardamalia, 1987, mengatakan bahwa untuk bisa membangun pola argumentasi semacam ini dengan baik penulis membutuhkan
pemikiran yang secara kognitif lebih mendalam, bahkan untuk pembicara asli Bahasa Inggris yang secara linguistik relatif tidak punya kendala dalam Bahasa Inggris. Hal ini
karena seorang penulis dituntut untuk memplanning ide yang dimilikinya, memplanning opini-opini yang kira-kira berbeda dengan si penulis, dan menciptakan sebuah framework
kerangka pemikiran yang mampu menghubungkan keduanya Gárate and Melero, 2004. Pola argumentasi seperti ini merefleksikan proses penulisan yang umumnya dilakukan
oleh penulis yang sudah mahir skilled writers, yang digambarkan oleh Bereiter dan
Scardamalia 1987 dengan “knowledge transforming model” p. 12 dan bukan “knowledge telling model
” p. 8, yaitu proses menulis yang umumnya dilakukan oleh penulis pemula novice writers.
Kesulitan mengembangkan esai menggunakan struktur argument-kontraargumen ini akan semakin besar bagi penutur asing Bahasa Inggris utamanya mereka dengan
tingkatan kemampuan Bahasa Inggris rendah, karena hal ini akan membuat working memory
nya menjadi overload. Nampaknya akan menjadi sulit secara kognitif bagi penulis untuk mengembangkan pola retorika menulis argument-kontraargumen jika kemampuan
berbahasa Inggrisnya belum sampai pada tingkatan automatic. Dalam kondisi ini, penulis akan cenderung menyederhanakan struktur argumentasi misalnya dengan cara
mengembangkan model argumentasi one-sided untuk mengakomodasi terbatasnya kemampuan Bahasa Inggris mereka.
Menurut Tirkkonen-Condit 1984, 1996 sangatlah penting bagi seorang penulis untuk melibatkan pembaca dalam sebuah dialog dengan cara memberikan structural units
atau bagian-bagian yang menunjukkan struktur dari esai, seperti Situation, Problem, Refutation
counter-argument, Solution, dan Conclusion. Struktur-struktur ide ini didasarkan pada pemahaman bahwa tulisan argumentatif bahasa Inggris pada dasarnya adalah
sebuah aktivitas problem-solving Govier, 1996. Pembaca diasumsikan mempunyai opini yang berbeda dari si penulis tentang isu yang didiskusikan; sehingga, ini menjadi tugas
dari penulis tersebut untuk bisa meyakinkan dan merubah opini dari pembaca tersebut.
Pada bagian situation informasi yang melatarbelakangi esai dikenalkan yang mencakup fakta dan pandangan untuk mengarahkan pembaca pada topik. Bagian ini
diikuti oleh bagian problem, yaitu pernyataan yang menunjukkan bahwa terdapat sebuah gap
antara yang difikirkan oleh pembaca dan penulis tentang topik. Dalam bagian ini, thesis statement
dari esai dinyatakan dan justifikasi e.g., contoh, deskripsi, statistik, dan
naratif. dari thesis statement tersebut diberikan. Dalam bagian ini juga, si penulis juga mengakui keberadaan readers’ possible opposing views ide atau opini yang mungkin
berbeda dari pembaca, memberikan kontra-argumen terhadap opini yang berbeda tersebut, dan memberikan bukti atau penjelasan yang mendukung kontra-argumen
tersebut. Proses ini disebut dengan refutation. Dengan kata lain, refutation terdiri dari tiga aspek, yaitu 1 ide atau opini yang mungkin berbeda dari pembaca; 2 kontra-argumen;
dan 3 bukti atau penjelasan yang mendukung kontra-argumen.
Bagian berikutnya adalah solution, yaitu bagian esai yang menyatakan kondisi ideal yang ditawarkan oleh penulis untuk menjawab isu yang didiskusikan. Struktur
argumentasi ini kemudian diakhiri oleh bagian evaluation atau kesimpulan yang merangkum keseluruhan ide yang disajikan dalam esai. Proses menulis dialogis ini secara
sederhana dapat dirangkum dalam Figure 1 berikut. Figure 1. The Dialogic Process in an English Argumentative Text Arsyad, 1999, p. 89
C.
Review Empiris terhadap Model Pengembangan Argumentasi Multi-sided
Dalam kontek EFL Bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia, studi yang dilakukan oleh Cahyono 2000 menemukan bahwa mahasiswa dengan tingkat
kemampuan Bahasa Inggris lebih tinggi sebagai konsekwensi dari belajar Bahasa Inggris lebih lama mahasiswa jurusan Bahasa Inggris tahun ke empat mampu menulis esai
persuasif secara lebih baik dalam hal struktur argumentasi baik dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dibandingkan dengan mahasiswa junior mereka mahasiswa jurusan
Bahasa Inggris tahun pertama dengan tingkatan kemampuan Bahasa Inggris lebih rendah.
Penelitian yang dilakukan oleh Arsyad 1999 yang membandingkan struktur argumentasi esai argumentatif Bahasa Inggris yang ditulis oleh mahasiswa Indonesia
N=10 yang sedang kuliah di Australia dan esai argumentatif yang ditulis oleh mahasiswa asli Australia yang juga merupakan pembicara asli Bahasa Inggris N=10, juga
menunjukkan bahwa esai yang dibuat oleh mahasiswa Indonesia tersebut relatif sama dalam hal struktur argumentasi dan kualitas dengan esai sejenis yang ditulis oleh
partisipan pembicara asli Bahasa Inggris. Mahasiswa Indonesia tersebut telah lama belajar di Australia dan telah dilatih dan telah terbiasa dengan standar penulisan ilmiah Bahasa
Inggris. Kemampuan Bahasa Inggris mereka juga relatif tinggi karena untuk bisa kuliah di Australia, mereka harus mencapai skor IELTS International English Language Testing
System
minimal 6.5. Tingkatan kemampuan Bahasa Inggris yang relatif tinggi ini menjadi salah satu faktor penting dibalik kemampuan mereka menggunakan struktur retorika
SITUATION
PROBLEM REFUTATION
SOLUTION
EVALUATION
KONFERENSI NASIONAL SASTRA, BAHASA BUDAYA KS2B 2016 | 193
penulisan Bahasa Inggris. Akan tetapi, penelitian-penelitian di atas tidak memiliki fokus utama pada penggunaan struktur argument-kontraargumen atau retorika menulis yang
bersifat double-sidedmulti-sided. Penelitian-penelitian tersebut umumnya berfokus pada struktur argumen atau strategi makro, kelugasan dari argumentasi yang disajikan dalam
esai, dan bagaimana argumen utama didukung oleh justifikasi yang relevan. Sehingga studi lanjutan perlu dilakukan yang berfokus langsung pada penggunaan model
argumentasi yang bersifat double-sidedmulti-sided.
Penelitian yang dilakukan oleh Rusfandi 2015 menemukan bahwa mayoritas mahasiswa prodi bahasa Inggris dalam penelitiannya menggunakan model argumentasi
one-sided dalam menulis esai argumentatifnya baik dalam bahasa kedua Bahasa Inggris
maupun bahasa pertamanya Bahasa Indonesia, dengan memfokuskan hanya pada bagaimana menyatakan klaim utamanya dan memberikan justifikasi yang relevan
terhadap klaim utama tersebut. Penelitian ini juga menemukan bahwa penggunaan struktur rhetorika yang double-sided atau multi-sided mempengaruhi kualitas esai secara
keseluruhan baik dalam Bahasa Inggris maupun dalam Bahasa Indonesia, disamping faktor lain seperti kemampuan umum bahasa Inggris dari si penulis.
Akan tetapi, penelitian ini berfokus pada produk tulisan mahasiswa tanpa melibatkan intervensi guru dan teman dalam proses belajar mengajar. Sehingga, temuan
berbeda mungkin akan didapatkan ketika penelitian difokuskan tidak hanya pada produk tulisan tetapi juga proses pembelajaran dimana mahasiswa menerima pemahaman
konsep argumentasi yang bersifat doublemultiple sided dan mempraktekkannya. Hal ini penting untuk dilakukan untuk mengetahui apakah tingkat preferensi mahasiswa prodi
Bahasa Inggris dalam menggunakan pola retorika one-sided dalam penelitian sebelumnya Rusfandi, 2015 diakibatkan oleh terbatasnya informasi atau pemahaman tentang konsep
menulis yang bersifat dialogis. Hal ini mungkin dikarenakan adanya perbedaan konsep umum argumentasi antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Seperti yang dikatakan
oleh Arsyad 1999, orang Indonesia umumnya menghindari untuk mendebat atau mengkritik opini orang lain secara langsung, utamanya pada mereka dengan tingkat status
sosial yang lebih tinggi, karena dianggap tidak sopan cf. Kuntjara, 2004. Oleh karena itu, mahasiswa mungkin saja belum menerima pembelajaran tentang bagaimana
menggunakan atau mengembangkan struktur retorika menulis dialogis selama menjalani pendidikan formal mereka.
D.
KESIMPULAN
Sangatlah penting bagi penulis esai argumentatif bahasa Inggris, khususnya bagi pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia, untuk mampu membangun
model argumentasi yang bersifat multi-sided, karena dalam tradisi penulisan bahasa Inggris pola pengembangan argumentasi seperti ini yang dianggap lebih berkualitas dan
persuasif. Oleh karena itu pemahaman yang baik terhadap model argumentasi yang bersifat multi-sided harus diberikan mengingat ada kemungkinan perbedaan model
argumentasi dalam tradisi penulisan esai argumentatif antara bahasa Indonesia dan Inggris. Beberapa hasil penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa esai argumentatif
yang ditulis pembelajar bahasa Inggris di Indonesia cenderung tidak menggunakan model argumentasi multi-sided. Penelitian lanjutan terkait pembelajaran menulis bahasa Inggris
dengan struktur retorika multi-sided harus terus dilakukan tidak hanya dilihat dari sisi produk tetapi juga proses dan dengan menggunakan berbagai macam pendekatan seperti
linguistik, kognitif, afektif, dan kultural.
REFERENSI Arsyad, S. 1999. The Indonesian and English argument structure : A cross-cultural
rhetoric of argumentative texts. Australian Review of Applied Linguistics, 222, 85- 102.
Bereiter, C., Scardamalia, M. 1987. The psychology of written composition. Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Berrill, D. P. 1992. Issues of audience: Egocentrism revisited. In R. Andrews Ed., Rebirth of rhetoric: Essays in language, culture, and education
pp. 81-101. London: Routledge.
Budiharso, T. 2006. The rhetoric features of English and Indonesian essays made by EFL undergraduate students. TEFLIN Journal, 172, 157-186. Retrieved from Retrieved
from http:sastra.um.ac.idwp-contentuploads200910The-Linguistic-
Features-of-English-and-Indonesian-Essays-Made-by-EFL-Undergraduate- Students-Teguh-Budiharso.pdf
Cahyono, B. Y. 2000. Rhetorical strategies in the English and Indonesian persuasive essays of Indonesian university students.
Master Thesis, Concordia University, Montreal, Quebec.
Čmejrková, S., Daneš, F. 1997. Academic writing and cultural identity: The case of Czech academic writing. In A. Duszak Ed., Culture and styles of academic discourse
pp. 41-61. Berlin: Mouton de Gruyter. Ede, L., Lunsford, A. 1984. Audience addressedaudience invoked: The role of
audience in composition theory and pedagogy. College Composition and Communication, 35
2, 155-171. Fahnestock, J., Secor, M. 1990. A rhetoric of argument 2 ed.. New York City, New York:
McGraw-Hill. Gárate, M., Melero, A. 2004. Teaching how to write argumentative texts at primary
school. In G. Rijlaarsdam, H. v. d. Bergh, M. Couzijn Eds., Effective learning and teaching of writing: A handbook of writing in education
pp. 323-337. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
Govier, T. 1996. Writers, readers, and arguments. In D. P. Berril Ed., Perspectives on written argument
pp. 73-90. Cresskill, New Jersey: Hampton Press. Hinds, J. 1987. Reader versus writer responsibility: A new typology. In U. Connor R. B.
Kaplan Eds., Writing across languages: Analysis of L2 text pp. 141-152. Reading, Massachusetts: Addison Wesley.
Hinkel, E. 1999. Culture and second language writing. In E. Hinkel Ed., Culture in second language teaching and learning
pp. 71-73. Cambridge: Cambridge University Press. Hoey, M. 2001. Textual interaction: An introduction to written discourse analysis. London:
Routledge.
KONFERENSI NASIONAL SASTRA, BAHASA BUDAYA KS2B 2016 | 195
Kuntjara, E. 2004. Cultural transfer in EFL writing: A look at contrastive rhetoric on English and Indonesian. Kta, 61, 1-13. Retrieved from Retrieved from
http:puslit2.petra.ac.idejournalindex.phpingarticleview16256 Leitão, S. 2000. The potential of argument in knowledge building. Human Development,
43 6,
332-360. Retrieved
from Retrieved
from http:search.proquest.com.ezproxy.library.uq.edu.audocview224010887?acco
untid=14723 OKeefe, D. J. 1999. How to handle opposing arguments in persuasive messages: A meta-
analytic review of the effects of one-sided and two-sided messages. In M. E. Roloff G. D. Paulson Eds., Communication yearbook 22 pp. 209-249. London: SAGE
Publications.
Rusfandi. 2015. Argument- Counterargument Structure in Indonesian EFL Learners’
English Argumentative Essays: A Dialogic Concept of Writing. RELC Journal, 46
2, 181-197. Thompson, G. 2001. Interaction in academic writing: Learning to argue with the reader.
Applied Linguistics, 22 1, 58-78.
Tirkkonen-Condit, S. 1984. Toward a description of argumentative text structure. In H. Ringbom R. Malti Eds., Proocedings from the second Nordic conference for English
studies pp. 220-236. Abo: Abo Akademy.
Tirkkonen-Condit, S. 1996. Explicitness vs. implicitness in argumentation: An intercultural comparison. Multilingua, 15, 274-275
Wolfe, C. R., Britt, M. A. 2008. The locus of the myside bias in written argumentation. Thinking Reasoning, 14
1, 1-27.
KONFERENSI NASIONAL SASTRA, BAHASA BUDAYA KS2B 2016 | 197
SPEECH DIFFERENCES BETWEEN GENDERS IN THE MOVIE “
IT’S A BOY GIRL THING “
Rizky Lutviana
Universitas Kanjuruhan Malang Lutviana.rizkyunikama.ac.id
ABSTRACT
This study is aimed at analyzing the characteristics of conversational style between genders, woman and man, as it is reflected by the way characters in the movie
It’s a Boy Girl Thing
used language to express their ideas. Conversation styles related to the way people speak. Different gender may use different language. Holmes 1992:150 stated that
women and men from the same speech community use different linguistic forms. Based on the data analysis, it is found that women conversation style is characterized by these
following features: 1 the use of super polite form, 2 the use of standard grammar, 3 intensifiers, 4 avoidance of strong swear word, 5 the use of supportive feedback, and 6
gossiping. While man conversation style is reflected on 1 the use of vernacular form and 2 the use of swear word.
Keywords: gender, conversation, style. It’s a Boy Girl Thing Movie. A.
INTRODUCTION
We live in a society in which we always interact with one another. In this case, language is a powerful tool that enables human to communication with each other to carry
on live so that they live in a harmony in their community. How close human to the language is that language really attribute to human beings, language is a part of human
culture. As it stated by Wardhaugh 2006:116 language is both an individual possession
and a social possession… certain individual would behave linguistically like other individuals: they might be said to speak the same language or the same dialect or the same
variety ibid..
Besides similarities, there are also differences in the way people speak, that is the same message may be expressed very differently to different people. According to Holmes
1992:4 there are several factors that influence the use of language “the choice of language used is depend on who they are talking to, in what kind of setting, and for what purposes”.
In this case there are four elements of conversation, 1 The participants: who is speaking?, who are they speaking to?, 2the setting or social context of the interaction, 3 the topic:
what is being talked about?, and 4 the function: why are they speaking?. Sociolinguistics is also interested in the different types of linguistic variation used to express and reflect
social factors. Vocabulary or word choice is one area of linguistic variation but linguistic variation occurs at other levels of linguistic analysis too: sounds, word-structure or
morphology, and grammar or syntax as well as vocabulary. Within each of these linguistic levels there is variation which offers the speaker a choice of ways of expression.
They provide us with different linguistic styles for use in different social contexts.
Furthermore, the differences in the way people speak are also exist across gender, between men and women. As it said by Holmes 1992:150 women and men from the same
speech community use different linguistic forms. There are several aspects of speech differences between men and women. Though there are many theories, the writer will
outline these according to the three researchers, Holmes 1992, and Lakoff in Holmes 1992.
According to Holmes, there are four major differences: 1 women tend to use more of the standard form than men do. Holmes, 1992:150
—men use more vernacular forms than women Holmes, 1992:156, 2 the linguistic features which differ in the speech of
women and men in western communities are usually features which also distinguish the speech of people from different social classes. Holmes, 1992:154 In every social class men
use more vernacular forms than women, like the use of ing form at the end of words like speaking, walking, 3 women tend to be more cooperative conversationalist than men.
Men on the other hand, tend to be less responsive to the speech of others and to their conversational needs. p. 166. In other words, women more flexible than men when
speaking to other social class, and 4 women language is also characterized with gossiping. Based on Holmes, gossip can be defined as the kind of relaxed in-group talk that
goes on between people in informal contexts. “In Western society, gossip is defined as ‘idle talk’ and considered particularly characteristic of women’s interaction” Holmes, 1992:298.
Additionally, it is also found that for both gender as people get older their speech becomes gradually more standard, and then later it becomes less standard and is once again
characterized by vernacular forms,
Not only talks about women conversation style, Holmes also states that man conversational style is characterized by the so called ‘machismo vernacular’, a language
which is not standard and associated with man such as the way man pronounce –ing
become [in] instead of [i Ƞ]. “men prefer vernacular forms because they carry macho
connotations of masculinity and toughness ” Holmes, 1992:160.
Next, Lakoff in Holmes, 1992:284 suggested that women’s speech was characterized by linguistic features such as the following:
a. Lexical hedges or fillers, e. g. you know, sort of, well, you see.
b. Tag question, e.g. she’s very nice, isn’t she?
c. Rising intonation or declaratives, e.g. it’s really good?
d. Empty adjectives, e.g. divine, charming, good.
e. Precise color terms, e.g. magenta, aquamarine.
f. Intensifiers such as just and so, e.g. I like him so much.
g. Hypercorrect grammar, e.g. consistent use of standard verb forms.
h. Superpolite form, e.g. indirect request, euphemisms.
i. Avoidance of strong swear words, e.g. fudge, my goodness.
j. Emphatic stress, e.g. it was a BRILLIANT performance.
In addition, in the way in giving supporting feedback, Holmes 1992:297 states that women are regarded as cooperative conversationalists. This is may be true because women
provide more encouraging feedback to their conversational partners than men do. Men, on the other hands, tend to be more competitive and less supportive of others.
While men’s language as it defined by Holmes 1992, 293-296 is characterized by the habit of interrupting “in the same-gender interactions, interruptions were pretty evenly
distributed between speakers. In crosss-gender interactions, almost all the interruptions were from males”. Moreover, men in certain cases tend to be more dominant when
speaking “in a wide range of contexts, particularly non-private ones where talking may increase your status, men dominate the talking time”. Holmes, 1992:293. In this article, the
writer uses the theory of Holmes and Lakoff to describe and explain the different characteristics of man
and women main characters in the movie “It’s a Boy and Girl Thing”.
KONFERENSI NASIONAL SASTRA, BAHASA BUDAYA KS2B 2016 | 199
It’s a Boy and Girl Thing is a comedy romance movie that was firstly released on December, 26
th
2006. It tells about the life of two teenagers, Woody Deane and Nell Bedworth. Both teenagers lived in the same neighborhood and studied in the same high
school, yet they had completely different life. Woody was a popular varsity football player while Nell was a nerdy, literature loving girl. Because of different character they hated each
other; they were often insulting and arguing. B.
METHODOLOGY
The design of this research is descriptive qualitative research, since it is conducted to interpret and to devise the findings. Merriam 1988 and Creswell 1994 states that
qualitative research is descriptive because the researcher is interested in processing, meaning, and understanding gained through words or pictures. The research is conducted
to describe the differences among gender in the conversation style seen in “It’s a Boy and
Girl Thing ” Movie
Since this study is descriptive qualitative, the main instrument of this study is the researcher herself as the key human-instrument. Latief 2010 asserts that there are two
reasons why qualitative researchers have to function as human instruments. Firstly, the researcher is the one who have insights of what is being analyzed, what kinds of data are
needed, and the number of data necessary to be collected. Secondly, the researchers are “instruments
‟ capable of digesting and also understanding the implicit and hidden meanings.
Data source included one script, it was the English subtitle of the movie It’s a Boy
Girl Thing . The script was downloaded in a form of .srt file. The script was used to
determine in which scene the dialog took place which also determined the numbering system in data analysis. Data collection and data analysis were done almost at the same
time like what Johnson and Christensen 2004: 361 stated that data collection and data analysis are often done concurrently or in cycles in qualitative research. Therefore there
were some steps of data analysis which appeared similar in data collection.
Data collection was done in several steps. First, researcher took the data from pre- climax and falling part of the movie. Second, the data were collected in a table containing
the categorization of women and men conversation style and its frequency of occurrence. Third, researcher analyzed the circumstances in which the characteristics of gender
conversation style appeared. Researcher collected the data only from pre-climax and falling parts of the movie because by taking the data taken from those two parts was enough to
answer the general research question. The data then were identified in some more steps in data analysis.
Data analysis included three major steps. First, researcher identified and coded the data and put them in a table. Second, the data were described to answer research problems
concerning the types and percentage of gender conversation style. Finally researcher summarized types, percentage of gender conversation style and drew conclusion to answer
the general research question.