Sejarah Gereja Katolik di Indonesia

2.1.1 Sejarah Gereja Katolik di Jawa

Misi Katolik di Jawa berpusat di Muntilan, Jawa Tengah. Misi Katolik di daerah ini diawali oleh Pastor F. van Lith, SJ dan Petrus Hoevenaars yang datang pada bulan Oktober tahun 1896. Pada awalnya usahanya tidak membuahkan hasil yang memuaskan, akan tetapi pada tahun 1904 tiba-tiba empat orang kepala desa dari daerah Kalibawang datang ke rumah Romo dan mereka minta untuk diberi pelajaran agama. Sehingga pada tanggal 15 Desember 1904, rombongan pertama orang Jawa berjumlah 178 orang dibaptis di sebuah mata air Semagung yang terletak di antara dua batang pohon Sono. Tempat bersejarah ini sekarang menjadi tempat ziarah Sendangsono.

Romo Van Lith juga mendirikan sekolah guru di Muntilan yaitu Normaalschool (1900) dan Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) tahun1904. Pada tahun 1918 sekolah-sekolah Katolik dikumpulkan dalam satu yayasan, yaitu Yayasan Kanisius. Para imam dan Uskup pertama di Indonesia adalah mantan siswa Muntilan.

Pada permulaan abad ke-20 gereja Katolik berkembang pesat. Berawal babak baru dengan pembagian kerja di antara Ordo-ordo misionaris. Setiap ordo mendatangkan tenaga misionarisnya. Paus Leo XIII mendirikan Prefektur Apostolik baru di Maluku dan sekitarnya, dan menyerahkan pembinaannya kepada imam-imam Misionaris Hati Kudus (MSC) pada 22 Desember 1902. Tiga tahun kemudian, pada 1905 Paus Pius X membentuk Prefektur Apostolik Kalimantan Pada permulaan abad ke-20 gereja Katolik berkembang pesat. Berawal babak baru dengan pembagian kerja di antara Ordo-ordo misionaris. Setiap ordo mendatangkan tenaga misionarisnya. Paus Leo XIII mendirikan Prefektur Apostolik baru di Maluku dan sekitarnya, dan menyerahkan pembinaannya kepada imam-imam Misionaris Hati Kudus (MSC) pada 22 Desember 1902. Tiga tahun kemudian, pada 1905 Paus Pius X membentuk Prefektur Apostolik Kalimantan

Selanjutnya di Jawa sendiri perkembangan besar terjadi dengan pembagian tugas baru. Pada 1923 imam-imam Ordo Karmel (O.Carm) diberi tugas membina daerah misi Malang, Prefektur Apostolik didirikan pada tahun 1927 di Malang. Daerah Surabaya diserahkan kepada imam-imam Lazaris (C.M.) pada tahun 1923 dan berkembang menjadi Prefektur Apostolik pada 1928. Imam-imam misionaris Hati Kudus (MSC) juga mengembangkan daerah Purwokerto di Jawa Tengah, dan Prefektur Apostolik didirikan di Purwokerto pada tahun 1932. Bersamaan dengan itu, Bandung menjadi Prefektur Apostolik setelah diserahkan dan dibina oleh Ordo Salib Suci (OSC) . Daerah Semarang dijadikan Vikariat Apostolik pada tahun 1940.

Pada 1911 Van Lith mendirikan Seminari Menengah. Tiga dari enam calon generasi pertama dari tahun 1911-1914 ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1926 dan 1928, yaitu Romo F.X.Satiman, SJ, A. Djajasepoetra, SJ, dan Soegijapranata, SJ.

2.1.2 Sejarah Gereja Katolik di Sumatera Utara

Kota Tarutung yang terletak diantara pantai selatan Danau Toba dan Lautan Hindia merupakan kota yang cukup penting dalam peranan agama Kristen di Sumatera Utara. Kota Tarutung ini menjadi terkenal sebagai pusat Huria

Kristen Batak Protestan (HKBP) yakni di Rura Silindung, Pearaja. Datangnya agama ini dibawa oleh seorang Pendeta Nommensen pada tahun 1863 khususnya ke daerah Batak. Tujuh puluh satu tahun kemudian pada akhir tahun 1934, Gereja Katolik memperoleh izin memasuki Tapanuli. Kelompok Ordo Kapusin mulai bergerak dari kota Balige. Kelompok biarawan ini masih muda-muda dan berhasil menanam gereja Katolik sampai pelosok-pelosok Tapanuli. Namun pada tahun 1942 tentara Jepang merebut Hindia Belanda dan memenjarakan semua misionaris-misionaris sehingga karya misipun terhenti.

Setelah penjajahan Jepang dan Pergelokan kemerdekaan berakhir, para misionaris dibebaskan dan memulai kembali karya misi Katolik yang sempat terhenti. Gereja Katolik; di Sumatera Utara R.K. menjadi sebutan untuk menyatakan Roma Katolik; menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Tapanuli. Pada awal misi Katolik, para misionaris dari Balige dalam garis besar bergerak ke tiga arah: 1. Ke Pulau Samosir yang sebagian besar belum dikristenkan, 2. Ke Kampung Lintongnihuta dan Parlilitan, dan 3. Ke selatan menuju pegunungan di sekitar Rura Silindung.

Untuk menghindari konflik dengan Gereja Protestan, Roma Katolik dengan sengaja tidak mau langsung ke kota Tarutung. Akan tetapi, tidak lama kemudian muncul undang-undang untuk memasuki daerah pusat Protestan itu, maka para misionarispun menjalankan tugasnya. Pada tahun 1854, Pastor Kaspar

de Hessele seorang imam diosesan, keturunan Belanda datang ke Hindia Belanda. Ia mulai melayani umat katolik yang tersebar di seluruh Jawa Timur, kepulauan Maluku, sampai daerah Minahasa. Kemudian atas restu Pemimpin Gereja Batavia de Hessele seorang imam diosesan, keturunan Belanda datang ke Hindia Belanda. Ia mulai melayani umat katolik yang tersebar di seluruh Jawa Timur, kepulauan Maluku, sampai daerah Minahasa. Kemudian atas restu Pemimpin Gereja Batavia

Pada tahun 1934, Pater Sybrand Van Rossum atau Pastor Parosum yang berusia 31 tahun datang ke Balige. Di kota ini ia tidak diterima dengan hangat, banyak situasi perlawanan yang ia hadapi yakni: Pemerintah Kolonial dan pegawai-pegawainya, Zending Protestan dan Pendeta-pendetanya, sebagian besar rakyat yang mendiami Toba, Humbang, dan Rura Silindung. Namun ia merupakan seorang yang optimis, ramah, humoris, cepat tanggap dan bereaksi cepat, sehingga ia mampu menghadapi masalah yang ada. Beberapa bulan kemudian ia diterima dan banyak yang mulai datang padanya. Pastor ini banyak bergaul dengan masyarakat Batak sehingga ia mampu berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Batak, dan ia semakin diterima di Balige. Kemudian ia pergi ke kota Tarutung, bergaul dengan masyarakat disana sambil menyatakan karya misi Katolik.

Situasi dan kondisi mulai membaik, situsi di Balige mulai menyenangkan, rumah untuk penampungan Pastorpun sudah dibangun. Pastor Diego van den Biggelaar pun ikut bergabung dengan Pastor Panrossum. Mereka berdua memasuki Balige, Tarutung seluruh wilayah pelosok yakni, Samosir, Huta

Simbolon, Hutaraja, sehingga ia mendapat julukan Ompu Bornok Simbolon 34 . Lama bergaul dengan orang Batak membuat Pastor Panrossum mengerti dan fasih

dengan bahasa Batak, ia menggunakan peribahasa dalam bahasa Batak disetiap khotbahnya sehingga dapat dimengerti oleh umatnya. Selain itu ia sangat menghargai dan mengerti akan tradisi, kebiasaan serta adat-istiadatnya Batak, sehingga Pastor ini sangat mengena di hati semua masyarakat baik yang Katolik maupun Protestan.

Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia sekitar tahun 1942-1945, dimana terjadi Perang Dunia II, wilayah kekuasaan Belanda di Asia Tenggara tampak mulai melemah. Asia mulai bangkit, Jepang maju dengan cepat, dan gerakan-gerakan Nasionalis mulai mengancam. Akan tetapi, pada 8 Desember 1941, dunia digoncangkan dengan pengboman yang dilakukan Jepang yang menghancurkan kapal-kapal Amerika Serikat di Pearl Harbour, makin meluas ke wilayah Pasifik. Tiga minggu kemudian, tepat 28 Desember Lapangan terbang Polonia dibom; lebih dari 30 orang tewas. Pada bulan Januari 1942, Menado, Tarakan, dan Balikpapan direbut oleh Jepang dimana mereka sangat memerlukan sumber-sumber minyak untuk berperang.

35 Dalam situasi demikian di pastoran Balige, para pastor, bruder, suster duduk bersama guna membicarakan hari depan gereja. Mereka sadar bahwa

sebentar lagi mereka akan ditangkap, namun siapakah yang akan melanjutkan karya mereka? Setelah delapan tahun berkarya, telah membaptis 18.000 orang

34 Ompu Bornok berarti: Opa Basah. Ompu yang diucapkan Opung, merupakan sapaan akrab bagi yang dituakan. Karena Pastor itu begitu giat bergerak sehingga basah keringatan maka ia dijuluki

Ompu Bornok. 35 Sejak tahun 1939, suster-suster FCJM atau Kongregasi Suster Fransiskan Putri Hati Kudus

menjadi Katolik didaerah Batak. Seluruh kaum Eropa yang berada di tanah Batak ditangkap dan ditahan. Mereka diasingkan di kampung Belawan, namun anak- anak dan perempuan diasingkan di tempat lain. Akhir tahun 1942, kekuatan Jerman di Eropa mengalami pukulan dahsyat yang pertama dalam pertempuran Stalingard, sedangkan di Asia pada waktu yang sama angkatan laut Jepang berhasil diberhentikan di Guadal-canal. Akhir tahun 1943, ribuan buruh dan petani dari pelbagai tempat di Indonesia, termasuk juga dari Tapanuli, dikumpulkan sebagai romusha. Keadaan tentara Jepang makin terdesak, keadaan semakin memuncak. Tanggal 6 Agustus 1945, kota Hiroshima telah dibom dan hancur, menyusul tiga hari kemudian kota Nagasaki. Tidak ada yang mendengar kabar kapitulasi Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945, apalagi tentang Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Dan pada tanggal 24 Agustus, barulah diketahui bahwa kemerdekaan sudah didapat, para tahanan dibebaskan dan bisa kembali pada keluarga dan anak-anak mereka.

Setelah penyerahan kedaulatan, para pastor mulai menjelajahi Sibolga dan Pulau Nias; mengenai daerah Toba para pejabat Republik Indonesia memberi nasehat untuk menunggu waktu sampai situasi di daerah Batak mulai aman dan terkendali. Kemudian tanggal 22 Maret 1950, keadaan sudah mulai membaik di daerah Tarutung dan para misionaris pun mulai kembali mengunjungi seluruh daerah Tapanuli. Sampai tahun 1965 umat semakin berkembang dan bertambah. Perkembangan terus terjadi sampai tahun 1981. Sekarang ini, jumlah pastor- pastor sudah memadai, dan perayaan misa kudus/ekaristi di setiap gereja pada Setelah penyerahan kedaulatan, para pastor mulai menjelajahi Sibolga dan Pulau Nias; mengenai daerah Toba para pejabat Republik Indonesia memberi nasehat untuk menunggu waktu sampai situasi di daerah Batak mulai aman dan terkendali. Kemudian tanggal 22 Maret 1950, keadaan sudah mulai membaik di daerah Tarutung dan para misionaris pun mulai kembali mengunjungi seluruh daerah Tapanuli. Sampai tahun 1965 umat semakin berkembang dan bertambah. Perkembangan terus terjadi sampai tahun 1981. Sekarang ini, jumlah pastor- pastor sudah memadai, dan perayaan misa kudus/ekaristi di setiap gereja pada

2.1.3 Sejarah Gereja Santo Antonius Hayamwuruk Medan.

Gereja Santo Antonius awalnya merupakan gereja stasi dibawah paroki Gereja Katolik Santa Maria Tak Bernoda Asal (sering disebut Gereja Katedral, yang beralamat di Jalan Pemuda No. 1 Medan). Kemudian menjadi gereja paroki,

pada bulan Maret 1915, dengan jumlah gereja stasi empat gereja 36 dan dilayani oleh imam dari OFM Capusin 37 , dibawah Keuskupan Agung Medan.

Pada tahun 2007 tepatnya pada tanggal 3 Juni, telah berdiri bangunan gereja yang baru, dibangun tepat didepan bangunan gereja yang lama dan diresmikan oleh Uskup Agung Mgr. (dibaca Monsinyur) A.G. Pius Datubara, OFM Cap dan Pastor Paroki Redemptus Simamora OFM Cap.

Keadaan umat setiap tahun semakin banyak dan berkembang, yang terdiri atas empat stasi dengan 35 lingkungan. Secara garis besar keadaan umat terbagi kedalam empat stasi paroki Santo Antonius yakni, 1. Gereja Katolik Stasi Santo Yosep sebagian besar berada di wilayah jalan dokter Mansur , 2. Gereja Katolik Stasi Santo Fransiskus Xaverius sebagian besar berada di wilayah Sunggal, 3. Gereja Katolik Stasi Santa Perawan Maria Pintu Surga sebagian besar berada di wilayah Sei Agul, 4. Kapel Santa Elisabeth, Karya Kasih sebagian besar berada di wilayah Karya Kasih. Keadaan umat Gereja Santo Antonius Hayamwuruk keadaan umatnya sangat beragam: Batak Toba, Karo, Simalungun, Jawa, Cina,

36 1. Gereja Katolik Stasi Santo Yosep. Jalan Dr. Mansyur, Medan, 2. Gereja Katolik Stasi Santo Fransiskus Xaverius, Sunggal 3. Gereja Katolik Stasi Santa Perawan Maria Pintu Surga, Sei Agul

4. Kapel Santa Elisabeth, Karya Kasih

37 Ordo Fratrum Minorum Capuccinorum = Ordo Saudara-Saudara Dina Kapusin

Nias, dan India. Selain umat yang resmi bergabung dengan Gereja Santo Antonius banyak juga umat diluar wilayah paroki beribadat di Gereja Santo Antonius Hayamwuruk. Struktur Organisasi Gereja Santo Antonius Hayamwuruk Medan. Pastor Paroki Dewan Pastoral Paroki Ketua Lingkungan

Gambar 1. Gereja Santo Antonius Hayamwuruk Medan bagian luar

Gambar 2. Panti Imam .

Gambar 3. Tempat jalannya Perarakan Masuk.