Proses Inkulturasi

3.1.2 Proses Inkulturasi

Proses Inkulturasi bukanlah proses budaya yang cepat dan mudah, namun merupakan proses yang terus-menerus tanpa henti. Hal ini terus diupayakan dan dikembangkan sampai iman berakar kuat dalam Gereja. Menurut Roest Crollius dalam Huub J. Boelaars, proses inkulturasi ini memiliki tahapan-tahapan, meliputi tiga tahap, yaitu : tahap terjemahan (translation), tahap penyesuaian (assimilation), dan tahap kreasi baru/perubahan (transformation).

A. Tahap Terjemahan Tahap terjemahan merupakan tahap awal di mana Gereja melalui para

misionaris asing, terjadi interaksi kebudayaan baru, sambil memperkenalkan pesan dan hidup Kristiani dalam wujud budaya lain. Penerjemahan-penerjemahan dilakukan, meskipun diadakan penyesuaian- penyesuaian yang lebih ringan. Masuk Kristen sering berimplikasi harus merelakan melepas kebudayaannya sendiri. Pada tahap pertama ini berlangsung proses akulturasi (perjumpaan dua budaya berbeda). Para misionaris asing, terjadi interaksi kebudayaan baru, sambil memperkenalkan pesan dan hidup Kristiani dalam wujud budaya lain. Penerjemahan-penerjemahan dilakukan, meskipun diadakan penyesuaian- penyesuaian yang lebih ringan. Masuk Kristen sering berimplikasi harus merelakan melepas kebudayaannya sendiri. Pada tahap pertama ini berlangsung proses akulturasi (perjumpaan dua budaya berbeda). Para

B. Tahap Asimilasi Ketika semakin banyak penduduk setempat menjadi anggota Gereja, dan khususnya ketika para imam pribumi makin berkembang, Gereja dengan sendirinya semakin berasimilasi pada budaya masyarakat sekeliling. Pada tahap ini proses inkulturasi yang sesungguhnya mulai, di mana para pelaku utama adalah mereka yang berasal dari budaya setempat. Gereja semakin mengasimilasikan diri pada kebudayaan setempat. Banyak unsur dari kebudayaan setempat (ritus, upacara atau pesta, kesenian, simbol-simbol, dll) diambil alih ke dalam kehidupan Gereja. Inilah tahap yang kritis. Di sini dibutuhkan kecermatan memadai demi mencegah “setiap bentuk sinkretisme dan partikularisme yang keliru”, sebagaimana sudah dikemukakan di atas. Karena itu dibutuhkan pedoman umum praksis berikut:

a. Metode Tiga Langkah. Dalam mengambil alih manifestasi- manifestasi budaya dan keagamaan setempat (ritus, upacara atau pesta, simbol-simbol, dll) ke dalam penggunaan gerejawi, perlulah: (1) pertama-tama diusahakan memurnikan manifestasi-manifestasi tersebut dari unsur-unsur takhyul dan magis; (2) menerima yang baik atau yang sudah dimurnikan; dan dengan demikian (3) memberi makna baru kepadanya, dengan mengangkatnya ke dalam kepenuhan Kristiani. Sebuah contoh untuk menjelaskan metode

tiga langkah ini, ialah perayaan Natal, hari kelahiran Yesus Kristus pada 25 Desember. Secara historis tanggal kelahiran Yesus Kristus tidak diketahui dan Kitab Suci sendiri tidak mencatat hal itu. Diketahui bahwa 25 Desember itu sebenarnya dalam kekaisaran Romawi dirayakan sebagai hari besar Mahadewa Terang, yaitu Matahari. Ketika agama Kristen mulai berkembang di wilayah kekaisaran Romawi, orang Kristen tidak mau menerima Matahari sebagai Mahadewa Terang. Mereka tahu matahari itu ciptaan Tuhan. Bagi orang Kristen Maha Terang yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus. Maka melalui metode 3 langkah di atas hari besar 25 Desember diambil alih ke dalam penggunaan Gereja: merayakan peristiwa inkarnasi Sang Sabda, Terang Dunia, kini disebut Natal. Pada langkah pertama, hari besar 25 Desember dibersihkan dari unsur takhyul (matahari ditolak sebagai Dewa Terang); lalu 25 Desember diterima (langkah kedua); dan diberi makna baru: peristiwa inkarnasi Terang dunia (langkah ketiga). Dalam ketiga langkah ini tentunya membutuhkan data dan telaah Sosiologis-Antropologis dan Teologis. Data-data ini tentunya menyangkut apa makna asli dari manifestasi-manifestasi budaya dan keagamaan yang ingin diambil alih ke dalam kehidupan Gereja. Oleh karena itulah dibutuhkan penelaahan antropologis dan sosiologis setempat, dalam kerjasama khususnya dengan tokoh- tokoh dan para ahli adat setempat. Perlu jelas pula seberapa jauh tiga langkah ini, ialah perayaan Natal, hari kelahiran Yesus Kristus pada 25 Desember. Secara historis tanggal kelahiran Yesus Kristus tidak diketahui dan Kitab Suci sendiri tidak mencatat hal itu. Diketahui bahwa 25 Desember itu sebenarnya dalam kekaisaran Romawi dirayakan sebagai hari besar Mahadewa Terang, yaitu Matahari. Ketika agama Kristen mulai berkembang di wilayah kekaisaran Romawi, orang Kristen tidak mau menerima Matahari sebagai Mahadewa Terang. Mereka tahu matahari itu ciptaan Tuhan. Bagi orang Kristen Maha Terang yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus. Maka melalui metode 3 langkah di atas hari besar 25 Desember diambil alih ke dalam penggunaan Gereja: merayakan peristiwa inkarnasi Sang Sabda, Terang Dunia, kini disebut Natal. Pada langkah pertama, hari besar 25 Desember dibersihkan dari unsur takhyul (matahari ditolak sebagai Dewa Terang); lalu 25 Desember diterima (langkah kedua); dan diberi makna baru: peristiwa inkarnasi Terang dunia (langkah ketiga). Dalam ketiga langkah ini tentunya membutuhkan data dan telaah Sosiologis-Antropologis dan Teologis. Data-data ini tentunya menyangkut apa makna asli dari manifestasi-manifestasi budaya dan keagamaan yang ingin diambil alih ke dalam kehidupan Gereja. Oleh karena itulah dibutuhkan penelaahan antropologis dan sosiologis setempat, dalam kerjasama khususnya dengan tokoh- tokoh dan para ahli adat setempat. Perlu jelas pula seberapa jauh

C. Tahap Transformasi Apabila proses asimilasi itu berjalan baik, maka lama-kelamaan iman Kristiani akan tertanam dan mulai berfungsi normatif dalam memberi orientasi baru pada kebudayaan bersangkutan. Inilah tahap ke-3 dalam proses inkulturasi, tahap transformasi. Pada tahap ini akan terbentuk sebuah komunitas Kristiani baru; sebuah “communio” yang memiliki kekhasan yang terus menerus berkembang tidak hanya pada bidang pengungkapan eksternal (seperti bentuk-bentuk liturgi dan ibadat), melainkan juga pada bidang refeleksi iman (teologi) serta pada bidang sikap dasar dan praksis iman (spiritualitas). Ekspresi khas pengalaman Kristiani ini pada gilirannya memperkaya, baik eksistensi budaya yang bersangkutan sendiri, maupun Gereja Katolik semesta. Proses inkulturasi merupakan suatu keunggulan dan peluang yang cukup unik khusus di Indonesia. Kesatuan 13.000 pulau dengan bahasa yang berbeda-beda, dengan alat musik yang beragam dan juga adat-istiadat serta tradisi yang bermacam-macam merupakan ciri khas Indonesia, yang bhineka namun juga tunggal ika.