Inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia
3.1.1 Inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia
Dalam Gereja Katolik sendiri sejak abad XVI inkulturasi mengalami masalah dan kurang dikembangkan, karena sedang marak-maraknya Eropanisasi. Dimana budaya Eropa lebih unggul dibanding dengan budaya asli, sehingga Dalam Gereja Katolik sendiri sejak abad XVI inkulturasi mengalami masalah dan kurang dikembangkan, karena sedang marak-maraknya Eropanisasi. Dimana budaya Eropa lebih unggul dibanding dengan budaya asli, sehingga
Setelah Konsili Vatikan II (1962-1965), banyak usaha untuk melaksanakan hasil konsili di berbagai daerah. Salah satu hasil konsili yang disambut baik oleh umat dan para Imam adalah keterbukaan Gereja terhadap tradisi-tradisi dan
budaya lokal, terutama dalam Sacrosanctum Consilium (SC) 53 .
“Konsili memberi kedudukan pada musik dan nyanyian sebagai bagian yang penting dan integral dari liturgi (SC 112). Konsili memberi penghargaan dan tempat yang sewajarnya kepada tradisi musik yang memiliki peranan penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat di daerah-daerah tertentu, terutama di daerah misi, untuk membentuk sikap religius umat setempat dan dalam menyesuaikan liturgi dengan sifat dan perangai umat setempat (SC 119 ). Oleh karena itu, alat-alat musik lain (selain organ pipa) dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan umat beriman (SC 120). Nyanyian Gregorian dipandang sebagai nyanyian khas Liturgi Romawi, namun jenis- jenis lain musik liturgi, terutama polifoni, sama sekali tidak dilarang dalam perayaan ibadat suci, asal saja selaras dengan jiwa upacara liturgi (SC 116)”.
Gereja terdiri dari berbagai daerah, suku dan bangsa sehingga Gereja mesti membuka diri terhadap kebudayaan dan tradisi yang berasal dari berbagai daerah, suku dan bangsa tersebut. Atas dorongan Konsili Vatikan II, usaha inkulturasi
53 Sacrosanctum Consilium atau Konstitusi tentang Liturgi Suci, adalah salah satu dokumen yang paling signifikan yang dibuat oleh Konsili Vatikan Kedua. Dokumen ini mendorong perubahan
tata-liturgi Gereja agar benar-benar menjadi ungkapan iman Gereja keseluruhan. Liturgi yang dikembangkan dokumen ini mendorong peran serta aktif seluruh jemaat. Tekanannya pada "perayaan" bukan sekedar "upacara". Konstitusi ini disetujui oleh para Uskup dalam pemungutan
musik liturgi di Indonesia mendapat bentuknya. Langkah-langkah konkret yang langsung dirasakan adalah digunakannya lagu-lagu dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Namun untuk mendapatkan lagu-lagu seperti itu tidaklah mudah mengingat bahwa tradisi musik Gereja di Indonesia sangat banyak dipengaruhi dan didominasi oleh lagu-lagu yang berasal dari tradisi liturgi Barat, seperti lagu- lagu gregorian dan lagu-lagu rohani abad XIX. Namun atas usaha dari berbagai pihak, seperti yang sudah dituliskan di atas, muncullah lagu-lagu inkulturatif dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang digunakan dalam liturgi. Usaha tersebut terus dikembangkan dan dikelola agar inkulturasi musik liturgi Indonesia bisa tercapai.
Salah satu pihak yang terus menerus mengusahakan hal tersebut adalah Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta. Pendiri Pusat Musik Liturgi ini adalah Karl Edmund Prier SJ, dan Paul Widyawan. Pusat Musik Liturgi merupakan salah satu lembaga musik di Indonesia yang mengabdi untuk musik Indonesia dan pengembangannya. Pada tahun 2011, PML telah berusia 40 tahun. Dalam waktu
40 tahun Pusat Musik Liturgi telah menghasilkan banyak lagu, buku dan kaset/CD (Compact Disc) yang bertujuan untuk memajukan musik nusantara pada umumnya, dan khususnya mengabdi pada musik liturgi, terutama dalam rangka inkulturasi . Pusat Musik Liturgi tidak hanya menangani musik Gereja/Liturgi berupa buku umat, buku kor, buku iringan organ, buku imam, dan kaset/CD, tetapi juga menerbitkan buku dan CD musik umum seperti lagu tradisional seri Nusantara Bernyanyi dan buku-buku kor yang diarensemen oleh Paul Widyawan, serta buku-buku teori musik umum berupa: Kamus Musik, Sejarah Musik,
Menjadi Dirigen, Menjadi Organis, Ilmu Harmoni, Ilmu Bentuk, Ilmu Melodi, Musik Populer, Teori Musik Umum, Tuntunan Karawitan, dan lain sebagainya (http://juntim-juntim.blogspot.com/2012/03/pusat-musik-liturgi-yogyakarta.html).
Di Indonesia, usaha untuk menggali kekayaan tradisi dan kebudayaan daerah setempat dan menyelaraskannya dengan liturgi Gereja sebenarnya sudah dimulai sejak sebelum Konsili Vatikan II. Sebelum Konsili Vatikan II, sudah ada ide untuk pembaruan liturgi dan musik liturgi di Indonesia. Usaha itu dimulai oleh Mgr. (dibaca Monsinyur) Van Bekkum SVD di Flores Barat (Manggarai) yang mengumpulkan para pemusik untuk menciptakan lagu gereja berdasarkan lagu daerah. Selain itu, Pater Vincent Lechovic SVD di Timor, NTT, juga mengambil langkah serupa dan berhasil menerbitkan buku lagu “Tsi Taneb Uis Neno” yang berisi lagu-lagu berbahasa Dawan pada tahun 1957. Di Jawa, Mgr. A. Soegijapranata, SJ sebagai uskup pribumi pertama Semarang mendirikan panitia untuk menciptakan lagu liturgi khas Jawa yang bermutu yang kemudian dipakai dalam liturgi dan di luar liturgi.
Kekayaan tradisi dan kebudayaan Indonesia yang terdiri atas beragam suku dan bahasa yang menambah kekayaan tradisi dan kebudayaan. Salah satu kekayaan tradisi yang dimiliki Indonesia adalah tradisi musik. Hampir setiap daerah/suku memiliki tradisi musik sendiri. Kekayaan tradisi musik tersebut bisa menjadi peluang sekaligus tantangan untuk mengembangkan musik inkulturasi liturgi di Indonesia sesuai dengan cita-rasa kedaerahan masing-masing. Untuk itulah Team Pusat Musik Liturgi selalu berusaha untuk mempelajari dan meneliti Kekayaan tradisi dan kebudayaan Indonesia yang terdiri atas beragam suku dan bahasa yang menambah kekayaan tradisi dan kebudayaan. Salah satu kekayaan tradisi yang dimiliki Indonesia adalah tradisi musik. Hampir setiap daerah/suku memiliki tradisi musik sendiri. Kekayaan tradisi musik tersebut bisa menjadi peluang sekaligus tantangan untuk mengembangkan musik inkulturasi liturgi di Indonesia sesuai dengan cita-rasa kedaerahan masing-masing. Untuk itulah Team Pusat Musik Liturgi selalu berusaha untuk mempelajari dan meneliti
Pusat Musik Liturgi berusaha mengenali tradisi musik yang ada di Indonesia, terutama tradisi musik yang ada di berbagai daerah. Lembaga ini giat mengadakan eksperimen untuk penelitian, mempelajari dan memperbaiki musik dari berbagai daerah dan musik Gereja sehingga bisa menjadi musik Gereja yang khas Indonesia. Oleh karena itu, setiap hari team Pusat Musik Liturgi bergaul dengan lagu-lagu tradisional dari berbagai daerah, dan juga lagu-lagu inkulturasi Indonesia. Langkah awal yang dilakukan lembaga ini dalam menggali, mempelajari dan meneliti musik dan lagu tradisional dan inkulturasi Indonesia ialah mengumpulkan bahan-bahan berupa naskah atau rekaman musik atau nyanyian dari berbagai daerah. Kunjungan dilakukan ke daerah-daerah di Indonesia untuk mengumpulkan bahan-bahan, mendengar secara langsung suatu musik atau nyanyian tradisional yang dimiliki sebuah daerah serta berkontak langsung dengan orang-orang yang berada di daerah tersebut. Cara lain yang dilakukan adalah dengan menyebarkan angket ke berbagai daerah. Bahkan juga mengundang para pakar musik dari daerah-daerah untuk mempelajari, meneliti, dan memainkan bersama musik tradisional mereka. Romo Prier menjelaskan proses tersebut dalam sebuah bukunya:
“Kami pergi ke suatu daerah, merekam sejumlah lagu dan tari tradisional. Kemudian kami kumpulkan sejumlah pakar budaya (pemain alat musik tradisional, penari, penyanyi, ketua adat dan sebagainya) untuk mendiskusikan tangga nada, pola irama, jenis- jenis lagu dan sebagainya. Selalu dengan bertanya: mengapa harus demikian? Apa artinya/maksudnya? Kadang-kadang data-data ini dikonfrontasikan pula dengan tulisan dalam buku etnomusikologi.
Hasil dikusi kami dokumentasikan, motif lagu dan irama yang khas dinotasikan dan dipakai untuk langkah berikutnya”.
Selain itu, secara berkala team PML mencoba lagu-lagu kreasi baru yang dikirim oleh pencipta-pencipta lagu liturgi dari berbagai daerah, kemudian menanggapi lagu-lagu baru tersebut. Lagu-lagu baru tersebut dipelajari, dinilai, dan diperbaiki bila perlu. Kemudian team PML memberi tanggapan, masukan dan catatan perbaikan kepada pengarang.