FIFA sebelum Intervensi: Otonomi FIFA sebagai INGSO

II.1 FIFA sebelum Intervensi: Otonomi FIFA sebagai INGSO

FIFA merupakan organisasi olahraga internasional non pemerintah yang berdiri sejak tahun 1904 adalah salah satu organisasi non-governmental tertua yang memiliki otonomi dan bersifat independen dari hukum negara maupun otoritas publik. Sebagai salah satu federasi olahraga internasional yang memiliki prinsip

non intervensi pemerintah 83 , FIFA tidak menegaskan “otonomi” secara eksplisit dalam statutanya yakni artikel 17 mengenai Independence of Members and their

83 Statuta FIFA.

bodies yang berbunyi: “Each Member shall manage its affairs independently and with no influence from third parties.” 84 Maksud dari isi statuta tersebut adalah

bahwa FIFA memiliki hak self-regulation 85 dalam mengatur dari tatanan pemerintahan organisasinya sampai memanajemen permasalahan organisasi yang

sedang dialaminya tanpa adanya campur tangan pihak lain yang bukan termasuk anggota organisasi.

Pemerintahan unik FIFA menghasilkan adanya monopoli secara parsial dalam struktur organisasi. Kebanyakan pemegang saham olahraga internasional yakni atlet, federasi olahraga, konsumen, otoritas publik dan pemilik kepentingan komersil bergantung pada kompetisi internasional yang dengan aturan dan regulasi yang jelas dan konsisten. Regulasi dan aturan tersebut disediakan oleh

regulatory monopoly 86 . FIFA yang berperan sebagai baik regulator dan organisator sepak bola global menduduki posisi tertinggi dalam piramida

organisasi olahraga internasional sehingga memberikan FIFA kontrol dan akses total ke dalam sepak bola internasional. Terdapat dua tren profil FIFA sebagai salah satu organisasi olahraga internasional yakni pertama, politisasi olahraga elit yang telah memperbesar manifestasi kepentingan publik dalam ajang dan kompetitsi olahraga internasional dan kedua, komersialisasi olahraga profesional yang telah memberi hak pada organisator kompetisi untuk menggunakan

bargaining power 88 secara vis-à-vis terhadap para pemegang saham.

84 Jean-Loup Chappelet, “Autonomy of sport in Europe”, 15. 85 Mengatur diri sendiri. 86 Pihak yang menduduki posisi tertinggi dalam suatu hierarki pemerintahan yang bersifat

monopoli dan berhak menjalankan fungsi regulasi.

87 Kemampuan relatif suatu pihak dalam situasi untuk menggunakan pengaruhnya guna mencapai tujuan tertentu.

Organisasi sepak bola sebagai contoh aplikasi pemerintahan privat internasional dapat mengembangkan mekanisme eskalasi efisien yang menyebabkan adanya kemungkinan untuk mengangkat konflik lokal yang bisa membuat pemerintah nasional berhadapan langsung dengan kekuatan regulator monopoli global. 89

Konflik antara FIFA dan pemerintah negara (berbeda dengan asosiasi negara sebagai anggota FIFA) telah sering terjadi karena adanya hubungan asimetris dalam piramida organisasi sepak bola internasional. Seringkali konflik muncul karena adanya ketidakpuasan negara terhadap asosiasi sepak bola nasional yang berujung pada adanya tuntutan terhadap FIFA yang kemudian dianggap sebagai

pencampuran antara politik dan olahraga. 90 Namun keputusan pemerintah untuk menantang FIFA hanya akan memperkeruh konflik dan menyebabkan adanya

pembekuan asosiasi sepak bola nasional. Pada akhirnya ketika FIFA turun tangan dan berhadapan dengan pemerintah negara, yang terjadi adalah FIFA justru

88 Borja García, “Keeping private governance private: Is FIFA blackmailing national governments?”, Loughborough University, 6.

89 Borja García, “Keeping private governance private: Is FIFA blackmailing national governments?”, 21.

90 Jon Theis Eden, “Soccer and International Relations: Can Soccer Improve International Relations?”, Major Research Paper, University of Ottawa, 2013, 13.

menantang otoritas negara berdaulat dan menyerahkan keputusan kepada FIFA, bukan sebaliknya.

Otoritas mutlak yang dimiliki oleh FIFA membuat pemerintah nasional tidak bisa menantang dan/atau mempengaruhi FIFA dalam mengambil keputusan terkait ketidakpuasan yang diajukan. FIFA tidak pernah ragu dalam mengaplikasikan kekuatan monopolinya untuk memaksa otoritas pemerintah negara yang pada

akhirnya harus menarik kembali ketidakpuasan yang diajukan kepada FIFA. 91 Terdapat dua aksi yang akan dilakukan FIFA ketika menghadapi konflik dengan

negara: ancaman pembekuan asosiasi nasional dan realisasi pembekuan. Jika sebuah negara dibekukan, maka negara tidak memiliki kesempatan untuk berkompetisi secara internasional. FA negara dan klub-klub sepak bola dalam negeri akan kehilangan pemasukan dari sepak bola internasional dan akan mengalami peningkatan emigrasi pemain yang menjadi aset berharga sehingga efek tersebut akan berimplikasi pada defisit ekonomi industri sepak bola nasional. Kekuatan FIFA tersebut adalah hasil dari adanya kontrol total dalam mengakses sepak bola internasional dan merupakan sebuah kasus unik dari otoritas federasi olahraga transnasional privat yang menjadi bukti dari adanya kemampuan FIFA untuk secara aktif mempertahankan otonomi pemerintahannya. 92

91 Jon Theis Eden, “Soccer and International Relations: Can Soccer Improve International Relations?”, 13.

92 Borja García, “Keeping private governance private: Is FIFA blackmailing national governments?”, 21.

Kemampuan FIFA dalam menantang langsung pemerintah negara dan mempertahankan otonominya dibuktikan dengan banyaknya kasus pembekuan yang dilakukan FIFA ketika sebuah negara berjalan melawan aturan FIFA. Faktor paling indikatif yang menunjukkan pengaruh FIFA adalah fakta bahwa resolusi konflik yang diputuskan merupakan resolusi hasil dari pertimbangan FIFA secara sepihak. Baik ancaman pembekuan maupun pembekuan adalah cara FIFA untuk memaksakan kepatuhan FA sebuah negara maupun pemerintah. Sebuah negara bahkan memodifikasi kebijakan olahraga dan legislasinya guna menghindari sanksi pembekuan oleh FIFA ketika sedang berkonflik dan telah mendapat ancaman akan dibekukan. Sebagai contoh: di Yunani, FIFA memperoleh kebebasan regulatori dalam sepak bola; pemerintah Polandia memberi toleransi dan menerima kegagalan FA di negaranya; pemerintah Spanyol menghindari konflik dengan FIFA dan memilih diam. Contoh kasus tersebut merefleksikan dinamika pemerintah negara yang memutuskan untuk mengubah keputusan terkait aturan sepak bola serta menantang lewenangan negara ketika FIFA secara formal Kemampuan FIFA dalam menantang langsung pemerintah negara dan mempertahankan otonominya dibuktikan dengan banyaknya kasus pembekuan yang dilakukan FIFA ketika sebuah negara berjalan melawan aturan FIFA. Faktor paling indikatif yang menunjukkan pengaruh FIFA adalah fakta bahwa resolusi konflik yang diputuskan merupakan resolusi hasil dari pertimbangan FIFA secara sepihak. Baik ancaman pembekuan maupun pembekuan adalah cara FIFA untuk memaksakan kepatuhan FA sebuah negara maupun pemerintah. Sebuah negara bahkan memodifikasi kebijakan olahraga dan legislasinya guna menghindari sanksi pembekuan oleh FIFA ketika sedang berkonflik dan telah mendapat ancaman akan dibekukan. Sebagai contoh: di Yunani, FIFA memperoleh kebebasan regulatori dalam sepak bola; pemerintah Polandia memberi toleransi dan menerima kegagalan FA di negaranya; pemerintah Spanyol menghindari konflik dengan FIFA dan memilih diam. Contoh kasus tersebut merefleksikan dinamika pemerintah negara yang memutuskan untuk mengubah keputusan terkait aturan sepak bola serta menantang lewenangan negara ketika FIFA secara formal

seberapa besar kekuatan yang dipegang oleh FIFA dalam menggenggam otoritas pemerintah karena di satu sisi, negara tidak mengakui bahwa negara menyerah pada FIFA namun di sisi lain tidak ada kasus yang menunjukkan keputusan pemerintah negara untuk berkonfrontasi dan menantang posisi FIFA. Kekalahan negara belum tentu mengindikasikan rendahnya relevansi kebijakan olahraga sebuah negara, otoritas FIFA dalam mempengaruhi perilaku negara adalah

mutlak. 94 FIFA selalu berusaha untuk secara privat menyelesaikan permasalahan yang

berhubungan dengan sepak bola tanpa melibatkan pihak luar. FIFA memiliki hak untuk melakukan hal tersebut karena European Council telah menekankan dukungan terhadap kebebasan organisasi olahraga untuk mengatur dirinya sendiri melalui struktur yang ada. “sudah merupakan kewajiban organisasi olahraga untuk mengatur dan mempromosikan olahraga yang mereka bawahi dan melakukan hal tersebut dengan merefleksikan tujuan mereka. Aturan FIFA membuat FIFA berhak menentukan yurisdiksinya sendiri dan mengadopsi sistem pengadilan di dalam panel internal FIFA.” 95

93 Jon Theis Eden, “Soccer and International Relations: Can Soccer Improve International Relations?”, 21-22.

94 Jon Theis Eden, “Soccer and International Relations: Can Soccer Improve International Relations?”, 23.

95 Kate Youd, “The Winter’s Tale of Corruption: The 2022 FIFA World Cup in Qatar, the Impending Shift to Winter, and Potential Legal Actions against FIFA”, 2014, 179.

II.1.1 Pemerintahan dan Manajemen Organisasi

Seperti halnya organisasi olahraga lain yang terbentuk di era ketika administrasi sepak bola dipegang oleh para amatir yang menjalankan organisasi, dengan dana seadanya mereka bertanggungjawab hanya pada lingkaran kecil yang mereka bentuk tersebut. Sampai pada awal 1970an, FIFA masih menjadi sebuah industri rakyat dengan sedikit anggota full time yang menjual hak siar Piala Dunia untuk segenggam kacang. Namun keadaan FIFA berubah tepat pada tahun 1974 ketika Joao Havelange, presiden FA Brazil, terpilih menjadi presiden FIFA dengan mengalahkan Sir Stanley Rous dari Inggris. Havelange terpilih melalui mobilisasi suara dari asosiasi-asosiasi sepak bola nasional Afrika, Karibia dan Asia yang kondisinya pada saat itu baru terdekolonisasi dan diabaikan oleh Eropa. Havelange menawarkan pada mereka kesempatan untuk masuk dan berkompetisi dalam Piala Dunia posisi yang lebih banyak dalam kursi eksekutif FIFA. Semua hal tersebut membutuhkan uang yang banyak dan Havelange dengan bantuan dari Adidas dan Coca-Cola berhasil mengubah Piala Dunia menjadi sebuah kompetisi

yang terkomersialisasi dan disiarkan secara global. 96 Selama 24 tahun kemudian dengan sukses melewati enam kali pemilihan presiden

FIFA, Havelange mengubah sistem organisasi yang dipantik oleh naiknya nilai Piala Dunia. Dari situ Havelange mendapatkan banyak pemasukan dari bawah meja secara tersembunyi. Setelah era Havelange, Sepp Blatter, CEO FIFA selama era Havelange yang kemudian menjadi suksesornya, mewarisi sistem pemerintahan Havelange yang mana budaya clientelisme dan korupsi dibiarkan

96 David Goldblatt, “The Fifa fiasco proves it’s time to dismantle football’s edifice of corruption”, http://www.theguardian.com/commentisfree/2015/may/27/fifafiascofootballcorruption (diakses 20

April 2016).

hidup dalam organisasi. Asosiasi sepak bola nasional dan member komite eksekutif dipilih oleh konfederasi sepak bola regional dengan sistem yang tidak transparan, dan tidak akuntabel. 97

Indikasi praktik korupsi pada INGSO seperti FIFA bukan menjadi hal yang baru dan merupakan praktik yang keberadaannya bersifat konsisten dalam organisasi seiring dengan terus berjalannya turnamen milik organisasi seperti Piala Dunia. Praktik korupsi INGSO sebenarnya adalah suatu hal yang akan selalu ada karena ISF/INGSO seperti FIFA dan IOC beroperasi dalam sistem ekonomi politik neoliberal-kapitalis milik AS yang mana praktik korupsi sering terjadi di banyak aspek (politik, ekonomi, finansial, dsb.). Sejak tahun 1980an, ISF dan INGSO semakin rentan disusupi praktik penyalahgunaan perputaran uang dalam organisasi sejak adanya komersialisasi olahraga yang membuat organisasi mengalami restrukturisasi menjadi penuh dengan investasi para pemegang saham—mulai dari konglomerat televisi global dan korporasi sponsor. Adanya

sistem patron-client 98 organisasi dan buramnya aturan mengenai jangka waktu kepemimpinan juga turut berpartisipasi dalam keberadaan praktik curang dalam

organisasi (eg: antara Joao Havelange [1974-1998] dan Sepp Blatter [1998-2015] di FIFA, Juan Antonio Samaranch [1981-2000] di IOC; dan Primo Nebiolo

[1981-1999] di IAAF). 99 Fakta-fakta korupsi FIFA telah didokumentasi secara rapi selama lebih dari beberapa dekade oleh media internasional dan ahli sejarah

97 David Goldblatt, “The Fifa fiasco proves it’s time to dismantle football’s edifice of corruption”, http://www.theguardian.com/commentisfree/2015/may/27/fifafiascofootballcorruption (diakses 20

April 2016). 98 Sistem antara pemimpin dan klien yang saling menguntungkan.

99 George Wright, “ FIFA and the United States: The Russian Connection”, http://www.anarkismo.net/article/28255 (diakses 20 April 2016).

olahraga. 101 Praktik foul play FIFA bahkan telah beberapa kali dijelaskan dalam buku-buku milik Darby, Jennings, Yallop, Sugden dan Tomlinson. 102 Tetapi ironisnya, praktik mismanajemen organisasi yang telah mendarahdaging dan telah diketahui oleh publik selama bertahun-tahun tersebut tidak kemudian membuat

negara/pihak hukum internasional berani menyentuh FIFA. 103 Literatur mengenai FIFA dan akuntabilitas masih sedikit tersedia jika

dibandingkan dengan organisasi lain seperti IMF dan World Bank. Hal tersebut disebabkan oleh jenis organisasi FIFA sendiri sebagai organisasi internasional non pemerintah yang berarti pemerintah domestik tidak memiliki kontrol maupun pengawasan langsung terhadap praktik FIFA. Profesor Mark Pieth dari Basel Institute of Governance yang merupakan pemimpin reformasi FIFA pada tahun 2011 hingga 2013, menulis bahwa meskipun FIFA merupakan organisasi non profit namun FIFA memiliki potensi menjadi entitas korporasi yang memiliki kesamaan dalam pemerintahan organisasi dan sistem pemasukan. Struktur pemerintahan yang unik dari FIFA yang tidak berdiri tegas di salah satu definisi pemerintahan organisasi menyulitkan ukuran akuntabilitas good governance. Akuntabilitas formal yang dimiliki perusahaan atau organisasi profit lainnya dalam transparansi pemegang saham yang ditinjau rutin oleh direksi independen tidak diterapkan oleh organisasi olahraga internasional yang memiliki hubungan

100 George Wright, “ FIFA and the United States: The Russian Connection”, http://www.anarkismo.net/article/28255 (diakses 20 April 2016).

101 Menyalahi aturan permainan. 102 Roger Pielke Jr., “How can FIFA be held accountable?”, 259. 103 Zero Hedge, “Putin Condemns US Over FIFA Arrests 'Another blatant attempt by the US to meddle outside its jurisdiction'”, http://russia-insider.com/en/putin-slams-us-over-fifa-arrests- another-blatant-attempt-us-meddle-outside-its-jurisdiction/ri7521 (diakses 20 April 2016).

kompleks dan hambur dengan pemegang saham organisasi dan jarang memiliki direksi eksternal sebagai peninjau. 104

Dalam penelitian Pieth tahun 2013 yang mempertanyakan mengapa FIFA menjadi subjek dalam adanya praktik korupsi dan mismanajemen organisasi yang tidak bertanggungjawab, Pieth menyimpulkan beberapa karakteristik yang dimiliki oleh organisasi internasional dan (beberapa) oleh organisasi olahraga internasional yang dapat membedakan akuntabilitasnya. 1) hierarchical accountability: kekuasaan yang dimiliki pemegang posisi yang lebih tinggi dari pemegang posisi subordinat dalam organisasi; 2) supervisory accountability: hubungan antara organisasi; 3) fiscal accountability: mekanisme kontrol pendanaan; 4) legal accountability: segala yang diperlukan organisasi dalam menaati hukum yurisdiksi untuk melakukan adaptasi terhadap hukum yang berlaku; 5) market accountability: pengaruh investor melalui mekanisme pasar; 6) peer accountability evaluasi organisasi oleh institusi pengamat organisasi; dan 7) public reputational accountability: reputasi organisasi. Singkatnya, organisasi olahraga internasional seperti FIFA merupakan organisasi yang berbentuk asosiasi dengan keanggotaan voluntir dan secara legal termasuk sebagai organisasi non profit sehingga menjadikannya bukan subjek dari hukum nasional atau

internasional atau norma yang mengatur praktik bisnis pada umumnya. 105 Maka dari itu, karakteristik yang telah disebutkan untuk mengetahui dan mengukur

akuntabilitas sebuah organisasi internasional tidak bisa diaplikasikan pada FIFA.

104 Roger Pielke Jr, “Obstacles to accountability in international sports governance”, 2015, 5. 105 Roger Pielke Jr, “Obstacles to accountability in international sports governance”, 7-8.