Motif di Balik Campur Tangan Amerika Ser

INTERNATIONAL NON-GOVERNMENTAL SPORT ORGANIZATION DAN INTERVENSI NEGARA: MOTIF DI BALIK CAMPUR TANGAN AMERIKA SERIKAT DALAM SKANDAL FIFA 2015 SKRIPSI

Disusun oleh

PEBRIYANA ARIFIN NIM 071112028 PROGRAM STUDI SARJANA ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPARTEMEN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA SEMESTER GENAP 2015/2016

AB

INTERNATIONAL -GOERNMENTAL SPORT ORGANIZATION DAN INTERVENSI NEGARA: MOTIF DI BALIK CAMPUR TANGAN AMERIKA SERIKAT DALAM SKANDAL FIFA 2015 SKRIPSI

Disusun oleh

PEBRIYANA ARIFIN NIM 071112028 PROGRAM STUD! SARJANA ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPARTEMEN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU.SOSIAL DAN ILMU POLITIK NIERSITAS AIRLANGGA SEMESTER GENAP 2015/2016

HALAMAN PERNY AT AAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT

Bagian atau keseluruhan skripsi berjudul:

"International Non-Governmental Sport Organization dan lntervensi Negara: Motif di Balik Campur Tangan Amerika Serikat dalam Skandal FIFA 2015"

ini tidak pemah diajukan untuk mendapatkan gelar akademis pada bidang studi dan/atau universitas lain dan tidak pemah dipublikasikan/ditulis oleh individu

selain penyusun kecuali bila dituliskan dengan ormat kutipan dalam isi skripsi.

Surabaya, 29 Juni 2016

Pebriyana Ariin

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi denganjudul:

"International Non-Governmental Sport Organ;zatfon dan lntervensi Negara: Motif di Balik Campur Tangan merika Serikat dalam Skandal FIFA 2015"

Disusun oleh Pebriyana Ariin

071112028 Disetujui untuk diujikan di hadapan Komisi Penguji

Surabaya, 29 Juni 2016 Dosen Pembimbing,

Joko Susan to, S.I.P ., M.Sc. NIP. 19761015 200012 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen u Hubungan lntemasional,

M. Muttagien. S.IP, MA, Ph.D NIP. 19730130 199903 1 001

HALAMAN PENGESAHAN KOMISI PENGUJI Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Komisi Penguji pada hari

Kamis, 14 Juli 2016 pukul 12.00 WIB di Ruang Negosiasi Cakra Buana

Catur Matra, Gedung C Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Airlangga Surabaya

Komisi Penguji Ketua,

Anggota II,

Ahmad Saril Mubah, S.IP., M.Hub.Int. Moch. Yunus, S.IP., MA. NIP. 19810917 201404 1 001

NIP. 19731025 200501 1 002

HALAMAN PERSEMBAHAN

Untuk kedua orangtuaku yang menghormati aku sebagai aku dan menghormati passion-ku,

Mas Joko Susanto yang telah menerima, memercayai dan mendorongku,

untuk teman-teman dalam inner circle-ku yang masih berdiri di sampingku,

serta untukku

I am not good with sweet words filled with lies and illusions.

This is what I can give you

HALAMAN INSPIRASI

She’s not jealous of the moon, for she is the sun that has its own light She’s not afraid of sleeping amongst the wolves, for she is a lion that is feared She stands alone She doesn’t care, she doesn’t follow

-- Pebriyana Arifin

“I have hated words and I have loved them, and I hope I have made them right”

-- Markus Zusak

Daftar Gambar, Grafik, Skema dan Tabel

Gambar I.1 Hotel tempat pertemuan sekaligus penangkapan petinggi FIFA Gambar I.2 Penangkapan petinggi FIFA di Zurich Gambar III.1 Rusia terpilih menjadi tuan rumah PD 2018 Gambar III.2 Qatar terpilih menjadi tuan rumah PD 2022 Grafik I.1 Olahraga favorit di Amerika 1985-2014 Skema I.1 Otonomi organisasi olahraga menurut Jean-Loup Chappelet Tabel I.1 Hubungan Olahraga dan Politik menurut Robert J. Paddick Tabel III.1 negara terbaik (3 besar) Olimpiade (1952-1988)

Daftar Singkatan dan Akronim

AfSel

Afrika Selatan

AS

Amerika Serikat

CONCACAF Confederation of North, Central American and Carribean Association Football

CONMEBOL Confederacion Sudamericana de Futbol FA Football Association

FIFA The Fédération Internationale de Football Association

FBI

Federal Bureau of Investigation

INGO International Non-Governmental Organization INGSO

International Non-Governmental Sport Organization IOC

International Olympic Committee ISL

International Sport and Leisure

MSE

Mega Sporting Event

NATO North Atlantic Treaty Organization PD

Piala Dunia

SCC

Swiss Civil Code

UEFA The Union of European Football Associations US DOJ

United States Department of Justice

Abstrak

Penangkapan petinggi FIFA dan dakwaan praktik perputaran uang ilegal organisasi yang dijatuhkan oleh US DOJ dan FBI pada bulan Mei 2015 lalu memang mengejutkan dunia internasional. Alasannya selain karena Amerika Serikat tidak memiliki ketertarikan yang tinggi pada sepak bola, pada dasarnya sebuah organisasi olahraga internasional non-pemerintah memiliki prinsip non- intervensi negara yang berupa otonomi organisasi dan imunitas. Intervensi yang dilakukan AS berhasil membuat Sepp Blatter yang baru saja terpilih sebagai presiden FIFA untuk kelima kalinya meletakkan mandatnya dan memantik adanya investigasi ulang pemberian hak tuan rumah 2018 dan 2022 kepada Rusia dan Qatar. Peneliti berusaha untuk mencari motif intervensi AS beserta strategi yang digunakannya. Terdapat dua pendekatan yang peneliti ambil yakni melalui aspek legal dan politik. Aspek legal digunakan untuk mencari celah FIFA dan hubungannya dengan AS selaku eksekutor dan aspek politik digunakan untuk menjelaskan motif lain yang muncul di balik aspek legal dengan melibatkan Rusia dan Qatar sehingga intervensi AS ke dalam skandal FIFA dapat dijelaskan. Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis keputusan intervensi AS tanpa mengukur efektivitasnya terkait jangkauan penelitian yang dihentikan pada terpilihnya presiden baru FIFA. Maka karena investigasi lanjutan yang dilakukan oleh DOJ dan FBI masih berlangsung, sangat terbuka lebar peluang penelitian lain terutama untuk mengukur efektivitas dan efek intervensi AS ke dalam sebuah organisasi olahraga internasional, FIFA.

Kata-kata Kunci: Intervensi skandal FIFA, skandal FIFA, bidding Piala Dunia 2018 dan 2022, Rusia dan skandal FIFA, Kemunduran Sepp Blatter.

I Pendahuluan

I.1 Latar Belakang Masalah

Persiapan kongres tahunan FIFA di Zurich pada 27 Mei 2015 dikejutkan dengan adanya interupsi oleh eksekutor Amerika Serikat, US DOJ dan FBI, yang melakukan penangkapan petinggi FIFA karena dijatuhi dakwaan korupsi. Para petinggi FIFA didakwa dengan adanya suap terkait hak siar media dan kontrak sponsor yang berhubungan dengan turnamen sepak bola berhubungan dengan adanya komersialisasi hak media dan pemasaran pertandingan dan turnamen sepak bola milik FIFA. 1 US DOJ menjatuhkan tuduhan kepada 14 anggota FIFA

mendapat lebih dari 150 juta dolar dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun. Sebanyak 92 halaman dakwaan 2 yang berisi 47 dakwaan termasuk pemerasan,

penipuan dan pencucian uang yang berhubungan dengan aktivitas persepakbolaan di Amerika Utara dan Karibia. Dakwaan tersebut telah memprovokasi krisis dalam 111 tahun sejarah FIFA, federasi sepak bola dunia. Penangkapan didalangi oleh dua investigasi yang dilakukan oleh US DOJ, FBI & Internal Revenue Service dan dibantu oleh pemerintah Swiss yang melakukan penangkapan dan menyiapkan ekstradisi ke AS. 3

1 Legalbrief, “SA 2010 World Cup probed in crackdown on FIFA”, http://www.legalbrief.co.za/diary/legalbrief-forensic/story/sa-2010-world-cup-probed-in-

crackdown-on-fifa/pdf/ (diakses 13 April 2016). 2 Evan Perez & Shimon Prokupecz, “FIFA arrests: U.S. charges 16 FIFA officials”,

http://edition.cnn.com/2015/12/03/sport/fifa-corruption-charges-justice-department/ (diakses pada 13 April 2016). 3 Robert Stevens & Chris Marsden, “US seizes on FIFA corruption to pursue campaign against Russia “, https://www.wsws.org/en/articles/2015/05/29/fifam29.html (diakses 6 Mei 2016).

Gambar I.1 Hotel tempat pertemuan sekaligus penangkapan petinggi FIFA 4

Beberapa dari mereka yang didakwa ditangkap melalui operasi gaya militer dengan cara mengepung hotel di zurich yang mana pada saat itu para petinggi FIFA sedang berkumpul dalam rangka kongres tahunan. Total dari penyuapan dan uang yang berputar adalah lebih dari 150 juta dolar dan digunakan untuk membeli suara petinggi FIFA untuk mempengaruhi keputusan mereka. Dua wakil presiden FIFA yang ditangkap adalah Eugenio Figueredo dan Jeffrey Webb bersama dengan Jack Warner, mantan wakil presiden yang didakwa dengan penjualan

suara terkait pemilikan AfSel sebagai tuan rumah PD 2010. 5 Pengacara asal Amerika Serikat, General Loretta Lynch, menuduhkan bahwa para

petinggi FIFA menerima suap selama proses “bidding” Piala Dunia 2010 yang pada akhirnya menjadikan Afrika Selatan, wakil pertama Afrika, sebagai tuan

4 Alfred Joyner, “FIFA Corruption Scandal explained in 60 seconds”, http://www.ibtimes.co.uk/fifa-corruption-scandal-explained-60-seconds-1503361 (diakses 6 Mei

5 Robert Stevens & Chris Marsden, “US seizes on FIFA corruption to pursue campaign against Russia “, https://www.wsws.org/en/articles/2015/05/29/fifam29.html (diakses 6 Mei 2016).

rumah acara sepak bola yang menarik banyak penonton tersebut. FIFA semakin tersudut ketika Swiss authorities mengumumkan adanya investigasi terpisah terkait pemberian hak tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022 yang dimenangkan oleh Rusia dan Qatar. 6 Lynch mengatakan bahwa US DOJ berkomitmen untuk

mengakhiri praktik korupsi yang dilakukan oleh para petinggi FIFA, tidak hanya karena skala operasi yang dilakukan tetapi juga karena operasi yang dilakukan

para terdakwa merupakan penghinaan terhadap prinsip-prinsip internasional. 7 Tidak lama kemudian presiden FIFA kala itu, Sepp Blatter, yang baru saja terpilih

untuk kelima kalinya sebagai presiden, memutuskan untuk mengundurkan diri dari kursi kepresidenan. 8

6 Legalbrief, “SA 2010 World Cup probed in crackdown on FIFA”, http://www.legalbrief.co.za/diary/legalbrief-forensic/story/sa-2010-world-cup-probed-in-

crackdown-on-fifa/pdf/ (diakses 13 April 2016). 7 VoxEurop, “Corruption and Football:If FIFA were a country, the US would intervene”,

http://www.voxeurop.eu/en/content/article/5021986-if-fifa-were-country-us-would-intervene (diakses 13 April 2016).

8 Rebecca R. Ruiz, Matt Apuzzo & Sam Bordendec, “FIFA Corruption: Top Officials Arrested in Pre-Dawn Raid at Zurich Hotel”, http://www.nytimes.com/2015/12/03/sports/fifa-scandal-arrests-

in-switzerland.html?_r=0 (diakses 13 April 2016).

Gambar I.2 Penangkapan petinggi FIFA di Zurich 9

Pada sebuah wawancara yang diterbitkan oleh koran Swiss, Le Matin, François Carrard, seorang pengacara asal Swiss menyuarakan pendapatnya mengenai intervensi pihak berwenang AS terhadap skandal korupsi FIFA serta bagaimana mereka secara sepihak menangkap para terdakwa. Beberapa orang berspekulasi bahwa Amerika ingin membalaskan dendam melawan FIFA terkait kekalahan

bidding PD 2022. 10 Penangkapan petinggi FIFA juga merupakan sebuah pelanggaran atas prinsip-prinsip organisasi internasional. 11 “Tidak pernah ada peristiwa semacam ini, FBI melakukan investigasi terhadap organisasi sepak bola global” yang menegaskan bahwa fenomena seperti yang dilakukan AS adalah kali

9 Michael S. Schmidt & Sam Borden, “In a Five-Star Setting, FIFA Officials Are Arrested, the Swiss Way”, http://www.nytimes.com/2015/05/28/sports/soccer/in-a-five-star-setting-fifa-

officials-are-arrested-the-swiss-way.html (diakses 2 Juni 2016). 10 Vishal Khetpal, “How America Should Fix FIFA”, http://www.huffingtonpost.com/vishal-

khetpal/howamericashouldfixfi_b_7612770.html (diakses 2 Juni 2016).

11 Robert Stevens & Chris Marsden, “US seizes on FIFA corruption to pursue campaign against Russia “, https://www.wsws.org/en/articles/2015/05/29/fifam29.html, (diakses 2 Juni 2016).

pertama sebuah negara bisa menembus organisasi internasional non-pemerintah, terlebih sebuah organisasi sepak bola. 12

Pertanyaan pertama yang muncul ketika ia mendengar kabar intervensi AS ke dalam skandal FIFA adalah mengapa orang Amerika mencampuri urusan FIFA ketika pada faktanya, di Amerika Serikat, sepak bola merupakan olahraga yang popularitasnya jauh di bawah baseball dan basket. François mengatakan bahwa

“sepak bola bukanlah olahraga murni Amerika.” 13 Bisnis sepak bola memang sebuah bisnis yang berskala besar, namun bukan termasuk sebagai bisnis Amerika.

Orang Amerika bahkan tidak menyebut sepak bola “football” tetapi “soccer” karena mereka memiliki jenis olahraga lain yang disebut “football” yang lebih mendarahdaging di Amerika. 14 Maka terdengar ironis ketika orang Amerika

menembus masuk ke dalam organisasi sepak bola internasional, FIFA, dan membongkar skandal mereka. 15

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, AS tidak memiliki ketertarikan terhadap sepak bola yang notabene adalah olahraga paling populer di dunia. Sepak bola secara sederhana tidak tertanam dalam budaya olahraga Amerika dibanding dengan olahraga khas Amerika lainnya. Sepak bola dilihat sebagai olahraga yang membosankan karena kurangnya apresiasi terhadap keindahan permainannya ketika dalam sebuah pertandingan tidak tercipta adanya gol. Sedangkan olahraga

12 Michael Regan, “The FBI vs. FIFA”, http://www.espn.go.com/espn/feature/story/_/id/14767250/the-exclusive-story-how-feds-took-fifa,

(diakses 14 April 2016) 13 Juliet Macur, “Reform Chief Questions United States Involvement in FIFA, Defends Sepp

Blatter”, http://www.nytimes.com/2015/08/25/sports/soccer/remarks-by-fifas-reform-panel- head-are-critical-of-american-soccer.html (diakses 13 April 2016)

14 Diana Johnstone, “Playing Hard Ball With Soft Power”, http://www.counterpunch.org/author/diana-johnstone/ (diakses 14 April 2016)

15 Jess Gibbs & Laurence Bouvard, “The Long Arm of the US Judiciary in the FIFA Scandal”, http://watchingamerica.com/WA/2015/05/30/the-long-arm-of-the-us-judiciary-in-the-fifa-scandal/

(diakses 14 April 2016).

yang memiliki tingkat popularitas tinggi di AS adalah olahraga yang memiliki banyak angka yang tercipta di setiap permainan karena adanya nilai budaya Amerika bahwa kemenangan dengan angka tinggi merupakan hal yang penting. Orang Amerika juga terganggu dengan banyaknya komponen yang ada dalam permainan sepak bola. Maka ketika apresiasi terhadap keindahan sepak bola sendiri tidak ada, penonton merasa bosan melihat 90 menit permainan dengan

16 probababilitas angka/gol yang rendah. 17 Minimnya jumlah fandom domestik dan pemain sepak bola internasional sepak bola AS juga merupakan salah satu sebab

rendahnya popularitas sepak bola di sana. Hal tersebut berhubungan dengan kurangnya siaran dan pemberitaan media mengenai perkembangan sepak bola di AS sehingga hasilnya sepak bola tetap menjadi olahraga yang tidak diminati rakyat Amerika. 18

16 John Tauer, “Why Aren’t Americans More Interested in Soccer? Why is the U.S. bad at soccer?”, http://www.psychologytoday.com/blog/goal-posts/201006/why-aren-t-americans-more-

interested-in-soccer-why-is-the-us-bad-soccer (diakses 13 April 2016)

17 Kumpulan fanatik yang terfokus pada sebuah area. Seringkali sebagai basis dukungan terhadap individu atau tim sebagai atlet olahraga.

18 Julianna Miller & Bryan Silverman, “Soccer Culture in the U.S.”, https://sites.duke.edu/wcwp/tournament-guides/world-cup-2014/usa-soccer-and-world-cup-

2014/soccer-culture-in-the-u-s/ (diakses 13 April 2016).

Grafik I.1 Olahraga favorit di Amerika 1985-2014 19

Namun kurangnya minat sepak bola rakyat AS tidak kemudian membuat para petinggi negara tidak memiliki kepentingan terhadap sepak bola. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya bidding AS sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 pada tahun 2010 lalu yang pada akhirnya harus kalah suara dari Qatar. Motivasi di balik keikutsertaan bidding tidak sulit untuk ditebak yakni karena Piala Dunia dapat menghasilkan banyak keuntungan finansial dan AS ingin merasakan keuntungan tersebut.

Berbagai respon mengenai penangkapan para petinggi FIFA datang dari segala penjuru dunia. Pada sebuah wawancara televisi, Putin mengatakan bahwa penangkapan yang dilakukan oleh DOJ adalah sebuah usaha untuk menghalangi

19 Cork Gaines, “The popularity of the NFL is starting to fall in the US”, http://www.businessinsider.co.id/popularity-nfl-mlb-nba-2015-2/?r=US&IR=T#.VyMR3U8RPIU,

(diakses 13 April 2016).

pemilihan presiden FIFA yang mana Blatter akan terpilih untuk yang kelima kalinya. “Jadi memang terdapat usaha yang jelas dari AS yang mencoba untuk membalikkan hal positif yang kami miliki menjadi suatu jalan untuk berkonfrontasi,” Kirill Kabanov, yang memonitor korupsi di Rusia sebagai anggota civil society Kremlin menyatakan pendapatnya kepada TIME. 20

Argumen-argumen kontra semakin banyak bermunculan terutama dari Kremlin seperti Presiden Rusia Vladimir Putin yang terkejut mendengar pemberitaan mengenai keterlibatan AS dan menentang intervensi skandal FIFA yang dilakukan oleh FBI serta US DOJ. Hubungan AS-Rusia memang sedang memanas lagi pasca Rusia memutuskan untuk menganeksasi Crimea pada 2014 lalu dan membantu rezim Assad di Suriah. Menurut Putin hal tersebut terdengar aneh karena tidak ada warga AS yang terlibat dalam skandal FIFA dan aktivitas kriminal FIFA tidak dilakukan di tanah AS sehingga AS tidak berhak untuk mengintervensi dan meminta perizinan untuk mengekstradisi beberapa petinggi FIFA. “rekan Amerika kita, sedang menggunakan metode yang sama untuk mencapai tujuan-tujuan mereka dan secara ilegal mengeksekusi orang-orang,” jelas Putin. 21 Finian

Cunninghan, seorang jurnalis yang bekerja untuk salah satu media Rusia, menegaskan prinsip dasar “jangan mencampurkan politik dan olahraga” untuk menjelaskan aktivitas yang sedang dilakukan oleh eksekutor AS yakni menangkap petinggi FIFA dan menjatuhkan tuduhan adanya penipuan dengan jumlah total

20 Jess Gibbs & Laurence Bouvard, “The Long Arm of the US Judiciary in the FIFA Scandal”, http://watchingamerica.com/WA/2015/05/30/the-long-arm-of-the-us-judiciary-in-the-fifa-scandal/

(diakses 14 April 2016).

21 Joe Prince-Wright , “Russia, Vladimir Putin criticize US government for “illegal persecution” of FIFA”, http://soccer.nbcsports.com/2015/05/28/russia-vladimir-putin-criticize-us-government-

for-illegal-persecution-of-fifa/ (diakses 14 April 2016).

sebesar 150 juta dolar. 22 Menteri Luar Negeri Rusia, Alexander Lukashevich, memberikan pernyataan jika AS secara jelas melakukan intervensi secara ilegal

karena ketidakjelasan detil tuduhan dan merupakan sebuah praktik ekstrateritori hukum AS yang tidak bisa dijustifikasi. Lukashevich juga berharap Washington segera berhenti untuk selalu berusaha menerapkan keadilan global yang melebihi batas negara dengan menggunakan hukum nasional dan menerapkan serta

mengikuti prosedur dan hukum internasional. 23 Selain kontradiksi Rusia, jurnalis asal Polandia, Pavel Zazhenchny juga menulis di Polska mengatakan bahwa AS

ingin ikut campur dalam segala hal. Ia menambahkan jika AS bermain peran sebagai pihak yang serba benar dan mencoba untuk menciptakan gambaran bahwa AS adalah polisi yang mengeksekusi pelaku kriminal secara legal. Namun yang mengejutkan adalah ternyata jurnalis Amerika juga mempertanyakan hak eksekutor AS dalam menyelidiki skandal FIFA. Sebagai contoh Zachary Karabell yang mengatakan bahwa AS sedang bertindak layaknya hakim internasional yang akan selalu menindak siapa pun yang membahayakan posisi Amerika. 24

Kasus intervensi skandal FIFA memang akan mengejutkan siapa pun yang mendengarnya karena baru kali ini terjadi kasus sebuah negara yang berhasil melakukan penetrasi ke dalam FIFA. Pertanyaan yang muncul tentu tidak hanya mengenai mengapa AS yang melakukan intervensi tetapi juga mengenai apa

22 Eugene Bai, “How the FIFA scandal is leading to a US-Russia political confrontation”, http://www.russia-direct.org/analysis/how-fifa-scandal-leading-us-russia-political-confrontation

(diakses 13 April 2016).

23 Louis Doré, “Vladimir Putin says US investigation into Fifa is a 'clear attempt' to prevent Sepp Blatter from being re-elected”, http://www.independent.co.uk/news/world/europe/russia-accuses-

us-of-another-case-of-illegal-exterritorial-use-of-us-law-for-investigating-fifa-10280517.html (diakses 14 April 2016).

24 Zachary Karabell, “What Putin Gets Right about America”, http://www.politico.com/magazine/story/2015/06/putin-fifa-crimes-118507.html#ixzz3btt3qvME

(diakses 14 April 2016).

sebenarnya motif yang melatarbelakangi aksi AS tersebut. Adanya prinsip politik seharusnya terpisah dari olahraga dan otonomi organisasi internasional non- pemerintah, menegaskan bahwa pemerintah negara seharusnya tidak mencampuri segala urusan organisasi dan menyerahkan hak regulasi kepada organisasi yang bersangkutan. Selain itu, intervensi yang dilakukan AS dikatakan berhasil karena pasca intervensi, presiden FIFA yang baru saja terpilih untuk kelima kalinya memutuskan mengundurkan diri dari kursi kepresidenan.

Selain itu skandal FIFA yang melibatkan DOJ Amerika Serikat telah memprovokasi konfrontasi politis antara Rusia dan Amerika Serikat. 25 Rusia yang

sejak awal telah sangat vokal dan menentang investigasi yang dilakukan AS meragukan legalitas aksi ekstrateritorial AS. Moscow memiliki banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai penangkapan para petinggi FIFA. Menteri luar negeri Rusia memberi komentar yang disuarakan oleh Alexander

Lukashevich (anggota Duma) 26 bahwa penggunaan hukum ekstrateritorial AS adalah ilegal. Melihat fakta-fakta tersebut, maka menarik untuk meneliti kasus ini

dan mencari motif dan strategi AS yang berhasil mengintervensi sebuah organisasi olahraga internasional non-pemerintah.

I.2 Rumusan Masalah

Mengapa Amerika Serikat yang selama ini memiliki ketertarikan rendah pada sepak bola menjatuhkan dakwaan korupsi dan menangkap petinggi FIFA ketika sedang dilaksanakan persiapan kongres tahunan FIFA pada tahun 2015 di Zurich?

25 Eugene Bai, “How the FIFA scandal is leading to a US-Russia political confrontation”. 26 Legislatif Rusia.

I.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui motif-motif dan pertimbangan sebuah negara dalam melakukan intervensi terhadap sebuah organisasi internasional non-pemerintah dengan mencari hubungan negara eksekutor dan organisasi target yang diintervensi sehingga bisa diketahui motif lanjutannya, serta mengidentifikasi benang merah area kasus yang digunakan untuk menjustifikasi aspek dan motif intervensi. Penelitian ini secara bertahap menjabarkan celah-celah organisasi dan mengapa otonomi organisasi bisa dilangkahi oleh pemerintah negara sehingga intervensi dapat dilakukan.

I.4 Kerangka Pemikiran

Dari tujuan-tujuan penelitian yang telah peneliti sebutkan, maka peneliti memakai teori-teori yang berguna sebagai alat analisis tentang: negara dan intervensi yang menjelaskan bagaimana negara bisa melakukan intervensi ke negara bahkan ke aktor lain seperti INGO termasuk INGSO dalam hubungan internasional; otonomi INGSO sebagai prinsip non intervensi negara yang kemudian menjelaskan bahwa FIFA sebagai INGSO juga memiliki otonomi dan prinsip non-intervensi negara; celah intervensi pertama yang melihat dari akuntabilitas INGSO yang mengerucut pada bad governance dan inakuntabilitas FIFA; law enforcement sebuah negara sebagai alat intervensi dan cara aplikasinya dengan mengambil AS sebagai aplikator law enforcement; interrelasi olahraga dan politik yang menjatuhkan prinsip pemisahan negara dan politik sehingga dapat diketahui bahwa kedua aspek memiliki keterkaitan sehingga terlihat bahwa pemerintah sering menggunakan olahraga untuk tujuan tertentu; Aplikasi olahraga sebagai alat negara dan Dari tujuan-tujuan penelitian yang telah peneliti sebutkan, maka peneliti memakai teori-teori yang berguna sebagai alat analisis tentang: negara dan intervensi yang menjelaskan bagaimana negara bisa melakukan intervensi ke negara bahkan ke aktor lain seperti INGO termasuk INGSO dalam hubungan internasional; otonomi INGSO sebagai prinsip non intervensi negara yang kemudian menjelaskan bahwa FIFA sebagai INGSO juga memiliki otonomi dan prinsip non-intervensi negara; celah intervensi pertama yang melihat dari akuntabilitas INGSO yang mengerucut pada bad governance dan inakuntabilitas FIFA; law enforcement sebuah negara sebagai alat intervensi dan cara aplikasinya dengan mengambil AS sebagai aplikator law enforcement; interrelasi olahraga dan politik yang menjatuhkan prinsip pemisahan negara dan politik sehingga dapat diketahui bahwa kedua aspek memiliki keterkaitan sehingga terlihat bahwa pemerintah sering menggunakan olahraga untuk tujuan tertentu; Aplikasi olahraga sebagai alat negara dan

I.4.1 Negara, Intervensi Internasional dan Prinsip Non-Intervensi

Intervensi internasional yang melibatkan negara memiliki bentuk yang beragam seperti intervensi militer, intervensi ekonomi dan intervensi kemanusiaan. Intervensi pada dasarnya adalah sebuah praktik yang problematis baik secara prinsip maupun secara praktik. Sejak runtuhnya Tembok Berlin dan kekalahan komunisme, intervensi menjadi topik yang mendominasi hubungan internasional. Sejak itu pula konsep intervensi telah diterima oleh komunitas global namun dengan kondisi yang masih terbatas bahkan untuk beberapa negara, intervensi sama sekali tidak bisa dijustifikasi dari kondisi apapun. Perdebatan mengenai justifikasi intervensi dikaitkan dengan pelanggaran kedaulatan negara dan karena intervensi menunjukkan tanda-tanda imperialisme serta pelanggaran hak asasi manusia. 27

Simon Chesteman mengatakan bahwa alasan sebuah negara yang memutuskan untuk tidak mengintervensi negara lain adalah karena negara tidak ingin sama sekali menjadikan intervensi sebagai keputusan, bukan karena dibatasi oleh hukum internasional. Chesteman lebih lanjut menjelaskan bahwa negara yang

27 Thomas M. Dunn, “International Intervention as a Failing Concept”, E-International Relations, 2013, 1-2.

menjadikan intervensi sebagai salah satu aksi interstate hanya akan menambah celah legal yang pada akhirnya akan dijustifikasi oleh banyak negara. 28

No state or group state has the right to intervene, directly or indirectly, in the internal or external affairs of any other state. Consequently, armed intervention and all forms of interference or attempted threats against the personality of the state or against its political, economic and cultural elements are in violation of international law. 29

Paragraf tersebut menjadi prinsip non-intervensi yang masih diterapkan dalam interaksi hubungan internasional hingga saat ini. Beberapa negara seperti AS menerapkan baru tidak akan mengintervensi jika situasi suatu grup/negara tidak memiliki kepentingan yang berhubungan dengan AS. Sehingga intervensi sebuah negara terhadap negara lain dapat dijustifikasi melalui adanya kepentingan berupa

kepentingan ekonomi, militer, politik dan sebagainya. Kewajiban yang muncul dalam komunitas internasional pasca jatuhnya komunisme untuk melakukan

intervensi adalah cerminan kekuatan hegemon yang melegitimasi aksi mereka. 30 Doktrin non-intervensi dalam hubungan internasional adalah sebuah prinsip logis

dari kedaulatan. Doktrin tersebut diciptakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dijadikan sebagai norma fundamental hubungan antarnegara. Salah satu contoh dari prinsip non-intervensi PBB tercantum dalam Piagam PBB Artikel 2 yang berbunyi: “principle of the sovereign equality of all its Members” yang

menegaskan bahwa kedaulatan adalah mutlak dan tidak bisa dilanggar. 31 Jika

28 Thomas M. Dunn, “International Intervention as a Failing Concept”, E-International Relations, 2013, 3.

29 Thomas M. Dunn, “International Intervention as a Failing Concept”, E-International Relations, 2013, 1-2.

30 Thomas M. Dunn, “International Intervention as a Failing Concept”, E-International Relations, 2013, 3-4.

31 Muge Kinacioglu, “The Principle of Non-Intervention at the United Nations”, 2005, 15-16.

negara pada dasarnya tidak diperbolehkan untuk mengintervensi negara lain, bagaimana jika negara mengintervensi aktor lain?

Pada dasarnya hubungan internasional adalah interaksi antar aktor dalam area internasional sehingga intervensi yang merupakan salah satu bentuk interaksi juga tidak hanya berlaku antarnegara tetapi juga antar aktor lain termasuk aktor non- negara dalam hubungan internasional. Aktor non-negara dalam hubungan internasional adalah entitas non-negara yang menjalankan fungsi ekonomi, politik,

sosial dalam level internasional tanpa kontrol langsung dari negara. 32 Pemerintahan aktor non negara telah mendapat banyak perhatian para penstudi

hubungan internasional. Legitimasi dan efek dari pemerintahan privat transnasional menjadi perdebatan karena perbedaan dan kompleksitas pemerintahan aktor-aktor tersebut yang membutuhkan lebih banyak penelitian

empiris untuk mencapai sebuah konklusi paten. 33 NGO adalah organisasi non- profit yang bersifat voluntir yang dijalankan oleh beberapa pihak independen di

level lokal maupun internasional. 34 NGO yang beraktivitas pada level internasional disebut sebagai INGO. INGO merupakan organisasi privat

internasional non-profit yang bersifat voluntir dan bebas dari pajak federal yang mendapat pemasukan dari sektor privat. 35 INGO telah juga didefinisikan sebagai

bagian dari sektor ketiga dunia global yang didominasi oleh korporasi transnasional dan organisasi internasional. INGO biasanya memiliki basis/kantor

32 National Intelligence Council, “Nonstate Actors: Impact on International Relations”, 2007, 2. 33 Borja García, “Keeping private governance private: Is FIFA blackmailing national

governments?”, 21. 34 Gayle allard, “The Influence of Government Policy and NGOs on Capturing Private

Investment”, St. Louis University, 2008, 3.

35 Grace Lyness Chikoto, “Government funding and INGO Autonomy”, Georgia State University, 2009, 7.

pusat di negara-negara maju yang beroperasi di negara-negara berkembang. INGO beroperasi pada isu-isu spesifik sehingga dapat dibedakan dari isu yang ditangani

seperti INGO lingkungan yang menangani isu lingkungan, NGO hak asasi manusia, sampai INGO olahraga. 36

Layaknya negara, INGO juga memiliki prinsip non-intervensi yang disebut otonomi organisasi. Prinsip non-intervensi INGO yang dirumuskan oleh Verhoest adalah legal autonomy: The extent to which agencies are legally protected from

government interference. 37 Makna dari isi prinsip tersebut adalah bahwa INGO, layaknya negara, memiliki semacam kedaulatan bersifat mutlak yang disebut

otonomi sehingga INGO seharusnya terbebas dari campur tangan/intervensi negara. INGO yang menjadi fokus penelitian di sini adalah INGSO (International Non-Governmental Organization) yang menjadi salah satu jenis dari INGO sehingga layaknya INGO, INGSO juga memiliki otonomi organisasi yang juga menjadi prinsip non-intervensi negara.

I.4.2 Otonomi INGSO sebagai Prinsip Non-Intervensi

Federasi dan organisasi olahraga internasional yang berada di Swiss seperti FIFA (the Fédération Internationale de Football Association) dan IOC (International Olympic Committee) secara de facto memiliki memiliki status internasional. namun secara de jure, mereka tidak termasuk sebagai IGOs (International Governmental Organisations) atau IQGOs (International Quasi-Governmental Organisations). Mereka merupakan asosiasi yang tunduk kepada hukum privat

36 Grace Lyness Chikoto, “Government funding and INGO Autonomy”, Georgia State University, 2009, 7.

37 Grace Lyness Chikoto, “Government funding and INGO Autonomy”, Georgia State University, 2009, 12-13.

nasional yang konstitusinya dirumuskan dalam SCC (Swiss Civil Code). Kerangka legal yang disediakan oleh SCC memberikan kebebasan dalam merumuskan aturan asosiasi yang masih terikat oleh kondisi tertentu, sehingga untuk menjadi sebuah asosiasi, sesuai dengan artikel SCC 60.1, organisasi terkait tidak boleh memiliki tujuan ekonomis dan mendemonstrasikan aturan secara terpadu dalam statuta asosiasi. Statuta asosiasi harus diwujudkan secara tertulis dalam dokumen resmi dan harus memiliki ketetapan tujuan, sumber daya dan kerangka organisasi asosiasi (SCC 60.2). dari sudut pandang struktural, asosiasi harus dijalankan oleh general assembly dan appointed committee yang merepresentasikan asosiasi yang memanajemen segala perilaku asosiasi. 38

Sejak akhir abad ke 19, badan yang bertanggungjawab dalam kodifikasi aturan olahraga dan organisasi kompetisi secara jeneral merupakan bentuk dari asosiasi non-profit. Berkat dari adanya kebebasan yang disediakan oleh legislasi nasional, terutama Swiss, mereka dapat menikmati otonomi dari pemerintah sehingga organisasi olahraga dapat berkembang secara independen dan bersifat self- regulated. 39 Refleksi dari definisi konsep otonomi organisasi olahraga dalam

praktiknya seringkali berasimilasi dengan konsep seperti self-government dan self- determination yang berarti memiliki wewenang dalam meregulasi organisasi

secara independen . 40 Menurut Foster, otonomi organisasi olahraga diperkuat dengan adanya perkembangan sistem arbitrase olahraga yang telah berkontribusi

pada terciptanya lex sportiva. Ia mendefinisikan lex sportiva atau global sports

38 Michaël Mrkonjic, “The Swiss regulatory framework and international sports organisations”, University of Lausanne, 128.

39 Jean-Loup Chappelet, “Autonomy of sport in Europe”, Sports policy and practice series, Council of Europe Publishing ISBN 978-92-871-6720-0, April, 2010, 7.

40 Thing & Ottesen, “Sports organisations, autonomy and good governance”, Working paper for Action for Good Governance in International Sports Organisations, AGGIS

project, 2013, 134.

law sebagai justifikasi self-regulation oleh organisasi olahraga internasional yang sifatnya berbahaya karena menutup segala celah intervensi ke dalam organisasi. atau secara detilnya “a transnational autonomous legal order created by the private global institutions that govern international sport. Its chief characteristics are first that it is a contractual order, with its binding force coming from agreements to submit to the authority and jurisdiction of international sporting federations, and second that it is not governed by national legal systems.” 41

Michaël Mrkonjic merumuskan beberapa jenis otonomi dalam organisasi olahraga yakni: political autonomy, legal autonomy, financial autonomy, supervised

autonomy dan negotiated autonomy. 42 Political autonomy dapat diartikan sebagai pemahaman historis dari hubungan antara organisasi olahraga dan lingkungannya.

Szymanski mendeskripsikan bagaimana olahraga moderen berkembang di Inggris dari bentuk baru aktivitas asosiasi yang tercipta selama era Pencerahan di Eropa. Locke menambahkan bahwa asosiasi yang pada masa itu bersifat voluntir memiliki hak untuk membentuk dan mengembangkan diri serta menciptakan aturan dan regulasi asosiasi. Konsekuensi yang kemudian tercipta adalah

Ketidaktertarikan negara untuk turun tangan dan melakukan regulasi. 43 Pada akhirnya, pengaruh asosiasi independen British tersebut diadaptasi oleh banyak

organisasi olahraga yang menetapkan pemisahan antara olahraga dan negara

41 Foster dalam Michaël Mrkonjic , “Sports organisations, autonomy and good governance” Working paper for Action for Good Governance in International Sports Organisations, AGGIS

project, 2003, 142. 42 Thing & Ottesen, “Sports organisations, autonomy and good governance”, 134.

43 Clark dalam Michaël Mrkonjic, “Sports organisations, autonomy and good governance”, Working paper for Action for Good Governance in International Sports Organisations, AGGIS

project, 2013, 134.

sebagai prinsip dasar organisasi. 44 Legal autonomy organisasi olahraga dapat didefinisikan sebagai otonomi privat untuk mengadopsi aturan dan norma yang

memiliki efek legal dalam legal framework yang dipaksakan oleh negara baik dalam level nasional maupun internasional. pemaksaan aturan bukan berarti adanya pembatasan otonomi namun hanya semacam penyesuaian agar aturan organisasi dapat berjalan beriringan dengan aturan negara. Dalam level nasional, legal autonomy organisasi olahraga berada dalam naungan hukum sipil, hukum

fiskal atau hukum korporasi (SCC 60). 45 Financial autonomy menjelaskan bahwa secara historis, olahraga bergantung pada dukungan finansial publik dan sampai

sekarang masih sering bergantung pada bantuan pemerintah. Meskipun demikian, seiring dengan adanya komersialisasi olahraga, tercipta suatu keadaan independen dari organisasi olahraga. Faktor kunci pencipta kondisi tersebut adalah terobosan dari adanya siaran olahraga. Siaran televisi kompetisi olahraga internasional yang menyedot banyak penikmat olahraga merupakan suplai finansial utama bagi organisasi olahraga sehingga organisasi tidak lagi bergantung pada suplai

finansial publik dan pemerintah. 46

44 Tomlinson dalam Michaël Mrkonjic, “Sports organisations, autonomy and good governance”, Working paper for Action for Good Governance in International Sports Organisations, AGGIS

project, 2013, 134. 45 Michaël Mrkonjic, “Sports organisations, autonomy and good governance”

Working paper for Action for Good Governance in International Sports Organisations, AGGIS project, 2013, 135.

46 Michaël Mrkonjic, “Sports organisations, autonomy and good governance”, 137.

Skema I.1 Otonomi organisasi olahraga menurut Jean-Loup Chappelet 47

Sport organisation autonomy

establish, amend and interpret rules appropriate to their

sport freely,

without undue political or economic influence

choose their leaders democratically, without interference by states or

third parties

obtain adequate funds from public or other sources, without disproportionate obligations

use funds to achieve objectives and carry on activities

chosen

without severe external constraints

draw up, in consultation with the public authorities

47 Jean-Loup Chappelet, “Autonomy of sport in Europe”, 49.

I.4.3 Akuntabilitas INGSO sebagai Celah Organisasi

Akuntabilitas adalah suatu aspek sentral pemerintahan global dan telah secara bertahap berubah menjadi lebih dari sekedar negara yang bekerja bersama dengan melibatkan organisasi non pemerintah dan korporasi multinasional. Keohane menjelaskan bahwa governance dapat didefinisikan sebagai pembuatan dan implementasi aturan, serta aplikasi kekuatan dalam sebuah domain aktivitas sehingga global governance merujuk kepada pembuatan aturan dan aplikasi kekuatan dalam skala global. Pemerintahan global dapat diaplikasikan oleh negara,

organisasi relijius, korporasi bisnis dan organisasi non pemerintah. 48 Karena tidak adanya pemerintah global, maka pemerintahan global adalah suatu sistem yang

meliputi interaksi strategis di antara entitas yang tidak dibentuk dalam hierarki formal. Sedangkan akuntabilitas menurut Grant dan Keohane mengimplikasikan bahwa aktor yang terlibat dalam pemerintahan global memiliki hak untuk menentukan standar yang berlaku bagi aktor lain untuk menentukan apakah mereka telah melakukan kewajiban pemerintahan sesuai standar dan untuk mengaplikasikan sanksi jika mereka melanggar atau tidak mematuhi kewajiban dalam pemerintahan global. 49 Akuntabilitas menurut Stiglitz membutuhkan: 1)

pelaku yang memiliki tujuan tertentu; 2) cara yang disepakati untuk menilai pencapaian tujuan; dan 3) konsekuensi. Memaksakan akuntabilitas dalam konteks politik global melalui organisasi internasional merupakan hal yang menantang karena organisasi pemerintah dan non-pemerintah di seluruh dunia mempraktikkan sistem inkompatibel pemerintahan domestik dalam skala yang

48 Roger Pielke Jr., “How can FIFA be held accountable?”, Center for Science and Technology Policy Research, University of Colorado, United States, 2013,

256 49 Roger Pielke Jr., “How can FIFA be held accountable?”, 256.

sangat luas sehingga sulit untuk mencapai persetujuan norma formal dan informal, standar, kewajiban dan sanksi yang terkait dengan pengambilan keputusan.

Komersialisasi olahraga yang semakin luas memberi efek pada adanya tensi antara aturan organisasi olahraga dan hukum negara. Masifnya kepentingan ekonomi dalam olahraga menciptakan adanya kondisi fertil dari praktik korupsi dalam organisasi. Sumber utama adanya tensi adalah model pemerintahan “pyramidal” yang membuat asosiasi posisi terbawah merasa didiskriminasi dalam pembuatan regulasi serta keputusan asosiasi/federasi yang menempati posisi

teratas dalam piramida organisasi. 50 Keterlibatan aspek bisnis dalam jangka panjang akan melemahkan kemampuan pemerintah untuk memanipulasi dan

memanfaatkan olahraga untuk tujuan diplomatik. Investigasi Houlihan pada tahun 1994 yang bertajuk Sport in International Politics menggarisbawahi krisis IOC (International Olympic Committee) yang memberikan efek negatif terhadap INGOs dalam memanajemen sebuah organisasi olahraga internasional. Krisis IOC juga memantik argumen bahwa perkembangan komersil olahraga yang merasuki organisasi olahraga internasional telah semakin meluaskan kebebasan organisasi dan meluaskan gap dengan pemerintah. 51 Kepentingan finansial yang semakin

masif dimanifestasikan ke dalam olahraga juga memunculkan bayangan buram yang semakin melemahkan definisi organisasi olahraga internasional sebagai organisasi non profit yang pada praktiknya justru mendapatkan banyak keuntungan finansial. FIFA dan IOC merupakan organisasi olahraga internasional yang sangat mencerminkan financial autonomy karena tingginya pemasukan

50 Michaël Mrkonjic , “Sports organisations, autonomy and good governance”, 141. 51 Aaron Beacom, “Sport In International Relations: A Case For Cross-Disciplinary Investigation”,

University of Exeter, 4.

organisasi dari siaran televisi, kerjasama sponsor atau hak komersil lainnya yang terhubung dengan kompetisi internasional milik mereka.

The fact that sports organisations sit in such an odd place in the panoply of international organisations will come as a surprise to many; they are not governmental, not intergovernmental, not corporations and not international bodies like the United Nations or World Health Organization. It is, arguably, this special, non-profit status that is at the heart of challenges to hold such bodies accountable to the same rules and norms that govern other international bodies. There are many examples of businesses, international organisations and civil society organisations that have seen governance

shortfalls exposed and then improved . 52 Kemudian, saat sepak bola sendiri sebenarnya bukanlah sebuah bisnis yang besar

secara finansial, namun jika dilihat sisi ekonomi keseluruhannya, semua yang terhubung dengan sepak bola memiliki implikasi besar pada sebuah bisnis, contohnya korporasi yang bekerjasama dengan FIFA karena Piala Dunia. “FIFA – even though by law still a non-profit association – is in fact a potent corporate entity. This calls for a sequence of particular governance measures developed in the corporate world,” yang bisa meraup miliaran dolar dari hak siar dan sponsor PD sehingga status FIFA telah menjadi penting dalam beberapa sektor dalam pemerintahan global. Ketiga, legitimasi FIFA adalah sebuah contoh kasus dengan isu mayor dalam hal akuntabilitas organisasi internasional. Kegagalan akuntabilitas FIFA kemudian memunculkan sebuah ide reformasi karena organisasi yang setara dan memiliki kesamaan dengan FIFA, IOC, juga telah mewujudkan reformasi organisasi akibat adanya korupsi Olimpiade 1998. Kasus dan resolusi IOC tersebut dijadikan rujukan banyak ahli dalam bagaimana sebuah organisasi yang sudah tidak akuntabel bisa dikembalikan lagi seperti semula. 53

52 Roger Pielke Jr., “Obstacles to accountability in international sports governance”, 2015, 4-5. 53 Roger Pielke Jr., “How can FIFA be held accountable?”, 263.

I.4.4 Law Enforcement Ekstrateritori Negara sebagai Alat: Studi Kasus Amerika Serikat

Ketika sudah diketahui bahwa INGSO memiliki celah yang bisa dijadikan titik vokal intervensi. Maka yang dibutuhkan selanjutnya adalah alat yang bisa digunakan untuk masuk ke dalam celah tersebut. Tercipta pada era sistem legal internasional Westphalia, hukum yurisdiksi merupakan sebuah bentuk dari hukum internasional tentang eksistensi negara yang jika dipersingkat adalah hukum tentang “do not.” Maksudnya adalah yurisdiksi merupakan hukum yang mencakupi obligasi dan larangan yang ditujukan untuk melindungi kedaulatan negara. Negara berada dalam sebuah batasan yang tidak diperbolehkan untuk melampaui/melewati yurisdiksi yang merupakan domain negara lain ketika negara tersebut sedang mengalami masalah/konflik. Namun dalam beberapa kondisi, sebuah negara akan menggunakan prinsip yang disebut extrateritorriality untuk

dapat melanggar prinsip non-intervensi dan equality of states. 54 Extrateritorriality adalah situasi yang mana kekuatan negara (legislatif, eksekutif atau yudisial)

melakukan perpanjangan tangan hukum di luar teritori negara. 55 Terdapat dua macam hukum yurisdiksi yang seringkali dipakai dan merujuk pada

kekuatan negara: prescriptive jurisdiction dan legislative jurisdiction. Hukum tersebut digunakan untuk mengubah hukum negara menjadi dapat diaplikasikan pada aktivitas, hubungan, status, individu, kepentingan dan lain-lain. Prinsip fundamental pada prescriptive jurisdiction adalah mengenai prinsip teritori oleh karena teritori sebuah negara murni menjadi kewenangan negara secara faktual

54 Cedric Ryngaert, “The Concept of Jurisdiction in International Law”, Utrecht University ,3. 55 Charles Doyle, “Application of American Criminal Law: An Abbreviated Sketch”, 2012 hal 1.

dan secara otomatis masuk ke dalam area hukum. Namun aplikasi yurisdiksi teritori negara dapat disiasati seperti dengan keberadaan praktik kriminal transborder yang memungkinkan negara untuk melampaui yurisdiksi teritori 56

selain itu, prescriptive jurisdiction juga melingkupi prinsip-prinsip yang memperbolehkan negara untuk mengaplikasikan hukum negaranya secara ekstrateritori, terutama dalam hukum kriminal. Negara hanya butuh nexus atau koneksi yang bisa digunakan sebagai hak untuk mengaplikasikan yurisdiksi ekstrateritori seperti kebangsaan individu, aset individu, bahkan aset negara yang digunakan secara internasional. 57

Ketika sebuah negara mengaplikasikan hukumnya secara ekstrateritori, maka negara tersebut juga menginginkan hukum negaranya enforced atau dipaksakan. Maka yang disebut dengan enforcement jurisdiction adalah yurisdiksi negara untuk memaksa atau menghukum ketidakpatuhan/pelanggaran dengan hukum atau regulasi melalui pengadilan atau pihak eksekutif, administratif, polisi dan lain-lain. Aturan pemaksaan yurisdiksi bersifat lebih mengikat daripada prescriptive jurisdiction. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, negara tidak boleh memaksakan hukumnya di luar teritori dengan kondisi pengecualian “by virtue of a permissive rule derived from international custom or from a convention.” Kerjasama internasional seringkali dibutuhkan untuk menjelaskan alasan dilakukannya aplikasi hukum ekstrateritori yang biasanya berujung pada

permohonan ekstradisi atau penyitaan aset pelaku pelanggaran. 58

56 Cedric Ryngaert, “The Concept of Jurisdiction in International Law”, 4-5. 57 Cedric Ryngaert, “The Concept of Jurisdiction in International Law”, 6. 58 Cedric Ryngaert, “The Concept of Jurisdiction in International Law”, 7.

Sejak diposisikan sebagai negara hegemon paska Perang Dunia II, AS telah memainkan peran, yang disebut oleh Josef Joffe, sebagai default power dalam menjaga perdamaian dan keamanan global. 59 Sebagai negara hegemon yang