Kepemimpinan Sepp Blatter, Kontinuitas Bad Governance FIFA dan Kegagalan Proses Reformasi FIFA (2011-2013)

III.1.1 Kepemimpinan Sepp Blatter, Kontinuitas Bad Governance FIFA dan Kegagalan Proses Reformasi FIFA (2011-2013)

Kepemimpinan Sepp Blatter di FIFA dimulai sejak tahun 1998 dan sejak saat itu pula Blatter berseteru dengan presiden UEFA, Lennart Johansson, yang merupakan saingan Blatter untuk menjadi presiden FIFA. Sebelum terpilih sebagai presiden, Blatter merupakan sekretaris jenderal dan tangan kanan Joao

Havelange yang pada saat itu menjabat sebagai presiden FIFA. 145 Sistem patron- client relations FIFA diukir oleh Havelange dan dilanjutkan oleh Blatter. Sistem

tersebut selain bertujuan untuk membeli suara guna mempertahankan rezim dalam FIFA, adalah untuk memperkuat cengkraman Blatter di region seperti Afrika, Asia dan Karibia yang juga merupakan target kebijakan Havelange pada masanya. 146 Sepp Blatter telah menjadi presiden FIFA selama 17 tahun terhitung

sejak 1998 dan telah menjadi kontroversi akibat sikap kepemimpinan dan sistemnya dalam FIFA. Skandal terbaru yang melibatkan Blatter adalah adanya

dugaan disloyal payment 147 sebesar 2 juta dolar yang diberikan kepada Platini pada tahun 2011. Adanya dugaan tersebut membuat FIFA ethics committee

145 George Wright, “ FIFA and the United States: The Russian Connection”, http://www.anarkismo.net/article/28255 (diakses 20 April 2016).

146 Amr Dals, “FIFA, Blatter and Africa: a special relationship”, http://theconversation.com/fifa- blatter-and-africa-a-special-relationship-42785 (diakses 8 Mei 2016).

147 Dalam ranah kejahatan finansial, disloyal payment adalah pembayaran yang dilakukan oleh pegawai di luar kepentingan perusahaan.

menjatuhkan hukuman larangan terlibat dalam aktivitas sepak bola selama 8 tahun kepada Blatter dan Platini. 148

Kondisi Blatter masih terbilang aman karena lolos dari dakwaan eksekutor AS ketika adanya publikasi dakwaan pada bulan Mei dan Desember 2015 lalu. Namun pada tanggal 3 Juni 2016, Sepp Blatter resmi didakwa akibat aktivitas pembayaran tidak resmi dan bonus lain sebesar 79 juta dolar (akumulasi) yang dilakukan dengan Jerome Valcke. Menurut Bill Burck yang telah melakukan investigasi internal selama beberapa tahun terakhir bersama firma hukum Quinn Emanuel Urquhart & Sullivan: “Data yang muncul mengungkap usaha terorganisir yang dilakukan oleh tiga mantan petinggi FIFA untuk memperkaya diri mereka melalui penambahan jumlah gaji tahunan terkait bonus Piala Dunia dan pembayaran lain dengan total lebih dari 79 juta Swiss francs (79,7 juta dolar) dalam kurun waktu hanya lima tahun.” 149

Saat ini krisis yang muncul ke permukaan dan menjadi perhatian publik internasional terkait dengan kompetisi dalam pemberian hak tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022. Media Inggris membeberkan bukti-bukti terkait korupsi dalam proses bidding dan voting setelah FIFA menolak proposal Inggris di tahun 2012. Piala Dunia merupakan kompetisi global yang menguntungkan jika dilihat dari pemasukan yang didapat dari turnamen tersebut: PD 2002 sekitar 1,9 miliar dolar; PD 2010 3,6 miliar dolar; dan PD 2014 4,8 miliar dolar. Pendapatan tersebut diperoleh dari adanya kontrak penjualan hak siar, sponsor acara, hak

148 Marco Rodriguez, “The FIFA fiasco: restoring the “beautiful game””, https://kutower.com/2015/12/09/thefifafiascorestoringthebeautifulgame/ (diakses 8 Mei 2016).

149 Joshua Robinson & Matthew Futterman, “Top FIFA Officials Allegedly Paid Each Other $80 Million”, http://www.wsj.com/articles/three-top-fifa-officials-shared-80-million-in-five-years-

investigators-say-1464959109?mod=e2tw (diakses 7 Juni 2016).

licensing and hospitality dan penjualan tiket. Bertambahnya pendapatan FIFA yang diperoleh kemudian dijadikan praktik penyalahgunaan perputaran uang oleh pihak-pihak yang terlibat termasuk eksekutif FIFA dan tuan rumah Piala Dunia. Pada tahun 2010, Blatter diduga menerima bonus terkait Piala Dunia Afrika Selatan sebesar 11 juta francs. Satu tahun kemudian, dokumen menunjukkan bahwa Blatter dan Valcke menerima 22 juta francs terkait Piala Dunia Brazil 2014. 150

Jika dilihat dari jumlah uang yang dihasilkan melaui PD, praktik seperti suap, komisi terpisah, pembayaran tidak resmi, korupsi dan lain-lain yang dilakukan oleh pihak terlibat PD bukan menjadi hal yang mengejutkan dan terjadi secara natural. Selain itu praktik pembelian suara oleh negara kepada ofisial FIFA dalam proses bidding PD atau kompetisi FIFA lainnya untuk memperoleh hak tuan rumah juga menjadi praktik yang selalu ada. Lebih jauh, negara yang terpilih menjadi tuan rumah PD akhir-akhir ini (terhitung sejak 2010) merupakan negara- negara “emergent market economies” (BRICS) atau petro-monarchies—Afrika Selatan (2010), Brazil (2014), Rusia (2018) dan Qatar (2022). Negara-negara tersebut tidak hanya sangat antusias untuk menjadi tuan rumah PD tetapi juga bersedia membayar berapapun dengan cara apapun biaya dan usaha yang diperlukan karena negara-negara tersebut bukanlah negara yang memiliki standar infrastruktur yang diharapkan FIFA sehingga untuk menjadi tuan rumah PD mereka harus merombak kondisi infrastruktur negara. Dengan menjadi tuan rumah PD, negara-negara tersebut menginginkan untuk: 1) memperoleh prestis internasional; 2) membuka peluang kepentingan investor untuk memperoleh

150 Joshua Robinson & Matthew Futterman, “Top FIFA Officials Allegedly Paid Each Other $80 Million”.

profit; 3) menunjukkan legitimasi dan, 4) menunjukkan keberhasilan proyek infrastruktur. Sejak 1970an konglomerat perusahaan telekomunikasi global, konglomerat dan korporasi transnasional media juga memiliki akses yang akan bisa membawa mereka lebih dekat dengan petinggi FIFA melalui kerjasama dengan harapan agar bisa menghalangi kompetitor yang juga ingin mendapat akses ke dalam FIFA. 151

James Brien Comey, direktur FBI mengatakan bahwa korupsi FIFA telah menjadi sebuah kebiasaan dalam melakukan bisnis organisasi. “Pembayaran ilegal dan penyuapan telah menjadi sebuah cara melakukan bisnis dalam FIFA. Saya ingin memuji para investigator dan pihak berwenang di seluruh dunia yang telah

mengejar kasus ini selama bertahun-tahun.” 152 Mereka lebih jelas menegaskan bahwa korupsi laten FIFA telah terjadi lebih dari dua dekade “Kasus penyuapan

dan korupsi dalam organisasi sepak bola internasional telah terjadi selama dua dekade dan investigasinya memakan waktu yang lama.” Pada sebuah konferensi berita, Kelly Currie, pengacara Eastern District, New York, AS menjelaskan mengenai skala tuduhan skandal FIFA. Pengakuan Currie memburamkan hipotesis publik karena tidak jelas praktik FIFA yang mana yang memantik investigasi AS. Namun beberapa komentator termasuk Sepp Blatter mengarah pada kegagalan bidding AS di tahun 2010 untuk menjadi tuan rumah PD 2022 (AS kalah dari Qatar). Kekalahan AS saat itu disebabkan karena adanya indikasi suap dan pembelian suara yang dilakukan oleh Qatar dalam proses bidding. Andrew Zimbalist, penulis Circus Maximus: The Economic Gamble Behind

151 George Wright, “FIFA and the United States: The Russian Connection”. 152 Department of Justice, “Nine FIFA Officials and Five Corporate Executives Indicted for

Racketeering Conspiracy and Corruption”, https://www.justice.gov/opa/pr/ninefifaofficialsand- fivecorporateexecutivesindictedracketeeringconspiracyand (diakses 9 Mei 2016).

Hosting the Olympics and the World Cup mengatakan bahwa ia mengenal beberapa orang yang menjadi anggota komite bidding AS. Zimbalist mengatakan bahwa komite bidding memiliki kecurigaan kuat bahwa suara ofisial FIFA yang bertanggungjawab dalam voting hingga penentuan tuan rumah PD telah dibeli suaranya. Dari pengakuan yang didapatkan tersebut, Zimbalist mengatakan pada BBC bahwa tindakan DOJ dan FBI terkait keterlibatan dalam skandal FIFA merupakan cermin pemberontakan akibat kekalahan bidding. 153

Banyaknya tuduhan korupsi dan ancaman hengkangnya para sponsor FIFA kemudian memaksa Sepp Blatter untuk menginisiasi adanya proses reformasi organisasi. Pada tahun 2011 Blatter mengadakan rapat kongres untuk memulai proses reformasi organisasi FIFA yang berjalan selama dua tahun dengan beberapa aspek reformasi seperti transparansi organisasi, perombakan proses voting dan jangka waktu kepemimpinan. Namun proses reformasi tersebut dianggap gagal karena pada tahun 2014 pasca bergulirnya PD Brazil, FIFA mendapatkan tuduhan korupsi baru terkait pembelian suara hak tuan rumah PD