Landasan Teori
B. Landasan Teori
1. Paradigma
Dalam penelitian kali ini akan menggunakan pendekatan sosiologi. Beberapa ahli memberikan definisi-definisi tentang sosiologi, yaitu sebagai berikut :
a. Roucek dan Warren (dalam Soekanto, 1990: 5) mengatakan bahwa Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan kelompok-kelompok.
b. Pitirim A. Sorokin (dalam Soekanto, 1990: 5) mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang memepelajari : (1). Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-
gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik, dan sebagainya)
(2). Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non sosial, misalnya, gejala geografis, biologis, dan sebagainya.
(3). Ciri-ciri umum dari semua jenis gejala-gejala sosial.
c. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (dalam Soekanto, 1990: 5) mengemukakan bahwa Sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan sosial.
Sedangkan pengertian sosiologi menurut Kamus Sosiologi (Abercrombie, 2010: 535) yaitu sosiologi terdiri dari dua kata, yakni socius (bahasa latin) yang berarti teman dan logos (bahasa yunani) yang berarti ilmu tentang. Secara harfiah sosiologi berarti ilmu tentang pertemanan. Dalam sudut pandang ini, sosiologi bisa didefinisikan sebagai studi tentang dasar-dasar keanggotaan sosial.
Menurut Harry M. Johnson (dalam Soekanto, 1990: 15), Sosiologi sebagai ilmu memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Bersifat empiris, yaitu didasarkan pada observasi dan akal sehat yang hasilnya tidak bersifat spekulatif.
observasi yang konkret di lapangan, dan abstrak tersebut merupakan kerangka dari unsur-unsur yang tersusun secara logis dan bertujuan menjalankan hubungan sebab akibat.
3. Bersifat kumulatif, artinya teori-teori sosiologi dibentuk berdasarkan teori yang sudah ada, kemudian diperbaiki, diperluas dan diperhalus.
4. Bersifat nonetis, artinya yang dipersoalkan dalam sosiologi bukanlah baik buruknya usatu fakta, akan tetapi menjelaskan fakta tersebut secara analitis.
Menurut Ritzer (2009: 3), di dalam sosiologi ada tiga paradigma utama, yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Pertama paradigma fakta sosial, paradigma yang dipelopori oleh Emile Durkheim ini menekankan pokok persoalan sosiologi adalah fakta sosial. Fakta sosial adalah sesuatu (thing) yang berada diluar individu dan berbeda dari ide-ide tetapi bisa mempengaruhi individu didalam bertingkah laku. Secara garis besar, fakta sosial kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, sistem sosial, keluarga, pemerintah, institusi politik, kebiasaan, hukum, undang-undang, nilai- nilai dan sebagainya. Teori yang berada dalam naungan paradigma fakta sosial adalah teori fungsionalisme struktural dan teori konflik.
Selanjutnya yang kedua adalah paradigma perilaku sosial yang menyatakan bahwa obyek studi sosiologi yang kongkrit dan realistis ialah perilaku manuisa yang tampak dan kemungkinan perulangannya. Paradigma ini memusatkan perhatian pada hubungan antar pribadi dan hubungan pribadi dengan lingkungan. Menurut penganut paradigma ini tingkah laku seorang individu memiliki hubungan dengan lingkungan yang mempengaruhi dia dalam bertingkah laku. Jadi ada hubungan antara perubahan tingkah laku individu dengan perubahan lingkungan sosial yang dialami individu. Teori yang searah dengan paradigma ini adalah teori pertukaran.
Terakhir adalah paradigma definisi sosial, paradigma yang digunakan dalam penelitian ini, yang menekankan kenyataan sosial yang subyektif. Model pemersatu dari paradigma ini adalah karya-karya Max Weber dan juga Talcott Terakhir adalah paradigma definisi sosial, paradigma yang digunakan dalam penelitian ini, yang menekankan kenyataan sosial yang subyektif. Model pemersatu dari paradigma ini adalah karya-karya Max Weber dan juga Talcott
Perbedaannya dengan paradigma perilaku sosial adalah bahwa aktor dalam paradigma definisi sosial bersifat dinamis dan kreatif, karena mereka memberikan interpretasi sebelum mereka memberikan reaksi atas tindakan sosial. Sedangkan pada paradigma perilaku sosial, aktor kurang kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikannya lebih ditentukan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya seperti norma, nilai-nilai, atau struktur sosial. Pada penelitian ini akan menggunakan paradigma definisi sosial dengan teori tindakan sosial yang dipopulerkan oleh Talcott Parsons.
2. Teori yang digunakan
Talcott Parsons dilahirkan di Colorado Springs pada tahun 1902. Pada 1920 Ia masuk ke Amherst College. Setelah itu, ia melanjutkan studi pascasarjana di London School of Economics tahun 1924. Pada tahun 1925, Parsons pindah ke Heidelberg, Jerman. Pada tahun 1927, ia menjadi instruktur dalam ekonomi di Amherst College. Sejak tahun 1927 hingga wafat pada tahun 1979 ia berprofesi sebagai pengajar di Harvard, Amerika Serikat. Pada 1937, ia mempublikasikan sebuah buku yang menjadi dasar bagi teori-teorinya, yaitu buku “The Structure of Social Action” (Ritzer, 2004: 254).
Pada akhir 1960-an, Parsons mendapat serangan oleh sayap radikal sosiologi Amerika karena ia dipandang konservatif dalam sikap politiknya maupun teori-teorinya. Selain itu teori-teorinya juga dipandang hanya sebagai Pada akhir 1960-an, Parsons mendapat serangan oleh sayap radikal sosiologi Amerika karena ia dipandang konservatif dalam sikap politiknya maupun teori-teorinya. Selain itu teori-teorinya juga dipandang hanya sebagai
Sistem tindakan diperkenalkan Parsons dengan skema AGIL-nya yang terkenal. Parsons meyakini bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu tindakan, yakni Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency. Sistem tindakan hanya akan bertahan jika memenuhi empat kriteria ini. Berikut adalah penjelasan dari empat kriteria tersebut (Ritzer, 2004: 257) :
1. Adaptation (Adaptasi)
Sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang dari luar. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya.
2. Goal Attainment (Pencapaian Tujuan)
Sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya.
3. Integration (Integrasi)
Sistem harus mengatur hubungan bagoan-bagian yang menjadi komponennya. Ia pun harus mengatur hubungan antar ketiga imperative fungsional tersebut (adaptasi, pencapaian tujuan, pemeliharaan pola)
4. Latency (Pemeliharaan Pola)
Sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbaharui motivasi individu dan pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan motivasi tersebut.
Parsons mendesain skema Adaptation, Goal Attainment, Integration, Latency (AGIL) agar dapat digunakan pada semua level sistem teoritisnya. Organisme behavioral adalah system tindakan yang menangani fungsi adaptasi dengan menyesuaikan dan mengubah dunia luar. Sistem kepribadian Parsons mendesain skema Adaptation, Goal Attainment, Integration, Latency (AGIL) agar dapat digunakan pada semua level sistem teoritisnya. Organisme behavioral adalah system tindakan yang menangani fungsi adaptasi dengan menyesuaikan dan mengubah dunia luar. Sistem kepribadian
Sistem tindakan hanya akan bertahan jika memenuhi empat kriteria ini. Sistem mengandaikan adanya kesatuan antara bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Kesatuan antara bagian itu pada umumya mempunyai tujuan tertentu. Dengan kata lain, bagian-bagian itu membentuk satu kesatuan (sistem) demi tercapainya tujuan atau maksud tertentu. Berikut adalah sistem yang dimaksud oleh Parsons (Bactiar, 2006: 22) :
a) Sistem Organisme atau aspek biologis dari manusia. Kesatuan yang paling dasar dalam arti biologis, yakni aspek fisik dari manusia itu. Hal lain yang termasuk ke dalam aspek fisik ini ialah lingkungan fisik di mana manusia itu hidup. Dalam system ini berhubungan dengan fungsi adaptasi yakni menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengubah lingkungan sesuai dengan kebutuhan.
b) Sistem Kepribadian. Kesatuan yang paling dasar dari unit ini ialah individu yang merupakan aktor atau pelaku. Pusat perhatiannya dalam analisa ini ialah kebutuhan-kebutuhan, motif-motif, dan sikap-sikap, seperti motivasi untuk mendapat kepuasan atau keuntungan. Sistem ini melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan merumuskan tujuan dan menggerakkan seluruh sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan itu.
c) Sistem sosial. Sistem sosial adalah interaksi antara dua atau lebih individu di dalam suatu lingkungan tertentu. Tetapi interaksi itu tidak terbatas antara individu-individu melainkan juga terdapat antara kelompok-kelompok, institusi-institusi, masyarakat-masyarakat, dan organisasi-organisasi internasional. Sistem sosial selalu terarah kepada equilibrium (keseimbangan). Sistem ini juga berhubungan dengan fungsi integrasi dengan mengontrol komponen-komponen pembentuk masyarakat itu c) Sistem sosial. Sistem sosial adalah interaksi antara dua atau lebih individu di dalam suatu lingkungan tertentu. Tetapi interaksi itu tidak terbatas antara individu-individu melainkan juga terdapat antara kelompok-kelompok, institusi-institusi, masyarakat-masyarakat, dan organisasi-organisasi internasional. Sistem sosial selalu terarah kepada equilibrium (keseimbangan). Sistem ini juga berhubungan dengan fungsi integrasi dengan mengontrol komponen-komponen pembentuk masyarakat itu
Etnis India mempertahankan identitas etnisnya melalui teori aksi tentang tindakan sosial sebagai konsep dasar dari Talcott Parsons, mengatakan bahwa manusia merupakan aktor yang kreatif dan realitas sosial yang memiliki kebebasan untuk bertindak. Menurut teori aksi ada beberapa asumsi tentang teori aksi yaitu :
1. Sebagai subjek manusia bertindak untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi tidak dapat diubah dengan sendirinya.
3. Manusia memiliki, menilai, dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan dilakukannya.
4. Tindakan manusia, mulai dari kesadaran sendiri sehingga subjek dan situasi eksternal dalam posisinya sebagai objek.
5. Dalam bertindak manusia menggunakan cara metode, teknik serta seperangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.
Talcott Parsons menggunakan istilah action yang mengatakan secara tidak langsung aktivitas, kreativitas, dan proses dari penghayatan dari individu dengan menyusun rencana dari unti-unit dasar tindakan sosial dan karakteristik yaitu aktor berada pada kendali nilai-nilai, norma-norma dan ide abstrak yang mempengaruhi dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan (Ritzer, 2004: 57).