Konsep yang digunakan
3. Pernikahan
Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama atau secara logis dapat dikatakan untuk membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan abadi. Hal ini dapat terwujud jika ada suatu pernikahan. Definisi mengenai pernikahan ada beberapa macam, yaitu :
Berdasarkan Al Quran surat An Nisa’ ayat 1, yaitu “Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan menjadikan istri daripadanya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakan pria dan wanita”(Anwar Abu Bakar, 2007: 148).
b. Menurut Agama Kristen. Pernikahan adalah persekutuan hidup dari dua orang yang bersedia tolong-menolong (saling melayani) secara timbal balik. Tuhan Allah mengenali laki-laki dan melengkapi dengan memberikan seorang penolong sebagai pasangannya. Selaku penolong perempuan akan menyelamatkan laki-laki dari kesepian dan kesunyian. Keduanya tidak lebih rendah atau lebih tinggi.
c. Menurut Agama Katholik. Pernikahan adalah perkawinan yang menerima sakramen pernikahan dari Gereja.
d. Menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974.
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Syamsul Rijal Hamid, Pernikahan adalah menciptakan ikatan lahir dan batin seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan syarat dan rukun yang telah ditetapkan (1997: 240). Beberapa definisi mengenai pernikahan, kita dapat membandingkan definisi dari sudut agama baik agama Islam, Kristen atau Katholik, dari sudut perundang- undangan yaitu Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan dari pendapat pakar, sehingga kita dapat mengerti definisi pernikahan secara menyeluruh dari berbagai aspek.
Soerojo Wignyodipuro (1987: 122) menyatakan bahwa pernikahan adalah peristiwa sebagai rentetan perbuatan magis yang bertujuan untuk menjamin ketenangan, kebahagiaan dan kesuburan. Sedangkan Moch Ali Hasan Soerojo Wignyodipuro (1987: 122) menyatakan bahwa pernikahan adalah peristiwa sebagai rentetan perbuatan magis yang bertujuan untuk menjamin ketenangan, kebahagiaan dan kesuburan. Sedangkan Moch Ali Hasan
Sedangkan Goodenough (dalam William A. Havilland, 1993: 77) menyatakan bahwa pernikahan adalah suatu transaksi dan kontrak yang sah dan resmi antara seseorang wanita dan seorang pria yang mengukuhkan hak mereka yang tetap untuk berhubungan seksual satu sama lain dan yang menegaskan bahwa wanita yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk melahiran anak. Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah hubungan antara seorang pria dengan wanita yang bertujuan untuk menjamin ketenangan, kebahagiaan, dan kesuburan, serta menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing sebagai suami isteri.
4. Tradisi
Dalam Ensiklopedi Islam (1999: 21) disebutkan bahwa adat adalah kebiasaan atau tradisi masyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara turun temurun. Kata adat disini lazim dipakai tanpa membedakan mana yang mempunyai sanksi, seperti hukum adat, dan mana yang tidak mempunyai sanksi, seperti adat. Adapun yang dikehendaki dengan kata adat disini adalah adat yang tidak mempunyai sanksi yang disebut dengan adat saja.
Tradisi yang dalam arti sempit merupakan kumpulan benda-benda material dan gagasan yang diberi makna khusus yang berasal dari masa lalu juga mengalami perubahan. Tradisi lahir di saat terhenti ketika orang menetapkan bagian-bagian cerita tertentu dari masa lalu sebagai tradisi. Tradisi bertahan dalam jangka waktu tertentu dan mungkin lenyap jika benda material dibuang atau gagasan dilupakan. Tradisi mungkin akan muncul kembali setelah lama terpendam akibatnya terjadi perubahan dan pergeseran sikap aktif terhadap masa lalu. Jika telah terbentuk, tradisi mengalami perubahan. Perubahan kuantitatifnya terlihat dalam jumlah penganut atau pendukungnya. Sebagian
mempengaruhi masyarakan secara keseluruhan. Piotr Sztompka (2007: 71-72) menjelaskan bahwa proses munculnya tradisi melalui dua cara. Pertama, kemunculan secara spontan dan tak diharapkan serta melibatkan rakyat banyak. Karena suatu alasan, individu tertentu menemukan warisan historis yang menarik perhatian, ketakziman, kecintaan, dan kekaguman yang kemudian disebarkan melalui berbagai cara. Sehingga kemunculannya itu mempengaruhi rakyat banyak. Dari sikap takzim dan mengagumi itu berubah menjadi perilaku dalam berbagai bentuk seperti ritual, upacara adat dan sebagainya. Semua sikap itu akan membentuk rasa kekaguman serta tindakan individual menjadi milik bersama dan akan menjadi fakta sosial yang sesungguhnya dan nantinya akan diagungkan. Kedua, melalui mekanisme paksaan. Sesuatu yang dianggap sebagai tradisi dipilih dan dijadikan perhatian umum atau dipaksakan oleh individu yang berpengaruh atau yang berkuasa.
Tradisi secara umum dipahami sebagai pengetahuan, doktrin, kebiasaan, praktek dan lain-lain yang diwariskan turun temurun termasuk cara penyampaian pengetahuan, doktrin dan praktek tersebut. Badudu Zain (Dalam Anisatum Muti’ah, 2009: 15) juga mengatakan bahwa tradisi merupakan adat kebiasaan yang dilakukan turun temurun dan masih terus menerus dilakukan di masyarakat, di setiap tempat atau suku yang berbeda-beda.