Diskusi dan Permasalahan

6.2. Diskusi dan Permasalahan

Berdasarkan semua pemaparan yang telah diberikan, terdapat sebuah permasalahan yang tidak dapat dijelaskan oleh teori-teori menyangkut identitas etnis selama ini. Sebab, terdapat komunitas yang secara fisik dan beberapa aspek kebudayaan mirip dengan Cina Benteng, dan dapat dikatakan sebagai bagian dari Cina Benteng yang didefinisikan secara objektif. Namun, mereka menolak disebut sebagai Cina Benteng, bahkan memiliki istilah tersendiri. Sebagai contoh, salah seorang informan penelitian, dalam hal ini adalah Informan A. Secara ojektif, Informan A pada dasarnya merupakan seorang Cina Benteng. Sebab, definisi Cina Benteng adalah penduduk Cina hasil kawin campur dengan perempuan pribumi, yang menetap di Tangerang. Ditambah lagi dengan penjelasan Christine Bachrum dan Oey Tjin Eng dalam Bab 4 mengenai ciri-ciri serta definisi Cina Benteng. Ciri-ciri yang mereka paparkan juga ditemukan diantara anggota komunitas Orang Keturunan. Pertama , Christine Bachrum mengatakan bahwa Cina Benteng adalah penduduk Cina di Tangerang yang sudah tidak tahu akan sejarah mereka. Kedua , Oey Tjin Eng mengatakan bahwa Teluk Naga, merupakan lokasi persinggahan imigran Cina yang merupakan nenek moyang Cina Benteng. Ditambah lagi dengan penjelasan Oey bahwa Cina Benteng merupakan hasil kawin campur antara Cina-pribumi. Keseluruh definisi serta ciri-ciri ilmiah akan Cina Benteng nampak dengan jelas pada komunitas Orang Keturunan.

Namun Informan A, sebagaimana juga dengan kerabat dan komunitasnya, menolak disebut sebagai Cina Benteng. Seharusnya, pihak luarlah yang menentukan apakah seorang individu tergolong ke dalam kolektivitas etnis tertentu atau tidak. Pernyataan seperti ini mengacu pada definisi akan identitas etnis berdasarkan studi literatur. Adanya kesamaan yang relatif tinggi dalam hal kebiasaan, ciri-ciri fisik dan kultural, seharusnya dianggap sebagai sebuah kolektivitas etnis yang sama. Namun, merupakan sebuah hal yang problematik jika mengatakan bahwa fenomena ini merupakan sebuah perubahan identitas etnis. Pertama, mereka baru sebatas diakui secara subjektif. Kalaupun secara objektif, baru sebagian kelompok saja dalam lingkup ruang yang terbatas. Kedua, mereka mengatakan diri sebagai Cina Benteng, namun, definisi Cina Benteng di sini tidak sama dengan Cina Benteng secara objektif. Dengan kata lain, ini adalah definisi subjektif. Jelas ini bukan sebuah perubahan untuk menjadi identitas etnis Cina Benteng. Mereka memiliki definisi tersebdiri mengenai Cina Benteng. Ketiga, Cina Benteng dalam kasus di Desa Situgadung merupakan ascribed status . Dengan kata lain, pertanyaan yang diajukan, apakah ini merupakan sebuah perubahan identitas etnis? Dari penjelasan yang ada, nampak bahwa fenomena ini tidak sesederhana teori yang ada selama ini. Ini merupakan sebuah problematika atas konsep identitas etnis yang dikemukakan oleh Trimble dan Dickson (2010) serta Chandra (2006), sebagai sebuah konsep tunggal.

Bila mengacu kepada penjelasan Barth (1969) akan kelompok etnis, lalu apakah fenomena ini dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk perubahan kelompok etnis? Dalam Bab 2, Barth (1969) memapatkan bahwa kelompok etnis didasarkan batas yang diciptakan. Dengan kata lain, Barth tidak mengatakan bahwa kelompok etnis diciptakan hanya atas kesamaan dan pengakuan objektif. Batasan yang dimaksud dengan Barth adalah sesuatu yang didefiniskan oleh kelompok yang bersangkutan, sehingga diakui oleh pihak luas sebagai sebuah pembeda. Terutama batasan yang didasarkan atas wilayah kultural dan bahasa. Namun, yang menjadi permasalahan, Cina Benteng dalam Desa Situgadung memiliki sebuah kesamaan penamaan yang secara tidak langsung dapat diartikan bukan sebagai sebuah batas.

Disinilah letak problematika yang ditemui. Separuh dari ciri-ciri fenomena ini sesuai dengan definisi Barth, namun sisanya tidak sesuai. Bahkan fenomena ini juga menentang anggapan bahwa identitas etnis merupakan sebuah entitas yang objektif. Penjelasan macam apa yang dapat memberikan jawaban yang tepat untuk fenomena ini?

Problematika inilah yang menjadi fokus utama analisis penelitian ini. Maka, Informan A, dan juga anggota komunitas Orang Keturunan yang menjadi Cina Benteng, memiliki sebuah kesadaran kolektivitas secara subjektif yang eksistensinya ada bersamaan dengan pendefinisian kolektivitas Cina Benteng secara objektif. Oleh karena itu, dalam kajian mengenai identitas etnis secara sosiologis, harus terdapat pemberian kesempatan bahwa individu secara pribadi dapat menolak dikatakan sebagai identitas etnis tertentu. Sehubungan dengan pemaparan sebelumnya, kita harus menerima kenyataan bahwa Cina itu bukan kelompok yang absolut dan homogen. Lewat proses yang panjang, individu akan menerima sosialisasi untuk meyakinkan diri mereka guna merubah kolektivitas etnis mereka. Pemilihan kolektivitas baru, yakni Cina Benteng pada prakteknya juga didukung oleh faktor afiliasi dan signifikansi, seperti yang akan dijelaskan. Posisi peneliti dalam hal ini menyatakan bahwa etnisitas itu hanya sebagian dari kolektivitas saja. Maka, berdasarkan hemat peneliti, analisis fenomena ini menunjukkan perlunya pembedaan antara konsep identitas dan etnisitas. Sebab, pembedaan antara identitas dan etnisitas merupakan sebuah teori yang dapat menjelaskan fenomena perubahan Orang Keturunan ke Cina Benteng. Banyak studi-studi ilmiah yang belum menyadari akan pentingnya pembedaan kedua istilah tersebut. Dalam hal ini posisi peneliti berlainan dengan studi Trimble dan Dickson (2010) yang telah dipaparkan dalam Bab

2. Dimana studi selama ini, termasuk diantaranya Trimble dan Dickson (2010), mendefinisikan identitas etnis sebagai sebuah kesatuan.