Sejarah Umum

4.1. Sejarah Umum

4.1.1. Banten

Kontak penduduk Cina di wilayah Banten yang dikenal pada masa kini sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran), atau lebih spesifiknya pada wilayah yang akan dikenal sebagai Kesultanan Banten. Latar sejarah Kesultanan Banten berikut ini dikutip dari jurnal yang ditulis oleh Kamarga (tanpa Kontak penduduk Cina di wilayah Banten yang dikenal pada masa kini sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran), atau lebih spesifiknya pada wilayah yang akan dikenal sebagai Kesultanan Banten. Latar sejarah Kesultanan Banten berikut ini dikutip dari jurnal yang ditulis oleh Kamarga (tanpa

“Sejarah Banten” dalam buku resmi museum Benteng Heritage, wilayah awal Banten justru tidak mencakup sebagian besar dari apa yang dikenal sebagai Provinsi Banten

pada masa kini. Lokasi awal Banten justru terletak di sekitar bagian Selatan Kota Serang, di tepi Sungai Cibanten. Wilayah ini dikenal dengan sebutan “Banten Girang”, atau Banten di atas sungai. Situs Banten Girang, hasil ekskavasi yang

dilakukan oleh Dupoizat dan Harkatiningsih, setidaknya menjadi bukti atas kontak yang dilakukan Banten dengan Cina. Artefak tertua pada situs Banten Girang diyakini berasal dari abad ke-9-10 Masehi, berupa pecahan-pecahan mangkuk dengan bekas bebatuan yang diglasir halus berwarna hijau zaitun. Arkeolog meyakini bahwa mangkuk tersebut dibawa dari Provinsi Guangdong, Cina, oleh pedagang Cina yang singgah di Banten. Artefak lain berasal dari abad ke-12 Masehi, berupa keramik yang diyakini dibawa dari Provinsi Fujian di Cina oleh pedagang Cina lain yang turut singgah di Banten (Guillot, Nurhakim, dan Wibisono, 1996: 144-145). Oleh karena itu, muncullah berbagai pemukiman Cina di sekitar Banten. Fakta ini ditunjang oleh pengamatan Cornelis de Houtman, penjelajah Belanda pertama yang mendarat di Jawa di tahun 1595, sudah menemukan pemukiman tua Cina di sekitar Banten. Namun catatan sejarah belum menunjukkan adanya kedatangan massal pendatang Cina yang bekerja sebagai buruh atau petani.

Terlepas dari fakta sejarah yang telah dipaparkan, pelabuhan Banten pada saat itu bukanlah sebuah kota pelabuhan yang begitu penting dalam rute perdagangan antar-kerajaan. Posisi sebagai kota pelabuhan penting lebih diperankan oleh Malaka karena letaknya yang lebih strategis. Keadaan tersebut berubah ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Sebagai dampak, pedagang Muslim Timur Tengah, Persia, dan India menjadi enggan untuk berdagang dan singgah ke Malaka (Langer, 1948:384). Maka, peran Malaka setelah kejatuhannya ke tangan Portugis Terlepas dari fakta sejarah yang telah dipaparkan, pelabuhan Banten pada saat itu bukanlah sebuah kota pelabuhan yang begitu penting dalam rute perdagangan antar-kerajaan. Posisi sebagai kota pelabuhan penting lebih diperankan oleh Malaka karena letaknya yang lebih strategis. Keadaan tersebut berubah ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Sebagai dampak, pedagang Muslim Timur Tengah, Persia, dan India menjadi enggan untuk berdagang dan singgah ke Malaka (Langer, 1948:384). Maka, peran Malaka setelah kejatuhannya ke tangan Portugis

Pihak Portugis mengirim delegasi untuk menemui penguasa Kerajaan Sunda pada tahun 1522. Tujuan delegasi itu tak lain guna membujuk penguasa setempat agar mereka mengabulkan keinginan Portugis terhadap Kerajaan Sunda. Keinginan Portugis akan perjanjian dengan Kerajaan Sunda mencakup pembangunan benteng, pemberian upeti kepada Portugis setiap tahun, dan pembelian lada dari Sunda Kelapa dengan jumlah sebanyak-banyaknya. Pihak Kerajaan Sunda menerima perjanjian tersebut. Sebab pada saat itu, Kerajaan Sunda yang merupakan kerajaan Hindu tengah gusar akan meluasnya Agama Islam di Jawa. Sehingga penguasa Kerajaan Sunda membutuhkan Portugis sebagai kekuatan yang dapat mendukung mereka. Peristiwa inilah yang mendorong Kesultanan Demak untuk menyerang Kerajaan Sunda. Sehingga, pecahlah peperangan melawan Kerajaan Sunda dan Portugis yang dimenangkan Kesultanan Demak. Pada akhirnya, niat Portugis untuk menguasai Banten dan Sunda Kelapa telah digagalkan. Banten direbut pada tahun 1525, diikuti oleh pengislaman Banten dari pesisir Utara. Peristiwa ini diikuti oleh jatuhnya Sunda Kelapa pada tahun 1527 kepada pihak Kesultanan Demak. Maka pada tahun 1527 berdirilah Kesultanan Banten yang memisahkan diri dengan Kerajaan Sunda (Pajajaran).

Kedatangan Belanda pada akhirnya memberikan dampak sejarah yang besar. Seperti yang telah dijelaskan pada paragraf awal, sebelumnya hanya segelintir pedagang Cina yang menetap di Banten. Namun Belanda melakukan sebuah kebijakan yang berbeda pengenai pemukiman Cina. Belanda yang saat itu memerlukan pekerja kasar (kuli) dalam jumlah besar, mulai mendukung kedatangan para migran Cina untuk dipekerjakan sebagai buruh tani. Alhasil, kedatangan buruh

Cina, atau yang juga dikenal dengan istilah kuli (ejaan lama yang digunakan adalah koelie), menciptakan pemukiman Cina di Banten, tepatnya di sekitar Tangerang.

4.1.2. Tangerang

Sama halnya dengan sejarah Banten, kedatangan penduduk Cina di daerah Tangerang dapat dirunut pada sejarah yang panjang. Peninggalan sejarah panjang mereka salah satunya terletak pada asal-usul dari nama Tangerang. Meski berada di wilayah bahasa dan kebudayaan Sunda, nama Tangerang diyakini berasal dari kata “Tang-Lan” dari dialek Hokkien. “Tang”, adalah sebutan bagi suku-suku yang berada

di bagian Selatan Cina, untuk membedakan dengan suku Han yang berasal dari sebelah Utara Cina. Sebab pendatang Cina di Tangerang kebanyakan datang dari daerah Selatan Cina, terutama Provinsi Fuji an. Semantara itu “Lan” bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah “Orang”. Maka, nama Tangerang

kurang lebih merujuk kepada sekelompok penduduk Cina yang menetap di wilayah Selatan negeri tersebut. Penamaan Tangerang membedakannya dengan daerah-daerah lain dalam lingkup kebudayaan Sunda. Tangerang adalah satu-satunya wilayah yang dinamai dengan istilah Cina, atau istilah asing. Secara umum, sejarah tersebut mirip dengan sejarah kedatangan penduduk Cina dalam konteks Banten. Namun, justru di Tangerang-lah terjadinya pemusatan pemukiman Cina, terutama setelah Tangerang dimasukkan ke dalam kekuasaan Belanda pada tanggal 17 April 1684. Sehingga sejak tahun 1684, Tangerang sudah terpisah dengan Kesultanan Banten yang kini sudah tidak memiliki hak untuk campur tangan dalam mengatur Tangerang (buku resmi musium Benteng Heritage).

Kedatangan buruh Cina yang dipekerjakan oleh Belanda dimulai di akhir abad ke-17. VOC pada saat itu memiliki berbagai perkebunan di Tangerang, terutama di sekitar Tegal Pasir, sehingga Belanda mempekerjakan banyak kuli Cina di hampir setiap perkebunannya. Oleh karenanya, Belanda mendirikan perkampungan Cina di sekitar Tegal Pasir, tepi Sungai Cisadane. Pemukiman tersebut dikenal dengan nama Petak Sembilan, yang kini merupakan bagian Pasar Lama, Tangerang. Di samping Kedatangan buruh Cina yang dipekerjakan oleh Belanda dimulai di akhir abad ke-17. VOC pada saat itu memiliki berbagai perkebunan di Tangerang, terutama di sekitar Tegal Pasir, sehingga Belanda mempekerjakan banyak kuli Cina di hampir setiap perkebunannya. Oleh karenanya, Belanda mendirikan perkampungan Cina di sekitar Tegal Pasir, tepi Sungai Cisadane. Pemukiman tersebut dikenal dengan nama Petak Sembilan, yang kini merupakan bagian Pasar Lama, Tangerang. Di samping

Tiga vihara di Tangerang yang paling tua adalah Vihara Boen Hay Bio ( 文海廟 ), Boen San Bio ( 文山廟 ), dan Boen Tek Bio ( 文德廟 ), dimana ketiganya memiliki aliran Buddha Theravada. Masing-masing vihara dibangun pada tahun 1684 untuk Boen Tek Bio, 1689 untuk Boen San Bio, dan 1694 untuk Boen Hay Bio. Ketiga vihara Theravada tersebut memiliki posisi yang diyakini sejajar antara satu dengan yang lainnya, meski tidak saling berdekatan. Posisi ini mengikuti prinsip Feng Shui yang hendak menunjukkan bahwa ketiga vihara Theravada ini merupakan

sebuah kesatuan. Informan Oey Tjin Eng (Nama tidak dirahasiakan, sebab informan merupakan seorang akademisi yang dapat memberikan pemaparan objektif) menjelaskan bahwa nama masing-masing vihara bila digabungkan akan membentuk filosofi mereka yang berbunyi “Kebajikan yang setinggi gunung dan seluas lautan.”

…tiga klenteng ini secara historikal tidak dapat dipisahkan antara satu sama yang lainnya, tidak bisa dipisahkan dari namanya. Jadi arti filosofi tiga klenteng ini adalah, “Kebajikannya setinggi gunung dan seluas lautan.” Ya, jadi, arti filosofinya itu, Tek itu artinya kebajikan, San itu gunung, Hay itu laut, jadi kebajikannya setinggi gunung dan seluas lautan. Nah, secara posisinya pun Boen Tek Bio, Boen Hay Bio, Boen San Bio itu segaris lurus. Boen Tek Bio, kemudian ke selatan Boen San Bio, kemudian Boen Hay Bio. Jadi, secara Feng Shui, bersandar pada gunung, memandang lautan.

Informan IN, menuturkan bahwa seorang etnis Cina Muslim juga merupakan seorang tokoh desa. Makamnya dijadikan kuburan keramat dan dijaga oleh seorang juru kunci yang juga merupakan salah satu informan. Tokoh Cina yang dimaksud memiliki nama Tjin Tjing Liang (kebanyakan sumber mengakatan bahwa namanya Informan IN, menuturkan bahwa seorang etnis Cina Muslim juga merupakan seorang tokoh desa. Makamnya dijadikan kuburan keramat dan dijaga oleh seorang juru kunci yang juga merupakan salah satu informan. Tokoh Cina yang dimaksud memiliki nama Tjin Tjing Liang (kebanyakan sumber mengakatan bahwa namanya

Bukti lain akan kedatangan penduduk Cina yang sudah sangat lama di Tangerang dapat dilihat dari silsilah keluarga penduduk pribumi di pedesaan. Dengan kata lain, penduduk pribumi di sekitar desa yang diteliti memiliki beberapa nenek moyang Cina, meski pada dasarnya mereka adalah pribumi Sunda. Hal ini dikarenakan adanya kawin campur dengan pendatang Cina yang hampir semuanya adalah laki-laki, dengan para perempuan pribumi. Sebagai contohnya, salah seorang mantan Kepala Desa Sampora, mengakui bahwa ia memiliki beberapa nenek moyang Cina dari pihak ibunya.

Gambar 4.1. Silsilah Mantan Kepala Desa Sampora

Dari bagan yang telah digambarkan, warna cokelat mengindikasikan etnis pribumi, sementara warna kuning meunjukkan etnis Cina. Dapat diketahui bahwa nenek dari pihak ibunya merupakan campuran Cina-pribumi. Secara lebih spesifik, nenek dari pihak ibu mantan Kepala Desa ini memiliki ayah Cina. Garis silsilah moyang Cinanya dapat dirunut hingga ke salah seotrang bala tentara Cina yang bertugas mengawal Tjen Tjie Lung (Tjin Tjing Liang). Garis putus-putus menandakan ketidaktahuannya mengenai beberapa nama dan identitas moyangnya.