ANALISIS TEORITIS

BAB 7 ANALISIS TEORITIS

Setelah mengetahui pembahasan fenomena yang diteliti, maka temuan penelitian ini memiliki beberapa implikasi teoritis. Oleh karena itu, bagian ini akan menganalisis secara teoritis fenomena ini, yang pada akhirnya memberikan kesimpulan akhir berupa implikasi teoritis mengenai pembedaan antara identitas dan etnisitas.

7.1. Implikasi Teoritis

Bagian kedua Bab 6 ini akan khusus memberikan implikasi teoritis akan fenomena yang terjadi. Dalam hal ini peneliti hendak mengajukan temuan teoritis berupa pembedaan antara konsep identitas dan etnisitas. Seperti yang sudah dijelaskan dalam Diskusi dan Permasalahan, Orang Keturunan yang dianggap sebagai sebuah identitas etnis terpisah dapat menjadi sebuah identitas etnis lain, yakni Cina Peranakan, atau yang bernama Cina Benteng. Penjelasan secamam itu tidak cukup untuk menjelaskan fenomena perubahan identitas Orang Keturunan pada Desa Situgadung. Dalam hal ini terdapat pembedaan mendasar antara identitas dan

etnisitas. Maka, pertama-tama peneliti akan memberikan definisi mengenai identitas

dan etnisitas sebagai dua buah konsep otonom. Namun, ketika kedua konsep tersebut bertemu dan bergabung, ia akan memberikan sebuah makna baru terhadap studi mengenai kolektivitas seseorang. Anggapan umum mengenai identitas etnis selama ini dapat terlihat berdasarkan berbagai studi literatur yang telah dipaparkan dalam Tinjauan Pustaka. Analisis peneliti akan identitas dan etnisitas kemudian akan dibandingkan dengan definsi Trimble dan Dickson (2010) mengenai identitas etnis dalam Bab 2. Bagian yang menjelaskan pemisahan antara identitas dan etnisitas akan dilanjutkan dengan bagian yang menjelaskan fungsi akan keterpisahaan kedua dan etnisitas sebagai dua buah konsep otonom. Namun, ketika kedua konsep tersebut bertemu dan bergabung, ia akan memberikan sebuah makna baru terhadap studi mengenai kolektivitas seseorang. Anggapan umum mengenai identitas etnis selama ini dapat terlihat berdasarkan berbagai studi literatur yang telah dipaparkan dalam Tinjauan Pustaka. Analisis peneliti akan identitas dan etnisitas kemudian akan dibandingkan dengan definsi Trimble dan Dickson (2010) mengenai identitas etnis dalam Bab 2. Bagian yang menjelaskan pemisahan antara identitas dan etnisitas akan dilanjutkan dengan bagian yang menjelaskan fungsi akan keterpisahaan kedua

Berbagai analisis yang telah diajukan pada akhirnya akan membawa kita kepada penemuan teoritis penelitian ini bahwa, dalam kajian ilmu sosial, harus terdapat pembedaan antara apa yang disebut sebagai etnisitas dan identitas. Selama ini, konsep tersebut hanya dikenal sebagai identitas etnis. Berbagai literatur ilmiah yang peneliti temukan dan digunakan dalam Bab 2, seperti Trimble dan Dickson (2010) dan Chandra, menyebutkan adanya identitas etnis sebagai sebuah konsep untuk mengakaji isu etnisitas. Permasalahan yang telah disebutkan pada paragraf sebelumnya menunjukkan pentingnyapembedaan antara identitas dan etnisitas dalam studi ilmu-ilmu sosial. Bagian ini akan memberikan sebuah pemikiran baru dengan teori pembedaan identitas dan etnisitas.

7.1.1. Pembedaan Identitas dan Etnisitas

Sejauh ini, temuan substantif penelitian ini menggambarkan sebuah fakta bahwa menjadi seorang etnis Cina, khususnya Cina Benteng, merupakan sebuah proses yang panjang. Selama ini, identitas etnis Cina, ataupun identitas etnis lainnya dianggap sebagai sesuatu yang taken for granted , atau ascribed status dalam terminologi Sosiologi yang ada. Maka, dengan adanya berbagai faktor sosial, individu dalam konteks ini dapat memilih kolektivitas etnis untuk menjadi bagian dari kolektivitas etnis Cina. Sesuatu yang belum pernah dikaji secara eksplisit. Dalam konteks terntentu, fenomena semacam ini dapat pula berlaku pada masyarakat dengan latar belakang etnis non-Cina lainnya. Sehubungan dengan itu, temuan teoritis penelitian ini berkisar pada penjelasan akan pentingya pembedaan antara konsep identitas dan etnisitas.

Pembedaan antara identitas dan etnisitas adalah gagasan utama penelitian ini. Analisis akan perubahan dari Orang Keturunan menjadi Cina Benteng membutuhkan suatu penjelasan yang lebih lengkap. Temuan fenomena ini memiliki implikasi teoritis yang khas. Teori yang dimaksud adalah pembedaan antara identitas dan

etnisitas, sebuah teori yang peneliti konstruksikan berdasarkan analisis temuan lapangan. Berdasarkan teori yang telah disebutkan, peneliti dapat menyimpulkan sebuah teori mikro dalam konteks penelitian ini. Dasar analisis teori ini mneyatakan bahwa Cina Benteng dalam hal ini bukan merupakan sebatas identitas etnis saja. Untuk menjelaskannya, diperlukan adanya pembedaan anatara konsep identitas dan etnisitas. Kita dapat melihat bahwa dalam konteks Desa Situgadung, Cina Benteng memiliki definisi subjektif tersendiri, seperti yang telah dijelaskan oleh Informan A pada bagian-bagian sebelumnya. Maka itu, Cina Benteng merupakan sebuah istilah yang kontekstual. Dalam konteks tertentu, sebuah konsep seperti Cina Benteng, dapat dijadikan identitas, namun dalam konteks lainnya, Cina Benteng dapat dijaidkan sebuah etnisitas. Ini berarti Cina Benteng dapat dijadikan sebuah etnisitas dalam konteks sosial tertentu, sementara itu, Cina Benteng dapat pula menjadi sebuah identitas dalam konteks sosial lainnya. Sehubungan dengan itu, peneliti hendak menunjukkan dalam bagian selanjutnya bahwa identitas dan etnisitas sebenarnya adalah terpisah. Bagian ini juga akan dilengkapi dengan definisi akan identitas dan etnisitas yang dapat peneliti berikan. Namun, keterpisahan antara identitas dan etnisitas memiliki sebuah arti. Keterpisahan itu memiliki fungsi sebagai penghubung diantara dua konsep yang tidak dapat dipisahkan tersebut.

7.1.2. Definisi Identitas dan Etnisitas

Terdapat hal yang paling mendasar dalam pembedaan kedua konsep ini: Jika kita melihat dari sisi etnisitas, kolektivitas etnis seseorang itu dilihat secara objektif. Namun, ketika pihak dari dalam atau individu sendiri yang menentukan kolektivitasnya secara subjektif, maka hal tersebut adalah definisi akan cara pandang identitas. Untuk lebih jelasnya, definisi ini akan dijelaskan oleh bagan berikut.

Gambar 7.1. Skema Peranan Identitas dan Etnisitas

Bulatan hitam dengan tanda khusus merupakan representasi akan individu. Dalam kehidupan sosialnya, individu akan digolongkan ke dalam kolektivitas- kolektivitas tertentu, seperti yang ditunjukkan bulatan dengan huruf K (Kolektivitas) pada skema di atas. Namun, seperti yang menjadi dasar perspektif interaksionisme- simbolik Weber, individu memiliki kebebesan untuk memaknai dan mengidentifikasi kolektivitas yang akan dipilihnya. Maka pemaknaan individu akan kolektivitas terntentu yang dipilihnya bisa saja dimaknai secara subjektif oleh individu yang bersangkutan. Inilah yang merupakan pengakuan subjektif individu akan kolektivitasnya, seperti yang ditunjukkan oleh anak panah patah-patah pada skema di atas. Sebagai contoh, individu dapat memaknai Kolektivitas 3 (K3) secara subjektif. Di sisi lain, masyarakat sebagai sebuah fakta sosial dapat memberikan definisi akan kolektivitas secara objektif yang sudah ada dari sananya, atau meminjam istilah Durkheim sebagai fakta sosial yang unik ( sui generis ). Artinya, bila individu memaknai Kolektivitas 3 secara subjektif, namun sejatinya, Kolektivitas 3 sudah memiliki definisi objektif seacara eksternal. Hal ini dapat terlihat dalam konteks Cina Benteng di Desa Situgadung. Individu dapat saja memaknai kolektivitas etnisnya Bulatan hitam dengan tanda khusus merupakan representasi akan individu. Dalam kehidupan sosialnya, individu akan digolongkan ke dalam kolektivitas- kolektivitas tertentu, seperti yang ditunjukkan bulatan dengan huruf K (Kolektivitas) pada skema di atas. Namun, seperti yang menjadi dasar perspektif interaksionisme- simbolik Weber, individu memiliki kebebesan untuk memaknai dan mengidentifikasi kolektivitas yang akan dipilihnya. Maka pemaknaan individu akan kolektivitas terntentu yang dipilihnya bisa saja dimaknai secara subjektif oleh individu yang bersangkutan. Inilah yang merupakan pengakuan subjektif individu akan kolektivitasnya, seperti yang ditunjukkan oleh anak panah patah-patah pada skema di atas. Sebagai contoh, individu dapat memaknai Kolektivitas 3 (K3) secara subjektif. Di sisi lain, masyarakat sebagai sebuah fakta sosial dapat memberikan definisi akan kolektivitas secara objektif yang sudah ada dari sananya, atau meminjam istilah Durkheim sebagai fakta sosial yang unik ( sui generis ). Artinya, bila individu memaknai Kolektivitas 3 secara subjektif, namun sejatinya, Kolektivitas 3 sudah memiliki definisi objektif seacara eksternal. Hal ini dapat terlihat dalam konteks Cina Benteng di Desa Situgadung. Individu dapat saja memaknai kolektivitas etnisnya

Kolektivitas Subjektif ≈ Kolektivitas Objektif, yang berarti “Kolektivitas Subjektif hampir sama dengan Kolektivitas Objektif”. Maka, dalam konteks Desa Situgadung,

individu memaknai kolektivitas etnisnya sebagai Cina Benteng, yang sedikit berbeda dan tidak sama persis dengan Cina Benteng versi objektif. Skema tersebut menggambarkan kemungkinan terjadinya pertentangan antara pengakuan subjektif individu akan kolektivitas serta pengakuan objektif terhadap kolektivitas.

Bagian awal pada sub-bab 7.1.2. sudah mejelaskan bahwa dalam konteks kolektivitas, etnisitas adalah definisi objektif yang diberikan oleh masyarakat pada kolektivitas yang bersangkutan. Terlepas individu memiliki kebebasan untuk mengidentifikasi atau tidak mengidentifikasi bahwa dirinya adalah bagian dari kolektivitas tersebut, secara objektif ia akan tergolong dalam etnis yang bersangkutan. Sementara identitas ditunjukkan oleh kebebasan individu untuk memilih dan mendefinisikan secara subjektif, kolektivitas manakah tempat ia tergolong. Seperti yang sudah dijelaskan, kedua konsep ini merupakan dua konsep otonom yang memiliki hubungan antara satu dengan yang lainnya. Individu memiliki semacam kebebasan untuk menentukan nama kelompok yg dipilihnya, cakupan besar kelompoknya, dan kadar keetnisan yg dipilihnya. Ini juga termasuk kemampuan individu untuk memaknai kolektivitas yang bersangkutan. Maka dalam konteks Cina Benteng di Desa Situgadung, anggota komunitas Orang Keturunan di Desa Situgadung mengidentifikasi diri mereka secara subjektif sebagai “Cina Benteng versi lokal”. Ini merupakan manifestasi akan identitas. Sementara itu, secara objektif, kolektivitas yang mereka maksud sudah didefinisikan oleh masyarakat secara objektif sebagai Cina Benteng secara umum. Ini merupakan manifestasi akan etnisitas.

Pembedaan yang paling mendasar diantara keduanya dapat dijelaskan bahwa identitas merupakan sesuatu yang bersifat subjektif. Hal ini dapat terlihat bahwa kasus Cina Benteng pada Desa Situgadung yang pada terbentuk oleh pengakuan

subjektif. Di lain pihak, etnisitas lebih merujuk pada sesuatu yang bersifat objektif, yakni adanya pengakuan. Dengan kata lain, etnisitas merupakan sebuah fakta sosial berdasarkan definisi Durkheim. Etnisitas, meskipun tidak diakui oleh individu yang bersangkutan, akan tetap akan ada sebagai sebuah fakta sosial. Sebagai contoh, seorang keturunan Jawa, secara subjektif ia dapat tidak mengidentifikasi dirinya sebagai orang Jawa. Namun, secara objektif ia tetap merupakan etnis Jawa, salah satunya dapat dilihat berdasarkan asal-usul orang tuanya serta daerah asalnya. Pembedaan selanjutnya, identitas merupakan sesuatu yang diraih oleh individu, atau yang dikenal dengan konsep achieved status . Sementara etnisitas merupakan sesuatu yang bersifat diturun-temurunkan, atau yang dikenal dengan konsep ascribed status . Sebagaimana yang dikutip dari Sunarto (2004:83), Achieved Status adalah status yang diraih oleh individu dari usahanya. Ascribed Status adalah status yang didapatkan oleh individu secara turun-temurun. Etnistitas bersifat diturun-temurunkan dari generasi ke generasi lain. Demikianlah yang terjadi pada komunitas Cina Benteng pada masyarakat Cina di Tangerang. Penduduk Cina di Tangerang disebut sebagai Cina Benteng karena warisan turun-temurun dari orang tua mereka. Sementara itu, kita sudah mengetahui bahwa anggota komunitas Orang Keturunan di Desa Situgadung dapat menjadi Cina Benteng sebagai hasil akan adanya usaha yang mereka lakukan. Dalam hal ini identitas mengacu kepada keanggotaan kolektivitas. Dengan kata lain, identitas merupakan sebuah proses untuk mendekatkan diri individu kepada kolektivitas tertentu. Sementara itu, etnisitas adalah salah satu bentuk dari kolektivitas. Proses menjadi kolektivitas adalah sebuah proses subjektif, sementara kolektivitas adalah sebuah entitas objektif. Oleh karena itu, peneliti dapat mengakatakan bahwa Cina Benteng dapat menjadi dua hal yang berbeda.

Berdasarkan pemaparan yang telah diberikan, penelitian ini telah mendefinisikan bahwa dalam konteks Desa Situgadung, identitas adalah proses identifikasi atas keanggotaan suatu kolektivitas yang fleksibel dan dinamis berubah- ubah menurut nama, skala, dan intensitas.

 Nama Kelompok: Perubahan nama kolektivitas kelompok sejalan dengan semakin dekatnya anggota kolektivitas pada kebudayaan Cina Peranakan.  Cakupan Besar Kelompok: semakin besar kolektivitas, maka akan semakin dekat pula dengan identitas Cina Peranakan.

 Kadar Keetnisan: Perubahan kolektivitas dalam konteks ini juga dibarengi oleh semakin tingginya tingkat kedekatan dengan kebudayaan Cina Peranakan.

Mereka secara etnisitas, komunitas keturunan Cina di Desa Situgadung merupakan Cina Benteng. Hanya saja, mereka memiliki pemaknaan subjektif tersendiri atas kolektivitas yang mereka pilih. Sisi inilah yang menunjukkan Cina Benteng sebagai identitas. Bagaimana mereka dapat menentukan identitas subjektif mereka dipengaruhi oleh tiga faktor, antara lain, sosialisasi, afiliasi, dan signifikansi. Secara sosiologis, komunitas Orang Keturunan ditransformasikan menjadi lebih dekat dengan kebudayaan Cina oleh pemerintah dan masyarakat. Di sini, identitas dan etnisitas menyatu, tapi untuk menganalisisnya harus dilihat secara terpisah.

Identitas didefinisikan sebagai upaya untuk memilih kolektivitas. Individu akan memilih berbagai macam kolektivitas dalam kehidupan sosialnya. Ia akan memilih serta mendefinisikannya secara subjektif. Sementara, kolektivitas itu sendiri merupakan sebuah entitas objektif. Pemaknaan dari masing-masing kolektivitas dapat saja berbeda-beda sesuai dengan subjektivitas individu yang memilihnya. Namun, pada akhirnya, setiap kolektivitas merupakan sebuah entitas objektif yang didefinisikan oleh masyarakat secara luas. Dalam kasus ini, individu dapat saja mengaku sebagai Cina Benteng yang berbeda, atau kelompok serupa yang tidak sama dengan Cina Benteng versi objektif. Inilah yang disebut sebagai identitas. Bagaimanapun, secara objektif, mereka tergolong dalam kolektivitas Cina Benteng. Disinilah peran Cina Benteng sebagai etnisitas yang bersifat objektif. Oleh karena itu, fenomena perubahan Orang Keturunan menjadi Cina Benteng secara keseluruhan merupakan sebuah aspek realistis dari teori yang telah peneliti konstruksikan. Bila dihubungkan dengan Gambar 6.14., maka kita dapat mengatakan bahwa identitas Identitas didefinisikan sebagai upaya untuk memilih kolektivitas. Individu akan memilih berbagai macam kolektivitas dalam kehidupan sosialnya. Ia akan memilih serta mendefinisikannya secara subjektif. Sementara, kolektivitas itu sendiri merupakan sebuah entitas objektif. Pemaknaan dari masing-masing kolektivitas dapat saja berbeda-beda sesuai dengan subjektivitas individu yang memilihnya. Namun, pada akhirnya, setiap kolektivitas merupakan sebuah entitas objektif yang didefinisikan oleh masyarakat secara luas. Dalam kasus ini, individu dapat saja mengaku sebagai Cina Benteng yang berbeda, atau kelompok serupa yang tidak sama dengan Cina Benteng versi objektif. Inilah yang disebut sebagai identitas. Bagaimanapun, secara objektif, mereka tergolong dalam kolektivitas Cina Benteng. Disinilah peran Cina Benteng sebagai etnisitas yang bersifat objektif. Oleh karena itu, fenomena perubahan Orang Keturunan menjadi Cina Benteng secara keseluruhan merupakan sebuah aspek realistis dari teori yang telah peneliti konstruksikan. Bila dihubungkan dengan Gambar 6.14., maka kita dapat mengatakan bahwa identitas

Maka, dalam penelitian ini, Identitas didefinisikan sebagai aspek subjektif

suatu kelompok untuk memilih suatu kolektivitas sosial, berdasarkan subjektivitas individu yang dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan. Selain itu, Etnisitas didefinisikan sebagai jati diri objektif suatu komunitas yang bersifat objektif oleh karena definisi dari

masyarakat sebagai sebuah fakta sosial. Definisi ini untuk sementara berlaku dalam konteks masyarakat Cina Benteng di Desa Situgadung. Definisi ini sedikit memodifikasi definisi Identitas dan Etnisitas yang diberikan oleh Trimble dan Dickson. Maka, kesimpulan teori yang dapat peneliti ajukan kepada ilmu sosial, khususnya kajian etnisitas dan kebudyaan dapat dirangkum sebagai berikut.

“ Berbagai macam identitas etnis dapat dibedakan baik ke dalam konteks identitas

maupun etnisitas, tergantung dari perspektif yang bersangkutan; Apakah dilihat berdasarkan subjektivitas individu atau berdasarkan objektivitas definisi sebagai fakta sosial. ”

Pada dasarnya, identitas dan etnisitas merupakan dua hal yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga, keterhubungan mereka memiliki fungsi, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dalam hal ini, fungsi identitas dapat digambarkan sebagai proses untuk mengidentifikasi kolektivitas. Namun, penting untuk diketahui bahwa kolektivitas itu memiliki banyak manifestasi. Kolektivitas tidak hanya dimanifestasikan dengan kolektivitas etnis saja. Dengan kata lain, etnisitas hanya merupakan bagian kecil dari sebuah identitas. Dalam konteks kehidupan nyata, ketika seseorang ditanya mengenai identitasnya, ia tidak hanya dapat menjawab dari segi etnis saja, namun dapat dijawab berdasarkan agama, gender, dan lain-lain. Dengan kata lain, identitas merupakan entitas yang lebih Pada dasarnya, identitas dan etnisitas merupakan dua hal yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga, keterhubungan mereka memiliki fungsi, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dalam hal ini, fungsi identitas dapat digambarkan sebagai proses untuk mengidentifikasi kolektivitas. Namun, penting untuk diketahui bahwa kolektivitas itu memiliki banyak manifestasi. Kolektivitas tidak hanya dimanifestasikan dengan kolektivitas etnis saja. Dengan kata lain, etnisitas hanya merupakan bagian kecil dari sebuah identitas. Dalam konteks kehidupan nyata, ketika seseorang ditanya mengenai identitasnya, ia tidak hanya dapat menjawab dari segi etnis saja, namun dapat dijawab berdasarkan agama, gender, dan lain-lain. Dengan kata lain, identitas merupakan entitas yang lebih

Gambar 7.2. Posisi Etnisitas yang Tergabung dalam Identitas

Namun, dalam konteks kasus di Desa Situgadung ini, identitas tidak akan memiliki makna khusus ketika ia berdiri sendiri, atau dengan kata lain, bersifat terpisah dengan etnisitas. Seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 7.3. berikut ini.

Gambar 7.3. Posisi Etnisitas yang Terpisah dengan Identitas

Seorang individu dapat mengidentifikasi identitasnya dengan identitas etnis karena sedang berbicara dalam konteks etnisitas. Seperti dalam kasus Cina Benteng di Desa Situgadung, ketika Informan A berbicara mengenai perubahan identitasnya dalam konteks etnisitas. Bila konteks etnisitas dikesampingkan, maka identitas akan memiliki makna yang berbeda. Konsep identitas etnis menjadi tidak bermakna, karena individu dapat mengidentifikasi dirinya berdasarkan kolektivitas lainnya, entah itu agama, gender, dan lain-lain.

Cina Benteng mungkin adalah nama kel sub-etnik, namun bukan berarti pihak luar dapat mengatakan seseorang sebagai angotanya dengan begitu saja. Sebagaimana Cina Benteng adalah sebuah fakta sosial. Penelitian ini menyatakan bahwa individu juga memiliki kemampuan secara eksplisit untuk menyatakan keanggotaannya. Dalam hal ini, posisi peneliti bukan menentang definisi objektif akan Cina Benteng. namun, berdasarkan teori pembedaan identitas dan etnisitas, maka kedua jenis pengakuan merupakan entitas yang tidak terpisahkan. Dalam kasus Informan A dan Orang Keturunan, kendati mereka mendapatkan sosialisasi dan memiliki kultur yang relatif sama, namun mereka pada awalnya bukan merupakan Cina Benteng. Dibutuhkan sebuah proses yang panjang agar mereka menajdi Cina Benteng. Awalnya mereka adalah anggota dari sebuah kolektivitas etnis yang lebih dekat dengan kebudayaan pribumi, namun, dengan adanya berbagai faktor sosial, mereka menjadi meninggalkan kolektivitas lama mereka dan bertarnsformasi menjadi Cina Benteng.

Tabel 7.1. Perbedaan Mendasar antara Identitas dan Etnisitas

Konsep

Ciri-Ciri

Merupakan sebuah proses Achieved Status (Dalam

Identitas

untuk menjadi bagian dari Konteks Tertentu) kolektivitas

Subjektif

Ascribed Status (Dalam Salah satu manifestasi dari

Etnisitas

Objektif

Konteks Tertentu) identitas

Tabel 7.2. Definisi Identitas Etnis berdasarkan Studi Literatur

Identitas Etnisitas

Aspek kesamaan kelompok sosial. Aspek adat-istiadat

Identitas Etnis sebagai Kesatuan: Kesamaan adat-istiadat yang dijadikan pembeda bagi mereka yang tidak tergolong ke dalamnya.

Sebagai implikasi atas perbedaan antara identitas dan etnisitas, peneliti dapat mengabstraksikan beberapa faktor-faktor yang menjadi dasar penduduk Cina di Desa Situgadung untuk melakukan transformasi. Berdasarkan subjektifitas berbagai informan dan gatekeeper Cina Benteng di Desa Situgadung, identitas Cina Benteng lebih bernilai untuk diraih ketimbang identitas-identitas lainnya. Bila diabstraksikan, setidaknya tiga buah faktor yang justru mendasari mereka untuk memaknai identitas Cina Benteng sebagai identitas yang menguntungkan bagi mereka. Faktor-faktor inilah yang menjadi dasar atas alasan Informan A serta warga Cina Benteng lainnya. Ketiga faktor dari hasil abstraksi tersebut bila diindetifikasi antara lain: Sosialisasi, Afiliasi, Signifikansi. Berikut adalah penjelasan masing-masing faktor berdasarkan urutan kronologisnya.

Tabel 7.3. Faktor yang Mendasari Pilihan terhadap Indentitas Cina Benteng

No. Faktor

Penjelasan

1. Sosialisasi Penanaman nilai-nilai sosial terhadap komunitas Orang Keturunan yang membentuk persepsi merekadalam melihat identitas Cina Benteng. Dalam konteks ini, penanaman nilai tersebut dilakukan oleh banyak pihak. Seperti penanaman nilai kebudayaan Orang Keturunan yang khas. Penanaman persepsi bahwa Agama Kristen merupakan sarana perubahan 1. Sosialisasi Penanaman nilai-nilai sosial terhadap komunitas Orang Keturunan yang membentuk persepsi merekadalam melihat identitas Cina Benteng. Dalam konteks ini, penanaman nilai tersebut dilakukan oleh banyak pihak. Seperti penanaman nilai kebudayaan Orang Keturunan yang khas. Penanaman persepsi bahwa Agama Kristen merupakan sarana perubahan

2. Afiliasi Keterbukaan/ketertutupan suatu komunitas terhadap masyarakat Cina Benteng. Aspek ini juga mencakup kedekatan komunitas Cina Benteng terhadap masyarakat lain, baik secara sosial, kultural, maupun ekonomi. Dalam fenomena ini, terdapat beberapa komunitas yang bersifat tertutup ataupun terbuka bagi masyarakat Cina Benteng. Hal ini dibentuk oleh sosialisasi kebudayaan yang didapatkan oleh masyarakat Cina Benteng di Desa Situgadung.

3. Signifikansi Perhitungan untung-rugi yang dilakukan ketika akan mengganti identitas menjadi Cina Benteng. Dalam konteks ini, anggota komunitas Orang Keturunan yang telah menjalani pergantian identitas menuju Cina Benteng karena sosialisasi yang didapatkan dan keterbukaan komunitas di sekitar mereka, berusaha meperhitungkan keuntungan dan kerugian yang akan mereka alami ketika menjadi Cina Benteng.

Skema ini didasarkan atas kisah hidup yang dipaparkan pada Bab 5 serta berbagai pemaparan informan lainnya. Pertama-tama, skema ini dimulai dengan sosialisasi terhadap komunitas Orang Keturunan sebelum mereka merubah identitas mereka sebagai Cina Benteng. Sosialisasi didefinisikan sebagai proses penanaman nilai dari suatu pihak ke pihak lain (Sunarto, 2004:23). Dalam konteks ini, anggota

komunitas Orang Keturunan mendapatkan berbagai macam sosialisasi yang meyakinkan mereka untuk memilih identitas Cina Benteng. Diantara semluruh agen sosialisasi yang ada dalam konteks ini, sosialisasi paling penting untuk menjadi Cina Benteng justru datang dari misionaris lokal Gereja Pantekosta Indonesia cabang Serpong. Seperti yang telah dipaparkan dalam Bab 5, timbul semacam pertentangan dengan identitas kebudayaan Orang Keturunan selama ini dalam benak beberapa anggotanya. Sementara, identitas Cina dan Kristen menjadi diasosasikan dengan kemajuan. Fenomena pergantian pandangan akan nilai yang telah disosialisasikan oleh keluarga dalam komunitas Orang Keturunan dapat dijelaskan dalam konteks teoritis. Individu cenderung untuk menerima sosialisasi nilai tanpa kemampuan untuk memgkritisinya secara serius sebelum masa remaja (Giddens, Duneier, dan Appelbaum: 2005-91). Oleh karena itu, sosialisasi nilai kebudayaan Orang Keturunan tergantikan oleh agen sosialisasi lain ketika individu sudah berada pada tahapan sosialisasi yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh tabel berikut yang menggambarkan hasil sosialisasi mengenai budaya Orang Keturunan.

Tabel 7.4. Sosialisasi Nilai Mengenai Ciri-Ciri Orang Keturunan

Istilah

Ciri-Ciri yang Identik

Orang

Mobilitas

Kemiskinan Keterbelakangan

Kesesatan

Keturunan

Horizontal Mobilitas

Cina Benteng

Kekayaan

Kesuksesan

Keimanan Vertikal Naik

Sementara itu, ketika mereka miliki pemaknaan yang negatif terhadap Orang Keturunan, di sisi lain mereka memaknai Cina Benteng versi lokal sebagai: Keturunan Cina yang lari dari kemiskinan serta dari dosa, dan bertobat masuk Kristen .

Setelah mendapatkan sosialisasi semacam itu, penduduk Orang Keturunan di Desa Situgadung harus dapat berhubungan dengan suatu komunitas Cina sebagai

bentuk “pelarian” mereka akan identitas Orang Keturunan. Hal ini salah satunya turut dupicu atas keinginan komunitas Orang Keturunan di Desa Situgadung untuk dapat memiliki relasi sosial guna mata pencaharian mereka, seperti halnya Orang Keturunan di Desa Sampora dengan pribumi. Inilah yang menjadi jalan pembuka bagi Orang Keturunan untuk menjadi Cina Benteng versi Desa Situgadung. Dalam aspek Afiliasi, penduduk Cina Benteng tidak memiliki kedekatan kultural dan sosial terhadap pribumi. Oleh karena itu, mereka menciptakan sebuah kedekatan serupa terhadap penduduk Cina dari Bumi Serpong Damai.

Fenomena ini merupakan sebuah manifestasi akan teori pilihan rasional. Dimana interaksi semacam ini cenderung untuk mematerialisasikan setiap hubungan sosial (Sato, 2006:2-3). Dalam penelitian ini, perubahan identitas etnis didasarkan atas rasionalitas dan keuntungan pribadi, seperti yang dipaparkan oleh Malesevic dalam The Sociology of Ethnicity berikut ini“…’ethnic identiy switching’ in a rational and self-interested manner ” disesuiakan dengan keadaan dan situasi di sekitar mereka (Malesevic, 2004:100). Lebih lanjut, dalam kerangka berpikir rasionalitas, Malesevic (2004:101-102) beranggapan bahwa identitas etnis hanyalah sebuah sumber daya yang digunakan untuk mencapai keuntungan maksimal. Hal ini jelas tergambar dalam kasus Orang Keturunan yang menjadi Cina Benteng. Tentu keuntungan yang dimaksud di sini bukanlah keuntungan materi semata, meski salah satu alasan komunitas Cina Benteng di Desa Situgadung untuk melakukannya adalah demi materi.

Secara tidak langsung ini merupakan perwujudan atas rasionalitas penduduk Cina Benteng di Desa Situgadung, yang dimanifestasikan oleh adanya perhitungan untung-rugi yang dilakukan baik oleh penduduk Cina Benteng lainnya atas istilah yang akan mereka gunakan. Sehubungan dengan itu, maka faktor yang timbul selanjutnya adalah Signifikansi. Masyarakat Cina Benteng, termasuk Informan A mendapatkan keuntungan secara sosial dan material dengan mengaku sebagai Cina

Benteng. Dengan menjadi bagian dari identitas Cina, masyarakat Cina Benteng dapat memiliki keuntungan dengan hidupnya arus ekonomi dan perdagangan mereka dengan penduduk Cina pada Bumi Serpong Damai.

Gambar 7.4. Skema Latar Belakang Perubahan Identitas di Desa Situgadung TAHAP I Keputusan TAHAP II TAHAP III

Menjadi Cina

Namun, timbul pertanyaan yang harus diajukan dalam alur analisis ini. Bila , apakah penamaan yang sama akan menunjukkan kolektivitas yang sama pula? Hal ini akan kembali bersifat problematik bila jawabannya adalah ya. Namun, pada dasarnya, peneliti dapat menyimpulkan bahwa meskipun memiliki penamaan yang sama, namun sesungguhnya, kedua Cina Benteng di sini merupakan kolektivitas yang berbeda. Sehubungan dengan dua asumsi peneliti akan kolektivitas, yakni penamaan yang berbeda menunjukkan kolektivitas yang berbeda pula, serta kolektivitas dalam

level yang berbeda, akan menunjukkan tingkat “ke-Cina-an” yang berbeda terbukti dalam kasus ini. Hal ini jelas digambarkan dengan asumsi kolektivitas yang

menyatakan bahwa penamaan yang berbeda akan menunjukkan kolektivitas yang berbeda pula. Sebab, meski memiliki nama yang sama, CinaBenteng dalam konteks Desa Situgadung memiliki definisi khas tersendiri, yang ditujukkan dengan jelas oleh definisi subjektif akan Cina Benteng di Desa Situgadung, serta tabel mengenai berbagai macam ciri-ciri sosial yang membedakan Cina Benteng versi objektif dan versi Desa Situgadung. Persamaan logika perikut menjelaskan bahwa perkembangan dari Orang Keturunan tidak menjadikan mereka sebagai sebuah bagian yang sama dengan Cina benteng versi objektif.

Tabel 7.5. Skema Pembedaan Cina Benteng Versi Situgadung dengan Versi

Objektif

Orang Keturunan ≠ Cina Benteng Objektif

Cina Udik ≠ Cina Benteng Objektif “Cina” ≠ Cina Benteng Objektif Cina Benteng Situgadung ≠ Cina Benteng Objektif

Penamaan suatu kolektivitas oleh individu terntentu bisa saja bersifat subjektif, namun kolektivitas adalah sebuah fakta sosial yang sudah didefinisikan secara objektif. Dengan kata lain, individu di Desa Situgadung dapat saja mengidentifikasi dirinya bukan sebagai Cina Benteng, atau setidaknya Cina Benteng seperti yang didefinisikan secara objektif. Meski pihak eksternal dapat saja mengatakan bahwa mereka tergolong dalam Cina Benteng secara objektif. Hal ini dapat dilihat berdasarkan skema di atas yang menjelaskan bahwa Cina Benteng Desa Situgadung merupakan sebuah istilah yang secara subjektif dimaknai secara berbeda. Terlepas dari kesamaan penamaan. Hal ini merupakan peranan akan konsep identitas yang telah didefinisikan oleh peneliti. Namun tetap saja, secara objektif (dalam aspek etnisitas) mereka adalah Cina Benteng.

7.2. Kegunaan Pembedaan Identitas dan Etnisitas

Pembedaan konsep identitas dan etnisitas bukan hanya merupakan sebuah temuan teoritis yang terbatas dalam konteks kasus penelitian ini saja. Pembedaan diantara keduanya memiliki fungsi untuk dapat diterapkan pada berbagai konteks masyarakat. Dengan kata lain, temuan teoritis ini dapat pula dibawa ke ranah yang lain. Sebab, selama ini, peneliti berasalan bahwa konsep identitas etnis yang dianggap sebagai konsep tunggal belum cukup komprehensif dalam menjelaskan fenomena dalam masyarakat yang multikultural, terutama dalam konteks Indonesia kini. Sebagai contoh, fenomena kawin campur antar-etnis di Indonesia mengalami Pembedaan konsep identitas dan etnisitas bukan hanya merupakan sebuah temuan teoritis yang terbatas dalam konteks kasus penelitian ini saja. Pembedaan diantara keduanya memiliki fungsi untuk dapat diterapkan pada berbagai konteks masyarakat. Dengan kata lain, temuan teoritis ini dapat pula dibawa ke ranah yang lain. Sebab, selama ini, peneliti berasalan bahwa konsep identitas etnis yang dianggap sebagai konsep tunggal belum cukup komprehensif dalam menjelaskan fenomena dalam masyarakat yang multikultural, terutama dalam konteks Indonesia kini. Sebagai contoh, fenomena kawin campur antar-etnis di Indonesia mengalami

7.2.1. Relasi Identitas dan Etnisitas

Meski kedua konsep identitas dan etnisitas merupakan dua konsep yang berbeda, namun bukan berarti kedua konsep tersebut merupakan konsep yang masing-masing dapat berdiri sendiri. Dengan kata lain, keterpisahan antara identitas dan etnisitas memiliki fungsi. Dalam hal ini, peneliti dapat mengatakan bahwa pemisahan kedua konsep bertujuan untuk memperjelas relasi diantara keduanya. Berbagai macam studi ilmiah mengenai identitas etnik selama ini cenderung berada pada dua kutub ekstrim. Suatu kelompok terlalu menekankan bahwa etnisitas adalah entitas objektif, seseorang dianggap suatu anggota kelompok etnik sepanjang ia memliki karakteristik yang sama dengan anggota lain. Sementara, studi lainnya terlalu menekankan bahwa etnisitas adalah entitas subjektif, dimana pengakuan individu-lah yang sepenuhnya otonom. Posisi penelitian ini menekankan bahwa keduanya adalah dua hal yang tidak terpisahkan dan saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini, identitas mewakili sisi subjektif indiviual, dan etnisitas mewakili sisi objektif sui generis . Oleh karena itu, relasi yang dimaksud dapat dilihat dalam konteks kolektivitas etnis/suku bangsa, seperti yang digambarkan oleh skema berikut.

Gambar 7.5. Ilustrasi Cina Benteng sebagai Entitas Subjektif dan Objektif

CINA BENTENG

IDENTITAS ETNISITAS

Individu

Cina

Cina

Memberikan

Benteng

Benteng

Definisi

sebagai

Etnis

Gambar yang telah diberikan menunjukkan bahwa berbagai macam istilah etnis/suku bangsa dapat menjadi identitas maupun etnisitas dalam berbagai macam konteks sosial. Dari sini Orang Keturunan pada Desa Situgadung pada awalnya mengaku sebagai Cina Benteng. Namun, Cina Benteng ini berbeda dengan Cina Benteng yang didefinisikan secara objektif. Ini menunjukkan kemampuan individu untuk memberikan definisi subjektif. Maka, inilah wujud identitas dari Cina Benteng. sementara, Cina Benteng dapat dikatakan sebagai etnisitas ketika didefinisikan secara objektif sebagai sebuah fakta sosial oleh masyarakat.