Sejarah Cina Benteng Desa Situgadung

4.3. Sejarah Cina Benteng Desa Situgadung

Bab 2 sudah memberikan gambaran mengenai definisi, identitas kebudayaan, dan sejarah Cina Benteng secara objektif. Untuk menonjolkan perbedaan latar Bab 2 sudah memberikan gambaran mengenai definisi, identitas kebudayaan, dan sejarah Cina Benteng secara objektif. Untuk menonjolkan perbedaan latar

Mayoritas penduduk Cina pada kedua desa, terutama generasi mudanya, tidak mengetahui sejarah akan asal-usul komunitas mereka sendiri. Gatekeeper

H, seorang penduduk Cina pada Desa Sampora mengakui ketidaktahuannya mengenai sejarah nenek moyangnya sendiri, seperti pemaparannya berikut ini. Cuman kita gak tau, cuman, istilahnya keturunan aja dari orang tua. Iya, karena kelahiran di sini ya, gak tau

asal-usul orang tua, dia dari mana, soalnya pas kita lahir aja, istilahnya orang tua udah…ya pas kita udah besar segini aja… Oleh karena itu, informasi mengenai sejarah penduduk Cina pada kedua desa didapatkan baik dari akademisi, sejarawan, maupun tokoh desa. Bahkan, salah seorang dosen pada Jurusan Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, yang juga merupakan gatekeeper penelitan, yakni Christine

Bachrum 19 (Nama tidak dirahasiakan, sebab gatekeeper merupakan seorang akademisi yang dapat memberikan pemaparan objektif), mengatakan bahwa Cina

Benteng, termasuk diantaranya penduduk Cina lain pada pedesaan Tangerang, secara definitif adalah orang Cina yang sudah tidak tahu mengenai sejarah serta kebudayaan asli mereka. Implikasi atas fakta lapangan ini serta minimnya literatur mengenai komunitas Cina tersebut menyebabkan peneliti tidak dapat memberikan tahun pasti dari beberapa peristiwa sejarah.

Asal-muasal pendatang yang menjadi nenek moyang penduduk keturunan Cina pada kedua desa dapat dirunut hingga abad ke-16 Masehi. Fakta sejarah ini

19 Detail wawancara dengan Christine Bachrum dapat dilihat dalam Lampiran mengenai Jurnal Lapangan pada tanggal 16 April 2013.

secara konsisten dikemukakan oleh beberapa informan yang merupakan ahli sejarah Cina serta studi literatur. Pertama-tama, berikut akan dijelaskan mengenai sejarah kedatangan nenek moyang para penduduk keturunan Cina di Desa Sampora dan Situgadung. Seperti halnya dengan pola migrasi penduduk Cina pada abad ke-16, nenek moyang dari apa yang dikenal sebagai komunitas Orang Keturunan pada Desa Sampora dan Situgadung berdatangan dari Provinsi Fujian ( 福建 ), Cina, dengan kapal-kapal tradisional (junk). Tujuan utama dari migrasi mereka keluar dari Cina adalah mencari kehidupan yang lebih baik di Nan Yang, seperti yang diungkapkan

oleh Informan Oey Tjin Eng. …kita bicara di abad ke -16. Orang Cina yang dateng ke

Indonesia kebanyakan laki-laki. Perempuan hampir tidak ada. Nah, yang laki-laki Cina ini menikahi perempuan setempat [Pribumi-Penulis] . Penduduk Cina di Cina daratan pada saat itu telah mengenal wilayah yang mereka sebut sebagai Nan Yang ( 南洋 ), atau

“Lautan Selatan”, yaitu Asia Tenggara pada masa kini, termasuk Indonesia. Seperti halnya dengan migran pada berbagai konteks sosial, para migran Cina ini hendak menuju ke Pulau Jawa guna melarikan diri dari kondisi sosial di Cina pada saat itu. Informan Oey Tjin Eng memaparkan bahwa ketidakstabilan kondisi sosial di Cina pada saat itu menjadi faktor pendorong bagi migrasi penduduk Cina ke Pulau Jawa,

dengan berdagang di tanah perantauan di “Lautan Selatan”.

Ya, kan namanya orang Cina kan dateng buat kabur dari permasalahan masyarakat yang ada di Tiongkok sana. Ya kan buat berhasil, cari kesempatan di Nan Yang. Nan Yang itu istilah orang-orang Cina di negara asal mereka untuk wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Artinya lautan selatan. Jangan bayangin dulu daratan Cina itu kayak sekarang ya! Dulu itu miskin dan beberapa kali terjadi perang saudara.

Oleh karena para pendatang tersebut berasal dari Provinsi Fujian ( 福建 ) atau dalam dialek lokal disebut juga dengan Hokkien, maka secara kelompok linguistik, mereka tergolong dalam Cina Hokkien. Informan SSB membenarkan hal ini dengan bercerita mengenai nenek moyangnya yang dipercaya merupakan suku Hokkien. Pemaparannya menggambarkan keyakinan akan asal-muasal suku dari nenek moyangnya, meski ia tidak mengetahui secara pasti biografi sederhananya sekalipun.

Ya, kakek saya orang…Hokkian atau apa tuh, dari keturunan Hokkian. Ya, kayak orang Islam aja, dari Jawa, dari Sumatra, kan kayak gitu. Kalo di

Cina juga kayak gitu. Cuman ya…saya nggak tau nama kampun gnya di Cina, yang pasti di Hokkian sana!

Gambar 4.7. Lokasi Provinsi Fujian di Selatan Cina

Meskipun kedatangan imigran Cina di Tangerang terdiri atas banyak gelombang. Namun, secara pastinya nenek moyang penduduk Cina pada Desa Sampora dan Situgadung mendarat di Teluk Naga, bagian pesisir Utara Tangerang di abad ke-16.

Menurut dua orang ahli sejarah Cina di Tangerang yang dijadikan gatekeeper , salah satu kapal yang ditumpangi oleh sekelompok migran suku Hokkien dari daratan Cina terdampar (atau mendarat) di sekitar wilayah yang sekarang dikenal sebagai Teluk Naga, Provinsi Banten. Sebelum kedatangan mereka, penduduk Cina sudah ada yang lebih dulu menetap di sana. Teluk Naga merupakan destinasi akan imigran Cina yang keturunannya dikenal sebagai Cina Benteng di kemudian hari.

Para pendatang Cina yang berasal dari kapal tersebut dipercaya merupakan nenek moyang penduduk keturunan Cina pada desa Sampora dan Situgadung. Berbagai informan tidak mengetahui secara pasti tahun pendaratan kapal yang dimaksud. Mereka hanya menyepakati bahwa kedatangan kapal yang dimaksud di Teluk Naga terjadi pada abad ke-16 Masehi. Salah seorang informan penelitian, yakni

Oey Tjin Eng memaparkan bahwa peristiwa terdamparnya kapal yang mengangkut imigran Cina nenek moyang dari Orang Keturunan memang merupakan salah satu bagian dari gelombang imigrasi Cina di abad ke-16 Masehi.

Ya, kalo kita bicara tentang Cina di Tangerang, kita bicara tentang Cina Benteng. Dan, tapi otomatis sejarah kedatangan penduduk Cina di Tangerang itu gak selalu identik sama Batavia Massacre ya. Pertama kan ya, mereka itu terdampar di Teluk Naga kan ya? Sekitar abad ke-16 Masehi! Nah, abis terdampar di Teluk Naga menyebar mereka ke berbagai tempat. Mereka menyebar di Tangerang, di sekitarnya, bercocok tanam dan berasimilasi dengan penduduk lokal.

Salah seorang informan yang mendalami sejarah Peranakan Cina di Tangerang, Christine Bachrum juga mengatakan bahwa pendatang dari sebuah kapal yang terdampar di Teluk Naga inilah yang dikatakan menjadi nenek moyang penduduk Cina di Desa Sampora dan Situgadung. Kedatangan mereka diyakini terjadi hanya pada satu gelombang migrasi, bukan dari beberapa gelombang migrasi. Namun,kedatangan mereka merupakan salah satu gelombang imigrasi penduduk Cina yang menjadi nenek moyang Cina Benteng. Pemaparan ini didasarkan atas wawancara dan kunjungan lapangan pada tanggal 16 April 2013, di Gedung X Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Depok. Selain penuturan ahli sejarah, fakta tersebut juga ditunjang dengan penuturan Informan SSB, mengenai asal-usul kedatangan nenek moyangnya. Secara samar-samar, ia mengingat salah satu kisah keluarganya yang mengatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari sebuah daerah bernama Teluk Naga.

Keluarga saya sih udah lama banget, udah keturunan. Ka tanya, kata nenek saya, bukan asli dari Cina dia, dapetnya tapi orang asli, suaminya. Dia

Chinese, yang saya tau keluarga…nenek moyangnya dari daerah Tangerang…apa itu, Teluk Naga.

Hal yang menjadi paling penting, Teluk Naga merupakan entrepot dari imigran Cina yang menjadi nenek moyang anggota komunitas Cina Benteng secara objektif (Santosa, 2012:14). Dengan kata lain, komunitas Cina pada kedua desa setidaknya masih merupakan sebuah kerabat jauh, yang dapat dirunut ke para pendatang dari kapal yang terdampar di Teluk Naga. Berbagai macam studi literatur Hal yang menjadi paling penting, Teluk Naga merupakan entrepot dari imigran Cina yang menjadi nenek moyang anggota komunitas Cina Benteng secara objektif (Santosa, 2012:14). Dengan kata lain, komunitas Cina pada kedua desa setidaknya masih merupakan sebuah kerabat jauh, yang dapat dirunut ke para pendatang dari kapal yang terdampar di Teluk Naga. Berbagai macam studi literatur

Nan Yang” yang ditulis pada tahun 1996 mengenai sejarah dan asal-usul Cina Benteng dalam Witanto (2005:2) merefleksikan berbagai sejarah yang telah peneliti paparkan.

Sejak abad lima belas dengan perahu Jung mereka melintasi lautan ganas larikan diri dari malapetaka tinggalkan negeri leluhur mencari tanah harapan di Nan Yang

Perkampungan nelayan di Teluk Naga seorang encek pembuat arak mengubur kesendiriannya bersama seorang pendamping setia gadis pribumi lugu sederhana

Secara tidak langsung, sajak ini menunjukkan bahwa nenek moyang Orang Keturunan secara historis memang adalah Cina Benteng. Penduduk Cina setempat masih mempraktekkan pemberian nama marga, maka nama-nama marga yang ditemui pada penduduk Cina lokal membenarkan kisah yang telah disebutkan. Hal ini telah dikonformasi berdasarkan kunjungan lapangan peneliti ke kantor desa senetmpat guna melihat daftar nama penduduk keturunan Cina dan nama marga mereka. Pada dasarnya mereka dapat dikatakan sebagai sebuah kerabat besar, karena nama marga mereka yang cenderung tidak variatif dan hanya ditemukan pada desa-

desa tertentu. 20

20 Untuk mendapatkan penjelasan yang mendalam dan lebih komprehensif mengenai nama-nama marga berikut ini, peneliti telah memberikan penjelasan khusus dalam Lampiran pada bagian

Transliterasi Hanyu Pinyin yang Digunakan dalam Penelitian Beserta Maknanya.

Tabel 4.3. Daftar Nama Marga Cina yang Paling Sering Ditemui

No. Pinyin Romaniasi Pelafalan

Asal Desa Indonesia Mandarin

Secara harafiah berarti Situgadung “pohon prem.”

2. 王 Ong

Wáng

Secara harafiah berarti Sampora “raja.”

3. 沈 Sim

Shén

Nama tersebut berasal dari Sampora nama daerah kuno di Cina.

4. 陳 Tan

Chén

Menunjukkan keturunan Situgadung dari Kaisar Shun (Sekitar abad ke-23 dan 22 SM).

5. 鄭 The

Zhèng

Nama tersebut berasal dari Situgadung nama sebuah daerah kuno di Provinsi Henan, Cina.

6. 葉 Yap

Secara harafiah berarti Sampora “daun.”

Penuturan mengenai enam nama marga asli tersebut telah dikonfirmasi oleh penelusuran arsip genealogi. Hal ini berdasarkan penelusuran arsip yang dirangkum oleh Salmon dan Siu (1997: 290-292). Arsip ini menunjukkan data dari Vihara Boen Tek Bio yang mencatat pembayaran iuran wajib bagi warga Cina di sekitar pedesaan Tangerang pada tahun 1875. Iuran yang dimaksud ditujukan untuk membangun patung Dewa Tanah dan renovasi empat buah rumah yang dibeli oleh pihak klenteng Penuturan mengenai enam nama marga asli tersebut telah dikonfirmasi oleh penelusuran arsip genealogi. Hal ini berdasarkan penelusuran arsip yang dirangkum oleh Salmon dan Siu (1997: 290-292). Arsip ini menunjukkan data dari Vihara Boen Tek Bio yang mencatat pembayaran iuran wajib bagi warga Cina di sekitar pedesaan Tangerang pada tahun 1875. Iuran yang dimaksud ditujukan untuk membangun patung Dewa Tanah dan renovasi empat buah rumah yang dibeli oleh pihak klenteng

ditemui seperti Ong, Tan, dan Lie 21 . Seperti yang Informan SSB katakan, bahwa banyak nama marga penduduk desa yang tergolong dalam nama marga Cina yang

langka. Artinya, dokumen ini mengonfirmasi penuturan dari informan bahwa anggota marga Cina yang telah disebutkan telah menempati wilayahnya bahkan sejak tahun 1875. Hal ini turut membuktikan penuturan Dosen Sastra Cina FIB UI, Christine Bachrum, dan Ketua Humas Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Vihara Boen Tek Bio, Oey Tjin Eng, yang menyatakan bahwa penduduk Cina pada kedua desa merupakan keturunan sebuah kelompok imigran dalam satu rombongan tunggal. Nama marga Cina yang dominan di Desa Sampora adalah Ong, Sim, dan Yap. Berbeda dengan Desa Sampora, nama marga Cina yang umum ditemui pada Desa Situgadung antara lain Lie, Tan, dan The.

Setelah terdampar dan mendarat di Teluk Naga, pendatang Cina mendirikan pemukiman di sekitar Tangerang dan membuka lahan, menurut Informan Oey Tjin Eng , yang mengatakan bahwa penduduk Cina tersebut meninggalkan sejarah pada daerah-daerah di sekitar Tangerang.

Setelah mereka mendarat sama berkembang di Teluk Naga, mereka mendirikan desa lain yang namanya Desa Pangkal. Nah, Desa Pangkal itu yang kemudian dikenal sebagai Tang Lan, atau Tang Ren. Yang sekarang kita kenal namanya Tangerang.

21 Ketiga nama marga ini telah tercatat sebagai nama marga yang paling banyak di Cina sejak Era Dinasti Song (960-1279 Masehi) hingga Republik Rakyat Cina di Era Moderen.

Berhubung para pendatang tidak mengikutsertakan perempuan Cina, maka mereka mengawini perempuan pribumi lokal. Perempuan Cina baru bermigrasi dalam jumlah yang besar ke Indonesia setelah tahun 1850. Oleh karena itulah, fenomena historis ini berdampak pada bentuk fisik dan penggunaan bahasa dan serta kebudayaan leluhur komunitas Cina di Desa Sampora dan Situgadung. Hampir keseluruhan dari penduduk Cina di kedua desa tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa leluhur mereka. Selain itu, rata-rata dari mereka memiliki warna kulit sawo matang kegelapan serta bentuk mata yang tidak sipit, sebuah ciri fisik yang juga dimiliki oleh penduduk Cina Benteng.

Setelah Belanda memasukkan Tangerang dan wilayah sekitarnya ke dalam jajahannya pada tahun 1684, banyak penduduk Cina di Tangerang dipekerjakan oleh VOC sebagai buruh pertanian. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sejarah Tangerang, ini terjadi pada akhir abad ke-17, termasuk diantaranya pendatang Cina yang merupakan nenek moyang penduduk Cina pada Desa Sampora dan Situgadung. Pihak VOC membangun pemukiman khusus bagi mereka, yang dinamakan pondok, seperti Pondok Aren, Pondok Cabe, dan Pondok Jagung. Nama-nama ini masih bertahan hingga sekarang sebagai nama wilayah di Kabupaten Tangerang. Sejarawan Cina, Informan Oey Tjin Eng mengatakan hal yang demikian.

Nah di akhir abad ke-17, Belanda banyak mengirimkan orang Cina buat kerja di pertanian, di sekitar Tangerang. Nggak tanggung-tanggung, itu, Belanda juga sampe ngebangun pemukiman khusus buat orang Cina yang mereka ambil. Pemukimannya disebut pondok. Pondok untuk orang Cina. Ya, antara lain pemukiman itu kayak yang kita denger sampe sekarang kayak Pondok Jagung, Pondok Aren, Pondok Cabe. Nah itu awalnya pemukiman Cina yang dipekerjakan Belanda. Banyak juga yang setelah dipekerjakan, pindah ke tepi Cisadane, sebelah Timur-nya. Yang sekarang kita kenal sebagai daerah Pasar Lama, atau dulu dikenal sebagai Kali Pasir ato Tegal Pasir.

Berkuasanya Belanda memberikan dampak pada hubungannya dengan penduduk Cina. Dalam kurun waktu yang bersamaan, yakni pada tahun 1740, terjadilah pembantaian massal terhadap penduduk Cina di Batavia, atau yang lebih dikenal sebagai Batavia Massacre . Peristiwa tersebut tidak memiliki hubungan dengan

sejarah penduduk Cina yang menjadi nenek moyang dari komunitas Cina di Desa Sampora dan Situgadung. Penduduk Cina pada kedua desa memiliki sejarah yang berbeda dengan Cina Benteng secara umum di Tangerang. Mereka tidak mengenal apa yang disebut sebagai Batavia Massacre atau istilah padanannya, sebuah peristiwa yang merupakan cikal-bakal komunitas Cina Benteng. Komunitas penduduk Cina pada kedua desa memiliki latar belakang sejarah yang berbeda bila dibandingkan dengan Cina Benteng yang dikenal secara luas oleh kalangan umum. Sebab, ketika Batavia Massacre sedang terjadi, pada kurun waktu yang sama, nenek moyang Cina dari Orang Keturunan sedang dipekerjakan oleh Belanda pada lahan perkebunan di sekitar Tangerang. Meski begitu, Oey Tjin Eng dan Christine Bachrum sepakat bahwa meski peristiwa Batavia Massacre merupakan kejadian penting dalam sejarah Cina Benteng, namun peristiwa tersebut tidak selalu identik dengan asal-usul Cina Benteng secara umum.

Setelah dipekerjakan sebagai buruh kebun pada ladang VOC, banyak dari mereka yang berpencar untuk bermukin di sekitar pedesaan Tangerang di sekitar awal abad ke-18. Meskipun komunitas ini bermukin di berbagai wilayah, namun, mereka diyakini terkonsentrasi di sekitar wilayah yang sekarang dikenal sebagai Desa Sampora dan Situgadung. Mereka diperkirakan sudah mendiami wilayah yang dimaksud di abad ke-18. Pemilihan mereka untuk menetap wilayah ini tidak terlepas dari sejarah kedatangan bangsa Cina yang sudah lama pada kedua desa tersebut, seperti yang sudah dijelaskan oleh Informan IN pada bagian sejarah desa. Lebih lanjut, penuturan dari Informan IN menunjukkan bahwa dari penduduk Desa Sampora, termasuk diantaranya yang pribumi, merupakan keturunan dari pemukim awal desa yang telah disebutkan. Informan IN, seorang pribumi yang menjadi tokoh desa berbicara mengenai nenek moyang Cina-nya, seorang bala tentara Cina utusan Tjen Tjie Lung/Tjin Tjing Liang, yang silsilahnya dapat dirunut dari kakek pihak ibunya.

Beliau Chinese [Kakek Informan IN-penulis] , jadi saya, saya sendiri, kalo dari bapak Cirebon, dari ibu tuh, Chinese, tapi keturunan Banten. Dari istri,

Chinese. Jadi…keturunan, pengaruh Chinese di sini ada. Bahka n udah lama banget.

Sejak mereka menetap di Desa Sampora dan Situgadung, pemukim Cina ini hidup berdampingan dengan pribumi Sunda penganut Islam hingga akhir dari Kolonialisme Belanda. Kedua desa tersebut menjadi sebuah wilayah kultural mereka, dimana banyak dari tetua marga mereka yang dimakmkan di sekitar desa. Secara umum, penduduk Cina ini hidup dengan bercocok tanam, sebagai salah satu peninggalan dari masa kontrak kerja mereka sebagai buruh perkebunan Belanda. Banyak yang menikah dengan sesama campuran Cina-pribumi, namun ada pula yang menikahi penduduk pribumi juga.

Era Kolonialisme Belanda berakhir pada tahun 1942, sebagai akibat diambilalihnya Hindia Belanda oleh Jepang. Hal ini memberikan dampak bagi pembentukan identitas Orang Keturunan pada masa yang akan datang. Dapat dikatakan bahwa Era Pendudukan Jepang merupakan pemicu dari sebuah peristiwa yang akan memberikan perubahan besar bagi kehidupan penduduk Cina pada kedua desa. Jepang membangun sebuah kamp militer di Desa Lengkong, tak jauh dari Desa Sampora dan Situgadung. Perlakuan pasukan pendudukan Jepang terhadap penduduk lokal memicu kebencian penduduk terhadap mereka. Informan SSB yang hidup semasa Pendudukan Jepang menuturkan rasa dendam masyarakat lokal terhadap Jepang, akibat perlakuan yang mereka alami.

Yah, ya jaman Jepang…pernah, ya kita di kampung sih. Mereka mah adanya tinggal di Tangerang, ada di Lengkong, deket BSD. Markas tuh, markas

Jepang…taun ’42. Jaman itu kan kita dijajah, sebelum ada kedaulatan. Pas mereka kabur tuh, markasnya diserbu warga. Sama masyarakat aja tuh, mereka kan udah kalah perang. Mau bales dendam, taunya orangnya udah gak ada.

Pernyataan Informan SSB telah dibuktikan dengan adanya literatur ilmiah mengenai peristiwa tersebut. Saleh (1995:66) menamainya sebagai Peristiwa Lengkong, atau peristiwa penyerangan tangsi militer Jepang di Desa Lengkong, oleh para taruna Akademi Militer Tangerang pada tahun 1946. Pemberontakan tersebut dipimpin oleh Mayor Daan Mogot, Direktur Akademi Militer Tangerang, yang gugur saat Pernyataan Informan SSB telah dibuktikan dengan adanya literatur ilmiah mengenai peristiwa tersebut. Saleh (1995:66) menamainya sebagai Peristiwa Lengkong, atau peristiwa penyerangan tangsi militer Jepang di Desa Lengkong, oleh para taruna Akademi Militer Tangerang pada tahun 1946. Pemberontakan tersebut dipimpin oleh Mayor Daan Mogot, Direktur Akademi Militer Tangerang, yang gugur saat

Lengkong akhirnya menjadi sasaran berikut dari amuk massa 22 .

Sebagian pasukan Jepang yang ditugaskan pada kamp militer pada Desa Lengkong bukanlah tergolong pada pasukan reguler. Pasukan yang dikerahkan oleh Jepang dikenal oleh penduduk lokal sebagai Pasukan Santu, atau pasukan relawan Cina yang direkrut oleh Jepang. Hal ini dijelaskan oleh Informan IN bahwa memang terdapat sekelompok pasukan bayaran Jepang dari wilayah Cina yang sekarang dikenal sebagai Taiwan, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Setelah perang, sebagian masyarakat lokal yang memiliki kebencian dengan Relawan Takasago mulai melihat penduduk Cina lokal dengan cara pendang negatif. Pandangan negatif tersebut menjadi sebuah aksi kebencian yang nyata ketika munculnya isu penurunan bendera Indonesia di daerah Pasar Lama, Tangerang, oleh penduduk Cina pada tahun 1946. Seorang tokoh Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Vihara Boen Tek Bio, yang juga merupakan gatekeeper , yakni Oey Tjin Eng, menjelaskan bahwa terdapat sebuah isu yang mengindikasikan bahwa penduduk Cina setempat tidak memiliki kesetiaan terhadap Indonesia, seperti yang dijelaskannya dalam kutipan ini. Jadi ada isu, orang Cina, katanya, menyeret dan menurunkan bendera Merah-Putih. Buat tentara

KNIL. Nah, diasumsikan oleh orang-orang yang pro-Republik, itu orang-orang Cina kolaborator Belanda . Penduduk Serpong yang menjadi relawan pada Tentara Keamanan Rakyat (TKR) merupakan pihak yang terlibat secara langsung dalam aksi kebencian terhadap Orang Keturunan pada Desa Sampora dan Situgadung. Maka, pada saat Agresi Militer Belanda ke-2, Tentara Keamanan Rakyat melihat Orang Keturunan, yang notabene adalah penduduk Cina, sebagai pihak yang pro-penjajah. Oleh karena itulah mereka melakukan aksi penyerangan kepada penduduk Cina di

22 Lihat La pira e ge ai Peta Peristiwa Le gko g u tuk ri ia pe yera ga ya g dilakuka .

pedesaan Tangerang, termasuk di Desa Sampora dan Situgadung. Aksi penyerangan ini dikenal sebagai Peristiwa Gedoran, yang berasal dari kata “gedor.” Sebab, Tentara Keamanan Rakyat kerap menggedor pintu dari rumah penduduk Cina sebelum melakukan penyerangan. Informan IN menjelaskan bahwa Gedoran kurang lebih mengandung arti seperti itu.

Gedoran itu berasal dari kata “gedor”, menggedor pin tu. Karena pada saat itu, Tentara Keamanan Rakyat melakukan kerusuhan ke orang-orang Chinese di sini, dimulai dengan menggedor pintu-pintu rumah mereka. Kalo di Bahasa Sunda kan biasanya dikasih – an kan? Jadilah Gedoran. Peristiwanya terjadi taun ’48. Iya, tentara itu menjarah sama ngerusak kampung Chinese di sini. Awalnya karena ada kabar kalo orang Chinese di sini, mereka itu lebih setia kepada penjajah, entah itu Belanda atau Jepang.

Dalam Perisitwa Gedoran, penduduk Serpong yang menjadi relawan pada Tentara Keamanan Rakyat (TKR) merupakan pihak yang terlibat secara langsung dalam aksi kebencian terhadap penduduk Cina pada Desa Sampora dan Situgadung. Persitiwa Gedoran tak luput dari dokumentasi media massa pada saat itu. Setidaknya dua buah artikel surat kabar Sin Po yang meliput Persitiwa Gedoran disimpan sebagai sebuah relik pada Musium Benteng Heritage di Tangerang. Dari kunjungan peneliti pada tanggal 13 Juni 2013, seorang pemandu resmi dari Musium Benteng Heritage secara langsung membenarkan adanya peristiwa ini. Pihak yang melakukan aksi balas dendam dalam Peristiwa Gedoran mayoritas berasal dari Tentara Keamanan Rakyat, tentara sukarela yang bukan merupakan tentara reguler. Personel kesatuan yang dimaksud merupakan warga yang berasal dari Tangerang dan Serpong. Segera setelah Agresi Militer Belanda ke-2, pasukan tersebut mulai melakukan penyerangan pada Desa Sampora dan Situgadung. Beberapa warga menjadi korban penyerangan, mulai dari pengrusakan rumah, penggusuran paksa, hingga penyerangan fisik yang ditujukan secara individual.

Belum ada pola pemukiman yang khas seperti yang terjadi pada komunitas Orang Keturunan pasca-Gedoran, dimana keenam marga Orang Keturunan yang sudah disebutkan pada Bab 4 menetap secara tersebar di kedua desa. Meski demikian, pada saat itu masing-masing marga sudah memiliki rasa kekerabatan yang Belum ada pola pemukiman yang khas seperti yang terjadi pada komunitas Orang Keturunan pasca-Gedoran, dimana keenam marga Orang Keturunan yang sudah disebutkan pada Bab 4 menetap secara tersebar di kedua desa. Meski demikian, pada saat itu masing-masing marga sudah memiliki rasa kekerabatan yang

yang sama, terlepas apakah ia mengenalinya atau tidak 23 .

Secara keseluruhan, komunitas Orang Keturunan pada saat itu relatif bercampur. Hanya tetua marga saja yang memiliki tempat tinggal pada desa tertentu. Namun, terjadilah sebuah perubahan sosial pada Era Pendudukan Jepang. Kedatangan Jepang, yang membawa Pasukan Santu/Relawan Takasago, memicu adanya stereotip terhadap Orang Keturunan bahwa mereka tidak memiliki rasa nasionalisme, seperti yang sudah dipaparkan pada Bab 4. Ditambah dengan isu lain yang berupa penurunan bendera Indonesia di Tangerang oleh penduduk Cina. Maka terjadilah pembantaian

terhadap penduduk Cina di Tangerang 24 , termasuk komunitas Orang Keturunan. Saat pembantaian, penduduk Orang Keturunan pada Desa Sampora dan Situgadung

berlindung kepada masing-masing tetua marga mereka, karena adanya apa yang disebut oleh Informan A sebagai kekerabatan seh 25 . Mereka cenderung untuk

berkumpul bersama keluarga dan kerabat mereka di wilayah tetua marga masing- masing, karena adanya rasa saling terikat sesama marga. Dengan kata lain, karena tetua marga Sim dan Yap berada di Desa Sampora, maka anggota kerabat yang berada di Desa Situgadung berpindah ke Desa Sampora. Anggota kerabat marga Tan dan Lie yang berada di Desa Sampora berpindah ke Desa Situgadung tempat kerabat mereka dan tetua marga berkumpul. Marga Tan dan Lie di Sampora mengikuti

23 Untuk melihat penjelasan m e detail aka hal i i, lihat La pira e ge ai Jur al Lapa ga ta ggal Ju i

. 24 Lihat La pira e ge ai Poto ga “urat Ka ar “i Po Ter ita 9 u tuk hal i i.

25 “eh arti ya adalah Keluarga/Marga dala Dialek Hokkie , dialek Ma dari ya g digunakan oleh nenek moyang Orang Keturunan. Untuk lebih jelasnya mengenai pengertian Dialek Hokkien,

lihat La pira te ta g Pe jelasa Me ge ai Per edaa Hakka, Hokkie , da Teo hiu .

kerabat mereka yang akan ditawan oleh Belanda. Begitupun sebaliknya, marga Sim dan Ong di Situgadung saat Peristiwa Gedoran, mereka berlindung di sekitar tetua marga mereka. Namun, secara bersamaan Desa Sampora memiliki seorang pemimpin pribumi yang mengayomi dan melindungi penduduk Cina dari pembantaian, yakni Abah Nasihun.

Akibat perlindungan Abah Nasihun, pihak Belanda tidak sempat merelokasi Orang Keturunan pada Desa Sampora ke kamp tahanan. Sebab semua Orang Keturunan di Desa Sampora telah dielamatkan oleh Abah Nasihun. Sementara itu, upaya penyelamatan oleh tokoh pribumi pada Desa Situgadung tidak ada, sehingga pasukan NICA dari Belanda mengungsikan mereka ke kamp tahanan di Jakarta. Bukan hanya melindungi mereka, Abah Nasihun juga bahkan mendidik Orang Keturunan yang telah diungsikannya untuk dapat berbaur dengan pribumi. Dengan begitu, Orang Keturunan pada Desa Sampora menjadi dekat dengan pribumi. Sehingga mereka pun dapat berinteraksi dengan intens dalam segala aspek. Hal ini membuat kekerabatan sesama marga yang tinggal pada desa yang sama secara tidak langsung semakin dipererat. Mereka akhirnya memiliki sebuah modal sosial yang dikembangan dengan penduduk pribumi dan Islam. Secara bersamaan, Orang Keturunan dari Desa Sampora berasal dari marga yang sama. Sehingga marga tersebutlah yang memiliki modal sosial yang baik dengan pribumi. Dengan modal sosial yang sudah dibangun dengan baik, maka Orang Keturunan pada Desa Sampora dapat menggunakan pengaruh penduduk pribumi untuk melakukan mobilitas sosial vertikal. Hal tersebut dilakukan dengan dengan memeluk Agama Islam dan mengaku sebagai pribumi. Dengan memasuki Agama Islam, Orang Keturunan tersebut melepaskan kebudayaan Cina mereka, termasuk nama marga/seh mereka. Terdapat sebuah pepatah yang beredar di desa tersebut sejak lama yang berbunyi “Masuk agama, buang bangsa”. Artinya, ketika seorang Cina masuk ke Agama Islam, ia harus Akibat perlindungan Abah Nasihun, pihak Belanda tidak sempat merelokasi Orang Keturunan pada Desa Sampora ke kamp tahanan. Sebab semua Orang Keturunan di Desa Sampora telah dielamatkan oleh Abah Nasihun. Sementara itu, upaya penyelamatan oleh tokoh pribumi pada Desa Situgadung tidak ada, sehingga pasukan NICA dari Belanda mengungsikan mereka ke kamp tahanan di Jakarta. Bukan hanya melindungi mereka, Abah Nasihun juga bahkan mendidik Orang Keturunan yang telah diungsikannya untuk dapat berbaur dengan pribumi. Dengan begitu, Orang Keturunan pada Desa Sampora menjadi dekat dengan pribumi. Sehingga mereka pun dapat berinteraksi dengan intens dalam segala aspek. Hal ini membuat kekerabatan sesama marga yang tinggal pada desa yang sama secara tidak langsung semakin dipererat. Mereka akhirnya memiliki sebuah modal sosial yang dikembangan dengan penduduk pribumi dan Islam. Secara bersamaan, Orang Keturunan dari Desa Sampora berasal dari marga yang sama. Sehingga marga tersebutlah yang memiliki modal sosial yang baik dengan pribumi. Dengan modal sosial yang sudah dibangun dengan baik, maka Orang Keturunan pada Desa Sampora dapat menggunakan pengaruh penduduk pribumi untuk melakukan mobilitas sosial vertikal. Hal tersebut dilakukan dengan dengan memeluk Agama Islam dan mengaku sebagai pribumi. Dengan memasuki Agama Islam, Orang Keturunan tersebut melepaskan kebudayaan Cina mereka, termasuk nama marga/seh mereka. Terdapat sebuah pepatah yang beredar di desa tersebut sejak lama yang berbunyi “Masuk agama, buang bangsa”. Artinya, ketika seorang Cina masuk ke Agama Islam, ia harus

26 Definisi dari orang selam sudah dijelaskan pada Bab 5 di bagian 5.1.3.