TEMUAN DATA

BAB 5 TEMUAN DATA

Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian pendahuluan, Cina Benteng adalah penduduk Cina Peranakan yang hidup di Tangerang, karena adanya latar belakang konteks sejarah, terutama mulai dari abad ke-17. Dengan kata lain, anggapan ini melihat bahwa Cina Benteng merupakan satu-satunya kelompok Cina yang berada di Tangerang. Namun, tidak demikian pada Desa Situgadung. Setidaknya terdapat banyak istilah bagi penduduk keturunan Cina di desa yang diteliti. Dengan memfokuskan pada kisah hidup Informan A, Cina Benteng merupakan sebuah identitas yang dipilih untuk menggantikan identitas Orang Keturunan. Setelah mengaku sebagai berbagai macam istilah identitas, Informan A baru mengaku sebagai Cina Benteng. Proses yang dilalui Informan A dan beberapa warga keturunan Cina lainnya merupakan sebuah proses yang lama karena adanya interaksi dengan berbagai macam kelompok.

Sebelum masuk ke dalam bagian kisah hidup Informan A, bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama bab ini akan memberikan deskripsi mengenai berbagai macam istilah identitas “ke-Cina-an” yang digunakan oleh penduduk desa.

Barulah bagian kedua bab ini mengisahkan berbagai usaha yang dilakukan oleh Informan A untuk bertransformasi dari satu identitas yang sudah dijelaskan ke identitas lainnya. Kisah Informan A adalah sebuah kisah pergantian identitas dari “Orang Keturunan” menjadi “Cina Benteng”.

5.1. “Cina Benteng” dan Istilah-Istilah Khas Desa

Fokus penelitian ini adalah penduduk Cina lokal yang mengaku sebagai Cina Benteng, terlepas dari adanya fakta sejarah secara objektif yang tidak menunjukkan bahwa mereka tergolong dalam komunitas tersebut. Penduduk Cina pada kedua desa merupakan sebuah komunitas Cina yang tidak memiliki hubungan dengan komunitas

Cina Benteng. Secara umum, Cina Benteng kerap diasosiasikan dengan komunitas Cina yang tinggal di pedesaan Tangerang. Meski tidak sepenuhnya dapat digeneralisir, dalam sejarahnya Cina Benteng juga diasosiasikan dengan peristiwa Batavia Massacre pada tahun 1740, seperti yang dipaparkan dalam studi literatur berdasarkan Setiono (2003). Namun, Cina Benteng yang terdapat pada desa ini, khususnya pada Desa Situgadung, mengidentifikasi diri mereka bahwa mereka adalah Cina Benteng. Setidaknya mereka menolak bahwa mereka adalah keturunan para pelarian Batavia Massacre . Kebanyakan warga luar desa yang peneliti temui juga mengatakan bahwa mereka adalah Cina Benteng.

Sebelum mengidentifikasi diri mereka sebagai Cina Benteng, penduduk Cina lokal sempat mengaku sebagai Orang Keturunan (Selanjutnya, istilah “Orang Keturunan” akan dipakai penulis untuk penduduk keturunan Cina pada Desa Sampora

dan Situgadung, sebab, hal ini dimaksudkan peneliti untuk memudahkan pembedaan Cina di Desa Situgadung sebelum dan sesudah mereka merubah identitas). Komunitas Cina pada kedua desa secara turun-temurun menyebut diri mereka dengan istilah khas tersebut, sebelum mereka dikenal sebagai Cina Benteng kini. Namun, akibat adanya berbagai perubahan di sekitar mereka, timbul istilah-istilah lain yang berbeda. Perbedaan ini pada akhirnya dibentuk oleh berbagai ciri-ciri sosial masing- masing kelompok Orang Keturunan, yang menciptakan identitas yang berbeda-beda pula. Salah satu hasil perubahan yang dimaksud adalah istilah Cina Benteng versi penduduk Orang Keturunan pada Desa Situgadung. Menariknya, mereka sudah mendengar istilah Cina Benteng setidaknya sejak tahun 1960’an. Namun selama masa

itu mereka tidak pernah merasa sebagai Cina Benteng. Mereka baru mengidentifikasi diri mereka sebagai Cina Benteng pada tahun 1990’an dengan menonaktifkan

identitas Orang Keturunan.

5.1.1. Definisi “Cina Benteng” Versi Desa Situgadung

Meski secara objektif masyarakat keturunan Cina di Desa Situgadung merupakan salah satu bagian Cina Benteng, namun peneliti akan memberikan Meski secara objektif masyarakat keturunan Cina di Desa Situgadung merupakan salah satu bagian Cina Benteng, namun peneliti akan memberikan

Kristen, dan bermata pencaharian pada sektor perdagangan. Dalam hal ini, agama Kristen memiliki makna dan dinamika sejarah, terutama dalam konteks politik, dimana pemerintah pada Era Orde Baru melarang penggunaan agama tradisional Cina. Sehingga, pemilihan agama Kristen sebagai agama kebanyakan penduduk Cina menjadi pilihan bagi perubahan identitas mereka. Bukan hanya sekedar rasionalitas individu semata. Dalam segi domisili, kebanyakan anggota komunitas Cina Benteng bertempat tinggal pada Desa Situgadung. Bagian kerangka teori telah mepaparkan mengenai definisi Cina Benteng. Namun Cina Benteng yang akan didefinisikan berikut adalah konsepsi Cina Benteng berdasarkan wawancara dengan berbagai informan. Meski identitas Cina Benteng versi lokal ini didefinisikan secara subjektif, namun identitas Cina Benteng versi penduduk Cina lokal sudah mendapat pengakuan dari berbagai komunitas di luarnya. Identitas Cina Benteng bukanlah sebuah istilah yang bersifat asli dalam konteks masyarakat Cina di kedua desa. Identitas ini merupakan hasil dari usaha meninggalkan identitas asli yang dialami penduduk Cina pada generasi yang tumbuh di era Pasca-Gedoran. Dengan kata lain, Cina Benteng dalam konteks ini adalah Orang Keturunan yang telah memilih untuk merubah identifikasi dirinya menjadi Cina Benteng. Hal ini dapat peneliti katakan mengingat identitas adalah sebuah proses fluktuatif yang tidak akan pernah selesai. Setidaknya terdapat ciri-ciri sosial yang umum dimiliki oleh komunitas Cina Benteng versi lokal ini. Bila mengacu pada definisi di awal paragraf ini, maka ciri-ciri sosial yang mendefinsikan Cina Benteng versi lokal adalah agama, domisili, dan mata pencaharian. Istilah Cina Benteng tidak ditemukan diantara penduduk keturunan Cina yang menetap di Desa Sampora. Maka, Cina Benteng yang dimaksud dalam penelitian ini bukanlah Cina Benteng mayoritas merupakan keturunan para pelarian Batavia Massacre tahun 1740, yang akhirnya menetap di Tangerang.

Agama Kristen merupakan satu dari dua agama yang baru dianut oleh generasi Orang Keturunan setelah tahun 1960’an hingga kini. Agama baru selain

Kristen dalam halini adalah Islam. Sebelumnya, komunitas Orang Keturunan merupakan penganut Agama Buddha yang bersifat sinkretik dengan ajaran Konghucu dan Taoisme. Kembali hal ini bukan murni pilihan rasional informan untuk menjadi penganut Kristen, namun hal ini salah satunya juga hasil konteks sosial politik pada Era Orde Baru yang menganjurkan penduduk Cina untuk melepaskan agama tradisional mereka. Pantekosta adalah salah satu denomininasi Kristen Protestan. Nama Pantekosta diambil dari sebuah gerakan yang pernah dilakukan oleh para Murid Kristus di masa-masa awal pendirian Agama Kristen. Gerakan Kristen Pantekosta didasari oleh nilai-nilai Protestanisme yang memiliki pandangan yang bersifat tradisional. Maka, pandangan Pantekosta akan dunia sosial juga didasari oleh pandangan mengenai hukum agama yang bersifat konservatif. Implikasi hukum konservatif mereka membuat paham Pantekosta memiliki pandangan negatif terhadap

ritual-ritual tradinisional yang bukan berasal dari ajaran Agama Kristen. 27 Oleh karena itu, berbagai tradisi budaya yang tidak memiliki hubungan dengan hukum

Kristen, dianggap sebagai bid’ah dalam konsep teologi Kristen Pantekosta. Sebagai contoh, Orang Keturunan yang telah memasuki agama ini dilarang untuk

mempraktekkan segala jenis ritual tradisional Cina dalam bentuk apapun. Desa Situgadung adalah lokasi dimana Cina Benteng bertempat tinggal. Desa

ini juga tempat berkembangnya identitas Cina Benteng versi lokal. Awalnya, komunitas Orang Keturunan digunakan bagi penduduk Cina baik pada Desa Sampora, maupun pada Desa Situgadung. Namun, Orang Keturunan pada Desa Sampora tidak mengalami perubahan identitas menjadi Cina Benteng. Hanya Orang Keturunan pada Desa Situgadung yang pada akhirnya mengaku sebaagai Cina Benteng. Cina Benteng versi lokal ini hanya ditemukan pada Desa Situgadung, dan tidak ditemukan pada desa-desa lain di Kecamatan Pagedangan. Dengan kata lain, istilah ini merupakan fenomena khas dari Desa Situgadung saja. Identitas ini menjadi identitas Orang Keturunan yang tinggal pada Desa Situgadung. Bahkan anggota

27 The New Encyclopedia Britannica, 2003, Volume 26, 15 th Edition, London: Encyclopedia Britannica Inc. Hal. 228-229.

pemerintahan desa setempat juga mengakui bahwa penduduk keturunan Cina pada desa mereka disebut sebagai Cina Benteng.

Perdagangan merupakan mata pencaharian utama bagi komunitas Cina Benteng di Desa Situgadung. Sebelumnya, mereka lebih banyak menggantungkan mata pencaharian mereka dengan bertani, saat masih menjadi Orang Keturunan. Menurut pemahaman yang dianut oleh penduduk setempat, Cina Benteng versi lokal identik dengan perdagangan, sementara Orang Keturunan identik dengan pertanian dan buruh. Kegiatan perdagangan yang dilakuka oleh komunitas Cina Benteng di Desa Situgadung melibatkan penduduk perkotaan, dari kompleks perumahan Bumi Serpong Damai. Perumahan yang dibangun pada tahun 1984 ini menjadikan komunitas Cina Benteng memiliki pasar tersendiri untuk memulai dan melaksanakan usaha perdagangan mereka. Dengan kata lain, penduduk Bumi Serpong Damai dan Cina Benteng memiliki rasa saling ketergantungan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Hasil pembangunan perumahan Bumi Serpong Damai-lah yang memungkinkan penduduk Cina Benteng dapat menjalankan usaha perdagangan mereka. Sebab, desa mereka langsung berbatasan dengan perumahan tersebut. Dibangunnya sebuah perumahan kontemporer menjadikan sebuah peluang usaha yang prospektif bagi komunitas Cina Benteng. Terlebih penduduk pada Bumi Serpong Damai memiliki rasa keterbukaan dan penerimaan yang besar kepada mereka. Sebab, mayoritas penduduk Bumi Serpong Damai yang menetap di sekitar Desa Situgadung merupakan penduduk Cina dari kota-kota besar. Penduduk Cina dari berbagai kota dan berbagai latar belakang budaya datang untuk menetap di kota mandiri yang terhubung secara baik dengan Jakarta. Maka, perdagangan dianggap oleh Cina Benteng lokal sebagai ciri-ciri yang identik dengan identitas Cina, selain sebuah sarana untuk merubah kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Bentuk usaha yang dijalani oleh Cina Benteng lokal berkisar seperti seperti usaha toko material, warung, toko elektronik, hingga usaha jual-beli burung peliharaan yang dijalani oleh salah seorang informan.

5.1.2. “Orang Keturunan”

Setelah mengetahui definisi Cina Benteng versi penduduk lokal, maka untuk mengetahui konteks identitas dari Cina Benteng ini, peneliti merasa perlu mepaparkan mengenai identitas yang mereka gunakan sebelum mereka memilih untuk mengidentifikasi diri sebagai Cina Benteng. Sebab, seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, identitas etnis merupakan sebuah entitas yang selalu mengalami proses perubahan. Sebelum Persitiwa Gedoran, istilah Orang Keturunan banyak digunakan untuk merujuk penduduk keturunan Cina di sekitar desa. Bila Cina Benteng didefinisikan sebagai Orang Keturunan yang telah beragama Kristen, bermata pencaharian sebagai pedagang, dan berdomisili pada Desa Situgadung, maka Orang Keturunan juga memiliki ciri-ciri sosial tersendiri semacamnya. Salah seorang warga Desa Sampora yang merupakan etnis Cina, yakni Gatekeeper YOB menekankan bahwa etnis Cina sudah menetap pada desanya lebih dari satu abad hingga kini. Hal ini turut mengkonformasi bahwa penduduk Cina secara histrois sudah menjadi warga pada kedua desa tersebut.

Begini…sudah lebih dari 100 tahun kali ya [Mengenai domisili nenek moyang keluarganya-Penulis] . Ya itu, karena keturunan dan menetap di sini. Gitu. Ibu saya, bapak saya, juga asli sini. Bukan pendatang dari…mana…dari Pontianak, atau dari Medan, gitu ya. Bukan gitu, asli.

Data terakhir pada Januari 2011 menunjukkan bahwa penduduk Cina, terutama pada Desa Sampora telah berkurang karena bermigrasi ke perkotaan. Meski begitu, secara historis penduduk Cina merupakan tergolong dalam bagian yang besar pada proporsi penduduk kedua desa. Meskipun tidak ada data historis yang akurat, namun penuturan Informan SSB yang berusia 75 tahun dapat menggambarkan bahwa memang penduduk Cina pernah berjumlah banyak, seperti pada kutipan berikut. Kalo itu yang saya tau, kalo…yang warga sini pindah ke luar, ada, ada juga, kalo sekarang tapi

mah nggak banyak. Nggak kayak dulu. Dulu mah itu banyak tuh.

Orang Keturunan merupakan istilah khas yang digunakan penduduk keturunan Cina yang tinggal pada Desa Sampora dan Situgadung, kira-kira dalam jangka waktu antara Masa Kolonialisme Belanda hingga tahun 1980’an. Istilah lain Orang Keturunan merupakan istilah khas yang digunakan penduduk keturunan Cina yang tinggal pada Desa Sampora dan Situgadung, kira-kira dalam jangka waktu antara Masa Kolonialisme Belanda hingga tahun 1980’an. Istilah lain

Istilah Orang Keturunan memiliki sebuah makna tersendiri bagi komunitas penduduk keturunan Cina. Makna yang terkadung dalam istilah ini menunjukkan bahwa Orang Keturunan adalah sebuah identitas yang terletak diantara identitas Cina dan pribumi. Sebab bila komunitas tersebut dilihat oleh komunitas pribumi, mereka merupakan keturunan Cina. Sementara bila mereka dilihat oleh komunitas Cina, mereka merupakan keturunan pribumi. Hal ini disebabkan oleh adanya kawin campur antara nenek moyang mereka yang beretnis Cina dan pribumi. Dari situlah istilah

Orang Keturunan digunakan kepada mereka. Dalam sebuah wawancara mendalam dengan Informan SSB, salah satu potongan wawancara mendalamnya mengkonfirmasi hal ini. Informan SSB menjelaskan bahwa ia yang merupakan Orang Keturunan memiliki nenek moyang pribumi, yakni kakek dari pihak ibunya. Maka, ibu Informan SSB merupakan campuran keturunan pribumi-Cina. Berikut akan digambarkan bagan silsilah Informan SSB yang merupakan penduduk Cina. Warna kuning menunjukkan etnis Cina, sementara warna cokelat menunjukkan etnis pribumi.

Gambar 5.1. Silsilah Keluarga Informan SSB

Bila dihubungkan dengan klasifikasi agama, Orang Keturunan merupakan warga Cina lokal yang masih menganut Agama Buddha Tri Dharma. Aliran Tri Dharma merupakan salah satu aliran dalam ajaran Agama Buddha di dunia, yang berjumlah 22 buah aliran. Penggunaan ajaran Buddha Tri Dharma pada anggota komunitas Orang Keturunan memiliki konteks sejarah tersendiri. Sebab, ajaran Buddha ini sesungguhnya merupakan bentuk adaptasi terhadap pengekangan ekspresi kebudayaan tradisional Cina. Mayoritas pemeluk Agama Buddha di Indonesia mengikuti aliran Theravada, yang umum ditemui di negara-negara Asia Tenggara. Maka, pemeluk Agama Buddha pada Desa Sampora dan Situgadung merupakan segelintir pengikut aliran Tri Dharma di Indonesia. Perbedaan mendasar aliran Tri Dharma dengan Theravada terletak dalam sumber ajaran yang dianut oleh Buddha Tri Dahrma. Konsep mendasar ajaran Buddha Tri Dharma tidak hanya bertumpu pada ajaran Siddharta Gautama atau Buddha saja, tapi juga bertumpu pada ajaran Konfusius (Konghucu) dan Lao Zi (Lao Tse). Maka, nama Tri Dharma memiliki makna “Tiga Ajaran” dalam Bahasa Sansekerta, karena dasar ajarannya yang bersumber dari tiga pihak. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa aliran Tri Dharma merupakan aliran Buddha yang telah bercampur-baur dengan agama tradisional Cina. Uniknya, aliran Buddha Tri Dharma hanya terdapat di kalangan penduduk keturunan Cina di pedesaan Tangerang. Hal ini pada awalnya dikarenakan adanya keinginan untuk membuat perkumpulan keagamaan Buddha diantara para penduduk Cina lokal. Namun, jumlah penganut Agama Buddha yang murni terlampau sedikit, hingga Bila dihubungkan dengan klasifikasi agama, Orang Keturunan merupakan warga Cina lokal yang masih menganut Agama Buddha Tri Dharma. Aliran Tri Dharma merupakan salah satu aliran dalam ajaran Agama Buddha di dunia, yang berjumlah 22 buah aliran. Penggunaan ajaran Buddha Tri Dharma pada anggota komunitas Orang Keturunan memiliki konteks sejarah tersendiri. Sebab, ajaran Buddha ini sesungguhnya merupakan bentuk adaptasi terhadap pengekangan ekspresi kebudayaan tradisional Cina. Mayoritas pemeluk Agama Buddha di Indonesia mengikuti aliran Theravada, yang umum ditemui di negara-negara Asia Tenggara. Maka, pemeluk Agama Buddha pada Desa Sampora dan Situgadung merupakan segelintir pengikut aliran Tri Dharma di Indonesia. Perbedaan mendasar aliran Tri Dharma dengan Theravada terletak dalam sumber ajaran yang dianut oleh Buddha Tri Dahrma. Konsep mendasar ajaran Buddha Tri Dharma tidak hanya bertumpu pada ajaran Siddharta Gautama atau Buddha saja, tapi juga bertumpu pada ajaran Konfusius (Konghucu) dan Lao Zi (Lao Tse). Maka, nama Tri Dharma memiliki makna “Tiga Ajaran” dalam Bahasa Sansekerta, karena dasar ajarannya yang bersumber dari tiga pihak. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa aliran Tri Dharma merupakan aliran Buddha yang telah bercampur-baur dengan agama tradisional Cina. Uniknya, aliran Buddha Tri Dharma hanya terdapat di kalangan penduduk keturunan Cina di pedesaan Tangerang. Hal ini pada awalnya dikarenakan adanya keinginan untuk membuat perkumpulan keagamaan Buddha diantara para penduduk Cina lokal. Namun, jumlah penganut Agama Buddha yang murni terlampau sedikit, hingga

A, merupakan seorang Banthe (Juru Dakwah dalam Agama Buddha) pada Vihara Sobhita, sebuah vihara aliran Tri Dharma di Kecamatan Cisauk. Vihara Sobhita merupakan vihara yang menjadi tempat ibadah utama bagi penduduk keturunan Cina yang menetap di Desa Sampora dan Situgadung. Informan TEH, seorang generasi tua Cina yang menganut Buddha Tri Dharma mengakui bahwa Vihara Sobhita merupakan vihara tempat biasa ia melakukan sembahyang. Meskipun masih terdapat vihara lain di sekitar desanya. Vihara Sobhita. Itu di Cisauk. Saya sering ke sana. Sering juga, tiap Minggu ke sana. Serpong ada, Boen Tek Bio, di sana juga ada…Boen Hay Bio. Di kampus sana [Sekolah Tinggi Buddha Sriwijaya -Penulis] juga ada!

A, Vihara Sobhita didirikan pada tahun 1960, di sebuah situs yang awalnya merupakan kediaman pribadi. Pemilik kediaman ini, yang merupakan penganut Buddha aliran Tri Dharma, mengubahnya menjadi vihara dengan dibantu oleh anggota komunitas Tri Dharma lainnya. Namun, fisik bangunan vihara baru dibangun seperti layaknya sebuah vihara pada tahun 1980 setelah dilakukannya renovasi besar-besaran, dengan perluasan lahan sebesar 100 meter. Saat peneliti berkunjung ke sana pada tanggal 25 Mei 2013, peneliti tidak menemukan sebuah patung Buddha pun sama sekali. Hanya ada beberapa gambar Buddha yang sedang bersemedi di bawah pohon Boddhi, dan secara kontras, lebih banyak ornamen tradisional Cina yang dipasang di dalam vihara. Hal ini menunjukkan bahwa Buddha (Siddharta Gautama) bukan merupakan satu-satunya sumber ajaran dalam aliran Agama Buddha Tri Dharma. Penduduk Cina pada kedua desa masih mempertahankan konsep-konsep agama tradisional Cina dalam konsep Agama Buddha mereka. Dalam gambar berikut, nampak bahwa Vihara Sobhita lebih didominasi oleh kebudayaan tradisional Cina ketimbang ajaran Buddha.

Menurut Gatekeeper

Gambar 5.2. Bagian Teras dan Interior Vihara Sobhita

Oleh karena itu, penduduk Cina pada kedua desa cenderung untuk beribadah ke Vihara Sobhita, meskipun terdapat setidaknya tiga vihara lain yang beredakatan dengan tempat tinggal mereka.

Tiga vihara lain yang terdapat di sekitar pemukiman penduduk Cina pada kedua desa adalah Vihara Boen Hay Bio ( 文海廟 ), Boen San Bio ( 文山廟 ), dan Boen Tek Bio ( 文德廟 ), yang memiliki aliran Buddha Theravada. Diantara ketiga vihara tersebut, Boen Hay Bio terletak paling dekat dengan Desa Sampora dan Situgadung, dimana vihara ini terletak di Kecamatan Serpong. Namun, saat peneliti melakukan kunjungan lapangan pada tanggal 7 April 2013, justru hampir keseluruhan warga yang datang untuk beribadah bukan merupakan penduduk Cina lokal, namun penduduk Cina yang berasal dari Jakarta. Mereka memiliki setidaknya mobil pribadi, bahkan beberapa diantaranya juga memiliki baby sitter untuk menjaga anak mereka. Ini semakin menunjukkan bahwa para warga Cina tersebut merupakan penduduk Jakarta yang berasal dari kelas sosial menengah ke atas. Ditambah lagi, secara fisik mereka cenderung berbeda dengan penduduk Cina lokal. Kebanyakan diantara mereka memiliki warna kulit yang putih dan mata yang sipit. Hampir tidak ada penduduk Cina baik dari Desa Sampora dan Situgadung yang nampak beribadah di Tiga vihara lain yang terdapat di sekitar pemukiman penduduk Cina pada kedua desa adalah Vihara Boen Hay Bio ( 文海廟 ), Boen San Bio ( 文山廟 ), dan Boen Tek Bio ( 文德廟 ), yang memiliki aliran Buddha Theravada. Diantara ketiga vihara tersebut, Boen Hay Bio terletak paling dekat dengan Desa Sampora dan Situgadung, dimana vihara ini terletak di Kecamatan Serpong. Namun, saat peneliti melakukan kunjungan lapangan pada tanggal 7 April 2013, justru hampir keseluruhan warga yang datang untuk beribadah bukan merupakan penduduk Cina lokal, namun penduduk Cina yang berasal dari Jakarta. Mereka memiliki setidaknya mobil pribadi, bahkan beberapa diantaranya juga memiliki baby sitter untuk menjaga anak mereka. Ini semakin menunjukkan bahwa para warga Cina tersebut merupakan penduduk Jakarta yang berasal dari kelas sosial menengah ke atas. Ditambah lagi, secara fisik mereka cenderung berbeda dengan penduduk Cina lokal. Kebanyakan diantara mereka memiliki warna kulit yang putih dan mata yang sipit. Hampir tidak ada penduduk Cina baik dari Desa Sampora dan Situgadung yang nampak beribadah di

Agama Buddha Tri Dharma menjadi salah satu ciri-ciri sosial Orang Keturunan. Namun, terdapat ciri-ciri sosial lain yang berhubungan dengan tempat tinggal. Orang Keturunan adalah penduduk keturunan Cina yang berdomisili di Desa Sampora dan Situgadung. Hal ini dikarenakan Orang Keturunan adalah penduduk Cina asli kedua desa yang tidak melakukan perubahan identifikasi kolektivitas. Maka, Orang Keturunan dapat ditemui baik pada Desa Sampora maupun Situgadung. Namun, karena adanya pergantian identitas pada kedua desa, maka penggunaan identitas Orang Keturunan semakin menurun. Istilah Orang Keturunan kebanyakan masih dipakai oleh generasi yang lebih tua. Sehubungan dengan faktor tersebut, maka Orang Keturunan dapat didefinisikan pula sebagai penduduk Cina lokal yang bermata pencaharian sebagai petani, peternak, atau buruh. Setidaknya, Orang Keturunan dianggap oleh penduduk lokal sebagai penduduk keturunan Cina yang masih menggantungkan hidupnya dalam hal bercocok tanam, ataupun perburuhan. Hal ini dikarenakan identitas Orang Keturunan sudah digunakan lama bahkan sejak masyarakat Cina lokal masih menggantungkan hidup mereka pada kegiatan pertanian dan peternakan. Istilah tersebut tetap diasosiasikan terutama oleh para generasi muda Cina Benteng sebagai pekerjaan yang khas Orang Keturunan.

5.1.3. “Orang Selam”

Selain Cina Benteng, terdapat sebuah identitas kedua yang merupakan sebuah hasil pergantian identifikasi kolektivitas yang dilakukan oleh Orang Keturunan. Identitas yang dimaksud adalah Orang Selam/Pribumi. Identitas ini adalah penduduk Selain Cina Benteng, terdapat sebuah identitas kedua yang merupakan sebuah hasil pergantian identifikasi kolektivitas yang dilakukan oleh Orang Keturunan. Identitas yang dimaksud adalah Orang Selam/Pribumi. Identitas ini adalah penduduk

Ketika Orang Keturunan memasuki Agama Islam dan mengaku sebagai pribumi, ia dapat mengaku sebagai etnis pribumi yang berbeda-beda, tergantung identitas etnis pasangan mereka. Dengan kata lain, dalam hal ini Orang Keturunan bersifat fleksibel dalam memilih identitas pribumi mereka. Sebagai contoh, apabila seorang Cina mengawini seorang pribumi dengan latar belakang etnis Sunda, maka setelah ia masuk Islam ia akan mengaku sebagai Sunda. Jika individu Cina yang bersangkutan menikahi seorang pribumi dengan latar belakang etnis Jawa, maka setelah ia masuk Islam ia akan mengaku sebagai etnis Jawa. Selain pemaparan Informan IN yang menjelaskan Orang Keturunan yang mengaku menjadi orang Sunda, hal ini dicontohkan pula dengan latar belakang suku Jawa. Kerabat Gatekeeper T, seorang relawan pengurus kebersihan pada Vihara Boen Hay Bio, mengaku sebagai etnis Jawa setelah menikah dengan perempuan pribumi yang memiliki latar belakang etnis Jawa. Hal ini dituturkannya saat observasi lapangan pada tanggal 7 April 2013. Berdasarkan penjelasan yang telah diberikan, maka budaya Cina benar-benar dilepas saat Orang Keturunan menikahi pasangan pribuminya dan memasuki Agama Islam. Kebanyakan generasi muda Orang Keturunan di Desa Sampora menganggap bahwa etnisitas sudah tidak mengikuti garis keturunan orang tua. Identitas etnis akan tergantung keluarga pribumi yang mereka kawini. Setelah mengganti agama ke Islam, mereka juga meninggalkan nama marga (seh) mereka. Fenomena ini merupakan sosial khas di Desa Sampora, dan tidak ditemui pada wilayah lain yang peneliti kunjungi. Dalam Desa Sampora, justru lebih banyak pihak laki-laki yang melakukan perpindahan agama ke Islam. Justru Ketika Orang Keturunan memasuki Agama Islam dan mengaku sebagai pribumi, ia dapat mengaku sebagai etnis pribumi yang berbeda-beda, tergantung identitas etnis pasangan mereka. Dengan kata lain, dalam hal ini Orang Keturunan bersifat fleksibel dalam memilih identitas pribumi mereka. Sebagai contoh, apabila seorang Cina mengawini seorang pribumi dengan latar belakang etnis Sunda, maka setelah ia masuk Islam ia akan mengaku sebagai Sunda. Jika individu Cina yang bersangkutan menikahi seorang pribumi dengan latar belakang etnis Jawa, maka setelah ia masuk Islam ia akan mengaku sebagai etnis Jawa. Selain pemaparan Informan IN yang menjelaskan Orang Keturunan yang mengaku menjadi orang Sunda, hal ini dicontohkan pula dengan latar belakang suku Jawa. Kerabat Gatekeeper T, seorang relawan pengurus kebersihan pada Vihara Boen Hay Bio, mengaku sebagai etnis Jawa setelah menikah dengan perempuan pribumi yang memiliki latar belakang etnis Jawa. Hal ini dituturkannya saat observasi lapangan pada tanggal 7 April 2013. Berdasarkan penjelasan yang telah diberikan, maka budaya Cina benar-benar dilepas saat Orang Keturunan menikahi pasangan pribuminya dan memasuki Agama Islam. Kebanyakan generasi muda Orang Keturunan di Desa Sampora menganggap bahwa etnisitas sudah tidak mengikuti garis keturunan orang tua. Identitas etnis akan tergantung keluarga pribumi yang mereka kawini. Setelah mengganti agama ke Islam, mereka juga meninggalkan nama marga (seh) mereka. Fenomena ini merupakan sosial khas di Desa Sampora, dan tidak ditemui pada wilayah lain yang peneliti kunjungi. Dalam Desa Sampora, justru lebih banyak pihak laki-laki yang melakukan perpindahan agama ke Islam. Justru

Bila Agama Buddha merupakan agama asli Orang Keturunan, maka Agama Islam merupakan agama asli penduduk pribumi. Selain itu, fenomena masuknya Orang Keturunan ke Agama Islam juga terdapat diantara komunitas tersebut. Secara spesifik, fenomena ini lebih merupakan fenomena regional pada Desa Sampora. Terdapat banyak kasus dimana Orang Keturunan memasuki Agama Islam dengan menikahi penduduk pribumi. Masuknya Orang Keturunan ke Agama Islam lebih dipengaruhi oleh perkawinan, namun terdapat juga segelintir penduduk Cina lokal yang masuk Islam setelah melakukan dialog keagamaan dengan tokoh lokal, yakni Informan IN.

Sejak taun 2000, saya telah mengislamkan sembilan orang Chinese. Tujuh orang laki-laki sama dua orang perempuan. Itu berawal dari keingintahuan mereka tentang Islam. Mereka tanya ke saya. “Pak, gimana pak, kalau begini?” Begitu. Sisanya diislamkan dengan pernikahan. Karena cinta, jadi menikah dengan pribumi, kemudian masuk Islam, seperti itu kan?

Bahkan, istri Informan IN sendiri merupakan Orang Keturunan yang memeluk Agama Islam setelah menikah dengannya. Namun dalam segi jumlah, Orang Keturunan yang masuk ke dalam Agama Islam lebih didominasi oleh kaum laki-laki ketimbang perempuan. Dengan kata lain, jumlah Orang Keturunan laki-laki yang

menjadi pribumi lebih banyak ketimbang perempuan Orang Keturunan. Motif masuknya Orang Keturunan ke Islam adalah ketergantungan dengan pribumi, terutama dalam konteks Desa Sampora. Informan IN menjelaskan bahwa ketergantungan yang dimaksud adalah pengaruh sosial serta prestise yang bisa didapatkan oleh penduduk Orang Keturunan dengan memasuki Agama Islam. Dengan istilah yang digunakan oleh penduduk lokal, alasan mereka untuk memasuki Islam tak lain agar dapat “punya pengaruh” di masyarakat.

Kadang-kadang, ada juga yang lebih dominan mencintai. Ya kan ya? Sehingga, karena demi cintanya, rela untuk keluar dari agamanya, memasuki Agama Islam. Satu. Ada pula yang karena dia hidup dalam Kadang-kadang, ada juga yang lebih dominan mencintai. Ya kan ya? Sehingga, karena demi cintanya, rela untuk keluar dari agamanya, memasuki Agama Islam. Satu. Ada pula yang karena dia hidup dalam

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa alasan masuknya Orang Keturunan ke Agama Islam dapat membuat mereka untuk mengidentifikasi dirinya sebagai orang pribumi atau Orang Selam. Mereka melakukannya dengan melalui perkawinan dengan perempuan pribumi, bukan karena peranan tokoh agama.

Dalam pelaksanaannya pun, mayoritas Orang Keturunan yang sudah memeasuki Agama Islam tidak begitu ketat dalam menajalankan berbagai ritual Agama Islam. Hal ini berdasarkan penuturan Gatekeeper

H, yang menyatakan bahwa ritual memasuki Agama Islam kebanyakan tidak diikuti dengan praktek mereka yang rutin akan ritual agama tersebut.

…kalo istilahnya cuma…seperti kita, cuman Cina Keturunan ya…taunya cuman masuk Islam, keluarnya dari agama misalnya tadinya Buddha ya,

keluar dari Agama Buddha ya…ajaran segala macem masih banyak juga

yang belum ngerti.

Informan IN, seorang tokoh Desa Sampora yang merupakan pribumi, juga mengatakan kebanyakan bahwa penduduk Cina masuk Islam hanya sebatas ritual saja. Dengan lemahnya peran nilai-nilai Agama Buddha Tri Dharma, sehingga peran ini diisi oleh Islam dan komunitas pribumi. Hal ini dapat terlihat berdasarkan jumlah vihara Tri Dharma yang hanya berjulah satu di sekitar desa. Selain itu, terdapat pula ketidakmampuan generasi tua penduduk keturunan Cina untuk melakukan memberikan pengetahuan akan makna pelaksanaan ritual Agama Buddha secara mendalam. Dengan kata lain, terdapat sebuah ketidakmampuan bagi warga lokal keturunan Cina untuk menjalankan dan menghayati Agama Buddha. Menurut Informan IN, pergaulan penduduk pribumi dengan Orang Keturunan dianggap bukan suatu hal yang tabu untuk dilakukan. Dengan kata lain, meskipun pada awalnya komunitas Cina pada Desa Sampora dan Situgadung merupakan sebuah kelompok tunggal, namun berbagai perubahan di sekitar mereka memungkinkan terjadinya pembedaan diantara anggota komunitas tersebut. Oleh karena itu, penduduk keturunan Cina yang menetap di kedua desa memiliki perbedaan berdasarkan Informan IN, seorang tokoh Desa Sampora yang merupakan pribumi, juga mengatakan kebanyakan bahwa penduduk Cina masuk Islam hanya sebatas ritual saja. Dengan lemahnya peran nilai-nilai Agama Buddha Tri Dharma, sehingga peran ini diisi oleh Islam dan komunitas pribumi. Hal ini dapat terlihat berdasarkan jumlah vihara Tri Dharma yang hanya berjulah satu di sekitar desa. Selain itu, terdapat pula ketidakmampuan generasi tua penduduk keturunan Cina untuk melakukan memberikan pengetahuan akan makna pelaksanaan ritual Agama Buddha secara mendalam. Dengan kata lain, terdapat sebuah ketidakmampuan bagi warga lokal keturunan Cina untuk menjalankan dan menghayati Agama Buddha. Menurut Informan IN, pergaulan penduduk pribumi dengan Orang Keturunan dianggap bukan suatu hal yang tabu untuk dilakukan. Dengan kata lain, meskipun pada awalnya komunitas Cina pada Desa Sampora dan Situgadung merupakan sebuah kelompok tunggal, namun berbagai perubahan di sekitar mereka memungkinkan terjadinya pembedaan diantara anggota komunitas tersebut. Oleh karena itu, penduduk keturunan Cina yang menetap di kedua desa memiliki perbedaan berdasarkan

5.1.4. Cina Udik

Selain ketiga istilah yang telah dipaparkan sebelumnya, terdapat pula identitas lain yang berasal dari luar desa, yakni Cina Udik. Identitas yang juga merupakan batu loncatan menuju Cina benteng ini bukan merupakan istilah asli penduduk desa. Istilah ini diberikan oleh penduduk keturunan Cina di Jakarta terhadap penduduk keturunan Cina pada Desa Situgadung ketika mereka sedang merantau ke Jakarta. Seperti halnya identitas-identitas yang telah disebutkan, Cina udik juga memiliki makna yang

khas. Kata “Udik” mencerminkan asal mereka dari daerah pedesaan, ciri fisik yang dianggap tidak seperti penduduk keturunan “Cina”, serta mata pencaharian mereka

sebagai buruh. Cina Udik pertama kali didengar pada tahun 1950’an, ketika penduduk

keturunan Cina dari Desa Situgadung dimasukkan ke kamp tahanan di Jakarta. Mereka bekerja sebagai buruh di sekitar kamp tahanan mereka, yang terletak di Jakarta Barat. Salah seorang informan, yakni Informan TEH merupakan salah satu buruh tersebut. Karena mereka juga bekerja di Jakarta, sehingga penduduk Cina di Desa Situgadung berinteraksi dengan penduduk keturunan Cina di perkotaan. Sehingga digunakanlah istilah Cina Udik bagi para penduduk Cina pedesaan itu. Berbeda dengan identitas Cina Benteng versi Desa Situgadung atau Orang Selam yang didefinisikan berdasarkan agama, Cina Udik tidak memiliki definisi ciri-ciri sosial berdasarkan agama.

Pada generasi penduduk Cina Desa Situgadung yang menetap di Jakarta tahun 1950’an, istilah Cina Udik tidak memiliki konotasi yang bersifat negatif dari

masyarakat. Namun, berbeda dalam konteks kini. Secara umum, masyarakat Cina Benteng menganggap istilah Cina Udik sebagai sebuah istilah yang negatif. Identitas etnis, termasuk di dalamnya istilah mengenai identitas etnis, tak akan lepas dari masyarakat. Namun, berbeda dalam konteks kini. Secara umum, masyarakat Cina Benteng menganggap istilah Cina Udik sebagai sebuah istilah yang negatif. Identitas etnis, termasuk di dalamnya istilah mengenai identitas etnis, tak akan lepas dari

perubahan pemaknaan dalam Bahasa Indonesia menjadikan makna kata “Udik” bergeser menjadi kurang lebih “kampungan”. Maka secara umum Cina Udik menjadi

istilah yang dianggap berbau negatif, sebab, udik yang pada awalnya memiliki makna netral, kini menjadi memiliki makna negatif dalam bahasa yang digunakan oleh masyarakat luas.

Cina Udik kembali digunakan secara massal kepada penduduk keturunan Cina dari Desa Situgadung pada generasi yang berbeda. Kali ini digunakan kembali pada akhi r tahun 1980’an. Pada saat itu, banyak penduduk keturunan Cina dari Desa Situgadung yang merantau pula ke Jakarta. Hampir tidak ada penduduk keturunan Cina pada Desa Sampora yang merantau ke Jakarta, sehingga Cina Udik tidak pernah digunakan pada mereka. Pada akhirnya perantau Cina dari Desa Situgadung di tahun 1980’an disebut lagi sebagai Cina Udik. Kali ini, penduduk Cina dari Desa

Situgadung menganggap Cina Udik sebagai istilah yang kurang baik. Setidaknya kini para penduduk Cina dari Desa Situgadung enggan untuk menyandang identitas Cina Udik. Sehingga istilah ini tidak pernah bertahan lama, sebab, ketika mereka kembali ke desa asal, tidak disebut atau menyebut diri mereka sebagai Cina Udik.

5.2. Dari Orang Keturunan Menuju Cina Benteng

Temuan pada penelitian ini akan membahas mengenai langkah demi langkah perubahan identitas Orang Keturunan yang menetap pada Desa Situgadung. Seperti yang telah dipaparkan pada Bab 4, Orang Keturunan yang pada akhirnya mengaku sebagai Cina Benteng merupakan mereka yang secara agama merupakan penganut Kristen Pantekosta, secara domisili menetap pada Desa Situgadung, serta bekerja sebagai pedagang. Temuan ini akan menggambarkan bagaimana Orang Keturunan dengan ciri-ciri yang seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dapat menjadi Cina Benteng versi lokal. Selain itu, temuan ini akan menunjukkan betapa anggapan umum Temuan pada penelitian ini akan membahas mengenai langkah demi langkah perubahan identitas Orang Keturunan yang menetap pada Desa Situgadung. Seperti yang telah dipaparkan pada Bab 4, Orang Keturunan yang pada akhirnya mengaku sebagai Cina Benteng merupakan mereka yang secara agama merupakan penganut Kristen Pantekosta, secara domisili menetap pada Desa Situgadung, serta bekerja sebagai pedagang. Temuan ini akan menggambarkan bagaimana Orang Keturunan dengan ciri-ciri yang seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dapat menjadi Cina Benteng versi lokal. Selain itu, temuan ini akan menunjukkan betapa anggapan umum

dinamis. “Ke-Cina Benteng-an” adalah sebuah identitas yang disadari oleh anggotanya dan diakui oleh pihak non-anggota. Tapi hal ini justru tidak terjadi pada

masyarakat di Desa Situgadung. Fenomena tersebut akan ditujukkan oleh pengalaman hidup Informan A. Sejak ia dibesarkan, Informan A dan Orang Keturunan lainnya sudah mendegar istilah Cina Benteng. Tetapi mereka baru mengaku dan diakui sebagai Cina Benteng berpuluh-puluh tahun kemudian. Ditambah dengan fakta bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah dengan komunitas Cina Benteng yang asli.

Tiga informan lainnya dalam bagian ini memberikan pemaparan mengenai latar belakang sejarah pemicu perubahan identitas etnis. Bab ini secara khusus akan memaparkan mengenai kisah perubahan identitas diri dari seorang informan kunci, yakni Informan A. Kisah hidupnya yang dirangkum berikut ini merupakan suatu pandangan yang merepresentasikan berbagai kisah hidup yang dialami oleh mayoritas Orang Keturunan pada Desa Situgadung.

5.2.1. Kisah Usaha Informan A Menjadi Cina Benteng

Informan A dilahirkan pada tahun 1963 dari keluarga Orang Keturunan di Desa Situgadung. Keluarganya telah menetap pada daerah sekitar desa selama beberapa generasi. Dengan kata lain, keluarga Informan A merupakan sebuah keluarga Orang Keturunan yang asli. Meskipun tidak mengetahuinya secara pasti, Informan A mengatakan bahwa setidaknya tujuh generasi di atasnya telah menetap pada wilayah yang sama. Beberapa moyang di atas moyang ke-tujuhnya diyakini oleh Informan A sudah berada di wilayah Tangerang dan Banten. Namun, ia tidak mengetahui domisili pastinya. Satu hal yang pasti, nenek moyangnya merupakan peranakan Cina-Sunda, atau yang disebut juga oleh warga lokal sebagai Orang

Keturunan. Nama Orang Keturunan memiliki makna yang khas bagi Informan A. Makna yang terkandung bagi angota komunitas tersebut tak lain memiliki hubungan dengan sejarah nenek moyang mereka. Bila Orang Keturunan dilihat oleh komunitas pribumi, mereka merupakan keturunan Cina. Sementara bila mereka dilihat oleh komunitas Cina, mereka merupakan keturunan pribumi. Hal ini disebabkan oleh adanya kawin campur antara nenek moyang mereka yang beretnis Cina dan pribumi. Dari situlah istilah Orang Keturunan digunakan kepada mereka.

Mereka [Kaum pribumi-Penulis] kan ngasih itu [Istilah Orang Keturunan- Penulis] , kita jadinya Orang Keturunan. Ya, karena kita itu mungkin kalo mau diliat dari keturunannya kita itu beda dalem dua hal. Pertama, kita itu

kan keturunan dari orang…pendatang Cina kan? Kedua, kita itu kan juga punya…nenek moyang pribumi juga. Gitu. Jadi itu kan yang bikin kita beda lah istilahnya. Jadi…kalo diliat sama pribumi, kita itu keturunan pendatang, kalo mau diliat dari orang Cina itu kita keturunan pribumi.

Informan A memiliki bentuk wajah yang umum ditemui diantara penduduk Orang Keturunan pada desanya. Ia memiliki warna kulit sawo matang yang gelap. Rambutnya yang telah menipis karena penuaan, cenderung berbentuk ikal. Hidungnya pesek dan lebar serta matanya tidak sipit. Bibirnya tebal dan bentuk wajahnya persegi panjang dengan dagu belah, namun tanpa tulang pipi yang menonjol. Selain itu, Informan A juga memiliki rambut tubuh yang cukup lebat, terkecuali pada alis matanya yang tipis. Secara keseluruhan, ciri-ciri fisik Informan

A, seperti halnya Orang Keturunan lainnya, cenderung berbeda dengan ciri-ciri fisik Cina yang merupakan kebalikan dengan ciri-ciri Orang Keturunan yang telah disebutkan.

Keluarganya memiliki nama marga The ( 鄭 ), yang tetap dipakainya hingga kini. Nama marga tersebut juga dimiliki oleh berbagai tetangga Informan A di Desa Situgadung. Selain The, tetangganya yang merupakan Orang Keturunan juga sering memiliki nama marga lain seperti Lie ( 李 ) dan Tan ( 陳 ). Mereka semua adalah sebuah kerabat besar. Selain itu, Informan A juga diberi nama lahir Cina dalam dialek Hokkien, sesuai dengan tradisi yang dipraktekkan oleh Orang Keturunan secara turun-temurun. Ia tetap diberi nama Cina meski keluarganya tidak bisa berbahasa

Hokkien lagi. Bahasa yang sehari-hari yang justru digunakan oleh keluarga Informan

A adalah Bahasa Sunda, secara lebih spesifiknya, Sunda Kasar. Keluarganya merupakan penganut ajaran Buddha Tri Dharma, seperti keluarga Orang Keturunan lainnya. Ia sempat menceritakan bahwa ayahnya kerap melakukan sembahyang kubur ketika ia masih hidup. Waktu itu, keluarganya memiliki meja persembahan di rumah mereka. Namun, Informan A memaparkan bahwa anggota keluarganya sudah tidak mengetahui makna akan berbagai ritual ibadah Buddha Tri Dharma yang dianutnya. Ya, itulah. Bapak saya orang Buddha. Cuman kita ya nggak begitu tau biasanya ini persembahan Buddha…sembahyang ini maksudnya apa. Kayak begitu dek .

Keluarganya terdiri atas seorang ayah, ibu, dan enam orang anak, termasuk dirinya, ditambah kakek dan neneknya yang hidup bersama. Bentuk sebuah tipikal

keluarga Orang Keturunan di tahun 1960’an. Tipikal khas lain kekeluargaan Orang Keturunan pada Desa Situgadung saat itu adalah adanya anggapan bahwa seluruh komunitas Orang Keturunan di Desa Situgadung merupakan satu kerabat besar. Setidaknya bagi mereka yang memiliki nama marga (seh) yang sama. Sebab, menurut Informan A, komunitas Cina pada kedua desa setidaknya masih merupakan sebuah kerabat jauh, yang dapat dirunut ke para pendatang dari kapal yang terdampar di Teluk Naga. Bapaknya adalah seorang petani serta peternak ayam dan babi, sebuah profesi yang juga ditekuni oleh banyak Orang Keturunan pada saat itu. Hingga kini, Informan A masih memiliki bekas kandang ayam dan babi yang berada di belakang rumahnya. Hanya saja, kini hanya tersisa beberapa ekor ayam yang dipeliharanya. Babi milik keluarga Informan A telah dijual ke lain pihak. Semenjak Informan A kecil, ia sudah terbiasa membantu pekerjaan ayahnya sebagai petani bebas yang menggarap lahan di depan rumahnya. Lahan tersebut kini telah tertututp oleh ilalang di satu sisi, dan sudah tandus di sisi lain akibat pembangunan fondasi gelanggang olah raga oleh pihak Bumi Serpong Damai. Bertani dan beternak adalah satu-satunya sumber pendapatan tetap keluarga Informan A. Kehidupannya dikatakan olehnya sebagai “sedikit kekurangan”. Informan A tidak mengatakan secara spesifik bahwa keluarganya kurang mampu. Meskipun pada kehidupan sehari-hari keluarganya mengidentifikasi diri mereka sebagai Orang Keturunan, Informan A pernah keluarga Orang Keturunan di tahun 1960’an. Tipikal khas lain kekeluargaan Orang Keturunan pada Desa Situgadung saat itu adalah adanya anggapan bahwa seluruh komunitas Orang Keturunan di Desa Situgadung merupakan satu kerabat besar. Setidaknya bagi mereka yang memiliki nama marga (seh) yang sama. Sebab, menurut Informan A, komunitas Cina pada kedua desa setidaknya masih merupakan sebuah kerabat jauh, yang dapat dirunut ke para pendatang dari kapal yang terdampar di Teluk Naga. Bapaknya adalah seorang petani serta peternak ayam dan babi, sebuah profesi yang juga ditekuni oleh banyak Orang Keturunan pada saat itu. Hingga kini, Informan A masih memiliki bekas kandang ayam dan babi yang berada di belakang rumahnya. Hanya saja, kini hanya tersisa beberapa ekor ayam yang dipeliharanya. Babi milik keluarga Informan A telah dijual ke lain pihak. Semenjak Informan A kecil, ia sudah terbiasa membantu pekerjaan ayahnya sebagai petani bebas yang menggarap lahan di depan rumahnya. Lahan tersebut kini telah tertututp oleh ilalang di satu sisi, dan sudah tandus di sisi lain akibat pembangunan fondasi gelanggang olah raga oleh pihak Bumi Serpong Damai. Bertani dan beternak adalah satu-satunya sumber pendapatan tetap keluarga Informan A. Kehidupannya dikatakan olehnya sebagai “sedikit kekurangan”. Informan A tidak mengatakan secara spesifik bahwa keluarganya kurang mampu. Meskipun pada kehidupan sehari-hari keluarganya mengidentifikasi diri mereka sebagai Orang Keturunan, Informan A pernah

“Tionghoa” merupakan tak lebih sebuah istilah asing, dimana Orang Keturunan bukan merupakan bagian darinya. Tionghoa merupakan istilah yang “tidak menempel” di benak Informan A dan kerabatnya. Selain dirasa tidak cocok didengar

oleh warga lokal.

Nah, itu bapak saya pernah bilang ke saya [Mengenai istilah Tionghoa - Penulis]. Tapi kan saya ngedengernya…mungkin bapak saya juga. Kan agak

aneh ya? Itu kan istilah bahasa yang kita nggak ngerti ya? Apa Hokkien…Mandarin. Kita juga nggak pake, terus itu dibikin istilah buat

orang sini. Gitu kan agak nggak nyambung. Ketika sudah mencapai usia sekolah, Informan A memasuki institusi sekolah

formal di sekitar pedesaannya. Ia bersekolah pada sekolah negeri mulai dari jenjang SD hingga SMA. Banyak diantara teman sekelasnya yang juga merupakan Orang Keturunan. Dengan kata lain, Informan A bukanlah segelintir siswa keturunan Cina di kelasnya. Ia bergaul dengan banyak teman Orang Keturunan di sekolahnya. Seperti halnya dengan Informan A, teman-teman sekolahnya banyak yang dibesarkan oleh keluarga petani atau peternak. Saat mengenyam pendidikan pada tingkat SMP inilah, Informan A untuk pertama kalinya mendengar sebuah istilah etnis yang sebelumnya merupakan hal yang dianggap asing. Dari gurunya, ia mulai mendengar kata Cina yang ditujukan pada dirinya serta teman-temannya sesama Orang Keturunan. Berdasarkan pengakuannya, ketika ditanya oleh guru mengenai latar belakang etnisnya, ia tidak bisa mengaku sebagai Orang Keturunan. Sebab, gurunya yang bukan merupakan warga sekitar tidak memahami arti Orang Keturunan. Gurunya kerap mengatakan bahwa Informan A dan teman-teman Orang Keturunannya adalah Cina, bukan Orang Keturunan. Meski begitu, Informan A yang saat itu berada pada masa awal remaja, belum merasa sebagai bagian dari kelompok etnis Cina. Ia melihat bahwa Cina adalah sekelompok penduduk keturunan Cina nun jauh di daerah perkotaan, tidak memiliki hubungan apapun dengan komunitas desanya. Sekolah, ya, sekolah kan awalnya guru kita juga nggak bisa kan kita ditanya jawabnya Orang Keturunan,

kita kan Cina. Gitu, Cina, bukan Orang Keturunan . Informan A tidak melanjutkan kita kan Cina. Gitu, Cina, bukan Orang Keturunan . Informan A tidak melanjutkan

Informan A lulus dari jenjang SMA pada tahun 1981. Pada saat yang bersamaan, ia merasa bahwa identitas agama dan budaya Orang Keturunan sudah tidak cocok baginya. Hal ini dikarenakan anggapan Informan A dan pemuda Orang Keturunan lainnya pada Desa Situgadung, yang melihat bahwa budaya Orang Keturunan tidak memacu kehidupan mereka untuk menjadi lebih baik. Secara terus terang, Informan A memaparkan bahwa Agama Buddha dan kebudayaan Orang Keturunan tidak dapat membuat kehidupannya menjadi lebih baik. Informan A dengan gamblang menyatakan bahwa identitas agama dan budaya Orang Keturunan identik dengan kemiskinan. Pandangannya terpicu oleh beberapa orang saudaranya yang telah berhasil menjadi lebih kaya setelah memasuki Agama Kristen Pantekosta.

…ya, begitulah, ya waktu itu, saya SMA…maksud saya udah lulus SMA ju ga udah agak…agak bergesekan juga ya, sama kepercayaan Buddha. Saya cuman sampe SMA aja, saya lulus ya, taun ’81 lah, saya lulus. Iya, saya

nggak bisa kan kayak gini terus [Memiliki kehidupan yang tidak berubah- Penulis], soalnya kan…saya juga gak ngerti in i sembahyang maksudnya apa…ini tuh apa, kan kayak gitu? Soalnya…ya, saya liat dari beberapa

orang, termasuk sodara saya, Kang Wah, Kang Wie…kakak -beradik sodara saya. Ya mereka kan itu kayak…bisa kan jadi lebih baik kehidupannya, ya, karena dibantu, sama Pendeta A [Seorang Pendeta Senior Gereja Pantekosta Indonesia cabang Serpong; Nama dirahasiakan-Penulis] , almarhum. Seperti itu. Kalo kita bicara orang vihara, mana ada yang bantu kita kan? Ya, bukan maksudnya begitu, ya, ada lah, mereka sering bantu juga, tapi kan gak sampe kayak orang Kristen. Iya, orang Islam kan di sini juga jarang bantu. Iya, saya jadi semakin bingung…katakanlah…jadi mempertanyakan Agama Buddha.

Pemicu tersebut salah satunya diakibatkan oleh sepupu Informan A dan Orang Keturunan yang tinggal pada Desa Sampora. Berdasarkan pemaparan Informan A yang telah diberikan, dua orang sepupunya mendapatkan bantuan berupa investasi material dan sosial oleh Gereja Pantekosta Indonesia setelah mereka memasuki Agama Kristen. Kedua sepupunya merupakan beberapa penduduk Orang Keturunan di Desa Situgadung yang tertarik dengan ajaran Agama Kristen setelah berinteraksi dengan salah seorang pendeta Gereja Pantekosta Indonesia cabang Serpong. Di lain pihak, alasan lain yang memicu kekecewaan Informan A terhadap identitas Orang Keturunan dipicu oleh komunitas Orang Keturunan di desa tetangga, yakni Desa Sampora. Ia berkata bahwa Orang Keturunan pada Desa Sampora dapat memiliki

“pengaruh” yang lebih besar karena kedekatan mereka dengan pribumi sebagai pihak yang dapat memberikan “pegaruh”. Terlebih saat mereka dapat mengaku sebagai pribumi. “Pengaruh” postif mereka dapat ditambah dengan memiliki gelar Agama Islam. Hal ini dibuktikan dengan adanya seorang pejabat Desa Sampora yang

memiliki latar belakang Orang Keturunan yang beragama Islam (Inisial EY). Di lain pihak, Informan A menceritakan bahwa Orang Keturunan pada Desa Situgadung

yang dipisahkan oleh Belanda, dan baru kembali ke desa mereka pada akhir 1950’an hingga awal 1960’an tidak memiliki pengalaman untuk “mendekati” pribumi. Kisah

ini diceritakannya seperti dalam kutipan wawancara mendalam berikut. Kita deketin pribumi kan gak ada juga pengalamannya. Iya, saya kan udah cerita juga kan ya, jadi kita nggak ada pengalaman sama orang Islam. Tapi bukan berati kita saling benci ya, nggak tapi kita damai-damai aja. Iya, itu.

Tergerak oleh dua fenomena tersebut, Informan A memutuskan untuk menjadi seorang Kristen. Pada akhirnya, keputusannya untuk menjadi penganut Agama Kristen diikuti oleh empat orang saudara kandungnya. Sementara itu, ayah dan ibunya tetap beragama Buddha hingga akhir hayat mereka berdua. Dalam kisahnya, kedua orang tuanya tidak bisa berkata banyak untuk mengahalangi pilihan Informan

A. Meski demikian, Informan A berjanji tetap memelihara hubunan baik dan merawat kedua orang tuanya yang sudah semakin tua. Ia beranggapan bahwa pendiriannya ini memudahkan izin kedua orang tuanya untuk memeluk Agama Kristen. Salah satu A. Meski demikian, Informan A berjanji tetap memelihara hubunan baik dan merawat kedua orang tuanya yang sudah semakin tua. Ia beranggapan bahwa pendiriannya ini memudahkan izin kedua orang tuanya untuk memeluk Agama Kristen. Salah satu

mengatakan bahwa agama tersebut merupakan sebuah “jalan keluar” untuk dapat mencapai kehidupan yang lebih baik. Bahkan, kini anak ketiga Informan A baru

menjadi seorang pendeta. Informan A menuturkan dalam salah satu wawancara bahwa Agama Kristen merupakan sebuah “anugrah untuk lebih maju dan sejahtera”.

Dalam konteks Desa Sampora dan Situgadung, Gereja Pantekosta Indonesia mulai melakukan kegiatan membangun hubungan dengan komunitas Orang Keturunan setidaknya sejak tahun 1981, seiring dengan dibentuknya kantor pusat Gereja Pantekosta Indonesia cabang Serpong. Dengan inisiasi salah seorang pendeta senior, yakni Pendeta A, ia melakukan misionari secara terbatas pada penduduk Cina di Desa Situgadung. Salah satu kendalanya adalah belum adanya pendeta yang dapat turun ke masyarakat sekitar. Beberapa penduduk desa yang merupakan Orang Keturunan menjadi pengikut Agama Kristen. Jumlah penduduk Orang Keturunan yang masuk ke Kristen Pantekosta masih terbatas. Hanya ada beberapa penduduk Orang Keturunan yang tertarik untuk memasuki Agama Kristen, salah satunya adalah beberapa sepupu Informan A.

Ya, dari ’84 saya udah kenal [Dengan Pendeta A -Penulis] . Udah lama. Saya ya, dikenalin sama Kang Wah juga. Saya dikenalin buat ngedalemin ilmu saya tentang Kristen. Kan saya baru masuk Kristen taun ’82, taun ’82 saya baru masuk Kristen.

Informan A mengatakan bahwa ia memasuki Agama Kristen karena tertarik setelah melihat beberapa sepupunya yang menjadi semakin kaya dengan memasuki agama tersebut. Informan A pun masuk Agama Kristen pada tahun 1982. Namun ia mengakui bahwa saat itu, pengetahuannya tentang Agama Kristen masih belum baik.

Lama-kelamaan akibat kekerabatan yang kuat sesama penduduk keturunan Cina di Desa Situgadung, semakin banyak pula anggota keluarga yang mengikuti kerabat mereka untuk memasuki Agama Kristen dengan denominasi Pantekosta. Dengan kian pesatnya perluasan kota mandiri Bumi Serpong Damai setelah tahun 1984, bertambah pula jumlah unit pelayanan umat Kristiani di sekitar Desa Situgadung. Hal ini secara tidak langsung merupakan dampak bertambahnya penduduk Kristen pada sekitar Desa Sampora dan Situgadung karena migrasi penduduk Cina yang beragama Kristen ke sekitarnya. Arus perpindahan penduduk Cina baru kian bertambah seiring kian pesatnya pembangunan perumahan Bumi Serpong Damai. Maka, penduduk Cina pada Desa Situgadung yang memiliki hubungan yang relatif dekat dengan penduduk Cina pada perumahan Bumi Serpong Damai semakin terbuka terhadap ajaran Kristen.

Selain timbulnya penganut Kristen, dibangunnya perumahan Bumi Serpong Damai di dekat Desa Situgadung memiliki pengaruh lain dalam kehidupan Orang Keturunan seperti Informan A. Dengan adanya keinginan untuk memiliki “hubungan dekat” dengan kelompok lain, namun di satu sisi mereka tidak memiliki “pengalaman” yang cukup baik dengan penduduk pribumi, maka datangnya penduduk Cina di sekitar desa mereka merupakan jawaban atas hal tersebut. Dengan adanya interaksi dengan penduduk Cina, disebutlah Informan A dan penduduk Cina lain pada desanya sebagai Cina. Terkadang Informan A dan beberapa warga juga menggunakan istilah Chinese, yang dianggap sepadan dengan Cina. Sebab, penduduk Cina pada perumahan Bumi Serpong Damai menerima kehadiran mereka dengan baik. Maka, Orang Keturunan seperti Informan A diberi sebutan Cina sebagai dasar kesamaan. Ia mengatakan bahwa penduduk keturunan Cina dari Bumi Serpong Damai-lah yang memberikan istilah Cina/Chinese, yang dibanggakannya. Informan A memiliki kebanggaan dengan Cina/Chinese karena ia merasa bahwa usahanya untuk lepas dari budaya Orang Keturunan telah membuahkan hasil. Hasil yang dimaksud tak lain adalah penerimaan oleh penduduk Cina dari perumahan Bumi Serpong Damai. Lama-kelamaan penduduk Cina yang menetap di Bumi Serpong Damai pun kian bervariasi dalam hal kebudayaan. Mereka semakin beragam dalam latar Selain timbulnya penganut Kristen, dibangunnya perumahan Bumi Serpong Damai di dekat Desa Situgadung memiliki pengaruh lain dalam kehidupan Orang Keturunan seperti Informan A. Dengan adanya keinginan untuk memiliki “hubungan dekat” dengan kelompok lain, namun di satu sisi mereka tidak memiliki “pengalaman” yang cukup baik dengan penduduk pribumi, maka datangnya penduduk Cina di sekitar desa mereka merupakan jawaban atas hal tersebut. Dengan adanya interaksi dengan penduduk Cina, disebutlah Informan A dan penduduk Cina lain pada desanya sebagai Cina. Terkadang Informan A dan beberapa warga juga menggunakan istilah Chinese, yang dianggap sepadan dengan Cina. Sebab, penduduk Cina pada perumahan Bumi Serpong Damai menerima kehadiran mereka dengan baik. Maka, Orang Keturunan seperti Informan A diberi sebutan Cina sebagai dasar kesamaan. Ia mengatakan bahwa penduduk keturunan Cina dari Bumi Serpong Damai-lah yang memberikan istilah Cina/Chinese, yang dibanggakannya. Informan A memiliki kebanggaan dengan Cina/Chinese karena ia merasa bahwa usahanya untuk lepas dari budaya Orang Keturunan telah membuahkan hasil. Hasil yang dimaksud tak lain adalah penerimaan oleh penduduk Cina dari perumahan Bumi Serpong Damai. Lama-kelamaan penduduk Cina yang menetap di Bumi Serpong Damai pun kian bervariasi dalam hal kebudayaan. Mereka semakin beragam dalam latar

…itu saya jualan burung peliharaan. Itu burung kenari tuh, ada dua puluhan sekarang. Sama saya baru juga jual makanannya. Iya, awalnya ke orang- orang BSD [Bumi Serpong Damai-Penulis] tuh. Terus jangkauan saya bisa jadi lebih luas tuh, karena kenalan pelanggan saya di BSD. Jadi kalo ada

orang…misalkan Jakarta lah, mau beli, itu…dikenalin sama pelanggan saya

yang orang BSD.

Jika dibandingkan dengan istilah sebelumnya, yakni Cina/Chinese, Informan A lebih merasa bangga dengan Cina Benteng, sebab, selain adanya rasa penerimaan dan usaha pelepasan identitas Orang Keturunan yang berhasil, terdapat satu alasan utama atas rasa bangga Informan A terhadap istilah Cina Benteng. Ia dan komunitasnya sepakat memberikan sebuah makna akan nama Cina Benteng. Menurutnya, istilah Cina Benteng didefin isikan olehnya sebagai “Orang Cina yang berhasil kabur dari keterpurukan menuju kehidupan yang lebih baik”. Definisinya tak lain adalah versi

lokal atas definisi objektif akan Cina Benteng, yang merupakan keturunan pelarian Cina yang kabur akibat Batavia Massacre pada tahun 1740, seperti yang diungkapkannya berikut ini. Kan katanya orang Cina Benteng kan yang kabur dari pembantaian kan? Ya, soalnya kan, kita pengennya lari dari kemiskinan kan, dari dosa, kita tobat masuk Kristen, jadi itulah istilahnya pela rian kita. Dengan kata lain, identitas Cina Benteng tidak hanya diberikan secara sepintas oleh penduduk Cina pada Bumi Serpong Damai. Cina Benteng bahkan diberikan makna khusus oleh pihak yang lokal atas definisi objektif akan Cina Benteng, yang merupakan keturunan pelarian Cina yang kabur akibat Batavia Massacre pada tahun 1740, seperti yang diungkapkannya berikut ini. Kan katanya orang Cina Benteng kan yang kabur dari pembantaian kan? Ya, soalnya kan, kita pengennya lari dari kemiskinan kan, dari dosa, kita tobat masuk Kristen, jadi itulah istilahnya pela rian kita. Dengan kata lain, identitas Cina Benteng tidak hanya diberikan secara sepintas oleh penduduk Cina pada Bumi Serpong Damai. Cina Benteng bahkan diberikan makna khusus oleh pihak yang

beralih mata pencaharian ke perdagangan, mulai menggunakan untuk kembali istilah Cina Benteng bagi mereka sendiri. Dengan kata lain, dengan beragama Kristen dan bermata pencaharian sebagai pedagang, maka Informan A serta kerabatnya dapat mengaku sebagai Cina Benteng. Hal ini tentu juga dimungkinkan karena adanya pengakuan dan penerimaan penduduk Cina di Bumi Serpong Damai.

Pada tahun 1988, Informan A, seperti halnya kerabat dan tetangganya, bermigrasi ke Jakarta guna mencari kerja. Hal ini tak lepas dari bantuan kerabat Informan A yang telah memasuki Kristen dan pendeta Gereja Pantekosta Indonesia yang menurutnya selalu memberikan bantuan berupa investasi secara fisik dan sosial. Seperti yang Informan A paparkan berikut ini, adanya kekerabatan yang erat diantara teman, tetangga, dan Cina Benteng lainnya membantunya untuk mencari kerja dan hidup di Jakarta. Yang ngedorong saya waktu dulu buat merantau, ya, temen-temen kerja juga, maksudnya temen-temen di sini. Ya, kita saling ngebatu lah. Kan kayak yang udah saya bilang, kita kekerabatannya kuat, ya kan? Baik yang sudah terlebih dahulu merantau ke Jakarta, maupun yang pergi bersamanya. Di Jakarta ini pula ia menikah dengan seorang perempuan Cina Kristen yang dibesarkan di Jakarta. Selama di Jakarta pula, ia tinggal di beberapa rumah kontrakan di Jakarta Barat dan Utara, yang sebagian merupakan hasil bantuan kerabatnya dan pendeta Gereja Pantekosta Indonesia. Mulai tahun 1988 hingga tahun 1996, Informan A beserta keluarganya telah mengontrak berbagai rumah di lokasi yang berbeda-beda. Informan A mengaku bahwa saat di Jakarta ia bekerja di Bank Perkreditan Rakyat sebagai seorang manajer sekuriti. Pekerjaan ini juga merupakan hasil bantuan para kerabatnya pula. Informan A mempunyai motif untuk memiliki mata pencaharian yang berbeda dengan generasi orang tuanya.

Ya, gimana ya…saya nyari kerja juga karena ingin kayak Kang Wah, sepupu saya. Awalnya dia tinggal di deket hutan sana . Terus abis itu dia bisa jadi berkecukupan lah. Padahal sehari-hari juga jadi pendeta. Dibilangnya dulu ini masih kampung lah, kita di Jakarta mau nyari kerja. Di sini mah nggak Ya, gimana ya…saya nyari kerja juga karena ingin kayak Kang Wah, sepupu saya. Awalnya dia tinggal di deket hutan sana . Terus abis itu dia bisa jadi berkecukupan lah. Padahal sehari-hari juga jadi pendeta. Dibilangnya dulu ini masih kampung lah, kita di Jakarta mau nyari kerja. Di sini mah nggak

Saat menetap di Jakarta, para Cina Benteng pada Desa Situgadung mendapatkan istilah Cina Udik dari penduduk Cina di Jakarta Utara. Berbeda dengan istilah Cina Benteng, Informan A mengakui, ia tahu bahwa istilah tersebut digunakan untuk komunitas Cina Benteng dari Desa Situgadung. Namun, ia mengatakan bahwa ia dan Cina Benteng di Desa Situgadung lainnya tidak menyukainya, sehingga istilah Cina Udik tidak bertahan hingga kini. Dengan kata lain, Informan A yang saat itu sudah berambisi untuk meninggalkan identitas Orang Keturunan, tidak suka untuk disebut dengan istilah identitas yang sejenisnya.

Ya, waktu itu kan kita juga Cina kan ya…udah Cina lah istilahnya. Cuman orang-orang Cina di sana kayak bilang kita itu kan Cina Udik, Cina Udik ke

kita. Soalnya kita kan juga dikira masih petani di daerah belakang kota kali begitu ya?

Kan kesannya kayak kita itu…kita itu beda, bukan Cina asli. Kayak agak ngerendahin juga. Padahal saya kan udah ngaku sama…bangga lah jadi Cina. Cuman kok be da ya? Ya, sejak itu saya punya tekad, “Iya, saya emang Cina yang beda, tapi saya bisa jadi Cina juga.”

Lebih lanjut, Cina Udik sudah digunakan bagi komunitas Orang Keturunan dari desa Informan A saat mereka direlokasi Belanda ke kamp-kamp tahanan di Jakarta. Dengan kata lain, kata Cina Udik dulu pernah digunakan pula kepada Orang Keturunan satu generasi di atas Informan A. Hal inilah yang juga membuatnya semakin tidak suka dengan istilah yang dianggapnya merendahkan, meskipun istilah tersebut sudah mengand ung kata “Cina”.

Pada tahun 1996, setelah merasa memiliki cukup modal dan pengalaman, Informan A beserta istri dan keluarganya pulang ke Desa Situgadung. Mereka menempati rumah peninggalan orang tua Informan A. Rumah ini tak lain merupakan rumah tempat dimana Informan A dibesarkan sejak kanak-kanak, seperti yang sudah dijelaskan pada bagian awal. Ia bertekad untuk menjadi seorang pengusaha, dan tidak menggantungkan hidupnya sebagai petani atau peternak. Pada tahun 1996, pembangunan Bumi Serpong Damai sebagai sebuah kota mandiri sudah sangat Pada tahun 1996, setelah merasa memiliki cukup modal dan pengalaman, Informan A beserta istri dan keluarganya pulang ke Desa Situgadung. Mereka menempati rumah peninggalan orang tua Informan A. Rumah ini tak lain merupakan rumah tempat dimana Informan A dibesarkan sejak kanak-kanak, seperti yang sudah dijelaskan pada bagian awal. Ia bertekad untuk menjadi seorang pengusaha, dan tidak menggantungkan hidupnya sebagai petani atau peternak. Pada tahun 1996, pembangunan Bumi Serpong Damai sebagai sebuah kota mandiri sudah sangat

Informan A dan keluarganya berhasil keluar dari kesulitan oleh bantuan pendeta Gereja Pantekosta Indonesia dan kerabatnya sesama Cina Benteng. Informan

A kini mengembangkan usaha jual-beli burung peliharaan beserta makanannya. Bersama istrinya, ia juga mengelola sebuah warung/toko kelontong di depan rumahnya. Usaha jual-beli burung peliharaan yang dirintis Informan A merupakan sebuah bisnis yang menurutnya menghasilkan keunungan yang lumayan. Ia bahkan sanggup membeli sebuah motor besar/”motor gede” dan komputer dari akumulasi

omzetnya. Rumahnya pun kini memiliki akses internet. Pelanggan usaha burung peliharaan Informan A tersebar di berbagai wilayah Jabodetabek. Mulanya Informan

A hanya melakukan jual-beli sebatas pada penduduk Bumi Serpong Damai saja. Dalam hal ini Informan A berterima kasih atas para pelanggan pertamanya dari Bumi Serpong Damai. Sebab, dari merekalah Informan A kerap diperkenalkan ke kenalannya yang tertarik di berbagai daerah. Di satu sisi, warung yang dikelola bersama istrinya hanya berperan sebagai sumber pendapatan sampingan saja. Sehari- harinya hanya warga desa sekitar yang biasa membeli barang-barang dari tokonya.

Pada saat yang bersamaan, Gereja Panteksota Indonesia cabang Serpong mengutus Pendeta J, untuk melakukan misionari pada Desa Situgadung. Pendeta J yang masih merupakan seorang pendeta muda Gereja Pantekosta Indonesia baru saja Pada saat yang bersamaan, Gereja Panteksota Indonesia cabang Serpong mengutus Pendeta J, untuk melakukan misionari pada Desa Situgadung. Pendeta J yang masih merupakan seorang pendeta muda Gereja Pantekosta Indonesia baru saja

“gembala” lokal yang turut menyebarkan Agama Kristen.

…kemudian, kantor pusat gereja taun ’99 mengutuslah, seorang gembala baru. Namanya Jonathan. Mereka perlu lah, soalnya beliau juga udah nggak

sehat juga waktu itu. Pendeta Jonathan, anggota dari organisasi gereja ini. Ini gereja Pantekosta. Jadi, eeh…dia itu masuk ke sini itu mulai dari no l.

Pertama memang dia sudah kenal sama saya, kan dulu saya sempet kenal juga, sempet ketemu juga di sana sebelum taun ’99. Jadi…pertama kita

mulai dari keluarga sini [Salah satu tetangganya-Penulis] , itu yang di depan. Di daerah itu, taun…1999.

Pada bagian sebelumnya di kisah ini, Informan A terkesan masih belummemiliki pengetahuan yang dalam mengenai Agama Kristen. Kini, iatelah memiliki pengetahuan yang luas mengenainya. Bahkan ia telah hafal ayat-ayat yang terkandung dalam Alkitab. Selama diwawancarai, Informan A pernah mendiktekan setidaknya dua ayat Alkitab tanpa melihatnya. Kedua ayat yang dimaksud adalah Matius 14 ayat 46 dan Yohannes 6 ayat 27. Berdasarkan pemaparan tambahan Informan A, Kantor Gereja Pantekosta cabang Serpong merasa perlu untuk menempatkan seorang pendeta pada desanya.

Awalnya waktu itu, saya sering berhubungan sama kerja sama bareng Pedeta A [Pendeta Senior; Nama dirahasiakan- Penulis], ya…kemudian, kantor pusat gereja taun ’99 mengutuslah, seorang gembala baru. Namanya J [Nama dirahasiakan-Penulis] . Mereka perlu lah, soalnya beliau [Pendeta A-Penulis] juga udah nggak sehat juga waktu itu.

Informan A akhirnya bekerja sama dengan seorang pendeta muda, yakni Pendeta J untuk melakukan misionari diantara penduduk Orang Keturunan di Desa Situgadung. Hingga kini, Pendeta J masih melayani mereka dan bertindak sebagai pendeta pada gereja satu-satunya yang terdapat di Desa Situgadung. Namun, misionari tersebut secara terbatas hanya dilakukan pada Desa Situgadung, dan tidak dilakukan pada

Desa Sampora ataupun desa lainnya. Para penganutnya pun semuanya berasal dari keturunan Cina, tidak ada jemaat Pantekosta yang memiliki latar belakang etnis pribumi.

Nggak…ada, sedikit sekali, ya yang saya tau cuman orang Cina Benteng yang nikah sama pribumi, terus pribuminya kan ikut agamanya gitu. Kebanyakan Cina. Tapi kalo daerah sini ya [Desa Situgadung-Penulis] , orang Cina itu lebih menerima, lebih terbuka ketimbang orang pribumi sama pendeta, dan juga kegiatan saya.

Pihak kantor gereja sudah mengetahui adanya fenomena masuk Kristen pada Orang Keturunan di Desa Situgadung. Namun, dari jumlah keseluruhan penduduk Orang Keturunan di tahun 1999, pemeluk Agama Kristen kurang lebih hanya setengah dari total penduduk Orang Keturunan. Informan A merasa senang dengan kabar ini, bahkan ia sudah mulai berencana untuk terlibat dalam misionari dengan Pendeta J. Peristiwa tersebut terjadi tepatnya pada tahun 1999. Peneliti sudah berbicara langsung pada Pendeta J, pada kunjungan lapangan tanggal 21 April 2013 di rumah ibadah Persekutuan Pantekosta Situgadung. Berdasarkan penuturan Pendeta J sebagai gatekeeper , para pendeta biasa disebut sebagai “gembala”. Lebih lanjut, Pendeta J, seorang pribumi Minahasa yang tinggal di perumahan Bumi Serpong Damai, megatakan bahwa sikap masyarakat lokal terhadap misionari ini dapat dikatakan “sangat terbuka”. Informan A juga menuturkan bahwa secara keseluruhan komunitas Orang Keturunan menerima aktivitasnya, meski Informan A mengatakan bahwa tidak ada paksaan bagi warga untuk memasuki Agama Kristen. Namun, Informan A dan Pendeta J mengatakan bahwa mereka tidak memiliki jemaat yang memiliki latar belakang etnis pribumi. Bersama dengan Informan A, ia melakukan misionari diantara kalangan penduduk Orang Keturunan dengan sarana yang terbatas. Salah satunya hanya dengan sebuah motor untuk tiga orang “gembala”. Jalan saat itu masih ada yang belum diaspal, sehingga suatu waktu motor yang ditumpangi Informan A, Pendeta J, dan seorang “gembala” sempat terjatuh.

Kerja keras Informan A dan Pendeta J pada akhirnya membuahkan hasil. Hasil misionari yang dilakukan bersama-sama dengan Pendeta J adalah berdirinya

Persekutuan Gereja Pantekosta Desa Situgadung dengan Pendeta J yang biasa mengisi acara Kebaktian Minggu. Awalnya, mereka tidak memiliki tempat ibadah yang permanen. Kebaktian hanya dilakukan di belakang rumah penduduk seacar bergilir. Bahkan, bila jemaat terlampau banyak, kebaktian terkadang dilakukan pada lapangan terbuka. Namun karena semakin bertambahnya jemaat dengan pesat, mereka memerlukan adanya tempat ibadah khusus. Barulah pada tahun 2007, Desa Situgadung memiliki sebuah rumah ibadah yang dikhususkan bagi anggota persekutuan Gereja Pantekosta. Rumah ibadah tersebut terletak di sebuah ruangan khusus di bagian belakang rumah Informan A yang interiornya dipenuhi oleh ornamen salib, gambar Yesus Kristus, serta Perjamuan Terakhir seperti yang dapat terlihat pada gambar berikut.

Gambar 5.3. Interior Ruang Ibadah Persekutuan Gereja Pantekosta Desa

Situgadung

Banyak ornamen serta aksesori khas Kristen yang telah menggantikan peralatan ibadah agama tradisional Cina keluarga Informan A. Saat Informan A masih kanak- kanak, rumahnya memiliki sebuah meja persembahan. Kini meja itu telah tergantikan oleh salib. Akibat peran rasa kekerabatan yang erat, pada akhirnya, Kristen menjadi agama mayoritas pada Desa Situgadung.

Nah kalo keliling ini, penduduk ini, jemaat ini rata-rata masih muda. Di sini, di sebelah sana, di rumah sana, sebelahnya juga. Itu Kristen semua. Sampe Puspitek. Kalo selanjutnya ke sana orang Islam, bukan Cina. Kalo anggota

persekutuan di sini kita yah…hubungannya kekeluargaan ya, ya biar makin

banyak jemaatnya, tapi, begitulah.

Hingga kini, perkembangan Kristen Pantekosta telah mencapai tahapan dimana mayoritas penduduk Cina di Desa Situgadung beragama Kristen. Desa Situgadung bahkan memiliki sebuah Gereja Pantekosta dengan Pendeta J bertugas setiap minggu untuk mengisi kebaktian. Pendeta J sendiri mengakui bahwa dalam waktu dekat, ia memerlukan seorang pendeta muda lain untuk melakukan hal yang sama pada sebagian umat Kristen Desa Situgadung. Hal ini dilakukan agar jemaat gereja dapat terpecah, sehingga tidak ada kasus kelebihan kapasistas. Umat Kristen di Desa Situgadung tergabung ke dalam Persekutuan Pantekosta Situgadung dengan Informan

A sebagai ketuanya. Fenomena misionari yang cenderung berhasil ini juga dikonformasi oleh Informan TEH, seorang penduduk Desa Situgadung yang merupakan segelintir penduduk desa yang masih beragama Buddha.

Ada itu yang ngontrakin, tetangga saya, Pak A [Informa n A-Penulis] ! Dia manggil pendeta! Ya, pendeta, setiap hari Minggu. Ya. Orang-orang Chinese semua, katanya Cina Benteng. Ada itu pendetanya! Mau nyebarin Agama Kristen. Udah banyak dia punya jemaat! Udah banyak! Jangan salah.

Para jemaat Orang Keturunan yang memasuki Agama Kristen secara serempak mengidentifikasi dan diidentifikasi juga sebagai Cina Benteng. Hal tersebut juga diakui oleh Pendeta J, yang merupakan penduduk luar Desa Situgadung. Seperti yang ia katakan kepada peneliti pada tanggal 21 April 2013, Pendeta J mengatakan bahwa para jemaatnya adalah Cina Benteng. Dengan kata lain, ada semua warga Cina Benteng pada Desa Situgadung sudah sepakat untuk menamai mereka sebagai Cina Benteng. Kini, Informan A hidup bersama istrinya di rumah peninggalan orang tuanya. Namun sayang, orang tuanya kini telah tiada. Ibunya yang sempat dijumpai oleh peneliti di saat kunjungan pertama telah meninggal dunia di tahun ini. Ketiga orang anaknya telah memiliki tempat tinggal masing-masing. Terkadang Informan A juga mengantar dan menjemput salah seorang cucunya yang sekarang sedang berada di jenjang Taman Kanak-Kanak. Informan A memiliki beberapa harapan dan rencana Para jemaat Orang Keturunan yang memasuki Agama Kristen secara serempak mengidentifikasi dan diidentifikasi juga sebagai Cina Benteng. Hal tersebut juga diakui oleh Pendeta J, yang merupakan penduduk luar Desa Situgadung. Seperti yang ia katakan kepada peneliti pada tanggal 21 April 2013, Pendeta J mengatakan bahwa para jemaatnya adalah Cina Benteng. Dengan kata lain, ada semua warga Cina Benteng pada Desa Situgadung sudah sepakat untuk menamai mereka sebagai Cina Benteng. Kini, Informan A hidup bersama istrinya di rumah peninggalan orang tuanya. Namun sayang, orang tuanya kini telah tiada. Ibunya yang sempat dijumpai oleh peneliti di saat kunjungan pertama telah meninggal dunia di tahun ini. Ketiga orang anaknya telah memiliki tempat tinggal masing-masing. Terkadang Informan A juga mengantar dan menjemput salah seorang cucunya yang sekarang sedang berada di jenjang Taman Kanak-Kanak. Informan A memiliki beberapa harapan dan rencana

Penuturan Informan A bukan sekedar fenomena yang terjadi dan dimaknai terbatas pada dirinya. Pada akhirnya, pengalaman Informan A juga terjadi pada banyak Cina Benteng lain pada Desa Situgadung. Oleh karena itu, penuturan dan pengalamannya dianggap dapat mewaliki pengalaman Cina Benteng lain, sebab, berdasarkan penuturannya, mereka mengalami masa-masa yang sama dengannya.

Kalo saya dan juga tetangga sama kerabat yang sekarang ini Cina Benteng itu, dulu, ya dulu ngakunya yang udah saya ceritain itu. Menurut saya, sama lah! Ceritanya. Ya, soalnya kan kita kalo dibilang ngalamin hal yang sama, kan juga ngalamin hal yang sama. Ya ceritanya dulu kan, kita juga merantau sama-sama iya, orang tua kita juga ngalamin yang namanya ditaroh dipindiain ke kamp Belanda kan juga iya.

Dari kisah hidup Informan A, fenomena transformasi Orang Keturunan menjadi Cina Benteng merupakan sebuah fenomena sosial. Maka, mayoritas penduduk keturunan Cina pada Desa Situgadung menyebut diri mereka sebagai Cina Benteng. Berdasarkan perjalanan hidupnya, Informan A sempat memiliki beberapa identitas

yang ia pakai, dan beberapa identitas yang hanya sekedar “diberikan” oleh pihak luar, tanpa pernah diakui oleh Informan A. Kisah hidupnya dan berbagai identitas yang

telah ia gunakan digambarkan dalam bagan yang menunjukkan identitas yang masih ia aktifkan dan non-aktifkan berikut ini.

Gambar 5.4. Berbagai Identitas Informan A yang Aktif dan Tidak Aktif

A adalah simbol yang digunakan untuk Informan A. Sementara dua bulatan oval di atasnya mencerminkan ingatannya akan identitas yang pernah ia dengar. Bulatan oval di bagian yang paling atas menunjukkan berbagai identitas yang tidak pernah terpakai secara aktif, namun hanya secara pasif. Sementara bulatan oval bagian bawah dengan tulisan berwarna oranye, adalah berbagai identitas yang ia pakai secara aktif, bukan secara pasif. Tanda panah yang semakin semakin besar, mengindikasikan bahwa Informan A semakin mengidentifikasi identitas yang bersangkutan. Seperti yang telah dipaparkan dalam kisah hidupnya, Cina Benteng adalah identitas yang paling diakuinya kini. Sementara Cina/Chinese sudah kurang diakuinya, karena identitas tersebut telah digantikan oleh Cina Benteng. Sementara itu, garis patah-patah menunjukkan bahwa Informan A hanya sering mengaku bahwa ia adalah mantan Orang Keturunan. Sementara itu, berbagai identitas seperti Tionghoa, Orang Selam, dan Cina Udik tidak pernah dipakai oleh Informan A dalam kehidupan sehari-harinya secara aktif. Hal ini menunjukkan bahwa istilah Orang Keturunan bukanlah sebuah istilah yang sudah hilang, namun sebuah istilah yang A adalah simbol yang digunakan untuk Informan A. Sementara dua bulatan oval di atasnya mencerminkan ingatannya akan identitas yang pernah ia dengar. Bulatan oval di bagian yang paling atas menunjukkan berbagai identitas yang tidak pernah terpakai secara aktif, namun hanya secara pasif. Sementara bulatan oval bagian bawah dengan tulisan berwarna oranye, adalah berbagai identitas yang ia pakai secara aktif, bukan secara pasif. Tanda panah yang semakin semakin besar, mengindikasikan bahwa Informan A semakin mengidentifikasi identitas yang bersangkutan. Seperti yang telah dipaparkan dalam kisah hidupnya, Cina Benteng adalah identitas yang paling diakuinya kini. Sementara Cina/Chinese sudah kurang diakuinya, karena identitas tersebut telah digantikan oleh Cina Benteng. Sementara itu, garis patah-patah menunjukkan bahwa Informan A hanya sering mengaku bahwa ia adalah mantan Orang Keturunan. Sementara itu, berbagai identitas seperti Tionghoa, Orang Selam, dan Cina Udik tidak pernah dipakai oleh Informan A dalam kehidupan sehari-harinya secara aktif. Hal ini menunjukkan bahwa istilah Orang Keturunan bukanlah sebuah istilah yang sudah hilang, namun sebuah istilah yang