Analisis Substansi Fenomena

6.1. Analisis Substansi Fenomena

Sebelumnya, kisah akan perubahan Orang Keturunan menjadi Cina Benteng sudah dipaparkan, lengkap dengan penjabaran masing-masing istilah dengan agen sosialnya. Maka, bagian ini akan mengupas fenomena tersebut dalam tatanan yang abstrak. Bab 5 telah menjelaskan sebatas deskripsi mengenai fenomena yang bersangkutan dari kisah hidup Informan A. Namun, penjelasan yang mendalam atas perubahan yang dimaksud belum diberikan. Bagian ini akan memberikan penjelasan atas apa yang membuat komunitas Orang Keturunan di Desa Situgadung untuk menjadi Cina Benteng. Hal ini diperlukan untuk mengambarkan secara mendalam proses perubahan yang sudah dijelaskan. Dalam bagian ini, pada awalnya peneliti Sebelumnya, kisah akan perubahan Orang Keturunan menjadi Cina Benteng sudah dipaparkan, lengkap dengan penjabaran masing-masing istilah dengan agen sosialnya. Maka, bagian ini akan mengupas fenomena tersebut dalam tatanan yang abstrak. Bab 5 telah menjelaskan sebatas deskripsi mengenai fenomena yang bersangkutan dari kisah hidup Informan A. Namun, penjelasan yang mendalam atas perubahan yang dimaksud belum diberikan. Bagian ini akan memberikan penjelasan atas apa yang membuat komunitas Orang Keturunan di Desa Situgadung untuk menjadi Cina Benteng. Hal ini diperlukan untuk mengambarkan secara mendalam proses perubahan yang sudah dijelaskan. Dalam bagian ini, pada awalnya peneliti

6.1.1. Skema Perubahan Orang Keturunan ke Cina Benteng

Sebelum mengetahui alasan bagi Orang Keturunan di Desa Situgadung untuk merubah diri mereka menjadi Cina Benteng, berikut akan dijabarkan alur perubahan istilah Orang Keturunan hingga Cina Benteng. Skema ini didasarkan oleh pemaparan Informan A, guna memberikan gambaran akan ciri-ciri dan proses yang dilalui dalam berbagai tahapan. Alur perubahan identitas Orang Keturunan menuju Cina Benteng akan dijelaskan secara mikro.

Dalam hal ini fenomena pergantian identitas Orang Keturunan menuju Cina Benteng adalah fenomena sosiologis. Dimana pihak yang mengalami dan memaknai hal tersebut bukan saja Informan A, namun juga para kerabat dan tetangganya yang mengalami perjalanan hidup yang serupa. Berikut akan dijelaskan skema pengalaman perubahan tersebut dari masing-masing pihak yang telah peneliti temui di lapangan. Hal ini merupakan bukti bahwa setidaknya fenomena yang akan dijabarkan bukanlah fenomena individual saja, namun fenomena sosiologis, seperti yang dijelaskan oleh skema berikut.

Gambar 6.1. Kesamaan Pengalaman Perubahan Idenitas antara Informan A

dan Kerabatnya

Skema yang telah digambarkan setidaknya dapat memberikan gambaran secara lebih makro mengenai perubahan identifikasi dari Orang Keturunan menjadi Cina Benteng. Meski dalam hal ini peneliti tidak bermaksud untuk memperhatikan aspek keterwakilan dalam meneliti fenomena ini. Mengingat dua orang kerabat Informan A Skema yang telah digambarkan setidaknya dapat memberikan gambaran secara lebih makro mengenai perubahan identifikasi dari Orang Keturunan menjadi Cina Benteng. Meski dalam hal ini peneliti tidak bermaksud untuk memperhatikan aspek keterwakilan dalam meneliti fenomena ini. Mengingat dua orang kerabat Informan A

Ya, kalo dibilang banyak [Penduduk Cina yang memiliki kisah perubahan identifikasi sepertinya-Peneliti] , ya se-desa ini mirip lah. Soalnya kayak saya sama Kang Wah, merantau ke Jakarta, gitu juga. Hampir semua kan gitu, ya , namanya juga kita masih deket sama tetangga kan, sama kerabat, kerabat kita luas lah. Sama deket juga sama semua kerabat. Orang tua kita juga begitu. Diambil Belanda ke kamp, ya kan.

Kedua , Orang Keturunan yang pertama kali melakukan perubahan identifikasi identitas etnis adalah mereka yang berasal dari generasi Informan A, yakni mereka yang kebanyakan lahir pada tahun 1960’an.

Maka, untuk menjelaskan proses yang terjadi diperlukan untuk menjabarkan skema ini secara khusus. Sebab, berdasarkan penjabaran deskriptif dan analitikal mengenai proses perubahan Orang Keturunan ke Cina Benteng, dapat diketahui bahwa mereka memiliki banyak agen sosialisasi. Secara umum, terdapat keseragaman pola pengakuan identitas Cina Benteng pada Desa Situgadung dari masing-masing agen sosialisasi. Hanya saja, diantara pola yang dimaksud terdapat sedikit perbedaan pada masing-masing agen sosialisasi. Selain itu, penjabaran skema ini juga diperlukan untuk memberikan gambaran mengenai tingkatan perubahan identitas

mulai yang bersifat “non-Cina” hingga yang “paling Cina” 28 , berdasarkan kerangka berpikir informan. Dalam mendefinisikan diri mereka, etnis Cina di Indonesia selalu

dipengaruhi oleh berubah-ubanhnya kondisi politik dan sosial di Indonesia (Freedman, 2000: 89). Oleh karena itu, identifikasi diri etnis keturunan Cina di Desa

28 Penilaian semacam ini bukan berdasarkan kerangka berpikir peneliti.

Situgadung sudah pasti tidak lepas dari keadaan dan perubahan kondisi politik dan sosial di Indonesua secara lebih luas. Pengaruh fenomena sosial dan politik yang terjadi, baik secara makro, maupun secara mikro. Kedua jenis fenomena sosial dan politik ini, terutama yang makro, sudah divalidasi dengan berbagai macam literatur

ilmiah yang digunakan dalam tulisan ini. 29

Tabel 6.1. Daftar Fenomena Sosial dan Politik yang Memiliki Andil dalam Proses Perubahan

Fenomena Tahun

Pendudukan Jepang (Relawan Takasago) 1942-1945 Agresi Militer Belanda II

1948 Peristiwa Gedoran

1948 Orde Lama (Peristiwa Repatriasi

1959 Penduduk Keturunan Cina)

Orde Baru (G 30 S) 1965 Pembangunan Bumi Serpong Damai

1984-sekarang Misionari Gereja Pantekosta

1984-sekarang Bermukimnya Penduduk Cina dari

1984-sekarang Daerah Perkotaan di Bumi Serpong Damai.

29 Mengenai kronologi dan detail masing-masing fenomena sosial dan politik yang dimaksud, dapat dilihat pada La pira e ge ai Ta el Kro ologi .

Bila digambarkan secara menyeluruh, maka skema perubahan istilah yang digunakan oleh penduduk Desa Situgadung untuk mengidentifikasi diri mereka dapat dijelaskan oleh gambar skema berikut ini. Seperti yang sudah dikemukakan oleh Freedman (2000) dalam Political Participation and Ethnic Minorities , konteks sosial-politik secara luas akan mempengaruhi pembentukan cara identifikasi diri suatu kelompok etnis. Begitupun pula dalam kasus ini. Oleh karena itu, peneliti juga menyertakan deskripsi dalam skema yang akan digambarkan berupa latar sosial-politik yang turut membentuk identifikasi diri penduduk Cina di Desa Situgadung.

Gambar 6.2. Skema Perubahan Identitas dan Faktor Sosial yang Membentuknya

Skema yang telah diberikan merupakan konvergensi atas bermacam-macam aspek dalam proses perubahan menuju Cina Benteng. Bila dilihat dalam kedekatan terhadap identitas Cina dan pribumi, maka keseluruhan proses perubahan dapat digambarkan secara lebih sederhana sebagai berikut.

Gambar 6.3. Gradasi Identitas Kebudayaan Cina-Pribumi

Keseluruhan proses yang dijalani Orang Keturunan untuk menjadi Cina Benteng di Desa Situgadung sudah terangkum dalam gradasi batang yang telah diberikan. Namun, berdasarkan gambar tersebut, kita dapat melihat adanya peningkatan intensitas “ke-Cina-an” berdaasarkan masing-masing istilah. Dengan

kata lain, komunitas keturunan Cina di Desa Situgadung memiliki kecenderungan untuk menjadi semakin dekat dengan kebudayaan Cina, atau yang dalam penelitian ini juga disebut sebagai “semakin dekat dengan ke-Cina-an”. Gradasi tersebut tentu

berpedoman pada berbagai ciri-ciri yang ada. Berikut akan dijelaskan mengenai ciri- ciri non-fisik dari berbagai macam istilah Cina yang digunakan dalam penelitian ini.

Berikut peneliti akan menjabarkan ciri-ciri masing-masing istilah Cina. Perbandingan ini akan menjadi sarana yang mempermudah untuk mengetahui sedekat apakah sebuah istilah Cina pada identitas kebudayaan Cina ataupun pribumi. Metode utama yang peneliti gunakan untuk menuliskan daftar kategori didasarkan atas wawancara mendalam serta studi literatur. Selain itu, guna meningkatkan validitas daftar kategori yang telah dibuat, peneliti membaca berbagai literatur mengenai Cina Benteng dan mewawancarai tokoh Cina Benteng yang ahli dalam bidang sejarah tersebut, yakni Informan Christine Bachrum dan Oey Tjin Eng, yang sudah dipaparkan dalam bab sebelumnya. Sehubungan penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka peneliti juga menanyakan kepada penduduk Desa Situgadung yang dijadikan informan untuk mendapatkan pandangan mereka akan Cina Benteng.

Tabel 6.2. Perbedaan Berbagai Istilah “Cina” yang Ditemukan

No. Aspek Non-Fisik

Cina Benteng

Cina Benteng

Tidak Dekat Konghucu 3. Kehadiran Meja Hio

dengan Tidak Dekat

Tidak Dekat

Ya 4. Bahasa dan Aksara

Ya

Tidak

Bahasa Sunda 5. Pelaksanaa

Bahasa Sunda Bahasa Sunda

Ya Tradisional 6. Domisili

Ritual Ya

Tidak

Pedesaan dan Pedesaan

Gelombang abad Gelombang 30 abad ke-17-18 31 ke-17 abad ke-17

Pertanian 9. Nama Marga

8. Mata Pencaharian

Pertanian

Perdagangan

Ya, namun dapat hilang 10. Nama Indonesia

Ya

Ya

Tidak 11. Nama Cina

Tidak

Tidak

Ya 12. Nama Baptis

Ya

Ya

Tidak 13. Nenek Moyang

Tidak

Ya

Campuran 14. Pendidikan

Sekolah Negeri

Sekolah Negeri

Negeri

15. Perayaan Imlek

Ya 16. Pergaulan

Sesama Cina

Dengan Pribumi

Pribumi

30 Berdasarkan penuturan informan dan gatekeeper. 31 Berdasarkan penuturan informan dan gatekeeper.

17. Sembahyang Kubur

Tabel yang sudah diberikan merupakan kumpulan akan ciri-ciri sosial yang ada pada berbagai istilah Cina yang digunakan secara intens dalam penelitian ini. Seperti yang sudah dijelaskan, istilah “Cina Benteng Situgadung” tidak ditemukan di tempat selain desa penelitian. Oleh karena itu, peneliti menggunakan definisi akan ciri-ciri yang dilihat secara langsung di lapangan maupun berdasarkan pemaparan informan khusus mengenai ciri-ciri Cina Benteng Desa Situgadung. Dapat dilihat bahwa secara genealogis maupun linguistik, Cina Benteng Desa Situgadung dan Cina Benteng Objektif memiliki kesamaan. Hanya saja, Cina Benteng Desa Situgadung dan Cina Benteng Objektif memiliki perbedaan pada aspek keagamaan dan pekerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya secara objektif, Cina Benteng di Desa Situgadung merupakan sebuah kelompok yang sama saja dengan Cina Benteng versi Objektif.

6.1.1.1. “Ke-Cina-an” Masing-Masing Identitas

Bila kita menerapkan Tabel 6.2., maka berikut adalah masing-masing skema proses transformasi menuju Cina Benteng. Secara keseluruhan terdapat lima buah skema yang dijabarkan berdasarkan wawancara mendalam dengan Informan A. Empat skema akan membahas mengenai perubahan identitas berdasarkan empat dimensi. Dimensi yang dimaksud antara lain Pengakuan Diri, Sosial, Domisili, dan Agama. Sementara satu skema akan membahas mengenai tingkat kebanggaan Cina Benteng masing-masing identitas yang pernah dilaluinya.

Gambar 6.4. Skema Pengakuan Identitas Diri

Skema ini menggambarkan perubahan identitas berdasarkan pengakuan diri Informan A. Secara turun-temurun, istilah Orang Keturunan digunakan bagi penduduk keturunan Cina yang menetap di Desa Sampora dan Situgadung, termasuk Informan A. Hal inilah yang membuat komunitas di sekitar mereka menyebut mereka sebagai Orang Keturunan. Orang Keturunan merupakan istilah asli yang tetap dipertahankan untuk menyebut warga desa keturunan Cina, namun hanya sampai tahun 1980’an. Setelah adanya pembangunan Bumi Serpong Damai (BSD) pada tahun 1980’an, terjadilah sebuah perubahan demografi, yakni menetapnya penduduk Cina dari daerah perkotaan di sekitar desa mereka. Maka, interkasi secara intens dengan komunitas Cina di Bumi Serpong Damai mulai terlaksana.

Gambar 6.5. Salah Satu Kompleks Bumi Serpong Damai yang Berbatasan

dengan Desa

Seiring perkembangan Bumi Serpong Damai yang pesat, Cina pada Bumi Serpong Damai secara kultural menjadi semakin beragam. Mereka tidak hanya datang dari Jakarta, ataupun berasal dari suku Hokkien saja. Pada akh ir tahun 1980’an, penduduk Cina mulai datang dari Kalimantan dan Sumatra untuk menetap di Bumi Serpong Damai. Selain itu, mulai pula kedatangan suku-suku Cina selain Hokkien, antara lain Hakka, Kongfu (Kanton), dan Teochiu, seperti yang sudah dipaparkan pada Bab 5. Maka, identitas Cina saja tidak cukup bagi Informan A dan warga lainnya. Diperlukan adanya identitas tambahan untuk membedakan mereka dengan kelompok Cina lainnya yang berkembang semakin beragam di Bumi Serpong Damai. Sebab, seperti yang dipaparkan oleh beberapa warga Cina pada Bumi Serpong Damai, mereka memiliki istilah-istilah seperti Cina Pontianak, Cina Medan, ataupun Cina Semarang yang ditujukan bagi sesama warga Cina di Bumi Serpong Damai. Maka, untuk memberikan identitas yang lebih spesifik karena semakin beragamnya Cina di lingkungan mereka, Informan A dan warga lainnya mengidentifikasi diri sendiri sebagai Cina Benteng.

Berdasarkan skema ini, nampak bahwa identitas mereka semakin menuju ke arah Cina. Sebab, Orang Keturunan tidak dapat dikatakan sebagai identitas yang identik dengan kultur Cina secara ideal, namun tidak juga bisa dibilang sebagai pribumi. Hal tersebut dijelaskan oleh Informan A mengenai identitas Orang

Keturunan yang menurutnya, “ jika dilihat berdasarkan komunitas Cina merupakan keturunan pribumi, dan jika dilihat dari komunitas pribumi merupakan keturunan Cina. ”

Gambar 6.6. Skema Pengakuan Secara Sosial

Berikut adalah pengakuan masyarakat atas identitas Cina Benteng di Desa Situgadung. Secara umum tidak jauh berbeda dengan skema pengakuan individu. Hanya saja, skema ini memiliki lebih banyak agen sosialisasi dan lebih bersifat fluktuatif. Interaksi tersbut merupakan akibat migrasi yang mereka alami. Pertama- tama, berdasarkan pengakuan oleh masyarakat Desa Situgadung, Informan A dan penduduk Cina lainnya dianggap sebagai Orang Keturunan. Istilah Orang Keturunan digunakan oleh pribumi dan komunitas desa karena mereka sudah hidup bersama- sama Orang Keturunan selama beberapa generasi. Istilah ini juga disosialisasikan oleh etnis pribumi secara turun-temurun pula. Secara bersamaan, pada saat itu pula mereka masih beragama Buddha aliran Tri Dharma. Sehingga, diakui pula oleh Berikut adalah pengakuan masyarakat atas identitas Cina Benteng di Desa Situgadung. Secara umum tidak jauh berbeda dengan skema pengakuan individu. Hanya saja, skema ini memiliki lebih banyak agen sosialisasi dan lebih bersifat fluktuatif. Interaksi tersbut merupakan akibat migrasi yang mereka alami. Pertama- tama, berdasarkan pengakuan oleh masyarakat Desa Situgadung, Informan A dan penduduk Cina lainnya dianggap sebagai Orang Keturunan. Istilah Orang Keturunan digunakan oleh pribumi dan komunitas desa karena mereka sudah hidup bersama- sama Orang Keturunan selama beberapa generasi. Istilah ini juga disosialisasikan oleh etnis pribumi secara turun-temurun pula. Secara bersamaan, pada saat itu pula mereka masih beragama Buddha aliran Tri Dharma. Sehingga, diakui pula oleh

A mengatakan bahwa jemaat vihara tempat ia melakukan dakwah adalah Orang Keturunan. Begitupun pada saat-saat awal masuknya Informan A ke Kristen Pantekosta, yakni awal tahun 1980’an. Pada saat itu ia masih disebut sebagai Orang Keturunan. Sebab, pada saat itu Informan A belum melakukan interaksi kultural secara intens dengan penduduk Cina pada Bumi Serpong Damai serta belum memperbaiki status sosial ekonominya.

Ketika mereka sudah berintraksi secara intens dengan penduduk Cina pada Bumi Serpong Damai, barulah mereka diakui sebagai Cina. Begitupun juga dengan Vihara aliran Theravada. Sebuah aliran Buddha yang biasa dianut oleh penduduk Cina yang menetap di Bumi Serpong Damai. Pada dasarnya, setelah pertengahan tahun 1980’an, mereka sudah diakui sebagai Cina. Namun, karena mereka merantau untuk sementara ke Jakarta, mereka mendapat sebuah julukan lagi sebagai Cina Udik. Barulah setelah menjadi seorang pengusaha dengan status sosial ekonomi yang meningkat, Informan A kembali ke Desa Situgadung yang dekat dengan Bumi Serpong Damai, diakui secara umum sebagai Cina Benteng. Hal ini terjadi mulai pada tahun 1996.

Gambar 6.7. Skema Pengakuan Berdasarkan Domisili

Skema pengakuan identitas berdasarkan domisili sama dengan skema pengakuan secara sosial. Namun hal yang membedakannya adalah status domisili sebagai dasar pengakuan identitas. Sewaktu mereka tinggal di Desa Situgadung, dikenal sebagai Orang Keturunan, sebab merupakan sebuah istilah asli yang berasal dari desa tersebut. Selain itu, Desa Situgadung pada tahun-tahun seperti yang dijelaskan pada Gambar 6.5., belum berada di sebelah Bumi Serpong Damai. Sebab, perumahan Bumi Serpong Damai pada waktu itu belum dibangun. Maka, istilah asli masih mungkin untuk dipertahankan dan digunakan. Barulah setelah adanya pembangunan Bumi Serpong Damai, mereka mulai mendapatkan istilah Cina. Penggunaan identitas Cina tak lain karena interaksi mereka dengan penduduk Cina pada kota mandiri tersebut. Sewaktu Informan A merantau ke Jakarta pada 1988, mendapatkan istilah Cina Udik. Sebab, ketika ia menetap di Jakarta, komunitas Cina Desa Situgadung dianggap sebagai penduduk yang berasal dari daerah pinggiran. Anggapan yang dianut oleh penduduk Cina di Jakarta saat itu adalah Cina Udik hanya bekerja sebagai buruh dan petani. Barulah setelah kembali ke Desa Situgadung, Skema pengakuan identitas berdasarkan domisili sama dengan skema pengakuan secara sosial. Namun hal yang membedakannya adalah status domisili sebagai dasar pengakuan identitas. Sewaktu mereka tinggal di Desa Situgadung, dikenal sebagai Orang Keturunan, sebab merupakan sebuah istilah asli yang berasal dari desa tersebut. Selain itu, Desa Situgadung pada tahun-tahun seperti yang dijelaskan pada Gambar 6.5., belum berada di sebelah Bumi Serpong Damai. Sebab, perumahan Bumi Serpong Damai pada waktu itu belum dibangun. Maka, istilah asli masih mungkin untuk dipertahankan dan digunakan. Barulah setelah adanya pembangunan Bumi Serpong Damai, mereka mulai mendapatkan istilah Cina. Penggunaan identitas Cina tak lain karena interaksi mereka dengan penduduk Cina pada kota mandiri tersebut. Sewaktu Informan A merantau ke Jakarta pada 1988, mendapatkan istilah Cina Udik. Sebab, ketika ia menetap di Jakarta, komunitas Cina Desa Situgadung dianggap sebagai penduduk yang berasal dari daerah pinggiran. Anggapan yang dianut oleh penduduk Cina di Jakarta saat itu adalah Cina Udik hanya bekerja sebagai buruh dan petani. Barulah setelah kembali ke Desa Situgadung,

Secara tingkat “ke-Cina-an” masing-masing istilah identitas ini memiliki tingkatan tersendiri. Namun, secara keseluruhan masih sama persis seperti pada skema pengakuan sosial.

Gambar 6.8. Skema Pengakuan Berdasarkan Agama

Dalam konteks kasus penelitian ini, agama memberikan peranan penting dalam membentuk identitas Cina Benteng. Seperti yang sudah dipaparkan oleh Informan A sebelumnya, ia melihat identitas Kristen Pantekosta sebagai identitas yang membuat perubahan secara postif bagi dirinya. Lebih lanjut, Informan A juga mengidetifikasikan afiliasi Agama Kristen dengan identitas Cina. Selain itu, Informan

A juga melihat identitas Agama Buddha bertentangan dengan kepercayaan dirinya dan tidak sesuai dengan identitas Cina.

Agama asli Orang Keturunan adalah Buddha Tri Dharma, sebuah aliran Buddha mengalami sinkretisasi dengan ajaran Konghucu. Keluarga Informan A pada Agama asli Orang Keturunan adalah Buddha Tri Dharma, sebuah aliran Buddha mengalami sinkretisasi dengan ajaran Konghucu. Keluarga Informan A pada

20 tahun. Pada saat itu pula, ia mulai mengaku sebagai Cina Benteng. Secara umum, tingkat “ke-Cina-an” pada skema ini sama seperti pada skema pengakuan diri.

6.1.1.2. Tingkat Kebanggaan Masing-Masing Identitas

Selain memiliki tingkatan yang menunjukkan kedekatan terhadap identitas Cina secara ideal, masing-masing identitas etnis memiliki tingkat kebanggaan yang berbeda pula. Dengan demikian, meski ada beberapa identitas yang sifatnya mendekati identitas Cina secara ideal, namun di sisi lain, pihak yang menggunakan identitas tersebut tidak merasa bangga. Hal ini disebabkan oleh maksud dari pihak yang memberikan identitas yang bersangkutan kepadanya. Berikut adalah penjabaran akan tingkat kebanggaan Cina Benteng yang dipaparkan berdasarkan wawancara mendalam dengan Informan A.

Gambar 6.9. Grafik Tingkat Kebanggaan Masing-Masing Identitas

Identitas pertama yang dimiliki oleh Informan A sebagaimana Cina Benteng umumnya adalah Orang Keturunan. Informan A mengakui bahwa identitas Orang Keturunan tidak bersifat membanggakan maupun memalukan baginya. Hanya saja, sewaktu ia masih merupakan Orang Keturunan, Informan A masih mengidentifikasi dirinya bahwa ia adalah Orang Keturunan hampir dalamkonteks sosial apapun. Maka, meski ia bersifat netral atas identitas tersebut, ia tetap mengakuinya kepada pihak manapun. Namun, Informan A pernah mendengar istilah Cina yang ia dengar orang tua dan kakeknya. Berbeda dengan Orang Keturunan, meski ia merasa netral dengan istilah tersebut, Informan A mengatakan bahwa ia sama sekali tidak merasa sebagai bagian dari Cina. Hal tersebut dikarenakan istilah Cina yang dianggap asing. Setelah Informan A melakukan perantauan sementara ke Jakarta, ia mendapatkan identitas Cina Udik. Meskipun pada bagan sebelumnya Cina Udik dianggap lebih mendekati identitas Cina secara ideal, namun Informan A tidak bangga dengan istilah tersebut. Ia bahkan tidak menyukainya, salah satunya karena diasosiasikan dengan kejadian pemindahan generasi orang tuanya ke kamp tahanan di Jakarta oleh Belanda.

Barulah mereka mendapatkan identitas Cina dan Chinese, yang mereka gunakan cenderung lebih bangga. Sebab, identitas tersebut didapatkan tak lain karena hasil usaha perubahan identitas mereka sendiri. Seperti yang sudah Informan A Barulah mereka mendapatkan identitas Cina dan Chinese, yang mereka gunakan cenderung lebih bangga. Sebab, identitas tersebut didapatkan tak lain karena hasil usaha perubahan identitas mereka sendiri. Seperti yang sudah Informan A

saat itu. Masa Informan A dan kerabatnya dapat merasa bangga dengan “ke-Cina-an” mereka adalah saat Era Reformasi, dimana etnis Cina di Indonesia dapat secara bebas membanggakan identitas kebudayaan mereka. Hal ini merupakan akibat kebijakan pemerintahan baru setelah Suharto yang mulai mengakui kebudayaan Cina sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia secara luas. Freedman (2000:92), mengutarakan iklim politik Indonesia pada masa ini memungkinkan etnis Cina di Indonesia untuk membanggakan identifikasi diri mereka sebagai etnis Cina. Iklim politik semacam ini pula yang turut mendorong penduduk Cina Benteng untuk dapat membanggakan diri mereka.

Kemudian, identitas terkini yang mereka gunakan adalah Cina Benteng. Sejauh ini, Informan A, sebagaimana kerabatnya, mengaku paling bangga atas identritas tersebut. Alasan yang membuat mereka paling bangga atas identitas tersebut ada dua, antara lain:

a. Meskipun secara objektif Cina Benteng adalah sekelompok Cina Peranakan yang kabur dari Batavia Massacre pada tahun 1740, Informan A dan warga Desa Situgadung memaknai Cina Benteng versi mereka sebagai komunitas Cina kabur dari keterpurukan menuju kehidupan yang lebih baik;

b. Cina Benteng adalah manifestasi akan penerimaan penduduk Cina atas kehadiran penduduk keturunan Cina pada Desa Situgadung. Sebab, pihak yang menamai mereka sebagai Cina Benteng tak lain adalah penduduk Cina pada Bumi Serpong Damai.

Berdasarkan pemaparan tersebut, nampak bahwa warga Cina Benteng pada Desa Situgadung, seperti yang direpresentasikan oleh Informan A, memiliki bentuk sosialiasi yang beragam sehubungan dengan identitas mereka. Dalam mendefiniskan identitas Cina Peranakan, aspek sosial lebih berpengaruh ketimbang aspek fisik.

Seakan-akan fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat secara luas sudah tidak peduli bahwa ke-Cina-an itu ditunjukkan dengan aspek fisik. Dengan kata lain, ke- Cina-an dalam konteks sosial ini lebih ditentukan oleh aspek sosial, dan bukan aspek fisik. Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab 5, maka dalam hal ini ke-Cina-an di Desa Situgadung didefinisikan sebagai kemampuan berdagang dan afiliasi dengan Agama Kristen. Ini menunjukkan bahwa identitas itu merupakan aspek sosial, dan bukan aspek fisik.

6.1.2. Identifikasi Kolektivitas Sosial

Fenomena ini menunjukkan sebuah perpindahan dari suatu kelompok sosial kepada kelompok lainnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa fenomena perubahan Orang Keturunan menjadi Cina Benteng merupakan sebuah usaha pergantian identifikasi dari satu kolektivitas sosial kepada kolektivitas sosial lainnya. Koller (2012) dalam Bab 2 telah menyebutkan garis besar mengenai kolektivitas sosial. Selain melihat definisi Koller (2012), merujuk pada apa yang dipaparkan Suparlan (2005) dalam Bab 1, penggunaan kolektivitas sosial sebagai sebuah jati diri merupakan hal yang penting dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Keanggotaan kolektivitas sosial merupakan sebuah sarana untuk membedakan diri individu dengan kelompok lainnya. Dalam konteks ini, anggota komunitas keturunan Cina di Desa Situgadung berusaha menjadi Cina Benteng untuk membedakan diri mereka dengan Orang Keturunan yang telah mereka anggap sebagai identitas yang inferior. Maka, dengan menggabungkan penjelasan Koller (2012) dan Suparlan (2005), kolektivitas sosial merupakan kesatuan dalam masyarakat untuk menunjukkan identitas diri. Secara implisit, Koller (2012) dan Suparlan (2005) mengatakan bahwa usaha memilih kolektivitas adalah sebuah hal yang mutlak ada di masyarakat. Sehingga rutinitas semacam itu dianggap sebagai hal yang biasa. Didasari atas konsep Bourdieu, rutinitas mengidentifikasi sebuah kolektivitas telah menjadi sebuah habitus (Berger dan Luckmann, 1966:51-52). Sehingga, ketika anggota komunitas Orang Keturunan merasa tidak cocok dengan kebudayaan asli mereka, dan memutuskan untuk menjadi Cina Benteng, hal tersebut merupakan Fenomena ini menunjukkan sebuah perpindahan dari suatu kelompok sosial kepada kelompok lainnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa fenomena perubahan Orang Keturunan menjadi Cina Benteng merupakan sebuah usaha pergantian identifikasi dari satu kolektivitas sosial kepada kolektivitas sosial lainnya. Koller (2012) dalam Bab 2 telah menyebutkan garis besar mengenai kolektivitas sosial. Selain melihat definisi Koller (2012), merujuk pada apa yang dipaparkan Suparlan (2005) dalam Bab 1, penggunaan kolektivitas sosial sebagai sebuah jati diri merupakan hal yang penting dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Keanggotaan kolektivitas sosial merupakan sebuah sarana untuk membedakan diri individu dengan kelompok lainnya. Dalam konteks ini, anggota komunitas keturunan Cina di Desa Situgadung berusaha menjadi Cina Benteng untuk membedakan diri mereka dengan Orang Keturunan yang telah mereka anggap sebagai identitas yang inferior. Maka, dengan menggabungkan penjelasan Koller (2012) dan Suparlan (2005), kolektivitas sosial merupakan kesatuan dalam masyarakat untuk menunjukkan identitas diri. Secara implisit, Koller (2012) dan Suparlan (2005) mengatakan bahwa usaha memilih kolektivitas adalah sebuah hal yang mutlak ada di masyarakat. Sehingga rutinitas semacam itu dianggap sebagai hal yang biasa. Didasari atas konsep Bourdieu, rutinitas mengidentifikasi sebuah kolektivitas telah menjadi sebuah habitus (Berger dan Luckmann, 1966:51-52). Sehingga, ketika anggota komunitas Orang Keturunan merasa tidak cocok dengan kebudayaan asli mereka, dan memutuskan untuk menjadi Cina Benteng, hal tersebut merupakan

Selain diidentifikasi oleh setiap individu, kolektivitas sosial merupakan entitas yang heterogen dalam suatu masyarakat, seperti yang digambarkan berikut ini. Dalam level masyarakat, individu memiliki kebeasan untuk mengidentifikasi kolektivitas mana yang akan dipilihnya berdasarkan kategori-kategori yang ada.

Gambar 6.10. Skema Kolektivitas Sosial pada Level Masyarakat Kolektivitas Sosial

Suku

Gender

Agama Dll.

Individu

Seperti yang sudah dijelaskan, maka kolektivitas dalam konteks penelitian ini juga memiliki beberapa tingkatan, mulai dari yang paling makro hingga yang paling mikro. Jika melihat dalam kolektivitas etnisitas, yakni kolektivitas yang diteliti dalam konteks Desa Situgadung, maka peneliti setidaknya dapat membagi berbagai tingkatan kolektivitas seperti gambar berikut ini.

Gambar 6.11. Skema Kolektivitas Etnis dalam Konteks Penelitian Ini

Bila dilihat, nampak bahwa terdapat banyak istilah yang mewakili sub-kelompok Cina Peranakan, termasuk di dalamnya adalah Cina Benteng. Namun Cina Benteng juga akan dibagi menjadi banyak sub-kelompok, salah satunya adalah komunitas Cina Benteng di Desa Situgadung. Bila melihat dalam level individual, maka kolektivitas komunitas tersebut secara spesisifik dapat dijabarkan oleh piramida terbalik berikut ini. Gambar di bawah ini adalah salah satu contoh manifestasi berbagai tingkatan kolektivitas Informan A. Lingkaran yang menunjukkan Orang Keturunan memiliki sebuah arsiran dalam lingkun Kelompok Etnis Cina, yang menunjukkan hasil kawin campur antara etnis Cina dan pribumi, sehingga menghasilkan Orang Keturunan.

Gambar 6.12. Manifestasi Tingkatan Kolektivitas Anggota Cina Benteng di Desa Situgadung

Untuk memberikan contoh, peneliti menggunakan Informan A untuk sekedar penggambaran. Bagian paling bawah adalah posisi Informan A sebagai seorang individu, kemudian satu tingkat di atas terdapat nama marga, lalu diikuti oleh komunitas Cina Benteng di Desa Situgadung yang merupakan salah satu bagian dari Cina Benteng. Cina Benteng merupakan salah satu kelompok Cina Peranakan, yang salah satu klaisifikasi WNI Keturunan Cina. Dalam kasus penelitian ini, ternyata fakta lapangan menunjukkan bahwa perpindahan kolektivitas pada komunitas Orang Keturunan, merupakan sebuah perjalanan dari tingkatan kolektivitas yang paling mikro hingga ke yang paling makro. Sebagaimana yang akan ditunjukkan oleh skema berikut.

Gambar 6.13. Skema Transisi Kolektivitas Mikro ke Makro di Desa Situgadung

Perubahan Orang Keturunan menuju Cina Benteng, merupakan sebuah transisi dari kolektivitas dalam skala yang lebih kecil menuju skala yang lebih besar. Pada awalnya, individu mengidentifikasi secara subjektif bahwa dirinya tergolong pada kolektivitas Orang Keturunan, yang hanya mengacu pada komunitas keturunan Cina di sekitar desa mereka. Lalu naik ke tingkatan-tingakatn yang lebih luas cakupannya, seperti Cina Udik, Cina, Cina, dan lain-lain, hingga akhirnya menjadi Cina Benteng. Secara kebetulan, transisi kolekt ivitas ini juga sejalan lurus dengan tingkat “ke-Cina- an” masing-masing identitas. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa khusus dalam konteks penelitian ini, perubahan kolektivitas Orang Keturunan menuju Cina Benteng adalah perubahan keolektivitas dari yang paling mikro ke makro, serta dari yang

paling “tidak Cina” hingga “sangat Cina”. Berdasarkan temuan ini, peneliti mengasumsikan bahwa kolektivitas sosial memiliki beberapa asumsi mendasar. Pertama , penamaan kolektivitas sosial yang berbeda menunjukkan keanggotaan yang

berbeda pula. Kedua , kolektivitas sosial dalam tatanan level yang berbeda, akan menunjukkan tingkat ke- “Cina”-an yang berbeda pula. Sebab, menurut kerangka berpikir informan, alur perubahan identifikasi dari Orang Keturunan menuju Cina Benteng merupakan sebuah alur yang membawa ia menjadi semakin Cina, dan secara membawanya ke ke kolektivitas sosial dalam tatanan yang lebih makro. Sebagai contoh, ketika informan mengaku sebagai Orang Keturunan, ia menganggapmya berbeda pula. Kedua , kolektivitas sosial dalam tatanan level yang berbeda, akan menunjukkan tingkat ke- “Cina”-an yang berbeda pula. Sebab, menurut kerangka berpikir informan, alur perubahan identifikasi dari Orang Keturunan menuju Cina Benteng merupakan sebuah alur yang membawa ia menjadi semakin Cina, dan secara membawanya ke ke kolektivitas sosial dalam tatanan yang lebih makro. Sebagai contoh, ketika informan mengaku sebagai Orang Keturunan, ia menganggapmya

dengan tatanannya, secara kebetulan, Orang Keturunan merujuk pada kolektivitas dalam tatanan yang mikro (hanya sebatas desa saja), sementara, seiring dengan perubahan identifikasinya, informan akan merujuk dirinya ke kolektivitas sosial dalam tatanan yang lebih makro, dalam hal ini adalah Cina Benteng.

Tingkatan yang telah dipaparkan tidak hanya berada pada level masyarakat saja. Tingkatan kolektivitas sosial juga bermain dalam level individual. Dalam level individual, pemilihan kolektivitas sosial tak lepas dari pengaruh dua elemen yang saling berhubungan. Skema berikut akan menjelasakan bagaimana seorang individu yang hendak memilih kolektivitas akan ditentukan oleh dua hal, yakni identifikasi secara personal dan secara kolektif. Dua elemen ini akan menentukan, tergantung elemen manakah yang bersifat lebih dominan.

Gambar 6.14. Skema Identifikasi Personal dan Kolektif Sebuah Identitas

Kolektivitas Identitas

Dalam kajian sosiologi mikro, identifikasi Individual Personal Subjektif mewakili apa yang disebut sebagai “I”. “I” merupakan sebuah cerminan akan pandangan bahwa individu hidup untuk dirinya. Dengan kata lain, “I” adalah sarana aktualisasi diri

individu yang bersangkutan. Maka Identifikasi Personal (Subjektif) adalah pilihan terhadap kolektivitas tertentu yang didasarkan atas dorongan individu untuk keinginan pribadi. Identifikasi Kolektif, atau yang identifikasi kolektivitas sosial yang

bersifat eksternal mewakili apa yang disebut sebagai “Me”. Berbeda dengan “I”, konsep “Me” adalah sebuah cerminan bahwa individu hidup untuk komunitasnya di bersifat eksternal mewakili apa yang disebut sebagai “Me”. Berbeda dengan “I”, konsep “Me” adalah sebuah cerminan bahwa individu hidup untuk komunitasnya di

kata lain, “Me” merupakan sebuah cerminan ekspektasi komunitas akan peran individu yang bersangkutan. Maka, Identifikasi Kolektif adalah pilihan terhadap kolektivitas tertentu yang diasarkan atas ekspektasi masyarakat yang lebih luas. Dalam kasus ini, identifikasi kolektif bersifat lebih dominan, karena individu menerima sosialisasi akan kebudayaan Cina Benteng/Cina Peranakan, sehingga meninggalkan identitas mereka sebagai bagian dari kolektivitas Orang Keturunan.