secara lingual yang acuan ekspresi pengacunya dapat berpindah-pindah sesuai konteks sosio-personal maupun spasio-temporal-lingual penutur atau penulisnya.
Berkenaan dengan keperluan akan kriteria penentuan deiktis-tidaknya ekspresi lingual, ciri lain deiksis yang dinilai relevan dan bermanfaat dalam penelitian ini, turut
dimuat pada bagian berikut ini.
1. Ekspresi deiksis pemaknaannya bergantung konteks Levinson, 1983:66. 2. Ekspresi deiksis bersifat speaker-oriented. Makna atau acuannya adalah
yang dimaksudkan oleh penutur Huang, 2007:11. 3. Ekspresi deiksis tidak dapat diparafrasekan Levinson, 2006b:14
4. Ekspresi deiksis dapat digunakan untuk mengacu dengan zero comple- ment Cruse, 2004:338.
2.8 Kajian Sebelumnya
Pengkajian deiksis telah tergolong lama. Tercatat bahwa sejak periode Yunani deiksis sudah menjadi objek kajian, utamanya oleh bidang filsafat. Namun, sebagai
objek kajian ilmiah dari perspektif linguistik, deiksis baru beroleh tempat pada periode Buhler 1930. Mulanya, terdapat tiga jenis deiksis liputan yang oleh Buhler
Calcagno, 2003 dipandang sebagai jenis deiksis utama main kinds of deixis. Ketiga
Universitas Sumatera Utara
jenis deiksis itu, masing-masing, adalah deiksis tempat spacial deixis, deiksis waktu temporal deixis, dan deiksis persona personal deixis. Dalam perkembangan
selanjutnya, Levinson 1983:85-94 memperkenalkan dua lagi jenis deiksis, yang masing-masing berupa deiksis sosial social deixis dan deiksis wacana teks
discourse text deixis Imai, 2003:6. Di Indonesia, sejauh pengamatan penulis, hingga periode tahun sembilan
puluhan, liputan kajian deiksis masih berada pada seputar tiga jenis deiksis, berupa deiksis orang personal deixis, deiksis tempat spatial deixis, dan deiksis waktu
temporal deixis. Kenyataan itu terindikasi pada dua hasil penelitian tentang deiksis yang masing-masing dilakukan oleh Purwo 1984 dan Rahyono 1992. Pada hasil
penelitian Purwo, yang termuat dalam disertasinya Deiksis Dalam Bahasa Indonesia, dan Rahyono dalam tesisnya Makna Invarian Ekspresi Deiktis Dalam Bahasa Jawa,
bahasan yang dilakukan pada pokoknya masih berada pada seputar tiga jenis deiksis pertama yang tersebut di atas.
Antara Purwo dengan Levinson, yang menunjukkan bahwa yang pertama tampil kurang lebih setahun kemudian setelah yang kedua, dapat memberi tafsiran,
seyogianya dalam disertasi Purwo tersebut terliput juga hasil kajian tentang dua jenis deiksis terakhir deiksis sosial dan deiksis wacana yang termuat dalam Levinson
1983. Namun, tidak terdapatnya Levinson 1983 dalam rujukan pustaka Purwo 1984 menguatkan alasan untuk mengatakan bahwa dua jenis deiksis terakhir belum
Universitas Sumatera Utara
dikenal, atau informasinya tidak selengkap untuk tiga jenis deiksis pertama di masa Purwo 1984.
Adapun yang menyusul kemudian, Rahyono 1992 dalam penelitian tesisya, tampak belum seutuhnya menambahkan kedua jenis deiksis terakhir yang disebutkan
ke dalam liputan kajiannya, sekalipun dalam daftar kepustakaan tesisya tersebut tercantum Levinson 1983. Dalam hubungan ini, menurut hemat penulis, tidak
terintegrasikannya kedua jenis deiksis terakhir sebagai liputan pengkajian dalam Rahyono 1992 tidak lagi disebabkan oleh tidak ada atau minimnya informasi tentang
keduanya, tetapi oleh pengambilan sikap yang termotivasi oleh disertasi Purwo 1984 -- untuk menerapkannya dalam penulisan semantik bahasa Jawa Rahyono, 1992:2.
Dua jenis deiksis tambahan Levinson yang disebutkan dapat dikatakan penerapannya tergolong relatif masih baru dalam literatur kajian linguistik Indonesia.
Hal itu dapat dilihat setelah tahun dua ribuan, seperti pada yang dilakukan oleh Harahap dalam penelitian tesisnya yang berjudul Analisis Deiksis dalam Bahasa
Jerman, di bawah bimbingan Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. dan Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.. Pada tesisnya tersebut, Harahap telah memasukkan deiksis sosial dan
deiksis wacana sebagai bagian integral dari liputan penelitiannya. Hingga sekarang ini pengintegrasian kedua jenis deiksis tersebut ke dalam
kajian deiksis secara menyeluruh bersama ketiga jenis deiksis yang disebut sebelumnya, atau dengan menetapkan salah satu di antaranya sebagai objek kajian
belum pernah dilakukan dalam wujud penelitian disertasi. Dalam penelitian ini penulis menyertakan semua dari kelima jenis deiksis yang disebutkan di atas sebagai objek
Universitas Sumatera Utara
penelitian dalam bahasa Mandailing. Penulis tidak membatasinya hanya pada tiga jenis deiksis liputan, yang oleh Buhler dipandang sebagai main kinds of deictics atau
sebagai basic categories of deixis Huang, 2007:136, yakni deiksis persona, deiksis tempat, dan deiksis waktu, tetapi terliput juga di dalamnya deiksis sosial dan deiksis
wacana. Dari kedua jenis deiksis yang tergolong masih baru tersebut, di samping
deiksis wacana, pengintegrasian deiksis sosial dalam kerangka penelitian ini sifatnya tampak amat relevan. Aspek sosial bahasa Mandailing dengan keunikannya, terutama
yang menyangkut sistem sapaan, adalah ranah yang cukup menarik untuk dikaji melalui deiksis tersebut. Di samping penggunaan kata ganti persona sebagai kata
sapaan pada umumnya, dalam bahasa Mandailing, ditemukan juga jenis kata sapaan lain yang dapat menunjukkan sekaligus relasi sosial atau pertalian kekerabatan yang
terdapat antara penutur dengan sesama orang yang disapa. Penggunaan kata sapaan demikian dapat terlaksana sedemikian rupa, sehingga peserta yang terlibat dalam
komunikasi pertuturan mengetahui posisi masing-masing dalam konstalasi sistem sosial yang berlaku.
Selain itu, dengan memahami penggunaan kata sapaan tertentu, masing-masing peserta yang terlibat dalam pertuturan akan dapat menjadikannya sebagai dasar untuk
bersikap tertentu pula terhadap sesama peserta tutur yang lain. Implikasi penggunaan kata sapaan semacam itu pada kenyataannya tidak terhenti dan terbatas hanya pada
saat komunikasi percakapan, melainkan berlanjut sampai kepada kegiatan atau upacara
Universitas Sumatera Utara
lain yang bernuansa sosial. Bagi masyarakat penutur bahasa Mandailing unsur bahasa yang demikian adalah termasuk sesuatu yang syarat ideologi, karena kata sapaan
mengandung nilai atau pengetahuan tertentu yang dapat dipedomani dalam kehidupan sosial, baik di luar maupun dalam lingkup keluarga lihat juga Poynton, 1985:17;
Kress, 1985:82-84. Dengan demikian, jenis deiksis liputan serta urutannya dalam penelitian ini dapat diperjelas melalui bagan 02. Penelitian ini berada pada tataran kata
atau frasa dengan fokus perhatian, bagaimana masing-masing digunakan.
Bagan 02: Jenis deiksis liputan penelitian
2.9 Kerangka Teori