Deiksis Persona Dalam Bahasa Mandailing

BAB IV PAPARAN DAN ANALISIS DATA

4.1 Deiksis Persona Dalam Bahasa Mandailing

Pada bagian sub-bab II 2.9.1 telah dikemukakan secara ringkas pemikiran sejumlah ahli tentang pronomina persona serta pembagiannya ke dalam kelompok atau sub-kelompok masing-masing berdasarkan dimensi konseptual tertentu. Sebelum sampai kepada pembagian yang dimaksud, pada penampilan awalnya dalam paparan ini, pronomina yang ditemukan dalam bahasa Mandailing adalah sebagai berikut. Daftar pronomina persona BM Jumlah Persona Tunggal Jamak Persona ke-1 ahu, -hu, -ku, iba, niba hami, nami, hita, ta-, -ta Persona ke-2 ho, -mu homu, komu, muyu Persona ke-3 ia, ibana, -na, -sa, ni ibana halahi, ni halahi Dengan mendahulukan bentuk bebas, yang tercatat sebagai pronomina persona bahasa Mandailing adalah ahu ‘aku’’saya’, iba ‘aku’’saya’, hita ‘kita’, hami ‘kami’ sebagai pronomina persona yang termasuk ke dalam kategori persona pertama, ho ‘engkahu’, homu ‘kalian’ sebagai pronomina persona yang termasuk ke dalam kategori Universitas Sumatera Utara persona kedua, dan ia ‘dia’, halai ‘mereka’ sebagai yang termasuk ke dalam kategori persona ketiga. Pembagian ke dalam tiga kategori atas dasar peran peserta tutur partcipant role semata seperti di atas terlihat belum memadai untuk membedakan pronomina persona bahasa Mandailing yang baru ditampilkan, misalnya, antara ahu, hami, dan hita sebagai pronomina persona orang pertama. Terhadap ketiga pronomina persona tersebut pembedaan tidak dimaksudkan hanya antara ahu dengan hita dan hami saja di satu sisi, tetapi juga antara hita dan hami pada sisi yang lain. Pronomina persona ahu adalah dengan kepemilikan makna tunggal atau satu, sedangkan hita dan hami masing- masing dengan kepemilikan makna jamak atau lebih dari satu. Dalam hal ini, jumlah number sebagai sub-dimensi semantik berperan sebagai dasar pembeda antara ahu dengan hita dan hami. Untuk membedakan antara hita dan hami tentu tidak lagi dengan memperhitungkan soal jumlah karena kedua pronomina persona tersebut masing-masing sudah dalam kepemilikan makna jamak atau lebih dari satu. Dalam hubungan ini aspek lain dari dimensi semantik berupa inklusifitas dan eksklusifitas terlihat dapat menjadi ciri pembeda terhadap kedua pronomina persona hita dan hami. Pronomina persona hita dalam penggunaannya bersifat inklusif, artinya penutur hita menyertakan mitra tutur sebagai orang yang terliput di dalamnya, sedangkan pronomina persona hami bersifat eksklusif karena penuturnya tidak menyertakan mitra tutur terliput di dalamnya. Pembedaan jender, misalnya, untuk membedakan pronomina persona orang ketiga tunggal she ‘dia perempuan’ dan he ‘dia laki-laki’ dalam bahasa Inggris, zij dan Universitas Sumatera Utara hij dalam bahasa Belanda, atau antara hia ﯽه dan hua ﻮه dalam bahasa Arab, tidak ditemukan dalam sistem pronomina persona bahasa Mandailing. Hal semacam itu juga tidak terkecuali untuk menyatakan pembedaan pronomina persona orang pertama ataupun untuk pronomina persona orang keduanya.

4.1.1 Bentuk Bebas

Bagan 08: Pronomina bentuk bebas Jumlah Persona Tunggal Jamak Persona ke-1 ahu, iba Inklusif Eksklusif hita hami Persona ke-2 ho homu Persona ke-3 ia halahi Bentuk bebas dimaksudkan di sini sebagai bentuk lingual yang dapat berdiri sendiri sebagai kata. Melihat penggunaannya dalam konstruksi sintaksis, bentuk bebas dapat berfungsi sebagai subjek, objek langsung maupun tidak langsung. Dalam kasus benefaktif ditemukan juga pronomina persona bahasa Mandailing yang dapat berdiri sendiri sebagai kata, artinya bentuk pronomina persona tersebut tidak mengalami proses klitisasi ataupun pengimbuhan kepada bentuk-bentuk bebas lainnya. Universitas Sumatera Utara Yang terdapat dalam bagan 08, berupa pengelompokan pronomina persona, dapat dikatakan masih berisikan pronomina persona bahasa Mandailing pada garis besarnya, artinya bentuk-bentuk tersebutlah yang lazim ditemukan pada penggunaan dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu terdapat juga bentuk-bentuk lain yang memiliki kesamaan ciri dengan pronomina persona tertentu dalam sistem kategorisasi pronomina persona bahasa Mandailing yang dihasilkan. Bentuk-bentuk semacam itu akan dibicarakan juga bersamaan dengan pembicaraan terhadap pronomina persona yang memiliki kesamaan ciri dengannya dalam klasifikasi pronomina persona yang diperoleh pada bagan 08 di atas. Bentuk-bentuk lain itu, misalnya, adalah iba dan ko yang kecenderungannya masing-masing dapat dimasukkan ke dalam kelompok pronomina persona orang pertama tunggal dan pronomina persona orang kedua tunggal. Selain bentuk-bentuk pronomina persona yang telah disebutkan, yang juga perlu dikemukakan adalah, terdapat juga pronomina persona implisit yang tidak berbentuk, artinya, walau dalam konstruksi sintaktis tidak dituturkan, namun mitra tutur tetap menyadari dan dapat menginterpretasikan bahwa acuannya tertuju kepada persona tertentu yang dimaksudkan oleh penutur. Pronomina persona yang implisit seperti itu penulis sebut sebagai pronomina persona zero dengan tanda Ø. Pronomina persona zero dapat terjadi untuk pengacuan terhadap orang pertama dan kedua tunggal dalam bahasa Mandailing, yaitu terhadap ahu dan ho. Dalam hubungan ini, walaupun bentuk ahu dan ho tidak hadir dalam posisi tertentu dalam konstruksi sintaktis, namun acuannya tetap sama seperti yang diacu oleh kedua bentuk pronomina persona itu, baik Universitas Sumatera Utara bagi mitra tutur ataupun bagi penutur sendiri. Pronomina persona zero seperti itu, masing-masing untuk orang pertama dan kedua, terlihat pada contoh 01 dan 02. Tuturan 01 dan 02 terjadi di lokasi sekitar B bertempat tinggal. Partisipan A tidak tinggal di situ, sehingga dia perlu bertanya kepada B yang dianggapnya mengetahui alamat orang yang hendak ditujunya. 01 A: Tola do Ø marsapa? boleh kah bertanya ‘Bolehkah saya bertanya?’ B: Bo, tola mantong. ja, boleh sepantasnya ‘Ya, boleh saja’. Do, hal. 349, no. 01A-B Tuturan dengan menghilangkan pengacuan terhadap dirinya ahu oleh penutur A kepada mitra tutur B seperti yang terdapat pada contoh 01 ditemukan dalam bahasa Mandailing. Tuturan dalam bentuk pertanyaan seperti itu biasanya dapat muncul apabila seseorang dihadapkan kepada problema ketiadaan solusi, seperti, mencari alamat atau jalan yang harus ditempuh untuk dapat sampai ke tujuan yang dimaksud. Dalam menanggapi pertanyaan si A sebagai penutur pada contoh 01, si B sebagai mitra tutur memahami dan dapat menginterpretasikan bahwa yang bertanya itu adalah si A sendiri yang tidak menggunakan pronomina persona orang pertama tunggal ahu sebagai pengacuan terhadap dirinya. Jawaban B pada 01, setelah mendapat giliran sebagai penutur, ditujukan kepada A yang tidak lagi sebagai penutur atau orang pertama tunggal melainkan sebagai orang kedua tungggal bagi si B. Dalam Universitas Sumatera Utara pergantian peran, B sebagai penutur, B selanjutnya dapat bertanya kepada A dengan menggunakan tuturan yang terdapat pada 02. Tuturan 02, dengan pengimplisitan pronomina persona ho untuk orang kedua tunggal, dapat dipahami dan diinterpretasikan oleh A sebagai tuturan yang dialamatkan kepadanya karena peranannya sebagai orang kedua tunggal yang seyogianya diacu oleh B dengan menggunakan pronomina persona ho. 02 Na giot tudia Ø sapetona? jang hendak kemana sebenarnya ‘Engkau sebenarnya mau ke mana?’ Do, hal. 349, no. 02 Tuturan dalam bentuk pertanyaan dengan mengimplisitkan pronomina persona orang kedua tunggal ho, seperti pada contoh 02, dapat terjadi bukan hanya antara B kepada A. Dalam situasi yang sama atau hampir sama, misalnya, apabila melihat seseorang yang sesat jalan dan tidak mengetahui arah yang mau dituju, setiap orang bisa saja menyapa atau menanyakan orang yang dimaksud dengan menggunakan tuturan seperti pada 02 tersebut. Penjelasan serta contoh yang diberikan di atas tentang adanya ditemukan pronomina persona bentuk zero dalam bahasa Mandailing, pada bagian 4.1.1 ini, dimaksudkan hanya pada sebatas informasi keberadaannya. Ihwal pronomina persona bentuk zero ini tidak menjadi bagian lanjut dalam bab atau sub-bab berikut karena kenyataan yang sama diperkirakan tidak hanya terdapat dalam bahasa Mandailing saja, melainkan juga dalam bahasa lain, seperti dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Universitas Sumatera Utara

4.1.1.1 Pronomina Orang Pertama

Terdapat peliputan dua kelompok pronomina persona dalam pembicaraan tentang pronomina persona orang pertama bahasa Mandailing pada bagian 4.1.1.1 ini. Kelompok pertama adalah yang termasuk pronomina persona orang pertama tunggal, dan kelompok kedua pronomina persona orang pertama jamak. Yang tergolong ke dalam kelompok pronomina persona orang pertama tunggal bahasa Mandailing adalah ahu, iba; dan hita, hami sebagai aggota kelompok pronomina persona orang pertama jamak. Terdapatnya iba dalam kelompok pronomina persona orang pertama tunggal di samping ahu memerlukan penjelasan tentang perbedaan antara kedua pronomina persona tersebut. Oleh penutur bahasa Mandailing, penggunaan pronomina persona orang pertama ahu digunakan setelah lebih dahulu melalui proses pertimbangan bahwa orang yang menjadi mitra tutur adalah orang yang relatif sebaya usia dengannya dari kelompok keluarga yang sama atau semarga. Dalam komunikasi tutur antara A dan B misalnya, pada contoh 03, A mengetahui bahwa B sebaya usia dan semarga dengannya, sehingga A, sebagai penutur, mengacu dirinya dengan menggunakan pronomina persona ahu. Demikian sebaliknya, karena B mengetahui juga bahwa A sebaya usia-semarga dengannya, maka B, setelah beroleh giliran sebagai penutur, mengacu dirinya sendiri dengan pronomina persona yang sama, yaitu ahu, seperti yang digunakan oleh A sebelumnya. 03 A: Ulang ligi-ligi ahu. jangan liha-lihat saya ‘Jangan melihati saya.’ Universitas Sumatera Utara B: Bo, adong di ahu mata, bia mei. ya, ada pada saya mata, bagaimana lah itu ‘Ya, bagaimana sih, saya kan punyamata.’ Do, hal. 349, no. 03A-B Kesebayaan relatif usia dan kesamaan kelompok keluarga di antara partisipan dalam komunikasi tutur untuk dapat digunakannya pronomina persona ahu oleh petutur tidak hanya terbatas pada antar sesama teman melainkan juga pada lingkup keluarga yang sama, seperti, antara suami dan istri, nenek dan kakek, anak kembar. Dengan kesebayaan relatif usia pada kedua partisipan dapat menjadi dasar dimungkinkannya seorang suami mengacu dirinya dengan menggunakan pronomina persona ahu dalam komunikasi tutur dengan istrinya. Sebaliknya pula, seorang istri dapat mengacu dirinya dengan menggunakan pronomina persona yang sama dalam komunikasi tutur di depan suaminya. Penggunaan pronomina persona ahu yang demikian di antara nenek dan kakek, anak kembar, dapat terjadi dalam masyarakat penutur bahasa Mandailing. Penggunaan pronomina persona ahu oleh penutur dalam mengacu kepada dirinya akan dirasa kurang berterima apabila berhadapan dengan mitra tutur yang usianya lebih tua atau lebih muda daripadanya. Hal demikian berlaku, walau yang menjadi mitra tutur itu berasal dari kelompok keluarga atau marga yang sama dengan penutur. Dalam konteks tuturan seperti itu, penutur perlu menyertakan istilah tutur yang sesuai berdasarkan, sebagai apa mitra tutur disapa menurut sistem sosial kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat penutur bahasa Mandailing. Kepada yang lebih tua usia, penyertaan istilah tutur setelah ahu dipandang sebagai pertanda sikap Universitas Sumatera Utara sopan, dan sebagai pertanda rasa sayang kepada yang lebih muda. Perhatikan contoh 04a dan 04b. 04a Incogot kuliahma, porlu hepeng di ahu umak. besok kuliahlah perlu uang di aku ibu ‘Besok sudah kembali kuliah, saya perlu uang Bu.’ Dp, hal. 343, br. 8 - 9 04b Tobangan do ahu anggi, ulang ko paboto-botoon. tuaan lah aku dek jangan engkau menahu-nahukan ‘Saya lebih tua Dek, jangan Engkau berlagak lebih tahu.’ Dp, hal. 340, br. 15 Mitra tutur bagi penutur yang perlu dihormati, seperti pada 04a, adalah ibunya sendiri yang usianya lebih tua dari penutur, sedangkan mitra tutur yang perlu disayangi, seperti pada 04b adalah adik bagi penutur. Penyertaan istilah tutur kekerabatan setelah ahu menjadi keharusan apabila yang menjadi mitra tutur berasal dari luar keluarga semarga, yang merupakan pihak mora pemberi anak gadis atau pihak anakboru penerima anak gadis bagi keluarga penutur. Hal demikian dilakukan tanpa memperhitungkan lagi faktor perbedaan usia antara penutur dan mitra tutur. Penggunaan ahu saja untuk mengacu diri sendiri penutur di hadapan mitra tutur dari pihak mora atau anakboru, dipandang sebagai representasi sifat ananiah yang tidak sepantasnya dilakukan di hadapan anggota dari pihak mora dan anakboru yang harus dihormati serta dimuliakan. Sebagai pertanda sikap hormat dan pemuliaan terhadap setiap anggota dari kedua pihak yang disebut terakhir, penutur diharuskan menyertakan istilah tutur kekerabatan yang sesuai, berdasarkan sebagai apa mitra tutur disapa oleh penutur menurut sistem kekerabatan yang berlaku, sesudah ahu. Perhatikan Universitas Sumatera Utara contoh 05. Pada 05, istilah-istilah kekerabatan terdiri dari yang berasal dari pihak mora dan anakboru. Dua yang pertama adalah istilah buat penyapa anggota dari pihak mora, dan dua yang terakhir dari pihak anakboru. Penempatan istilah kekerabatan dapat dilakukan langsung sesudah ahu seperti pada 05a, atau tidak langsung seperti pada 05b. Tentang maksud setiap istilah dapat dilihat pada lampiran yang memuat istilah tutur kekerabatan. tulang 05a Mulak ma ahu ipar amangboru lae ‘Pulanglah saya ................... .’ Di, hal. 349, no. 05a tulang 05b Mulak ma ahu parjolo ipar amangboru lae ‘Pulanglah saya duluan ............... .’ Di, hal. 349, no. 05b Ahu sebagai pengacu diri penutur, dapat dan lebih berterima diganti dengan istilah sebutan kekerabatan yang menunjukkan sebagai apa penutur bagi mitra tuturdalam sistem kekerabatan yang berlaku. Apabila mitra tutur dalam sistem sosial kekerabatan menyapa penutur, misalnya, dengan uda ‘paman muda’, maka penutur akan mengacu dirinya dengan menggunakan uda sebagai pengganti ahu di saat berhadapan dengan mitra tutur yang lebih muda. Dengan contoh 06 yang berikut, Universitas Sumatera Utara akan terlihat bagaimana pronomina persona ahu dapat digantikan oleh sejumlah kemungkinan istilah kekerabatan. Kehadiran pronomina persona ahu pada 06, dengan tanda tanya, menandakan bahwa penggunaannya dalam konteks seperti yang dijelaskan di atas kurang berterima dirasa oleh halayak penutur bahasa Mandailing. ahu ? uda tulang 06 Tongkin nai rope bujing tu bagas muyu an. bou abang dsb. Sebentar lagi datang biarlah …....... ke rumah kalian sana ‘Sebentar lagi biar …………….….. datang ke rumah kalian.’ Di, hal. 350, no. 06 Pemilihan penggunaan pronomina persona ahu oleh partisipan tutur yang lebih tua dalam berhadapan dengan mitra tutur yang lebih muda usia mungkin juga dapat terjadi. Hal semacam itu biasanya penutur lakukan apabila orang yang menjadi mitra tutur adalah orang yang baru dikenal atau belum diketahui identitasnya, sehingga pada saat yang sama belum mungkin bagi penutur memposisikan keberadaan mitra tuturnya dalam sistem kekerabatan yang berlaku. Dalam hal penutur merasa iba terhadap dirinya, penutur tidak menggunakan ahu sebagai pronomina persona pengacu dirinya. Sebagai penggantinya, penutur menggunakan iba. Beriba dimaksudkan di sini, kurang lebih, sebagai bersikap merendah diri penutur yang lagi tidak atau belum sudi menerima kenyataan yang tidak dikehendaki terjadi pada dirinya atau diri orang lain. Contoh 07 dapat memberikan Universitas Sumatera Utara gambaran dipilihnya iba oleh penutur untuk mengacu dirinya. Hal itu berkenaan dengan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan secara bersama. Namun, dalam proses kerja tersebut, ternyata yang lebih banyak bekerja adalah penutur sendiri, sedangkan yang lainnya kurang partisipatif. Pada contoh 08, hal yang membuat penutur beriba dan memilih iba sebagai pengacu dirinya adalah kerepotan yang didapatnya dari datangnya orang yang mendapat kecelakaan, sedangkan orang tersebut bukan tidak dinasihati sebelumnya. 07 Anggo na iba sajo do karejo, andigan so sidung karejo on. kalau yang saya saja kerja kapan agar siap pekerjaan ini ‘Kalau saya saja yang bekerja, kapan siapnya pekerjaan ini.’ Dp, hal. 340, br. 19 08 Ipaingot muruk, dung marmara ro ia tu iba. diingatkan marah setelah celaka datang dia ke saya ‘Dinasehati marah, setelah dapat celaka dia dtang kepada saya.’ Do, hal. 350, no. 8 Terdapat hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pronomina persona iba sebagai pengganti ahu dalam penggunaannya. Dalam hubungan ini, yang dimaksud adalah sifat kedeiktisan iba. Pronomina persona iba dengan makna sesungguhnya ‘diri’, atau yang dapat disamakan dengan awak dalam bahasa Indonesia, sifat kedeiktisannya tidak sama dengan ahu. Pronomina ahu pada penggunaannya dalam komunikasi tutur senantiasa mengacu kepada penutur, dengan kata lain, apabila seorang partisipan menuturkan pronomina persona tersebut, tidak ada acuannya yang lain selain kepada penutur sendiri. Universitas Sumatera Utara Berbeda dengan iba, acuannya dapat dengan sejumlah kemungkinan. Di samping dapat mengacu kepada penutur sendiri, seperti terdapat pada contoh 07 dan 08, pronomina persona iba dapat juga mengacu kepada orang lain yang tidak tentu, dengan kata lain, siapa saja – dengan menginklusifkan mitra tutur dan penutur sendiri ikut di dalamnya. Penggunaan pronomina persona iba yang acuannya kepada orang tertentu, dalam hubungan ini kepada penutur, seperti terdapat pada 07 dan 08, bersifat deiktis; sedangkan iba yang orang acuannya tidak tentu tidak bersifat deiktis lihat juga Levinson, 1983:66-67; Kreidler, 1998:145; Cruse, 2004:333. Pronomina persona iba yang tidak bersifat deiktis dapat ditemukan pada contoh 09. Acuan iba pada 09 tidak lagi sama dengan yang terdapat pada iba pada contoh 07 dan 08. Pada 07 dan 08 dengan jelas bahwa iba bersinonim dengan ahu, yang apabila dimaknai sama dengan ‘saya’ dalam bahasa Indonesia. Itu sebabnya sehingga dalam konteks yang sama antara keduanya dapat saling menggantikan. Pada 09, iba tidak dapat dimaknai dengan ‘saya’ sebagaimana halnya terhadap iba pada 07 dan 08, melainkan kurang lebih sama dengan ‘kita’ dalam bahasa Indonesia. Di dalamnya termasuk kedua partisipan tutur dan juga orang lain, baik dalam jumlah tunggal maupun jamak. Tepatnya, untuk ‘semua orang’. Dengan demikian, larangan atau anjuran agar jangan meremehkan anak-anak pada 09 adalah terhadap iba yang maksudnya ‘kita, semua orang’ tanpa pengecualian. Tuturan 09 muncul setelah penuturnya menyaksikan seorang yang sudah dewasa, di perjalanan, memperlakukan seorang anak dengan mengetuk kepala serta Universitas Sumatera Utara memakinya dengan kata kasar. Penutur yang merasa iba dan tidak setuju dengan perbuatan itu menasihati orang dewasa tersebut. Ranah kemungkinan field domain acuan pronomina persona iba pada 09 terlalu luas karena meliput semua orang, sedangkan salah satu di antara fungsi ekspresi deiksis adalah untuk mempersempit ranah kemungkinan acuan itu, sehingga teridentifikasi secara jelas yang mana di antara orang atau maujud lain yang dimaksudkan oleh penutur dalam menggunakan ekspresi deiksis tersebut. Oleh karena tidak terpenuhinya fungsi deiksis pada penggunaan iba pada contoh 09, dapat dikatakan bahwa pronomina persona iba pada contoh tersebut tidak deiktis lihat Kreidler, 1998:145; Bohnemeyer, 2006. 09 Ulang iba dabo malayastu tu daganak. jangan kita lah terlalu meremehkan kepada anak-anak ‘Kita jangan terlalu meremehkan anak-anak.’ Do, hal. 350, no. 09 Sebagai bukti bahwa iba merupakan pronomina persona yang rentang akan sifat ketidakdeiktisan maka untuk mengetahui secara nyata kedeiktisannya, selain dari pemahaman konteks tutur seperti terdapat pada 07 dan 08, terdapat juga bentuk lingual lain bahasa Mandailing yang dapat disertakan dengannya agar bersifat deiktis. Bentuk-bentuk lingual yang dimaksud adalah on, -ku, -ta, nami, mu, muyu, nia, dan ni halahi. Dengan menggabungkan iba bersama masing-masing bentuk lingual yang disebutkan akan diperoleh ekspresi deiksis gabungan iba on ‘diri ini’, ibangku ‘diriku’, Universitas Sumatera Utara ibanta ‘diri kita’, iba nami ‘diri kami’, ibamu ‘dirimu’, iba muyu ‘diri kalian’, iba nia ‘dirinya’, dan iba ni halahi ‘diri mereka’ yang acuannya masing-masing sudah jelas dan tentu. Ekspresi deiksis iba on dengan mudah dapat dipahami, mengacu kepada orang pertama tunggal yang berperan sebagai penutur, ibangku juga kepada orang pertama tunggal, ibanta kepada orang pertama jamak inklusif, iba nami kepada orang pertama jamak eksklusif, ibamu kepada orang kedua tunggal yang berperan sebagai mitra tutur atau petutur, iba muyu kepada orang kedua jamak, iba nia kepada orang ketiga tunggal, dan iba ni halahi mengacu kepada orang ketiga jamak. Selanjutnya tentang penggunaan ekspresi deiksis gabungan ini akan ditampilkan pada bagian 4.1.3, di bawah sub-judul Bentuk Gabungan Dengan Leksem Lain. Pronomina persona orang pertama jamak yang dikenal dalam bahasa Mandailing adalah hita dan hami. Yang pertama bersifat inklusif, artinya, selain orang pertama termasuk juga di dalam lingkup acuannya orang kedua atau mitra tutur; sedangkan yang kedua bersifat eksklusif karena lingkup acuannya hanya meliput orang pertama dan ketiga dengan tidak menyertakan mitra tutur di dalamnya. Penggunaan hita dapat muncul dalam situasi hubungan normal atau akrab bersama mitra tutur dengan tidak terlalu terikat kepada pertimbangan perbedaan usia di antara partisipan. Penutur yang usianya lebih muda, sebaya, ataupun lebih tua dari orang yang menjadi mitra tuturnya dapat menggunakan hita di depan atau berada bersama masing-masing partisipan yang berbeda tersebut. Tuturan pada contoh 10 yang di dalamnya terdapat hita, misalnya, dapat digunakan oleh penutur untuk ketiga mitra tutur yang usianya berbeda tersebut. Universitas Sumatera Utara 10 Inda hita puna i, nga tola i hita buat. bukan kita punya itu tidak boleh itu kita diambil ‘Itu bukan kita punya, kita tidak boleh mengambilnya.’ Di, hal. 350, no. 10 Dalam suasana keakraban yang memperhatikan aspek kesantunan dan dalam upaya ingin mengintegrasikan diri dalam kebersamaan dengan pihak mitra tutur, ada kalanya pronomina persona hita dapat muncul sebagai pengganti ahu, hami, dan ho yang masing-masing lazimnya digunakan untuk mengacu kepada orang pertama tunggal atau penutur, kepada orang pertama jamak eksklusif, dan kepada orang kedua tunggal atau mitra tutur. Contoh penggunaan hita sebagai pengganti ahu, hita sebagai pengganti hami, dan hita menggantikan ho, secara berurut dapat dilihat pada 11, 12, dan 13. Tuturan 11 berasal dari seorang tukang pangkas keliling kampung, dengan cara berkelakar, mengajak seorang yang lebih muda daripadanya agar sudi dia pangkas karena rambutnya yang sudah panjang. 11 Maginjangtu do hobukmi, oban tu son so hita pangkas. sudah panjang terlalu lah rambutmu itu bawa ke sini supaya kita pangkas ‘Rambutmu sudah terlalu panjang, bawa ke sini agar saya pangkas.’ Do, hal. 350, no. 11 12 Odu, kobun na bolak an, hita puna dope i. itu kebun yang luas sana kita punya masih itu ‘Itu, kebun luas yang sana, juga kami punya.’ Do, hal. 350, no. 12 13 Na bia do hita on, ma hutorangkon inda pedo mangarti. yang bagaimana nya kita ini sudah kuterangkan belum juga mengerti ‘Bagaimana engkau ini, sudah kuterangkan belum juga mengerti.’ Do, hal. 350, no. 13 Universitas Sumatera Utara Mitra tutur bahasa Mandailing yang sudah memahami penggunaan pronomina persona hita menyadari bahwa maksud penutur dengan pronomina persona tersebut pada contoh 11 adalah ahu, yaitu penutur, yang dapat melakukan tindakan memangkas terhadap rambutnya yang panjang itu. Adalah aneh atau di luar kelaziman apabila hita pada 11 dimaknai secara semantis, yaitu dengan ‘kita’, karena dengan pemaknaan seperti itu berarti mitra tutur juga akan ikut bersama-sama dengan penutur memangkas rambutnya sendiri. Tuturan 12 diperoleh ketika penuturnya menunjukkan salah satu lahan kebun keluarganya di daerah perbukitan, yang kelihatan dari Dalan Lidang Penyabungan, terdapatnya penutur dan mitra tutur ketika tuturan tersebut dihasilkan. Pada contoh 12, mitra tutur dapat memahami bahwa maksud penutur dengan penggunaan hita adalah hami, yaitu sebagai pemilik kolektif, terdiri dari penutur dan anggota lain dari keluarganya, terhadap kebun luas yang ditunjukkan oleh penutur. Oleh karenanya adalah aneh juga apabila mitra tutur bersikap ikut memiliki kebun yang dimaksud hanya dengan melalui cara penginklusifannya dalam penggunaan hita oleh penutur. Contoh 13 berasal dari seorang penutur terhadap mitra tutur yang lebih muda daripadanya disebabkan mitra tutur tersebut ternyata belum paham terhadap apa yang baru dijelaskan oleh penutur. Penggunaan hita pada 13 adalah sebagai pengganti ho, yaitu mitra tutur sendiri sebagai orang kedua tunggal yang oleh penutur diinklusifkan dalam penggunaan hita. Dalam hubungan ini, mitra tutur pada 13 juga menyadari bahwa yang dimaksudkan oleh penutur dengan hita adalah ho, yang mengacu kepada dirinya Universitas Sumatera Utara karena orang yang dimaksudkan sulit mengerti akan apa yang diterangkan menurut konteks tuturan 13 bukan penuturnya yang justru bertindak sebagai orang yang memberi penjelasan. Tuturan pada tiga contoh terakhir di atas menggambarkan situasi bahwa antara penutur dan mitra tutur sebelumnya telah saling mengenal dengan baik, sehingga dengan pengenalan baik antar sesama itu suasana keakraban diperoleh. Keakraban itu perlu dijaga dengan cara tertentu agar dapat bertahan lebih lama dari sebatas saat komunikasi tutur terakhir yang dilakukan. Salah satu cara yang dipandang dapat berfungsi sebagai perekat keakraban itu untuk waktu yang lebih lama seperti yang diharapkan adalah dengan menjaga terwujudnya kesantunan dalam keakraban. Keakraban yang tidak disertai kesantunan dipandang sebagai sesuatu yang dapat mengancam kelangsungan keakraban itu sendiri. Bersikap merendah diri dengan tidak menonjolkan sifat ananiah atau keakuan terhadap mitra tutur adalah bagian dari kesantunan. Secara lingual, kesantunan seperti itu dapat direpresentasikan dengan penggunaan bentuk pilihan yang tepat, seperti hita. Penggunaan plihan hita yang lingkup acuannya meliput mitra tutur sehingga mitra tutur sendiri merasa terintegrasikan di dalamnya, jelas adalah sebagai upaya penghilangan sifat ananiah penutur. Jika tidak demikian halnya, penutur tentu tidak pula akan menggunakan hita sebagai pengganti ahu, hami, dan ho. Dengan demikian, keakraban dan kesantunan terlihat berkombinasi menjadi suatu kesatuan yang berperan sebagai penyebab terhadap pemunculan hita pada ketiga contoh tuturan di atas. Universitas Sumatera Utara Dalam situasi seperti itu, memaknai hita tidak lagi dapat dengan hanya berfokus pandang dari aspek semantik semata, tetapi juga dari aspek pragmatiknya. Terkait dengan hal terakhir ini aspek pragmatik, yang penting diperhatikan adalah, apa dalam hubungan ini siapa yang dimaksudkan oleh penutur dalam menggunakan hita itu. Penutur biasanya merasa enggan menggunakan hita apabila di antara dia dan mitra tutur terdapat, misalnya, konflik atau hubungan yang kurang baik. Dengan alasan bahwa mitra tutur belum diketahui identitasnya oleh penutur, penggunaan hita dapat juga muncul dengan maksud agar mitra tutur tidak merasa asing, melainkan sebaliknya, merasa langsung terintegrasikan ke pihak penutur. Oleh penutur yang menginginkan respons positif dan rasa simpati dari mitra tutur, pilihan dengan menggunakan hita dapat dijadikan sebagai strategi dalam mempercepat pemerolehan maksud tersebut. Pronomina persona hami yang eksklusif penggunaannya tidak seluas penggunaan pronomina persona hita yang inklusif. Hal itu disebabkan oleh terdapatnya perbedaan fungsi penggunaan di antara hita dan hami yang kelihatannya lebih banyak dimiliki hita daripada hami. Hita, di samping sarana lingual untuk pengacuan, sebagaimana terlihat pada penjelasan contoh 11, 12, dan 13, penggunaan pronomina persona hita ternyata berfungsi juga untuk menjaga kelangsungan keakraban di antara partisipan tutur. Selain itu adalah, hita juga memiliki fungsi strategis dalam mempercepat pemerolehan simpati dari mitra tutur yang belum diketahui secara jelas identitasnya. Dengan fungsi-fungsi yang dimiliki oleh pronomina persona hita tersebut cukup beralasan untuk mengatakan bahwa Universitas Sumatera Utara penggunaan hita lebih luas dibandingkan dengan penggunaan hami yang hanya terbatas pada fungsi pengacuan. Hami dapat digunakan untuk pengacuan kepada orang pertama dan ketiga. Orang ketiga yang terliput dalam lingkup acuan hami tidak selalu harus hadir bersama penutur. Dalam hal yang menyangkut kepemilikan kolektif keluarga, misalnya, seorang anggota dari keluarga yang dimaksud dapat saja menuturkan hami seorang diri di hadapan mitra tutur tanpa kehadiran anggota keluarganya yang lain. Apabila peristiwa semacam itu terjadi tidak berarti bahwa hami maksudnya ahu, yang digunakan untuk mengacu hanya kepada orang pertama tunggal atau penutur saja. Secara implisit, anggota keluarga penutur ikut juga terliput dalam lingkup acuan hami yang dituturkannya. Tuturan dengan menggunakan hami, seperti terlihat pada 14, dapat dijadikan sebagai contoh pendukung penjelasan tentang adanya keimplisitan pengacuan hami terhadap angota lain dari keluarga penutur. 14 Salangkon kobun na i baribai bo hami puna dope i. sedangkan kebun yang di seberang sungguh kami punya masih itu ‘Sedangkan kebun yang di seberang itu, toh masih kami punya .’ Dp, hal. 340, br. 26

4.1.1.2 Pronomina Persona Orang Kedua

Dalam kelompok pronomina persona orang kedua ini terdapat ho dan homu. Ho merupakan pronomina persona orang kedua tunggal, sedangkan homu sebagai pronomina persona orang kedua jamak. Bentuk pronomina persona orang kedua tunggal ada dua, yang secara semantis tidak berbeda, yaitu, ho dan ko. Sebagai pengawal tuturan, ho dan ko dapat muncul dan dapat saling menggantikan lihat Universitas Sumatera Utara contoh 15. Perbedaan bentuk di antara keduanya lebih cenderung disebabkan oleh perbedaan lingkungan unsur lingual yang ditempati oleh masing-masing bentuk tersebut. Bentuk ho lazimnya ditemukan sesudah unsur lingual yang berakhir dengan bunyi vokal, sedangkan ko setelah yang berakhir dengan selain vokal. Namun, potensi ho untuk dapat berdistribusi pada kedua jenis lingkungan yang disebutkan lebih besar dibandingkan dengan ko. Ko tidak dapat berdistribusi setelah vokal yang lazim ditempati oleh ho; sedangkan sebaliknya, ho ada kalanya dapat juga ditemukan pada posisi sesudah selain vokal yang lazim ditempati oleh ko lihat contoh 16. Dari contoh 15 dan 16 diperoleh bukti bahwa distribusi penggunaan ho, dibandingkan dengan ko, pronomina persona ho lebih sedikit dibatasi daripada ko. Dengan alasan itu, penulis selanjutnya menggunakan ho sebagai pilihan yang dapat mewakili kedua variasi tersebut. Ho 15 do na hupainte, kehe ma hita. Ko engkau lah yang kutunggu pergi lah kita ’Engkaulah yang kutunggu, ayo kita pergi.’ Di, hal. 351, no. 15 ro ma ho ko da ‘datanglah engkau, ya’ get tu ho ko kena ‘hendak kepadamu perginya’ 16 ma iligi ho ko do ‘sudahkah engkau lihat’ dibaen ko ho naso pade ‘engkau buat yang tak patut’ ulang ko ho jabat …… ‘jangan engkau sempat …..’ Di, hal. 351, no. 16 Universitas Sumatera Utara Penggunaan ho, sebagaimana halnya dengan ahu, amat terkait dengan pertimbangan usia dan hubungan kekerabatan di antara partisipan tutur. Ho dapat ditemukan penggunaannya dari penutur yang lebih tua usianya terhadap mitra tutur yang lebih muda atau relatif sebaya dengan penutur dalam kelompok keluarga-semarga yang sama. Terhadap mitra tutur yang lebih tua dari penutur tidak dibenarkan melakukan pengacuan dengan menggunakan ho. Apabila hendak mengacu mitra tutur yang lebih tua daripadanya, penutur melakukannya dengan menggunakan istilah panggilan kekerabatan yang sesuai, sebagai apa mitra tuturnya terhadap dirinya dalam sistem kekerabatan yang berlaku. Oleh karena ho dapat digunakan untuk mengacu mitra tutur yang usianya lebih muda dan relatif sebaya dengan penutur, tuturan pada 17 dapat dijadikan contoh untuk kedua macam penggunaan ho tersebut sekaligus. Tuturan pada 17 menggambarkan penutur yang ingin meminta rekomendasi kesudian dari mitra tuturnya apakah dapat menunggunya sebentar karena ada sesuatu yang belum terlihat bagi keduanya tetapi penting untuk diketahui. Kepada mitra tutur yang lebih tua, tuturan dengan menggunakan ho saja, seperti pada 17 tidak dibenarkan. Untuk maksud seperti itu penutur menggunakan istilah panggilan kekerabatan yang sesuai, seperti terlihat pada contoh 18 dan 19. Tuturan 19 berasal dari adik mitra tutur kepada abangnya yang dimintai kesudian agar dapat membawa sebagian beban berupa getah hasil deresan yang hendak dibawa pulang dari kebun. Penutur merasa bahwa beban itu semua terlalu berat untuk dibawa sendiri. Universitas Sumatera Utara 17 Tarpainte ho do, anso hupareso tongkin. tertunggu engkau nya supaya kuperiksa bentar ‘Bisa engkau tunggu, biar saya periksa sebentar.’ Do, hal. 351, no. 17 abang 18 Madung ro do langa ho sudah datang lah rupanya abang ‘Sudah datang abang rupanya.’ Di, hal. 351, no. 18 19 Bobanki na boratan, abang marobanna deba bia? bebanku itu yang berat abang membawanya sebagian bagaimana ‘Bebanku itu berat sekali, bagaimana kalau Abang yang mem- awanya sebagian?.’ Do, hal. 351, no. 19 Orang baru yang belum diketahui identitasnya, begitu juga orang yang berbeda asal atau marga dengan marga penutur dianggap sebagai orang asing terhadap anggota semarganya, yang perlu dihormati dan dimuliakan. Adalah pantas dan cukup beralasan seyogianya orang yang dihormati dan dimuliakan tidak diacu atau disapa dengan ho yang lazimnya digunakan untuk orang biasa atau yang lebih muda dari penutur. Dengan demikian, bentuk pronomina persona yang dianggap pantas untuk diacukan kepada orang yang dihormati dan dimuliakan adalah homu, bukan ho lagi. Homu, secara semantis, adalah pronomina persona yang digunakan untuk mengacu kepada orang kedua jamak. Namun, dalam hubungan seperti kasus yang baru disebutkan, secara pragmatik, homu adalah dengan maksud ho, yaitu orang kedua tunggal yang menjadi mitra tutur. 20 Ulang songon i ho biarna, i son do amangtua. Universitas Sumatera Utara jangan seperti itu engkau takutnya di sini nya amangtua ‘Engkau jangan takut seperti itu, Amangtua kan ada di sini’. Do, hal. 351, no. 20 21 Honokna homu huida paintehon, ise langa ? lamanya engkau kulihat menunggukan siapa rupanya ‘Kulihat, kamu terlalu lama menunggu, yang ditunggu siapa?’ Do, hal. 351, no. 21 Pada contoh 20 dan 21 di atas terdapat tuturan yang masing-masing dengan menggunakan ho dan homu. Yang terdapat pada 20 adalah penggunaan ho oleh penutur yang lebih tua kepada mitra tutur yang lebih muda dari kelompok keluarga-semarga yang sama dengan penutur dari abang ayah mitra tutur kepada anak adik laki-laki penutur. Tuturan 20 merupakan penyemangat bagi mitra tutur yang terlihat oleh penutur dalam ketakutan karena dapat gertakan dari teman-temannya yang lebih besar. Dengan dasar bahwa keduanya berasal dari kelompok keluarga-semarga yang sama, penggunaan ho, seperti pada 20, dapat juga ditemukan di antara sesama yang memiliki kesamaan usia relatif. Homu pada tuturan 21 diacukan terhadap mitra tutur yang belum diketahui identitasnya, yang telah lama terlihat menunggu oleh penutur. Penutur ingin mengetahui siapa sesungguhnya yang lagi ditunggu orang tersebut. Dari kedua contoh tuturan terakhir di atas 20, 21, tampak bahwa penggunaan bentuk yang berbeda dari pronomina persona tidak hanya terbatas pada sekedar pengacuan terhadap mitra tutur orang kedua tunggal, tetapi secara implisit Universitas Sumatera Utara dapat menginformasikan sekaligus hubungan antar personal sesama penutur dan mitra tutur. Penggunaan homu sebagai pengganti ho, seperti terdapat pada contoh 21, akan lebih luas apabila mitra tutur berasal dari luar kelompok keluarga-semarga penutur. Oleh karena orang dari luar kelompok keluarga-semarga adalah orang asing yang perlu dihormati dan dimuliakan, maka terhadap seluruh mitra tutur dari luar marga penutur harus diacu dengan menggunakan homu. Lingkup pengacuan dengan homu yang demikian dapat meliputi hampir semua mitra tutur dari jenjang usia, baik yang lebih muda, sebaya, dan yang lebih tua usia dari penutur. Penggunaan homu terhadap mitra tutur yang lebih muda dari penutur dapat terjadi, misalnya, antara seorang tulang saudara laki-laki ibu ego terhadap anak adik perempuannya bere. Antara tulang dengan bere, dalam sistem sosial masyarakat Mandailing, terdapat hubungan berlainan marga. Artinya, antara tulang dan bere berada dalam marga tertentu menurut marga ayah masing-masing. Dengan perbedaan marga tersebut, tulang sebagai penutur memandang bere, yang menjadi mitra tuturnya, sebagai orang asing – yang perlu dihormati dan dimuliakan. Perwujudan sikap yang demikian itu oleh tulang, sebagai penutur, dapat ditransformasikan selanjutnya ke dalam pilihan bentuk lingual tertentu yang dipandang memiliki nilai penghormatan dan pemuliaan dalam melakukan pengacuan terhadap bere-nya. Bentuk pilihan lingual dalam bahasa Mandailing untuk hal yang dimaksudkan ialah dengan menggunakan homu, seperti terdapat pada contoh 22 berikut ini. 22 Ulang badai homu anggi muyu. Universitas Sumatera Utara jangan ganggui kalian adik kalian ‘Kamu jangan mengganggui adikmu.’ Di, hal. 351, no. 22 Dengan memahami konteksnya, tuturan 22 yang menggunakan homu sebagai ho adalah berupa larangan terhadap seseorang, dalam hal ini mitra tutur yang lebih muda dari penutur, agar jangan melakukan perbuatan “mengganggu” adiknya. Perbuatan tersebut diketahui pada satu saat oleh tulang si mitra tutur, yang tidak setuju dengan perlakuan tersebut. Penggunaan homu dari penutur yang sebaya usia dengan mitra tutur, misalnya, dapat terjadi antara seorang lae suami saudara perempuan ego terhadap ipar-nya saudara laki-laki istri ego. Dalam hubungan ini, gambarannya adalah, apabila A sebagai lae dan B sebagai ipar, A akan memanggil B dengan istilah kekerabatan ipar; sebaliknya, B akan memanggil A dengan lae. Antara lae dengan ipar terdapat juga hubungan berlainan marga. Dengan perbedaan marga tersebut, lae sebagai penutur memandang ipar, yang menjadi mitra tuturnya, sebagai orang asing yang juga perlu dihormati dan dimuliakan. Oleh karena itu, A sebagai penutur seyogianya tidak mengacu B sebagai mitra tutur dengan menggunakan ho, tetapi dengan homu. Apabila B beroleh giliran sebagai penutur, B juga dapat mengacu dengan menggunakan homu terhadap A yang sudah beralih peran sebagai mitra tutur bagi B. Kemungkinan seperti itu dapat dibenarkan karena, di samping kedua partisipan telah sama-sama dewasa, A juga, adalah orang asing bagi B karena A adalah warga marga di Universitas Sumatera Utara luar marga B. Oleh karenanya, B pun seyogianya harus menghormati dan memuliakan A. Kemungkinan tuturan yang dapat ditampilkan dari gambaran pengacuan dengan menggunakan homu terhadap masing-masing A dan B terlihat, misalnya, pada contoh 23 yang berikut. 23 A: Potang ma ari, inda pe homu mulak langa? petang sudah hari belum lagi kalian pulang rupanya ‘Hari sudah sore, apakah kamu belum pulang?’ B: Pajolo homu ma, na get mulak juo mon. dulukan kalian lah yang hendak pulang juga lah ini ‘Kamu bolehlah duluan, sebentar lagi saya juga akan pulang.’ Do, hal. 351, no. 23 Pada contoh 23 di atas terjadi komunikasi tutur antara A dan B yang masing-masing asing terhadap sesamanya karena berasal dari marga yang berbeda. A yang dalam perjalanan kembali pulang terlebih dahulu dari tempat kerjanya, misalnya kebun, melihat B masih berada dan asyik kerja di kebunnya. Dengan melihat hari sudah terlalu sore, A menanyakan B apakah belum pulang juga karena hari yang menunjukkan waktu sore yang akan berakhir tersebut. Mengingat bahwa B sebagai ipar baginya, yang berarti orang asing yang harus dihormati dan dimuliakan, A menggunakan homu dalam tuturannya 23A untuk mengacu B sebagai mitra tutur. Mungkin karena menurut B ada lagi sesuatu yang harus dikerjkan sehingga dia baru dapat pulang sebentar lagi, B merespons pertanyaan A, lae baginya, dengan tuturan jawaban 23B yang maksudnya bahwa biarlah A pergi pulang lebih dahulu sementara B akan menyusul pulang kemudian. Dalam tuturan jawaban B 23B terdapat juga penggunaan homu sebagai pengacuan bernilai hormat dan memuliakan Universitas Sumatera Utara terhadap A. Hal demikian dilakukan oleh B karena A adalah juga orang asing terhadap marganya. Berbeda halnya dengan penggunaan homu sebagai ho oleh penutur dewasa terhadap mitra tutur yang lebih tua di luar marganya, misalnya terhadap salah satu orangtua dari istri penutur. Kepada salah satunya, acuan dengan menggunakan homu saja oleh penutur dipandang belum cukup walau dengan maksud menghormati dan memuliakan mertuanya tersebut. Di samping menggunakan homu, penutur diharuskan lagi menyertakan istilah kekerabatan yang sesuai sesudah homu untuk mengacunya. Istilah tulang dan nantulang masing-masing adalah sebutan yang terdapat dalam bahasa Mandailing untuk mertua laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, terhadap mertuanya yang laki-laki penutur mengacunya dengan homu tulang, dan kepada mertuanya yang perempuan dengan menggunakan homu nantulang. Contoh penggunaannya, masing-masing dapat ditemukan pada 24 dan 25. Pada contoh 24, sang menantu sebagai penutur ingin mengetahui mertuanya laki-laki hendak ke mana mau pergi, dan pada 25 sang menantu yang tidak menyangka kedatangan mertuanya perempuan, secara spontan bertanya akan kedatangannya tersebut. Dalam bahasa Mandailing, tuturan pada 24 dan 25 adalah tuturan yang dirasa janggal dan tidak berterima apabila sesudah homu tidak disertai dengan tulang dan nantulang. Setidaknya penutur, dengan kealpaan semacam itu, akan dipandang sebagai orang yang tidak mengerti bertutur sapa. 24 Na giot tu dia do homu tulang ? yang hendak ke manakah kalian tulang Universitas Sumatera Utara ‘Hendak ke mana kamu tulang ?’ Di, hal. 352, no. 24 25 Bo, ma ro homu nantulang ? ya sudah datang kalian nantulang ‘Ya, kamu sudah datang nantulang ? Di, hal. 352, no. 25 Pronomina persona homu untuk orang kedua jamak. Dalam penggunaan homu sebagai pengacuan terhadap orang kedua jamak, terdapat perbedaan berkenaan dengan kehadiran mitra tutur yang diacu. Pada prinsipnya, homu diacukan kepada mitra tutur yang jumlah orangnya banyak serta kehadirannya ada bersama penutur. Namun, ada kalanya pengacuan dengan homu tidak disertai dengan kehadiran orang lain bersama mitra tutur, melainkan mitra tutur sendiri. Secara sepintas penggunaan homu dalam hal yang demikian jelas salah, karena homu diacukan kepada mitra tutur yang jumlahnya hanya satu orang dan tidak pula digunakan sebagai pengacuan penghormatan dan pemuliaan kepada seseorang, seperti terdapat pada 21 sd 25. Dalam hal seperti itu, persoalan sesungguhnya bukan terletak pada soal jumlah mitra tutur yang diacu melainkan pada, adanya peserta mitra tutur abstrak lain yang tidak ikut hadir bersama mitra tutur yang hanya satu orang tersebut. Satu orang mitra tutur yang hadir hanya merupakan perwakilan saja dari keseluruhan orang yang diacu dengan menggunakan homu tersebut. Biasanya, orang lain yang tidak hadir bersama mitra tutur telah diketahui lebih dahulu oleh penutur, sehingga pada saat pengacuan terjadi dengan menggunakan homu terhadap satu orang mitra tutur, orang lain yang tidak hadir pada saat itu ikut Universitas Sumatera Utara juga terliput di dalamnya. Benar memang bahwa hal demikian secara sepintas terlihat salah, akan tetapi, setelah melalui pencermatan, ternyata tidak pula demikian halnya. 26 A: On saba nise, halahi? ini sawah dari siapa mereka ‘Ini sawah siapa, mereka punya? B: Inda saba ni halahi i, homu dope puna i. tidak sawah dari mereka itu kalian masih punya itu ‘Itu bukan sawah mereka, itu masih kalian punya.’ Do, hal. 352, no. 26 Dalam hal kepemilikan kolektif, ketidakhadiran sebagian orangnya sering terjadi. Artinya, di antara sejumlah pemilik sesuatu hanya satu yang hadir pada saat tuturan dengan menggunakan homu. Contoh 26 di atas dapat dijadikan sebagai gambaran untuk memudahkan pemersepsian hal terakhir yang dimaksud. Komunikasi tutur pada 26, antara lain, menginformasikan bahwa kedua orang A dan B lagi berada di lokasi persawahan tertentu. Di lokasi tersebut terdapat juga lahan sawah di bawah kepemilikan kolektif, antara A dan anggota keluarganya yang lain. Karena sesuatu sebab, A tidak mengetahui secara jelas soal yang menyangkut batas-batas lahan sawah itu dengan sawah milik orang lain. Ketidaktahuan A tersebut, yang tergambar pada tuturan tanya 26A, menyebabkan dia sempat mengira bahwa yang sesungguhnya sawah mereka adalah sawah milik orang lain. B, yang mengetahui soal batas-batas persawahan di lokasi tersebut, menjelaskan hal yang sebenarnya kepada A melalui tuturan 26B. Dalam tuturan 26B tersebut terdapat pronomina persona homu yang diacukan oleh B terhadap A. Bagi B, Universitas Sumatera Utara walaupun pengacuan homu pada saat tuturan itu tertuju kepada A sendiri, acuan homu pada 26B adalah A bersama anggota keluarga A yang lain.

4.1.1.3 Pronomina Persona Orang Ketiga

Pronomina persona yang tergolong ke dalam kelompok orang ketiga bahasa Mandailing adalah ia dan halahi. Bentuk ia merupakan orang ketiga tunggal, dan halahi bentuk jamak. Sebagai pronomina persona orang ketiga tunggal, selain ia, ditemukan juga bentuk ibana. Apabila dibandingkan, sebagai upaya membedakan keduanya, ia digunakan pada suasana taniba, sedangkan ibana pada suasana beriba. Oleh penutur, ibana digunakan untuk menunjukkan rasa ibanya terhadap orang ketiga yang dimaksudkannya. Selain itu, ia, di samping dapat diacukan kepada orang, ia dapat juga diacukan kepada selain orang; sedangkan ibana pengacuannya hanya berlaku untuk orang saja. Perbedaan situasi dapat digunakannya kedua pronomina persona tersebut menyebabkan sulit di antara keduanya untuk dapat saling menggantikan. Dalam situasi orang lagi sibuk di tempat kerja, misalnya, yang lazim digunakan adalah ia. Ibana, dalam situasi seperti itu, tidak dapat menggantikan ia. sebagaimana terlihat pada contoh 27. Tuturan 27, menginformasikan bahwa ada seorang yang sudah dikenal, yang seharusnya ikut kerja, tetapi belum terlihat kehadirannya di tempat kerja. Ketidakhadirannya itu membuat penutur 27, yang terlebih dahulu hadir di tempat tersebut, yakin bahwa orang yang dimaksud tidak datang lagi. Hal itu, oleh penutur, disampaikan kepada mitra tutur tertentu. Orang ketiga yang dimaksudkan oleh penutur Universitas Sumatera Utara tidak hadir itu, dalam situasi demikian, tidak dapat diacu dengan ibana melainkan dengan ia. ia 27 Inda ro dabo huida na giot karejo on. ibana tidak datang dia lah kulihat yang hendak kerja ini ‘Nampaknya dia tidak datang untuk kerja ini.’ Do, hal. 352, no. 27 ibana 28 Baen nga be marama ina, ulang nian maroban layas tu ia karena tidak lagi berayah ibu jangan kiranya membawa layas kepada ia ‘Karena sudah piatu, kiranya orang tidak anggap remeh kepadanya’. Do, hal. 352, no. 28 Apabila penutur merasa iba dikarenakan nasib tidak mujur yang dialami seorang anak misalnya, pengacuan terhadap anak tersebut, di hadapan mitra tutur, penutur lakukan dengan menggunakan ibana, seperti terdapat pada contoh 28. Contoh tuturan 28 menginformasikan adanya seorang anak yang ditinggal piatu oleh orangtuanya, sehingga penutur merasa iba melihat anak dengan nasib seperti itu. Penuturnya berharap agar dengan nasib yang ada pada anak tersebut tidak sampai membuat orang lain bersikap diskriminatif, yang membuatnya terabaikan. Dalam tuturannya 28 di hadapan mitra tutur, penutur melakukan pengacuan terhadap seorang anak orang ketiga tunggal dengan menggunakan ibana. Pengacuan dengan ibana, seperti pada 28 tersebut, ibana tidak dapat digantikan dengan ia. Selain kepada orang, tanpa membedakan jender, pronomina persona ia dapat juga diacukan kepada makhluk lain selain manusia, baik yang hidup seperti hewan, Universitas Sumatera Utara tumbuh-tumbuhan, maupun kepada makhluk yang tidak hidup seperti bangunan, peralatan, batuan. Sebagai contoh, pada 29 terdapat lima tuturan yang masing-masing menggunakan ia. Acuan ia pada 29a-e masing-masing tidak sama. Pada 29a-b acuan ia adalah a ‘harimau’ dan b ‘pohon’, yang masing-masing merupakan hewan dan tumbuh-tumbuhan seperti disebutkan di atas. Pada 29c-e acuan ia, secara berurut, adalah c ‘rumah’, d ‘lampu’, dan e ‘batu besar’, yang masing-masing sebagai bangunan, peralatan, dan batuan. Acuan tertentu yang dimiliki oleh ia pada setiap tuturan pada 29 tidaklah terlalu mudah menetapkannya. Untuk penetapan ‘harimau’ sebagai acuan ia pada 29a, misalnya, tidak cukup hanya dengan bermodalkan pengetahuan tentang konteks tutur sebatas siapa yang menuturkan, siapa yang menjadi mitra tutur, lokasi di mana tuturan disampaikan, serta kapan tuturan disampaikan. Konteks tuturan dalam arti luas, yang juga melibatkan unsur lain, seperti, pengetahuan mitra tutur tentang apa yang diinformasikan sebelumnya terlihat berperan membantu dalam penentuan acuan ia pada 29a-e lihat juga Saeed, 2000:182; Gasser 2003. 29 a. Anggo dung sialna, jolma pe isoro ia do. kalau sudah sialnya manusia pun dimangsa dia juga ‘Kalau nasib memang sial, manusia pun dimangsanya juga.’ Do, hal. 352, no. 29a b. Ma hutaba satonga, inda pe ia ra marumbak. sudah kutebang separuh belum juga dia mau tumbang ‘Sudah kutebang separuh, dia belum juga tumbang.’ Do, hal. 352, no. 29b c. Dung icet dohot tingkapna sude, baru deges ia tarida. setelah dicat bersama jendelanya semua baru cantik dia kelihatan ‘Setelah dicat semua bersama jendela, baru dia kelihatan indah.’ Do, hal. 352, no. 29c Universitas Sumatera Utara d. Mintop ia antong, ioban ko tu udan i. padam dia tentu dibawa engkau ke hujan itu ‘Tentu dia padam, engkau bawa pula ke hujan itu.’ Do, hal. 353, no. 29d e. Ulang utuk-kutuk, magulang ia tongkin nai tu rura an. ‘jangan goyang-goyang berguling dia sebentar lagi ke jurang sana ‘Jangan digoyang-goyang, nanti bisa dia berguling ke jurang sana.’ Do, hal. 353, no. 29e Penggunaan ia untuk pengacuan terhadap orang ketiga tunggal terkait juga dengan faktor usia dan hubungan kekerabatan antara penutur dengan orang ketiga tunggal yang diacu dan dengan mitra tutur. Terhadap orang ketiga tunggal yang lebih muda dari penutur dalam kelompok keluarga-semarga yang sama, pengacuannya dilakukan dengan menggunakan ia. Dalam hubungan seperti itu, faktor usia dan hubungan kekerabatan antara penutur dan mitra tutur tidak berperan terhadap digunakannya pronomina persona ia. Apabila orang yang diacu lebih tua usianya dari penutur, tanpa memperhatikan hubungan kekerabatan dengan mitra tutur, pengacuannya tidak dengan menggunakan ia, melainkan dengan menggunakan istilah tutur kekerabatan yang sesuai. Hal demikian dapat dilakukan, baik terhadap orang dari dalam kelompok keluarga-semarga maupun terhadap orang ketiga tunggal yang bukan anggota kelompok keluarga- semarga penutur. Perhatikan contoh 30. Apabila A, misalnya, sebagai penutur bertanya kepada mitra tuturnya B tentang orang ketiga yang hendak diacunya, kemungkinan di antara istilah panggilan kekerabatan yang terdapat dalam tanda kurung kurawal pada 30 dapat digunakannya sebagai pengganti ia. Universitas Sumatera Utara umak tulang uda tua 30 Mang ro ma langa ompung ? tobang amangboru nantulang dsb. sudah datang rupanya ………… ‘Sudah datang rupanya ………… ?’ Di, hal. 353, no. 30 Pengacuan terhadap orang ketiga tunggal yang belum dewasa, di samping dengan menggunakan ia, dapat juga dilakukan dengan menyebut nama atau panggilan umum lainnya. Apabila dengan menggunakan nama atau panggilan umum, pengacuannya dilakukan dengan menambahkan kata sandang si di depan nama orang yang diacu; si Karlan, si Amar, si Gongtua, si Miswa, si Misra, si Uncok, si Dalihan, dan sebagainya. Namun, terhadap orang ketiga tunggal yang lebih tua usianya dari penutur dan berasal dari luar kelompok keluarga-semarganya, bersikap hormat dan memuliakan kembali muncul sebagai tuntutan. Bentuk pronomina persona yang digunakan dalam menghormati dan memuliakan orang ketiga tunggal sebagai pengganti ia adalah halahi. Pengacuan dengan cara demikian dilakukan apabila orang yang menjadi mitra tutur adalah orang sebaya usia atau lebih tua dari penutur, dari kelompok keluarga-semarga orang yang diacu. Bentuk halahi, yang sesungguhnya merupakan pronomina persona orang ketiga jamak, dalam hal ini, digunakan sebagai orang ketiga tunggal. Konteks tutur, dalam hubungan ini, sangat berperan dalam Universitas Sumatera Utara membedakan yang mana halahi dengan maksud penghormatan dan pemuliaan terhadap orang ketiga dan halahi yang maksudnya untuk orang ketiga jamak. Apabila A terhadap B misalnya dalam hubungan menantu dengan mertua, A, dengan istilah kekerabatan memanggil B sebagai tulang, dan B memanggil A dengan istilah bere. A, yang seyogianya dalam mengacu B sebagi orang ketiga di hadapan mitra tuturnya misalnya C dengan menggunakan ia, tetapi karena yang diacu adalah tulang-nya yang perlu dihormati dan dimuliakan, maka A tidak lagi menggunakan ia, melainkan dengan halahi. Oleh karena keduanya A dan B, dalam hubungan ini, adalah orang yang telah dewasa dan berkeluarga, penggunaan halahi dapat juga terjadi dengan arah sebaliknya. Apabila B beroleh giliran sebagai penutur, B juga dapat mengacu dengan menggunakan halahi terhadap orang ketiga A di hadapan mitra tutur C. Kemungkinan seperti itu dapat dibenarkan karena A juga, adalah orang asing bagi B karena A adalah warga marga di luar marga B yang perlu dihormati dan dimuliakan. Bentuk halahi sebagai pronomina persona untuk orang ketiga dalam jumlah jamak dapat diacukan tanpa mempertimbangkan lagi soal perbedaan usia dan pertalian hubungan kekerabatan. Terhadap makhluk selain orang, sebagaimana halnya dengan pronomina persona ia, halahi dapat juga diacukan kepada hewan yang menunjukkan jumlah jamak, seperti kepada harimau, beruang, monyet, burung, ikan, dan sebagainya. Melalui paparan singkat di atas, yang meliputi 4.1.1 sd 4.1.1.3, terlihat bahwa dalam menentukan setiap pilihan pronomina persona terkait dengan faktor perbedaan tingkat usia dan hubungan kekerabatan antar partisipan tutur. Kedua faktor yang disebutkan menyangkut hubungan antar personal di antara partisipan aktif atau Universitas Sumatera Utara yang terlibat dalam pertuturan. Adapun yang berperan di luar kedua faktor tersebut adalah, yang terdiri dari suasana “beriba” dan “taniba”. Dengan memperatikan kembali konsep dasar yang dikemukakan Gasser 2003 dalam pembagian pronomina persona, yang terdiri dari 1 persona person, 2 semantik semantics, 3 jumlah number, 4 formalitas formality dan 5 jender gender, terlihat bahwa dimensi formalitas dan gender tidak berperan dalam pemilihan penggunaan ataupun pembagian kelompok pronomina persona dalam bahasa Mandailing. Melalui penggabungan konsep dasar pembagian pronomina persona yang berlaku dari Gasser dimensi 1 sd 4, hubungan antar personal penutur dengan yang terlibat dalam pertuturan, diperoleh satu konsep dasar yang dapat direalisasikan dalam menggambarkan kecenderungan yang terdapat dalam pembagian pronomina persona dalam sistem bahasa Mandailing. Perwujudan kecenderungan yang dimaksud adalah sebagaimana terlihat pada bagan 09 berikut. Bagan 09: Pronomina persona bentuk bebas BM Tunggal Jamak Beriba Taniba Inklusif Eksklusif Persona I iba ahu hita hami ho Persona II homu homu Hormat halahi Persona III ibana ia halahi Universitas Sumatera Utara

4.1.2 Bentuk Terikat

Penggramatikalan orang dalam wujud pronomina persona tidak hanya pada yang disebut bentuk bebas berupa kata yang dapat berdiri sendiri, tetapi ada juga yang melekat atau disertakan bersama bentuk bebas tertentu. Pelekatan atau penyertaan yang dimaksud disebabkan oleh potensinya untuk hadir sebagai kata tidak ada. Bentuk seperti itu disebut bentuk terikat. Ada kalanya keterikatan yang dimaksud wujud sebagai klitika di samping yang disertakan secara terpisah dari bentuk bebas sebelum atau sesudahnya. Untuk kedua jenis hubungan tersebut pada tulisan ini digunakan istilah terikat saja, sehingga dari kemungkinan posisi keduanya terhadap bentuk bebas, dikenal adanya bentuk terikat kanan dan terikat kiri. Terikat kanan dimaksudkan untuk pronomina persona terikat yang posisinya berada pada sebelah kanan atau sesudah bentuk bebas yang mendahuluinya, sedangkan terikat kiri untuk pronomina persona terikat yang berada pada sebelah kiri atau sebelum bentuk bebas yang mengikutinya bandingkan dengan Purwo 1984:27. Bagan 10: Pronomina persona bentuk terikat BM Terikat Kiri Pronomina Persona Bentuk Bebas Terikat Kanan - iba - niba hu- ahu -ku - ta- hita -ta - - hami - nami - ho -mu - Universitas Sumatera Utara - homu - muyu - ibana - ni ibana - ia -na -sa nia - halahi - ni halahi Kepemilikan padanan terikat bagi setiap pronomina persona bentuk bebas pada kenyataannya tidak sama seperti terlihat pada bagan 10. Dengan melihat bentuk terikat berdasarkan posisinya terhadap pronomina persona bentuk bebas, kepemilikan bentuk terikat bagi setiap pronomina persona bentuk bebas dapat dibagi atas empat kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah, adanya pronomina persona bentuk bebas yang memiliki padanan bentuk terikat secara lengkap, baik di kiri maupun di sebelah kanannya. Kemungkinan kedua, adanya pronomina persona bentuk bebas yang sama sekali tidak memiliki padanan bentuk terikat, baik di sebelah kiri maupun kanan. Kemungkinan ketiga, pronomina persona bentuk bebas dengan kepemilikan bentuk terikat kiri tanpa memiliki bentuk terikat kanan. Kemungkinan keempat, berupa pronomina persona bentuk bebas dengan kepemilikan bentuk terikat kanan saja tanpa bentuk terikat kiri. Dari keempat kemungkinan tersebut hanya tiga di antaranya yang ditemukan dalam sistem susun taut bentuk terikat dengan bentuk bebas pronomina persona bahasa Mandailing, yaitu kemungkinan pertama, kedua, dan keempat. Adapun yang tergolong kepada kemungkinan ketiga tidak ditemukan. Pronomina persona dengan kemungkinan pertama adalah ahu dan hita. Pronomina persona dengan kemungkinan Universitas Sumatera Utara kedua terdapat pada halahi, dan kemungkinan keempat pada iba, hami, ho, homu, ibana, dan ia. Dari keseluruhan bentuk pronomina persona terikat kiri, sebagaimana terlihat pada 31, misalnya, pronomina persona terikat kiri memiliki fungsi agentif atau sebagai pelaku. Jadi, hu- dan ta- pada contoh 31 adalah pemarkah agentif pengganti ahu dan hita, yang masing-masing dengan arti ‘saya’ dan ‘kita’. 31 hu-pangido  hupangido ‘saya minta’ hu-gorar  hugorar ‘saya namai’ ta- baen  tabaen ‘kita buat’ ta-lehen  talehen ‘kita beri’ ta-puna  tapuna ‘kita punya’ Di, hal. 353, no. 31 Pronomina persona terikat kanan, baik yang bersifat klitis, selain -sa, maupun yang non-klitis, memiliki dua fungsi. Yang pertama adalah dengan fungsi penominalan. Hal semacam itu dapat terjadi apabila pronomina persona terikat kanan didahului oleh bentuk bebas dari kelas kata adjektiva ataupun verba, masing-masing seperti: ringgas ‘rajin’, gusar ‘marah’, loja ‘letih’, lomok ‘pemurah’, oto ‘bodoh’; mangan ‘makan, modom ‘tidur’, juguk ‘dudu’, kehe ‘pergi’. Perhatikan contoh 32a dan 32b yang berikut. 32 a. ringgas-ku  ringgasku ‘rajinku’ ringgas niba  ringgas niba ‘rajin saya’ gusar-ta  gusarta ‘marah kita’ loja-mu  lojamu ‘letihmu’ loja nami  loja nami ‘letih kami’ oto-mu  otomu ‘bodohmu’ oto muyu  oto muyu ‘bodoh kalian’ lomok nibana  lomok nibana ‘pemurahnya’ lomok-na  lomokna ‘pemurahnya’ lomok-sa  lomoksa ‘pemurahnya’ Universitas Sumatera Utara b. mangan-ku  manganku ‘makanku’ mangan niba  mangan niba ‘makan saya’ modom-ta  modomta ‘tidur kita’ modom nami  modom nami ‘tidur kami’ juguk-mu  jugukmu ‘dudukmu’ juguk muyu  juguk muyu ‘duduk kalian’ juguk nibabana  juguk nibana ‘duduknya’ kehe-na  kehena ‘perginya’ kehe-sa  kehesa ‘perginya’ Di, hal. 353, no. 32 Fungsi kedua pronomina persona terikat kanan, kecuali -sa, adalah sebagai pemarkah posesif atau kepemilikan. Hal serupa dapat terjadi apabila bentuk bebas yang mendahului bentuk pronomina persona bentuk terikat kanan tersebut termasuk ke dalam kelas nomina, seperti: bagas ‘rumah’, gorar ‘nama’, huta ‘kampung’, gonjong ‘kalung’, ulu ‘kepala’. Perhatikan contoh 33 berikut. 33 bagas-ku  bagasku ‘rumahku’ bagas niba  bagas niba ‘rumah saya’ gorar-ta  gorarta ‘nama kita’ gorar nami  gorar nami ‘nama kami’ huta-ta  hutanta ‘kampung kita’ huta muyu  huta muyu ‘kampung kalian’ gonjong-mu  gonjongmu ‘kalungmu’ gonjong nibana  gonjong nibana ‘kalungnya’ ulu-na  uluna ‘kepalanya’ ulu-sa  ulusa ‘kepalanya’ Di, hal. 354, no. 33 Mengenai -sa, seperti terlihat pada 32 dan 33, pronomina persona bentuk klitika ini tidak lagi memiliki fungsi untuk penominalan, sebagaimana halnya dengan bentuk sinonimnya -na. Demikian juga dengan fungsi pemosesifan, bentuk -sa terlihat tidak produktif lagi. Sejauh ini, penulis menemukan hanya satu contoh pemosesifan Universitas Sumatera Utara dengan -sa, yaitu, pada konstruksi hasil penggabungannya dengan nomina nampuna ‘pemilik’. Dengan penggabungan seperti itu diperoleh nampunasa ‘pemiliknya’. Secara sepintas, dalam hubungan ini, agak sulit membedakan kedua fungsi yang dimiliki oleh pronomina persona terikat kanan, seperti terlihat pada contoh 32 dan 33. Pertanyaan yang mungkin timbul dari perbandingan kedua contoh tersebut 32, 33 adalah, apakah pronomina persona terikat kanan pada 32 bukan sebagai pemarkah kepemilikan terhadap bentuk bebas yang mendahuluinya, sebagaimana halnya terdapat pada 33. Pada 33 terlihat jelas bahwa orang yang diacu oleh bentuk pronomina persona terikat kanan dapat dikatakan berperan sebagai pemilik possessor terhadap nomina yang menempati posisi di depannya. Dari segi analogi bentuk terikat kanan pada 33 terhadap yang terdapat pada 32 memang ada juga benarnya bahwa bentuk-bentuk terikat kanan tersebut menyatakan keposesifan asalkan bentuk-bentuk bebas yang mendahuluinya dipandang sebagai nomina. Sebagai jawabannya adalah pertanyaan juga, yaitu, layakkah bentuk- bentuk ringgas ‘rajin’, gusar ‘marah’, loja ‘letih’, lomok ‘pemurah’, oto ‘bodoh’ serta mangan ‘makan, modom ‘tidur’, juguk ‘duduk’, kehe ‘pergi’ yang terdapat sebelum bentuk pronomina persona terikat kanan pada 32 termasuk kelas nomina?. Hal lain yang perlu diperhatikan berkenaan dengan kebenaran fungsi penominalan yang dimiliki bentuk terikat kanan pada 32 adalah kelas unit lingual yang diperoleh dari hasil penggabungannya dengan bentuk bebas yang mendahuluinya. Pada 32, hasil penggabungan seperti yang dimaksud menghasilkan unit lingual berkelas nomina, yang dapat berdistribusi dan saling menggantikan dengan sebuah Universitas Sumatera Utara kata dari kelas yang sama. Tambahan lagi bahwa unit lingual berkelas nomina pada 32 diperoleh setelah adanya penggabungan antara bentuk pronomina persona terikat dengan bentuk bebas lainnya. Pada 33, penggabungan bentuk terikat dengan bentuk bebasnya tidak dimaksudkan untuk menominalkan, melainkan pemosesifan, karena bentuk bebasnya sendiri sudah berkelas nomina sebelum adanya penggabungan. Di atas telah disebutkan secara sepintas bahwa pronomina persona bentuk terikat kanan ada dua macam. Yang pertama adalah yang bersifat klitis, dan macam kedua non-klitis seperti yang terdapat pada contoh 32 dan 33. Bentuk yang bersifat klitis, dalam penggabungannya dengan bentuk bebas, ada yang mengalami proses morfofonemik sehingga terjadi perubahan bentuk dari semula. Gejala seperti itu dapat ditemukan pada pronomina persona bentuk klitika -ku, dan -ta, sedangkan pada -mu, dan -na -sa tidak terlihat adanya proses semacam itu. Bentuk -ngku dan -nta akan ditemukan apabila -ku dan -ta masing-masing digabungkan dengan bentuk bebas yang berakhir dengan vokal, seperti terlihat pada 34. Bentuk yang non-klitis, seperti terlihat pada 35, memiliki sifat lebih eksplisit dari segi keposesifan dibandingkan dengan yang berbentuk klitika. Hal demikian diperjelas oleh kehadiran ni- pada bentuk-bentuk non-klitikanya. 34 ina-ku  inangku ‘ibuku’ aya-ku  ayangku ‘ayahku’ ulu-ku  ulungku ‘kepalaku’ ina-ta  inanta ‘ibu kita’ aya-ta  ayanta ‘ayah kita’ saba-ta  sabanta ‘sawah kita’ Di, hal. 354, no. 34 Universitas Sumatera Utara 35 pangidoan niba ‘permohonan saya’ amang nami ’ayah kami’ alus ni ibana ‘jawabannya’ hakehe nia ‘kepergiannya’ tarup ni bagas ‘atap rumah’ osar muyu ‘sampah kalian’ Di, hal. 354, no. 35 Bentuk ni- pada yang non-klitika sesungguhnya adalah merupakan bentuk kemungkinan varian dari ni yang ada kalanya muncul dalam bentuk n atau ni, seperti terdapat pada 35, yang dapat disamakan dengan dari dalam bahasa Indonesia untuk menyatakan keposesifan. Bentuk frasa bahasa Indonesia yang menyatakan keposesifan pada: ulah orangtua, nasib sukarelawan, kakak ayah, dan piutang yang salah tuduh, misalnya, dapat dieksplisitkan aspek keposesifannya dengan menghadirkan bentuk dari pada masing-masing frasa tersebut, sehingga menjadi: ulah dari orangtua, nasib dari sukarelawan, kakak dari ayah, piutang dari yang salah tuduh. Dengan analogi di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk pronomina persona terikat kanan non-klitika dalam bahasa Mandailing berfungsi sebagai pemarkah keposesifan. Betapa berperannya ni- dalam mengeksplisitkan keposesifan dapat dilihat, misalnya, dalam menafsirkan acuan bentuk pronomina persona terikat kanan -na. Bentuk -na, selain dapat mengacu kepada orang ketiga tunggal, -na dapat juga mengacu kepada orang kedua, baik tunggal mapun jamak. Bilakah -na acuannya dapat berupa orang kedua tunggal? Hal demikian dapat terjadi apabila bentuk penanda orang ketiga tunggal tidak dihadirkan sesudah -na. Perhatikan contoh 36. Universitas Sumatera Utara Tuturan pada 36 adalah dari seorang penarik becak kepada penumpang langganannya yang biasa dibawa berjualan ke Pasar Baru Penyabungan. Biasanya, selain penumpangnya, barangpun selalu ada yang harus dibawa serta. Akan tetapi, pada kali tertentu, penumpang langganannya hendak pergi ke pasar dengan menaiki becak yang sama tanpa sertaan barang bawaan. Untuk maksud sekedar mengingatkan dan memastikan apakah penumpangnya lupa atau memang tidak ada barang yang perlu dibawa, penarik becak tersebut menanyakan penumpang langganannya dengan menggunakan tuturan 36. Pada konteks seperti yang digambarkan di atas, pengacuan -na pada 36 jelas, adalah kepada penumpang langganannya yang sesungguhnya merupakan orang kedua tunggal baginya. 36 Inda dong barangna langa? tidak ada barangnya rupanya ‘Memang tidak ada barangnya?’ Do, hal. 354, no. 36 Namun, seperti diisyaratkan di atas, nia, yang merupakan bentuk kontraksi dari ni + ia, lebih eksplisit keposesifannya untuk orang ketiga tunggal daripada -na. Hal demikian disebabkan oleh terdapatnya ia sebagai penanda orang ketiga tunggal pada nia. Kehadiran ia sebagai penanda orang ketiga tunggal pada nia, seperti pada konstruksi barang nia, akan menutup kemungkinan penafsiran bahwa pemilik barang adalah orang kedua, seperti yang terdapat pada 36. Yang agak sulit diterangkan adalah bentuk terikat kanan non-klitika muyu sebagai pemarkah keposesifan untuk homu. Ada kemungkinan bahwa unsur mu pada Universitas Sumatera Utara muyu adalah representasi dari homu dengan penghilangan ho-nya karena untuk menyatakan keposesifan tidak dapat dilakukan langsung dengan menempatkan homu pada posisi sesudah nomina yang dimiliki, seperti osar homu ‘sampah kalian’. Karena kehadiran homu pada konstruksi seperti itu tidak berterima sebagai pemarkah keposesifan maka cara lain untuk mengungkapkan keposesifan itu ialah dengan jalan menghilangkan ho-nya. Dengan demikian, akhirnya, osar homu menjadi osarmu, sebagaimana dapat ditemukan dalam menyatakan keposesifan untuk orang kedua tunggal, seperti terlihat pada 33. Untuk membedakannya dari pengertian tunggal, bentuk mu beroleh tambahan yu sehingga menjadi muyu untuk menyatakan jamak. Apakah yu dalam bahasa Mandailing dapat ditemukan sebagai bentuk yang menandakan jamak pada muyu sesungguhnya masih memerlukan penelitian kesejarahan bahasa, bahasa-bahasa nusantara pada umumnya. Namun, sebagai perbandingan untuk mendukung kemungkinan itu, bentuk miyo, yang tidak berbeda jauh dengan muyu dalam bahasa Mandailing, dapat ditemukan dalam bahasa Alfur Minahasa sebagai bentuk terikat kiri penanda orang kedua jamak lihat Van der Tuuk 1864:242. Selain penominalan dan pemosesifan, fungsi lain yang dapat ditemukan pada pronomina persona bentuk terikat kanan adalah sebagai obyek. Di antara bentuk yang terikat kanan hanya yang bersifat klitis saja yang dapat berfungsi sebagai obyek, sedangkan pada yang non-klitis tidak ditemukan dengan fungsi tersebut. Dari yang klitis itu pun terbatas hanya pada -mu dan -na -sa saja, sedangkan -ku dan -mu tidak ditemukan sebagai obyek. Kejanggalan akan terasakan apabila kedua bentuk persona Universitas Sumatera Utara pertama tunggal dan jamak yang klitis tersebut digabungkan dengan verba aktif transitif, seperti manjago ‘menjaga’, pasikola ‘menyekolahkan’ mangontang ‘mengundang’, mangaligi ‘melihat’, pataru ‘mengantar’. Apabila orang pertama tunggal dan jamak hendak dijadikan sebagai obyek, yang tampil adalah bentuk bebasnya. Posisi obyek berada setelah pelaku dalam konstruksi pasif. Bentuk klitika lain -mu, -na -sa yang tadinya dapat ditemukan sebagai obyek, dapat pula ditemukan dengan cara seperti itu. Bandingkan antara contoh 37 dan 38 yang berikut. manjago -ku pasikola -ta 37 Si Amar do na bisa mangontang -mu mangaligi -na -sa pataru - si amar lah yang dapat …………… ……. ‘Si Amarlah yang dapat …….…….. ……...’ Di, hal. 354, no. 37 Ijago ahu Ipasikola hita 38 Iontang si Amar ko Iligi ia Ipataru - ………. si amar …… ‘ ………. si Amar …... .’ Di, hal. 355, no. 38 Berbeda halnya dengan bentuk terikat kanan yang lain, bentuk -na -sa tidak hanya dapat berfungsi sebagai obyek, tetapi juga sebagai pelaku dalam konstruksi pasif. Hal semacam itu terjadi apabila bentuk terikat kanan -na -sa digabungkan Universitas Sumatera Utara dengan bentuk verba pasif, seperti itiop ‘dipegang’, isapai ‘ditanyakan’, ipaboa ‘diberitahukan’, idokon ‘dikatakan’, ioban ‘dibawa’. Lihat contoh 39 berikut ini. itiop isapai -na 39 Madung ipaboa nagkin. idokon -sa ioban sudah …… … tadi ‘Sudah di- … … tadi’. Di, hal. 355, no. 39

4.1.3 Bentuk Gabungan Dengan Leksem Lain

Hasil penggabungan antara pronomina persona dengan leksem lain berupa kata penanda bilangan dapat ditemukan dalam komunikasi sehari-hari. Sehubungan dengan itu, kata penanda bilangan dapat difungsikan secara khusus dalam memperjelas jumlah orang yang terliput dalam pronomina persona yang digunakan. Hal semacam itu lazimnya terjadi pada penggunaan pronomina persona jamak. Pengertian jamak dengan ‘lebih dari satu orang’ yang terdapat pada pronomina persona tertentu oleh penutur ada kalanya dapapat dianggap kurang memadai dalam menginformasikan jumlah ‘lebih dari satu orang’ itu, apakah terdiri dari dua orang saja, tiga empat, lima, dan seterusnya. Dalam penggunaan pronomina persona jamak hami, misalnya, mitra tutur sesungguhnya telah mengetahui bahwa selain penutur sendiri ada lagi orang lain tertentu yang terliput di dalamnya. Namun, tentang jumlah atau berapa orang lagi yang ikut terliput bersama penutur di dalamnya, oleh mitra tutur, belum tentu diketahui dengan pasti. Universitas Sumatera Utara Agar mitra tutur dapat mengetahui secara jelas tentang jumlah orang yang diacu dalam hami penutur dapat mengupayakannya melalui penambahan penanda bilangan tertentu yang sesuai sesudah hami, seperti tolu ‘tiga’ untuk maksud tiga orang, sehingga bentuk gabungannya menjadi hami tolu. Untuk maksud yang sama terdapat juga konstruksi hami na tolu, dengan menampilkan na, yang dapat diartikan dengan ‘yang’ ataupun ‘ber-‘ dalam bahasa Indonesia, sebelum kata penanda bilangannya . Sampai sebatas jumlah berapa dapat dilakukan penambahan penanda bilangan seperti terdapat pada konstruksi di atas tidak ditemukan alasan yang jelas. Namun, apabila dikaitkan dengan aspek pengidentifikasian, hal tersebut dapat dilakukan hingga sebatas bahwa orang dalam jumlah yang ditampilkan masih teridentifikasi. Pengidentifikasian orang dalam jumlah kecil, seperti dalam jumlah dua ‘dua’, tolu ‘tiga’, opat ‘empat’, lebih mudah dan memungkinkan dapat dilakukan daripada dalam jumlah yang lebih banyak, seperti sapulu ‘sepuluh’, pitu bolas ‘tujuh belas’, onom pulu ‘enam puluh’, dst. Dengan demikian, cukup beralasan untuk mengatakan bahwa penambahan penanda bilangan jamak dalam memperjelas jumlah orang yang diacu jarang menampilkan bilangan yang menunjukkan jumlah yang relatif banyak. Sebagai preferensi, penulis memilih yang menggunakan na karena konstruksi yang di dalamnya terdapat na terasa lebih potensial dalam mengungkapkan aspek pengidentifikasian atau penekanan kolektifitas daripada yang tidak menggunakan na sama sekali. Selain itu, penanda bilangan yang didahului oleh na kepotensialannya untuk berdistrubusi secara sintaktis lebih besar daripada yang tanpa na. Penanda Universitas Sumatera Utara bilangan dengan na, selain dapat digabungkan dengan pronomina persona bentuk bebas, dia dapat juga digabungkan dengan pronomina persona bentuk terikat, baik yang bersifat klitis maupun non-klitis yang mendahuluinya. Penanda bilangan tanpa na tidak demikian halnya. Dia tidak ditemukan dapat bergabung, dengan pengertian, menempati posisi sesudah pronomina persona bentuk klitika dalam pembentukan frasa dalam bahasa Mandailing. Untuk lebih jelasnya, perhatikan dan bandingkan kemungkinan hasil penggabungan kedua macam penanda bilangan tersebut pada contoh 40 dan 41 berikut ini. hita na tolu na tolu 40 hami 41 bagas-ta homu tolu halahi tolu ‘rumah kita bertiga ’ Di, hal. 355, no. 40 Di, hal. 355, no. 41 Pada 40, kedua macam penanda bilangan masing-masing masih dapat digabungkan, untuk menghasilkan frasa, dengan semua pronomina persona jamak bentuk bebas. Fungsi kehadiran keduanya dalam frasa yang mungkin dihasilkan juga ikut terlihat dengan jelas, yaitu, memberi penjelasan tentang jumlah orang yang terliput dalam lingkup acuan masing-masing pronomina persona bentuk bebas di depannya. Dari strukturnya, komponen yang digabungkan sehingga terbentuknya frasa berada dalam urutan diterangkan dan menerangkan. Dalam hubungan ini, pronomina persona jamak bentuk bebas dalam frasa diterangkan oleh komponen berikutnya yang terdiri dari bentuk penanda bilangan. Universitas Sumatera Utara Fungsi yang sama, seperti yang baru disebutkan di atas, tidak ditemukan pada penanda bilangan tanpa na apabila digabungkan dengan pronomina persona jamak bentuk klitika. Sebagaimana terlihat pada 41, hanya penanda bilangan dengan na yang memilki fungsi demikian, yaitu na tolu, sedangkan penanda bilangan tolu saja, tanpa na di depannya, tidak. Fungsi menerangkan yang terdapat pada na tolu pada 41, dengan tetap, masih tertuju kepada pronomina persona yang di depannya, sebagaimana halnya terdapat pada contoh 40. Berbeda dengan penanda bilangan tolu, tanpa na, pada 41, penanda bilangan tersebut penjelasannya cenderung lebih tertuju kepada komponen frasa yang berada pada posisi sebelum pronomina persona daripada terhadap pronomina persona terikat itu sendiri. Dengan demikian, pada 41, jumlah tiga yang ditandai oleh penanda tolu bukan orang melainkan rumah. Pemberlakuan cara penggabungan seperti di atas tidak hanya terbatas untuk memperoleh frasa yang di dalamnya terdapat hami saja, tetapi dapat juga dilakukan untuk frasa lain dengan konstruksi yang sama, asalkan yang mendahului penanda bilangan tersebut merupakan pronomina persona yang menyatakan jamak, baik jamak untuk orang pertama, kedua, dan ketiga. Secara analogis, untuk orang pertama jamak, frasa yang ditemukan selain dengan penggunaan hami di dalamnya ialah hita na tolu. Hal yang membedakan antara hami na tolu dengan hita na tolu bukan pada na tolu-nya melainkan pada kehadiran hami dan hita pada masing-masing frasa tersebut. Hami yang menjadi inti pada frasa pertama berciri eksklusif dan hita pada frasa kedua berciri ininklusif. Perbedaan ciri yang demikian menyebabkan pengertian na tolu pada masing-masing frasa tersebut ikut berbeda. Karena ciri keeksklusifannya, Universitas Sumatera Utara pengertian na tolu pada frasa pertama adalah penutur bersama dua lagi orang ketiga dengan tidak menyertakan mitra tutur terliput di dalamnya. Pada frasa kedua justru yang ditemukan adalah sebaliknya. Oleh karena ciri keinklusifannya, pengertian na tolu padanya adalah penutur bersama satu orang ketiga dengan menyertakan mitra tutur terliput di dalamnya. Untuk orang kedua jamak, frasa dengan struktur yang sama ialah homu na tolu. Berbeda lagi dengan dua frasa terakhir dari orang pertama jamak, pengertian na tolu pada frasa orang kedua jamak adalah mitra tutur bersama dua orang ketiga dengan tidak menyertakan penutur terliput dalam lingkup acuannya. Selanjutnya terhadap orang ketiga jamak, frasa yang diperoleh setelah menggabungkannya dengan penanda bilangan yang sama adalah halahi na tolu. Pada frasa yang terakhir na tolu pengertiannya adalah tiga orang orang ketiga dengan tidak menyertakan penutur dan mitra tutur terliput dalam lingkup acuannya. Komponen lain bentuk gabungan pronomina persona ialah kata penunuk demonstrative pronouns, seperti on ‘ini’, i ‘itu’, an ‘sana’. Kehadiran on, dalam bentuk gabungannya dengan pronomina persona bentuk bebas, dapat berfungsi sebagai keterangan bernuansa penegasan emphasis. Pada hasil penggabungannya dengan pronomina persona orang pertama iba, misalnya, sehingga diperoleh iba on, terdapat fungsi penegasan dari on bahwa yang diacu bukan orang lain melainkan diri penutur sendiri. Sebagaimana telah disebutkan pada bagian 4.1.1.1, bentuk iba saja tanpa dukungan konteks seperti pada 07 dan 08 yang menguatkan bahwa acuannya Universitas Sumatera Utara adalah orang pertama tunggal, iba sifatnya tidak deiktis. Hal itu disebabkan oleh iba sendiri, yang artinya ‘diri’ atau ’awak’, dapat juga mengacu kepada selain orang pertama. Namun, dengan kehadiran on sesudahnya dalam bentuk gabungan, diperoleh keterangan berupa penegasan bahwa acuannya tidak lagi yang lain, melainkan diri penuturnya sendiri, yang juga dapat disebut sebagai orang pertama tunggal. Bahwa iba on jelas sebagai orang pertama tunggal, dia dapat digantikan atau menggantikan ahu yang juga sebagai pronomina persona orang pertama tunggal dalam konteks tuturan yang sama sebagai obyek, seperti terlihat pada 42 yang berikut ini. Iba on 42 muse ma na get aloon nia. Ahu saya pula lah yang hendak lawan dari dia ‘Saya pula yang mau dilawannya.’ Di, hal. 355, no. 42 Hasil penggabungan on dengan iba sehingga diperoleh bentuk hasil gabungan iba on, seperti pada 42 di atas, adalah merupakan cara lain dalam bahasa Mandailing untuk menjadikan iba bersifat deiktis. Untuk maksud yang sama, cara seperti itu dapat juga dilakukan dengan menggabungkannya dengan bentuk lingual lain, berupa pronomina persona bentuk terikat bahasa Mandailing. Bentuk-bentuk lingual yang dimaksud adalah -ku, -ta, nami, -mu, muyu,-nia, dan ni halahi perhatikan bagan 10. Dengan menggabungkan iba bersama masing-masing bentuk lingual yang disebutkan akan diperoleh ekspresi deiksis gabungan ibangku ,diriku’, ibanta ‘diri kita’, iba nami ‘diri kami’, ibamu ‘dirimu’, iba muyu ‘diri kalian’, iba nia ‘dirinya’, dan iba ni halahi Universitas Sumatera Utara ‘diri mereka’ yang acuannya masing-masing sudah jelas dan tentu. Ekspresi deiksis ibangku dengan mudah dapat dipahami, mengacu kepada orang pertama tunggal, ibanta kepada orang pertama jamak inklusif, iba nami kepada orang pertama jamak eksklusif, ibamu kepada orang kedua tunggal yang berperan sebagai mitra tutur atau petutur, iba muyu kepada orang kedua jamak, ibana kepada orang ketiga tunggal, iba ni halahi mengacu kepada orang ketiga jamak. Bentuk-bentuk hasil penggabungan iba dengan pronomina persona bentuk terikat, seperti yang baru disebutkan, dalam tuturan kalimat lazimnya berperan sebagai obyek dalam kerefleksifitasan. Artinya, tindakan yang dilakukan terhadapnya berasal dari dan oleh orang yang sama. Contoh masing- masingnya dapat dilihat pada 43 berikut ini. 43 Ibangku hupature. ‘Diriku kuurus.’ Ibanta tapature. ‘Diri kita kita urus.’ Iba nami hami pature. ‘Diri kami kami urus.’ Ibamu Ø pature. ‘Dirimu kau urus.’ Iba muyu homu pature. ‘Diri kalian kalian urus.’ Iba nia ipature ia. ‘Dirinya diurusnya.’ Iba ni halahi ipature halahi. ‘Diri mereka mereka urus.’ Di, hal. 355, no. 43 Selain untuk menegaskan identitas, seperti terdapat pada 42, kehadiran on dalam bentuk gabungannya dengan pronomina persona dapat juga merubah tuturan biasa menjadi tuturan yang menunjukkan sikap merendah atau perasaan iba. Perhatikan contoh 44 berikut. iba 44 Biama ibaen ahu on dompak nga marhepeng. hita hami Universitas Sumatera Utara bagaimana lah dibuat ….… ini ketika tidak beruang ‘Bagaimanalah …….. ini lagi takpunya uang.’ Di, hal. 356, no. 44 Ada kalanya pronomina persona dianggap sebagai tempat. Dalam hal seperti itu pronomina persona dalam bentuk gabungan didahului oleh preposisi, seperti di ‘di’, tu ‘ke pada’, sian ‘dari’, atau sekaligus disertai oleh kehadiran pronomina demonstratva sesudahnya. Tempat atau lokasi, dalam hubungan ini, perlu dibedakan antara 1 tempat orang bersama secara kolektif dan 2 yang bukan tempat buat orang. Untuk tempat dengan pengertian pertama 1, konstruksi yang muncul adalah bentuk gabungan yang terdiri dari preposisi dengan pronomina persona dan pronomina demonstrativa sesudahnya.Tercatat bahwa pronomina persona yang dapat tampil dalam bentuk gabungan seperti yang baru disebutkan adalah pronomina persona bentuk jamak, sedangkan yang bentuk tunggal tidak ditemukan dalam konstruksi gabungan seperti itu. Perhatikan contoh 45. Mengenai preposisi di depan pronomina persona yang terdiri dari di, tu, dan sian, masing-masing menjadi keterangan tempat terdapatnya sesuatu, tujuan, dan asalnya. Adapun pronomina demonstrativa sesudahnya memberi keterangan tentang posisi tempat dalam jarak relatif terhadap penuturnya. Konstruksi hasil gabungan dengan on memberi keterangan bahwa penuturnya berada pada atau relatif dekat dengan tempat yang dimaksudkan. Konstruksi dengan i memberi keterangan bahwa penuturnya relatif tidak terlalu jauh dari tempat yang dimaksudkan; sedangkan Universitas Sumatera Utara konstruksi dengan an menerangkan bahwa tempat yang dimaksudkan berada pada jarak relatif jauh terhadap posisi penutur berada. Untuk tempat dengan pengertian kedua 2, konstruksi yang muncul adalah bentuk gabungan yang terdiri dari preposisi dan pronomina persona, tanpa kehadiran pronomina demonstrativa di dalamnya. Dalam bentuk gabungan ini ditemukan bahwa semua pronomina persona, baik bentuk tunggal maupun jamak, dapat menjadi bagian hita hami di homu on 45 tu halahi i sian iba an ahu ho ibana ia Di, hal. 356, no. 45 dari konstruksi. Dengan menggunakan contoh 45, gambaran konstruksinya ialah yang tinggal setelah penghilangan pronomina demonstrativa dan pemberlakuan semua pronomina persona yang terdapat di dalamnya. Preposisi di, dalam bentuk gabungan dengan pronomina persona, memiliki dua kemungkinan arti. Arti pertama adalah ‘pada’, dan yang kedua ‘kepada’. Dengan arti ‘pada’, di menunjukkan keberadaan sesuatu ataupun kepemilikan possessive. Keberadaan di sini dimaksudkan bahwa sesuatu ada atau terdapat pada orang yang diacu oleh pronomina personanya. Keberadaan seperti itu dapat dicontohkan melalui jawaban terhadap pertanyaan 46. Universitas Sumatera Utara Tuturan jawaban pada 46 adalah sebagai respons dari seorang anak kepada ibunya yang menanyakan obat yang hendak dikonsumsinya karena lagi sakit. Sang anak, karena baru saja selesai membelinya, belum sempat secara langsung memberikan obat tersebut kepada ibunya. Obat tersebut masih berada di dalam salah satu kantong celananya. 46 Tanya : Ma di dia nangkin ubatki? sudah di mana tadi obatku itu ‘Obat saya sudah di mana tadi?’ Jawab : Di ahu. di saya ‘Pada saya.’ Do, hal. 356, no. 46 Di dengan arti ‘pada’ dalam hal kepemilikan dimaksudkan bahwa ada sesuatu yang dimiliki oleh orang yang diacu dengan pronomina persona tersebut. Kepemilikan itu dapat terjadi terhadap sesuatu yang bersifat konkret maupun yang abstrak, seperti keinginan, kesetujuan, rasa kasihan, kesehatan, kepandaian. Penghilangan terhadap sesuatu yang dimiliki dapat juga ditemukan apabila terdapat konteks tutur yang membantu. Hal seperti itu dapat dilihat, misalnya, pada jawaban terhadap pertanyaan 47. Komunikasi interaktif pada 47 terjadi karena keperluan penanya akan korek api karena hendak merokok. Sang penanya yang lagi di perjalanan menuju tempat kerjanya di kebun baru menyadari bahwa dia lupa membawa korek api. Untuk memperoleh api, dia menanyakan kepada orang lain yang dikenalnya. Orang lain Universitas Sumatera Utara tersebut memahami maksud si penanya dan meresponsnya dengan jawaban yang terdapat pada 47. 47 Tanya : Adong di ho kayapi? ada di engkau korek api ‘Ada korek apimu?’ Jawab : Inda adong di ahu. tidak ada di saya ‘Saya tidak punya.’ Do, hal. 356, no. 47 Tuturan 48 yang di dalamnya terdapat bentuk gabungan di ahu termasuk tuturan yang sering ditemukan manakala seseorang tidak setuju terhadap sesuatu. Apa yang tidak dimiliki oleh penutur pada 48 kemungkinannya banyak. Untuk mengetahui salah satu di antara kemungkinan itu perlu pemahaman konteks sebelum tuturan tersebut dihasilkan. Apabila dalam konteks tutur, misalnya, terdapat ajakan untuk menyabung ayam, yang tidak dikehendaki oleh penutur 48, maka yang tidak dimiliki oleh penutur 48 adalah kesetujuan untuk melakukan pekerjaan itu, bukan kepemilikan terhadap ayamnya. 48 Inda di ahu. tidak di saya ‘Saya tidak mau.’ Di, hal. 356, no. 48 Preposisi di dengan arti ‘kepada’, dalam gabungannya dengan pronomina persona, berfungsi sebagai penanda adanya obyek benefaktif. Artinya, terdapat peruntukan sesuatu demi kemujuran orang yang diacu. Hal semacam itu dapat dilihat Universitas Sumatera Utara contohnya pada 49. Tuturan 49 berasal dari kepala keluarga yang anaknya baru pulang dari rantau dengan membawa oleh-oleh. Dia menginginkan, jika memungkinkan untuk dibagikan, agar orang lain selain mereka sekeluarga mendapat juga. 49 Anggo tarbagi silua i lehen di halahi deba. kalau terbagi oleh-oleh itu berikan di mereka sebagia ‘Kalau memungkinkan, kasikan oleh-oleh itu sebagian kepada mereka.’ Do, hal. 357, no. 49 Dengan tu. Dalam bentuk gabungan, preposisi tu sebelum pronomina persona berarti ‘kepada’. Sebatas itu terdapat kesamaan antara di seperti pada contoh 49 dengan tu dari segi arti. Walau demikian, di antara keduanya terdapat perbedaan dari segi penggunaan. Di dengan arti ‘kepada’, penggunaannya cenderung sebagai penanda adanya obyek yang bersifat benefaktif, sedangkan orang yang diacu dengan pronomina persona dalam bentuk gabungannya dengan tu merupakan objek non-benefaktif. Dengan perbedaan dari segi penggunaan itu tidak terdapat kemungkinan bagi tu untuk menggantikan fungsi di dalam bentuk gabungan di halahi pada 49. Sebaliknya pula, di, seperti yang terdapat pada 49 tidak mungkin menggantikan tu dalam bentuk gabungan tu halahi pada contoh 50. Hal demikian disebabkan oleh tu pada 50 menunjukkan kenonbenefaktifan, sedangkan di pada 49 sifatnya benefaktif. 50 Patidahon tu halahi anso rap mamboto. tunjukkan kepada mereka agar sama-sama mengetahui ‘Tunjukkan kepada mereka agar sama-sama mengetahuinya.’ Dp, hal. 341, br. 33-34 Universitas Sumatera Utara Dengan sian. Dalam bentuk gabungannya dengan pronomina persona, preposisi sian menunjukkan dari siapa asal atau sumber sesuatu. Sian merupakan antonim dari preposisi tu dengan arti ‘kepada’. Dalam bahasa Indonesia sepadan dengan kata dari. Sebagai contohnya, dapat dilihat pada 51 berikut. 51 Sian ia langkot tu halak na bahat. dari dia menular ke orang yang banyak ‘Dari dia menular kepada orang banyak.’ Di, hal. 357, no. 51 Kemungkinan apa yang berasal dari ia pada 51 juga banyak. Agar dapat diketahui perlu pemahaman konteks tuturnya dari semula. Apabila terdapat pembicaraan sebelumnya, misalnya, tentang penyakit mata mata merah, maka kemungkinan yang tepat berasal dari ia pada 51 adalah penyakit merah mata. Leksem lain yang lazim ditemukan dalam bentuk gabungan dengan pronomina persona adalah pe ‘juga’, do ‘yang’, ma ‘lah’. Masing-masing berfungsi sebagai keterangan dalam hal yang berbeda. Bentuk pe sesudah pronomina persona berfungsi sebagai keterangan yang menyatakan keikutsertaan orang yang diacu terkait atau ikut terlibat dalam hal yang dimaksudkan. Hal yang dimaksudkan itu bisa saja pada apa yang terjadi sebelum saat penuturan, atau malah pada yang belum terjadi, baru merupakan konsep atau gambaran dalam fikiran penutur. Hal yang terjadi sebelum tuturan, misalnya, peristiwa terjadinya gerhana bulan yang disaksikan secara bersama. Untuk menerangkan keikutsertaan dalam menyaksikan peristiwa tersebut, penutur dapat menggunakan pe sesudah pronomina persona, seperti terdapat pada Universitas Sumatera Utara contoh 52. Dari konteks tersebut tuturan 52, yang di dalamnya terdapat bentuk gabungan ia pe, dapat ditafsirkan bahwa selain penutur dan mitra tutur, di antara orang banyak yang hadir, terdapat juga satu orang ketiga tertentu yang ikut serta dalam menyaksikan peristiwa terjadinya gerhana tersebut. Mengikutsertakan orang terlibat dalam hal yang masih konseptual seperti disebutkan di atas dapat juga terjadi, sehingga dihasilkannya bentuk gabungan pe sesudah pronomina persona. Pengacuan pronomina persona bentuk gabungan dalam hal semacam itu biasanya terjadi tanpa pelataran konteks tuturan terlebih dahulu, sehingga pengacuannya bagi mitra tutur sering sebagai kejutan, atau setidaknya menjadi pertanyaan, keterlibatan apa yang ada antara orang yang diacu dengan hal yang masih belum diketahuinya. Oleh karena ketidaktahuan itu, respons dari pihak mitra tutur biasanya tidak muncul secara spontan, melainkan membutuhkan waktu hingga diperolehnya kejelasan tentang keterlibatan itu. Dari penutur, penjelasan untuk hal semacam itu biasanya akan muncul setelah bentuk gabungan pe sesudah pronomina persona, seperti terlihat pada contoh 53. Dengan menjadikan contoh 53 sebagai tuturan seorang tuan rumah terhadap tamunya, bagian yang artinya ‘datang tanpa oleh-oleh’, adalah gambaran yang lebih dahulu terdapat pada tuan rumah secara konseptual daripada tamu yang datang. Boleh jadi, misalnya, gambaran seperti itu ada pada tuan rumah karena dari pengalaman sebelumnya telah ada sejumlah tamu yang datang tanpa membawa oleh-oleh. Untuk kali terakhir ini, tamu yang datang juga dengan hal yang sama, sehingga tuan rumah menyamakannya dengan tamu yang datang sebelumnya. Tamu terakhir tidak Universitas Sumatera Utara mengetahui sebelumnya bahwa dengan hal itu dia dilibatkan. Dia baru mengetahui hal yang dimaksudkan itu datang tanpa oleh-oleh setelah tuan rumah selesai mengakhiri tuturannya. Berbeda halnya dengan yang terdapat pada 52, antara mitra tutur dengan penutur telah terjadi komunikasi sebelumnya tentang kehadiran bersama dalam menyaksikan peristiwa terjadinya gerhana bulan. Dengan demikian, pengikutsertaan orang terlibat pada 52 dengan menuturkan ia pe tidak menjadi kejutan karena konteks situasi yang jelas sebelum tuturan dapat membantu mitra tutur untuk mengetahui dalam hal apa keikutsertaan orang yang dimaksudkan oleh penutur. Bahkan, dengan pemahaman konteks tuturan sebelumnya penghilangan bagian keterangan sesudah ia pe pun di si huida pada 52 dapat dilakukan karena penghilangan itu tidak merupakan kendala bagi mitra tutur untuk mengetahui dalam hal apa keikutsertaan orang yang diacu. Penghilangan keterangan dengan cara yang sama tidak dapat dilakukan pada 53. Hal itu disebabkan oleh tidak terdapatnya konteks tutur sebelumnya yang dapat membantu mitra tutur untuk mengetahui dalam hal apa dia dilibatkan. 52 Ia pe di si huida. dia juga di situ kulihat ‘Saya lihat dia juga ada di situ.’ Di, hal. 357, no. 52 53 Ho pe, ro nga marsilua. kau juga datang tidak ber oleh-oleh ‘Engkau juga, datang tanpa oleh-oleh.’ Di, hal. 357, no. 53 Universitas Sumatera Utara Penghalusan agar tidak terasa kasar atau mengurangi rasa ketersinggungan orang adalah termasuk hal yang perlu diperhatikan oleh penutur dalam menggunakan bahasa Mandailing. Oleh karena itu ada juga kemungkinan tambahan bentuk lingual sesudah pe untuk memenuhi keperluan yang dimaksud, yaitu dengan menambahkan da sesudah pe, sehingga menjadi pe da. Apabila dengan cara ini diterapkan kepada contoh 52 dan 53, bentuk tuturannya akan mengalami perubahan pada awal tuturan. Masing-masing akan dimulai dengan ia pe da dan ho pe da. Penambahan bentuk gabungan pe da, asal dengan maksud yang sama, seperti yang baru disebutkan, dapat dilakukan terhadap masing-masing dari semua pronomina persona bentuk bebas bahasa Mandailing. Dengan do dan ma. Bentuk do dan ma memiliki fungsi yang hampir sama sesudah pronomina persona. Keduanya sama-sama memiliki fungsi memberi penekanan emphasis, tetapi berbeda dari segi intensitas. Penekanan dalam hubunan ini dimaksudkan sebagai pertanda kehendak dari penutur secara lingual agar orang tertentu di antara sejumlah kemungkinan menjadi pilihan. Pada penggunaan do intensitas penekanan lebih kuat dibandingkan dengan menggunakan ma. Kehendak penutur dengan menggunakan do mendekati keharusan. Artinya, bukan atau jangan orang lain kecuali orang tertentu, yang telah mendapat pengidentifikasian lebih dahulu. Pada penggunaan dengan ma, penekanan kehendak dalam menetapkan orang tertentu sebagai pilihan masih dapat ditawar atau berubah. Pilihan dengan ma biasanya baru hanya berdasarkan pertimbangan sebelum adanya orang lain yang bisa atau lebih pantas jadi pilihan. Apabila terdapat, ketetapan yang telah dibuat masih mungkin untuk Universitas Sumatera Utara berubah. Kontras perbedaan penekanan kehendak pada penggunaan do dan ma dapat dilihat, misalnya, pada 54 dan 55. Dapat dikatakan bahwa penekanan kehendak agar orang tertentu yang menjadi pilihan pada 54 lebih dominan daripada yang terdapat pada 55. Hal demikian disebabkan oleh tidak adanya kemungkinan orang lain lagi pada 54 yang perlu diperhitungkan sebagai penentu terlaksananya pekerjaan yang dimaksud selain mitra tutur homu; sedangkan pada 55 masih terdapat orang lain yang memungkinkan menggantikan mitra tutur homu untuk pekerjaan memanjat, yaitu penuturnya sendiri. 54 Homu do putona anso tarbaen karejonta on. kamu lah putusannya supaya tekerjakan pekerjaan kita ini ‘Hanya kamu saja penentunya agar pekerjaan kita ini terlaksana.’ Di, hal. 357, no. 54 55 Homu ma manaeksa nangkon sai ahu be. kamu lah memanjatnya takusah selalu saya lagi ‘Kamulah memanjatnya, takusah lagi saya.’ Di, hal. 357, no. 55 Dalam hal menghaluskan tutur, ditemukan juga penambahan bentuk da sesudah masing-masing do dan ma, sebagaimana yang berlaku sesudah pe sebelumnya. Dengan demikian dikenal bentuk-bentuk gabungan pronomina persona dengan do da dan do ma. Apabila penerapannya dilakukan terhadap tuturan 54 dan 55, kedua tuturan tersebut masing-masing akan dimulai dengan homu do da dan homu ma da. Dengan bentuk terikat. Gabungan bentuk terikat dengan pronomina demonstrativa dapat juga ditemukan dalam penggunaan pronomina persona bahasa Universitas Sumatera Utara Mandailing. Tercatat bahwa ketiga pronomina demonstrativa yang disebutkan sebelumnya on, i, dan an dapat digabungkan dengan masing-masing dari semua pronomina persona bentuk terikat, baik yang klitis maupun yang non-klitis, asalkan dalam konstruksi posesif. Artinya, bentuk terikat yang dimaksud masih berada dalam rangkaiannya dengan nomina konkret yang dimiliki. Dengan menggunakan saba ‘sawah’, motor ‘mobil’, tobat ‘kolam’, kareta ‘sepeda’, bagas ‘rumah’, misalnya, sebagai yang dimiliki, bentuk konstruksi setelah penggabungannya dengan pronomina demonstrativa adalah seperti terlihat pada 56. saba nami motorta on 56 tobat muyu i kareta nia an bagas ni halahi Di, hal. 357, no. 56 Namun, khusus pronomina persona bentuk terikat klitika yang berakhir dengan fonem u , padanya terjadi penghilangan fonem yang sama akibat gejala kontraksi dalam penggabungannya dengan pronomina demonstrativa. Hal seperti itu ditemukan hanya pada pronomina persona orang pertama dan kedua tunggal saja, masing-masing seperti terlihat pada 57a-b. on motorkon 57 a. motorku i  motorki an motorkan on karetamon b. karetamu i  karetami an karetaman Do, hal. 357, no. 57 Universitas Sumatera Utara

4.2 Deiksis Tempat Dalam Bahasa Mandailing