Konteks Tutur KAJIAN PUSTAKA

2.4 Konteks Tutur

Penyebutan konteks tutur pemunculannya sering ditemukan dalam kajian bahasa linguistik, terutama dalam kajian pragmatik. Membuat rumusan konteks tutur yang tepat untuk penggunaan yang luas tentu tidak mudah karena apa saja yang menjadi komponen konteks tutur itu dapat berbeda di antara para ahli. Namun, sebuah rumusan konteks tutur, yang penulis anggap bercorak relatif moderat, dimuat di sini. Secara umum dapat dikatakan bahwa konteks tutur adalah faktor lingkungan dinamis sekitar yang relevan terhadap pemilihan bentuk dan penafsiran satuan lingual yang digunakan. Bandingkan dengan Huang 2007:13 yang merumuskan konteks tutur sebagai “any relevant features of the dynamic setting or environment in which a linguistic unit is systematically used”. Tentang konteks tutur terdapat juga pembagiannya, seperti yang dikemukakan oleh Ariel Huang, 2007:13-14. Melihat sumbernya, dia membagi konteks tutur atas tiga jenis. Yang pertama hingga yang ketiga, masing-masing adalah: 1 konteks fisik physical context, 2 konteks lingual linguistic context, dan 3 konteks pengetahuan umum general knowledge context seseorang. Konteks 1 adalah lingkungan dinamis yang melatari tuturan, seperi partisipan penutur dan mitra tutur, lokasi, dan waktu tuturan Gasser, 2003. Mitra tutur sebagai konteks fisik, yang berperan relevan dalam pemilihan bentuk dan penafsiran maknanya, dapat dilihat, misalnya, pada penggunaan pronomina persona orang kedua tunggal kau pada Jangan kau datang lagi Terpilihnya bentuk kau bukan Anda, Tuan, Ayah, dsb. pada tuturan terakhir, di atas, telah melalui pertimbangan sebelumnya dari penutur, siapa orang Universitas Sumatera Utara yang menjadi mitra tuturnya. Penutur tidak akan menggunakan kau sebagai pilihan apabila orang yang menjadi mitra tutur, misalnya, ayahnya. Jadi, dalam hubungan ini, mitra tutur adalah konteks fisik di sekitar tuturan, yang melatari dan berpengaruh terhadap dipilihnya penggunaan kau oleh penutur untuk menyapa mitra tuturnya. Dari aspek pemaknaan, kau tidak dapat diberi atau ditentukan maknanya sebelum mengetahui siapa yang menjadi mitra tutur bagi penutur pada saat tuturan tersebut berlangsung atau, siapa yang dimaksud oleh penutur dengan menggunakan kau dalam tuturannya. Dengan mengetahui siapa orang yang menjadi mitra tutur, misalnya Budi konteks fisik, barulah dapat ditentukan makna bentuk unsur lingual kau. Konteks jenis 2 adalah unsur-unsur lain dari bahasa itu sendiri yang melatari bentuk lingual yang digunakan. Apa yang disebut sebelum saat tuturan, misalnya, berpengaruh dalam pemilihan dan penentuan makna unsur bahasa yang digunakan. Unsur bahasa dia pada tuturan tanya dari Budi kepada Ali berikut ini, misalnya, pilihan penggunaannya, oleh Budi sebagai mitra tutur, didasarkan pada konteks lingual yang dihasilkan oleh Ali sebagai penutur sebelum saat tuturan dia oleh Budi. Pilihan Budi menggunakan dia bukan engkau, saya, dsb. dipengaruhi oleh pertimbangan bahwa bentuk lingual yang sesuai untuk mengacu orang ketiga tunggal Mira yang dituturkan oleh Ali adalah dia. Dalam penentuan makna terhadap dia, konteks lingual yang sama, yang dituturkan oleh Ali sebelumnya, juga memiliki pengaruh. Terhadap dia, yang dituturkan Budi sebagai penutur dapat ditentukan maknanya oleh Ali sebagai mitra Universitas Sumatera Utara tutur setelah mengetahui bahwa yang Budi maksudkan dengan dia adalah Mira, yang terdapat pada tuturan konteks lingual sebelumnya. Ali : Mira sudah datang. Budi : Mana dia ? Konteks jenis 3 merupakan latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur sebagai anggota dari masyarakat yang sama. Dengan kesamaan latar belakang pengetahuan itu penutur mengasumsikan bahwa mitra tutur akan dengan persepsi yang sama dengan penutur terhadap yang hendak dituturkan. Atau, dengan kata lain, apa yang hendak dituturkan oleh penutur diyakini akan dapat dimaknai mitra tutur sesuai dengan yang dimaksudkan oleh penutur. Terhadap uraian yang baru disebutkan, Gibbs Saeed, 2000:185 membuat bentuk sebuah rumusan. Apabila S = Penutur Speaker, P = Proposisi proposition, dan A = Mitra Tutur Addressee, rumusannya adalah sebagai berikut. “ S and A mutually know a proposition P, if and only if : S knows that P A knows that P S knows that A knows that P A knows that S knows that A knows that P, ....... and so on. “ Universitas Sumatera Utara Sebagai bukti bahwa antara penutur dan mitra tutur memiliki latar belakang pengetahuan yang sama terhadap sebuah proposisi, dapat dilihat pada komunikasi antara A dengan B, yang Saeed contohkan sebagai berikut. A : Shall we go and get some ice cream? B : I’m on a diet. A : Oh, okay. Dapat dikatakan bahwa proposisi P yang diketahui secara bersama oleh penutur dan mitra tutur itu adalah, ‘Diet itu berpantang es krim karena sarat lemak’. Keberlangsungan komunikasi terakhir, di atas, menandakan bahwa B tahu akan proposisi itu, dan yakin bahwa A juga mengetahuinya. Oleh karena A dapat memaklumi alasan penolakan B, berarti A juga mengetahui proposisi itu. Lebih jauh adalah, A juga mengetahui bahwa B tahu bahwa A mengetahui P itu. Kesamaan latar belakang pengetahuan umum pada penutur dan mitra tutur, seperti yang disebutkan, berpengaruh terhadap keberlangsungan komunikasi antara partisipan tutur. Soal ada-tidaknya keberlangsungan komunikasi antara partisipan tutur, dalam bahasa populernya, masing-masing disebut dengan istilah “nyambung” dan “tidak nyambung”. Pada perkembangan selanjutnya, pengertian konteks tutur berupa latar belakang pengetahuan umum dibedakan oleh Clark Huang, 2007:14 dengan membaginya kepada dua jenis pengetahuan, masing-masing, pengetahuan umum masyarakat communal common ground dan pengetahuan umum perorangan Universitas Sumatera Utara personal common ground. Pengetahuan jenis pertama merupakan pengetahuan yang sama yang melatarbelakangi setiap anggota suatu masyarakat, sedangkan pengetahuan jenis kedua berupa pengetahuan yang melatarbelakangi anggota-angota tertentu dari suatu masyarakat, yang mereka peroleh dari pengalaman masa lalu mereka. 2.5 Urgensi Deiksis Pada mulanya istilah deiksis deixis, dari bahasa Yunani Kuno deiknymi Saeed, 2000:173, dipersepsi sebagai ‘pengacuan dengan isyarat’. Bagian dan gerakan tertentu dari anggota tubuh penutur digunakan untuk mengacu sesuatu yang dimaksudkannya. Pengarahan jari tangan kepada sesuatu yang dimaksudkan adalah salah satu contoh cara pengacuan dengan menggunakan isyarat bagian tubuh. Pengacuan seperti itu, menurut Lyons 1995:303-304, boleh jadi merupakan cara alami manusia sejak dini proto-form of reference Bohnemeyer, 2006 dalam mengidentifikasi apa yang dimaksudkannya. Ditambahkan bahwa cara pengacuan seperti itu dapat ditemukan dalam berbagai budaya dunia. Dengan mengambil analogi dari kenyataan di atas, Lyons sampai kepada satu kesimpulan bahwa setiap ekspresi lingual yang memiliki fungsi yang sama dengan fungsi mengacu yang terdapat pada isyarat anggota tubuh, seperti disebutkan di atas, sifatnya deiktis. Bentuk-bentuk pronomina persona dan demonstrativa adalah termasuk ke dalam jenis ekspresi lingual yang jelas memiliki kesamaan fungsi dengan penggunaan bagian tubuh, seperti jari tangan, untuk mengacu kepada sesuatu. Hal itu dapat dibuktikan, misalnya, dengan mengacukan tangan kita kepada diri sendiri sambil Universitas Sumatera Utara menyebut merasa puas, tanpa menyebutnya secara lengkap, yakni dengan Saya merasa puas. Untuk tidak menyebut Gambar itu kabur secara lengkap, kita dapat menyampaikan maksud yang sama dengannya, hanya dengan menyebut Gambar kabur, seraya mengacu dengan menggunakan jari telunjuk, misalnya, ke arah gambar tertentu yang tergantung di dinding. Dari Yule 1996:9 diperoleh juga penjelasan terkait dengan fungsi deiksis. Menurutnya, salah satu hal yang amat penting sehubungan dengan penggunaan bahasa adalah deiksis. Istilah deiksis, secara bersahaja, dia maknai sebagai ‘upaya pengacuan melalui penggunaan bahasa’ pointing via language. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk lingual yang memiliki fungsi demikian mengacumenunjuk disebut ekspresi deiksis. Kata itu dalam bentuk tuturan tanya Apa itu?, misalnya, adalah ekspresi deiksis, yang digunakan untuk mengacu kepada sesuatu yang relatif jauh dari penuturnya. Deiksis termasuk salah satu fenomena bahasa yang universal karena ekspresi- ekspresi deiksis dapat ditemukan pada semua bahasa manusia. Tentang mengapa demikian halnya dapat diperoleh jawabannya, misalnya dari Huang 2007:132, yang memberi penjelasan bahwa melakukan komunikasi melalui wahana bahasa di antara sesama penggunanya tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien tanpa kehadiran deiksis di dalamnya. Pendapat senada dengan Huang tentang urgensi deiksis dalam penggunaan bahasa terdapat juga dalam Bohnemeyer 2006. Guna menguat yakinkan orang akan urgensi tersebut, dia mengajak agar kita menentukan satu objek apa saja di sekitar kita, Universitas Sumatera Utara kemudian mencoba menjelaskannya kepada mitra tutur tanpa melibatkan penggunaan deiksis. Apabila dalam upaya menjelaskan tersebut ternyata mengalami kendala, hal itu memberi bukti bahwa pendapat di atas benar. Artinya, penggunaan bahasa untuk menjelaskan sesuatu dunia dapat terkendala, contoh pada 1.4, apabila tidak disertai pelibatan penggunaan deiksis di dalamnya. Urgensi pelibatan penggunaan deiksis demikian dalam komunikasi lingual terkait dengan fungsi deiksis itu sendiri. Setidaknya, menurut Bohnemeyer, deiksis memiliki tiga fungsi dalam penggunaan bahasa. Ketiganya adalah, 1 menghadirkan acuan yang dimaksud dengan versi yang berbeda ke dalam tuturan, 2 membuat spesifikasi di antara sejumlah kemungkinan acuan dalam konteks tutur, dan 3 menggiring perhatian mitra tutur kepada acuan yang dimaksudkan oleh penutur. Fungsi 1 adalah fungsi yang juga dapat ditemukan pada unsur lingual pada umumnya termasuk yang non-deiktis. Namun, dua fungsi yang terakhir 2, 3 hanya terdapat pada unsur lingual yang bersifat deiktis saja.

2.6 Deiksis Dari Sejumlah Ahli