Sepintas Tentang Mandailing .1 Letak Geografis

1.7 Sepintas Tentang Mandailing 1.7.1 Letak Geografis Mandailing, secara keseluruhan, merupakan bagian dari Kabupaten Mandailing- Natal; sebuah kabupaten terujung di Selatan Propinsi Sumatera utara. U Universitas Sumatera Utara Daerah ini terletak di antara 90 – 100 Bujur Timur, di sebelah Utara Khatulistiwa. Dengan sendirinya daerah ini terkena iklim musim yang mengenal adanya musim penghujan dan musim kemarau. Wilayah Mandailing, sejak periode pemerintahan Belanda, dibagi atas tiga bagian. Setelah masa kemerdekaan dan masuk ke era reformasi, yang mengenal adanya “pemekaran wilayah”, wilayah Mandailing dibagi lagi atas beberapa bagian berupa kecamatan. Namun, pembagian Mandailing atas tiga wilayah, seperti pembagian pertama di atas, masih mendominasi persepsi orang Mandailing dibanding dengan pembagian yang dilakukan kemudian. Pembagiannya atas tiga bagian adalah, yang pertama, Mandailing Julu. Pada zaman Belanda disebut Klein Mandailing. Mandailing Julu berarti ‘Mandailing Hulu’, dan Klein Mandailing berarti ‘Mandailing Kecil’. Disebut demikian karena dia terletak di sebelah arah hulu sungai dan paling kecil dari dua wilayah bagian lainnya. Mandailing Julu mempunyai wilayah, dari Maga sampai ke Ranjobatu, dan beribu kota di Kotanopan. Bagian kedua ialah Mandailing Godang. Pada zaman Belanda disebut juga Groot Mandailing. Mandailing Godang berarti ‘Mandailing Besar’ atau ‘Mandailing Raya’. Disebut demikian karena bagian kedua ini mempunyai wilayah paling luas dan paling banyak penduduknya daripada dua bagian Mandailing lainnya. Wilayahnya terdapat, antara Siramram dan Maga. Panyabungan adalah ibu kotanya dan juga merupakan tempat yang mula-mula ramai. Yang ketiga ialah Mandailing Jae, atau disebut juga Mandailing Harangan. Ibu kotanya di Siabu. Wilayahnya mulai dari Simarongit Sihepeng sampai ke Universitas Sumatera Utara Siramram. Kata jae berarti ‘hilir’, dan harangan artinya ‘hutan’. Penyebutan Mandailing Jae didasarkan pada letaknya yang berada di bagian arah hilir sungai; sedangkan penyebutannya sebagai Mandailing Harangan adalah karena usianya yang paling muda dari dua bagian wilayah Mandailing lainnya yang terlebih dahulu ramai. Dua bagian wilayah lainnya yang penduduknya telah ramai ketika itu, bagian ketiga dari wilayah Mandailing ini masih merupakan hutan yang belum banyak dihuni. Sebelum masa kemerdekaan, yang berkuasa untuk pemerintahan adalah raja. Di wilayah Mandailing, raja-raja yang berkuasa pada mulanya berasal dari marga Nasution dan Lubis. Mandailing Godang dan Mandailing Jae berada di bawah kekuasaan raja bermarga Nasution, sedangkan Mandailing Julu oleh raja dari marga Lubis. Selain kedua marga tersebut, yang lebih dahulu berkuasa di Mandailing, dikenal juga marga lain yang menyusul kemudian, seperti: Hasibuan, Siregar, Harahap, dan sebagainya. Sebagian mereka ada juga yang sempat menjadi raja di Mandailing Godang dan Mandailing Jae. Mereka mengambil anak gadis raja-raja Mandailing Godang. Raja dari marga Hasibuan, misalnya, pernah berkuasa di Simangambat, dan hampir di Sihepeng. Di Rumbio, pernah juga berkuasa raja dari marga Siregar Sumber: dari informan. Sebagaimana halnya dengan daerah-daerah lain di Sumatera, Mandailing juga dilalui oleh Pegunungan Bukit Barisan. Jajaran pegunungan tersebut terbagi dua dan membuat Mandailing berada di antara kedua jajaran tersebut. Pegunungan Bukit Barisan yang memanjang dari Utara ke Selatan menjadi batas wilayah mandailing sebelah Barat dan Timur; sedangkan sebelah Utara-Selatan berbatas di Simarongit Universitas Sumatera Utara Sihepeng dan Ranjo batu. Tanah-tanah Mandailing bagian sebelah Timur merupakan bagian yang lebih tinggi daripada bagian Baratnya, sehingga sungai-sungai yang ada pada umumnya mengalir ke arah Barat. Sepanjang aliran sungai inilah terdapat daerah- daerah persawahan yang dikerjakan sepanjang tahun. Sungai-sungai besar yang terdapat di Mandailing, antara lain adalah sungai Aek Batang gadis, Aek Muara Sada, Aek Kitang, Aek Pohon, Aek Dano, dan sebagainya. Daerah Mandailing, dari ujung Utara ke ujung Selatan, dapat dilalui oleh lalu lintas kenderaan. Kedua ujung tersebut terhubung oleh jalan raya lintas Medan – Padang yang berfungsi sebagai urat nadi utama lalu lintas. Keberadaan jalan raya lintas antar propinsi tersebut merupakan suatu keberuntungan bagi orang Mandailing karena dengan keberadaan prasarana tersebut orangang Mandailing dengan mudah berkenalan dengan dunia luar Bangun, 1976:94. Dengan melewati jalan lintas tersebut juga akan terlihat bukit dan gunung dengan hutan primer dan sekundernya, serta tanah-tanah rendah yang menjadi areal pertanian. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar orang Mandailing di pedesaan hidup dari usaha tanah. Tanah-tanah datar dan sebagian bukit merupakan daerah pertanian yang subur. Pada lahan-lahan yang datar dengan airnya yang cukup kebanyakan orang mengerjakan sawah saba, sedangkan pada lahan-lahan perbukitan atau tanah-tanah yang agak tinggi lazimnya orang mengerjakan ladang kobun. Dalam bertani belum banyak ditemukan pekerjaan khusus, yakni memilih antara dua; bersawah, atau berladang. Kebanyakan penduduk mengerjakan kedua pekerjaan itu dengan sekali jalan. Di samping memiliki lahan persawahan, setiap Universitas Sumatera Utara keluarga biasanya juga memiliki lahan tanah untuk perladangan. Dari sawah mereka peroleh hasil padi, dan dari ladang diperoleh pula hasil dari berbagai tanaman, seperti: karet, kopi, kelapa, coklat, buah-buahan, sayur-sayuran, dan sebagainya. Pada periode sesudah panen padi, menunggu masa turun ke sawah yang berikutnya, sering juga dilakukan pekerjaan martapo sebagai usaha tambahan. Martapo dimaksudkan untuk tinggal di sawah dengan memelihara berbagai hewan peliharaan, seperti ikan dalam tambak, ayam-itik, dan sebagainya. Dengan demikian, diperoleh pula hasil tambahan berupa ikan dan telur. Usaha lain yang menjadi pencaharian sebagian kecil orang Mandailing di pedesaan adalah: berdagang, berjualan, menagkap ikan di sungai, menempa besi, bekerja pada jasa angkutan, menganyam tikar, membuat tali, membuat gula, dan sebagainya. 1.7.2 Sistem Kemasyarakatan Berbicara tentang sistem kemasyarakatan, dalam hubungannya dengan masyarakat Mandailing, berarti berbicara pula tentang sistem adat yang berlaku dalam kehidupan masyarakatnya. Adat sejak lama telah mengatur dan memberi ketetapan berupa hukum-hukum adat dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Sekalipun agama dan sistem-sistem lainnya terdapat dalam kehidupan, namun peranan sistem adat yang telah berlaku sebelumnya tampak masih mendominasi, terutama dalam kehidupan tradisional. Masyarakat Mandailing tersusun dalam kelompok-kelompok patrilineal genealogis. Garis turunan mengikuti pihak ayah. Seorang anak termasuk dalam marga ayahnya. Universitas Sumatera Utara Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat suatu hubungan permanen antara kelompok kerabat yang disebut dalihan na tolu. Dalihan na tolu berarti ‘tungku yang tiga’. Tungku senantiasa harus tiga untuk menjamin keutuhannya serta menjamin keselamatan apa saja yang ditaruh di atasnya. Susunan seperti itu ditemukan dalam peraturan adat guna kemantapan dari setiap mupakat. Sesuatu yang menjadi masalah keluarga atau sebagai anggota masyarakat harus dibicarakan dan diselesaikan dalam lembaga dalihan na tolu. Dia merupakan hasil perwujudan tiga kelompok keluarga yang timbul sebagai akibat dari perkawinan eksogam pada marga-marga yang ada di satu pihak dan menurut garis keturunan di pihak lain. Ketiga kelompok keluarga yang menjadi eksponen lembaga ini adalah: kahanggi, mora, dan anakboru. Kahanggi ialah barisan keturunan laki-laki yang berasal dari satu ayah asal atau nenek. Mereka tergabung dalam satu kelompok marga menurut marga ayah asal dan mereka terhadap sesamanya akan bertutur kahanggi. Selanjutnya, kahanggi yang masih berasal dari satu ibu-bapak disebut suhut. Mora adalah kelompok kahanggi dari pihak ibu atau pengambilan anak gadis menurut adat. Anakboru ialah kelompok kahanggi dari yang mengambil saudara perempuan atau pengambil anak gadis. Walau demikian, setiap kelompok tidak selamanya berfungsi sebagai kahanggi, mora, anakboru. Pada kesempatan lain, dapat saja terjadi pergantian fungsi antara masing-masing kelompok terhadap kahanggi dari marga-marga lain. Seorang dari pihak mora, misalnya, bisa saja beralih fungsi menjadi anakboru pada kesempatan lain, yaitu pada upacara adat yang diadakan oleh pihak yang menjadi pengambilan anak gadis baginya. Untuk jelasnya, seorang dari kelompok marga Universitas Sumatera Utara Nasution, misalnya, yang menjadi anakboru bagi kelompok marga Lubis karena mengambil anak gadis mereka, dapat menjadi mora pula bagi kelompok marga Hasibuan disebabkan yang bermarga Hasibuan mengambil anak gadis dari keluarga Nasution. Demikian seterusnya, sehingga pada setiap anggota dari kelompok marga yang satu terdapat tiga fungsi secara menyatu, dan dia akan dipanggil sebagai apa dia dalam suatu upacara adat. Minimal, kelompok kerabat yang tiga tersebutlah yang bertanggungjawab atas terlaksananya suatu upacara atau musyawarah adat. Untuk kesempurnaan musyawarah, dalihan na tolu lazimnya dilengkapi dengan kehadiran pengetua adat dan hatobangon. Hatobangon adalah perwakilan dari setiap kelompok marga yang dituakan oleh masyarakat karena kepandaian dan kecakapannya dalam bidang peradatan, di samping kepribadiannya yang terpuji. Pengetua adat, yang biasa disebut panusunan bulung atau raja na toras, adalah pihak yang berkuasa pada suatu kampung. Jika sesuatu sudah merupakan hasil mufakat bersama dari kelima komponen tersebut, segala sesuatunya harus dilakukan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Keutuhan hasil mufakat bersama biasanya disimbolkan dengan kehadiran perangkat burangir ‘sekapur sirih’. Burangir yang terdiri dari: daun sirih, kapur sirih, gambir, pinang, tembakau; masing-masing merupakan simbolisasi dari pihak yang turut dalam penetapan suatu keputusan. Daun sirih, kapur sirih, gambir, ketiganya merupakan simbolisasi keikutsertaan pihak suhut, kahanggi, dan anakboru; sedangkan pinang dan tembakau menyimbolkan mora dan hatobangon atau pengetua adat dalam majelis peradatan. Apabila kelimanya telah disatukan, setelah dikunyah, akan Universitas Sumatera Utara menghasilkan air pekat berwarna merah padam yang dengan detergen apapun digunakan dalam upaya menghilangkannya, setelah mengenai kain putih, biasanya akan berakhir dengan sia-sia. Demikian kekutan putusan musyawarah adat yang disimbolkan dengan kehadiran burangir Sumber: keterangan informan. 1.7.3 Kepercayaan Islam adalah satu-satunya agama yang dianut oleh mayoritas penduduk. Pendidikan agama diterima oleh setiap orang, baik dari dalam maupun dari luar lingkungan keluarga. Pada masa dini, yakni sekitar usia tujuh tahun, anak-anak telah disuruh belajar dan menuntut pengetahuan agama. Untuk itu anak-anak biasanya menggabungkan diri dalam suatu kelompok pengajian yang diasuh oleh seorang guru yang pandai. Mereka pada tahap ini diajari dan dididik untuk memperoleh kemahiran dalam membaca kitab suci Al-Quran. Kemahiran ini merupakan keharusan bagi si anak sebelum melangkah kepada tingkatan berikutnya. Dengan demikian, bukan suatu hal yang ganjil apabila kepandaian dan sedikit pengetahuan agama dimiliki oleh setiap putera puteri Mandailing. Agama Islam tersebar di wilayah ini melalui ranah Minangkabau sebelum dan bersamaan dengan masuknya kaum Paderi ke tanah Mandailing. Agama ini berterima di hati penduduk sekalipun sebelumnya wilayah Mandailing dikenal dengan penganut animisme dan Hinduismenya. Sebelum masuknya Belanda ke Mandailing, Islam telah menjadi agama anutan seluruh penduduk. Ajaran Islam telah memberi pengaruh kepada kehidupan rohani dan kepribadian masyarakat, sekalipun sisa-sisa pengaruh Universitas Sumatera Utara kepercayaan lama pada sebagian penduduk masih dapat dijumpai. Upacara-upacara yang menyangkut kekeluargaan, berupa masalah perkawinan, kematian, faraid, dan sebagainya telah diwarnai oleh anasir ajaran Islam. Di samping masih adanya sisa kepercayaan lama yang oleh para dai atau mubalig dipandang dapat merusak akidah Islami penduduk, berkembang pula pengajaran agama Islam. Dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan agama berupa madrasah di berbagai tempat telah menghasilkan banyak alumni yang dapat membantu membukakan mata masyarakat terhadap ajaran agama Islam, sehingga dewasa ini jumlah mereka yang akidahnya tercampur dengan anasir kepercayaan lama sudah semakin berkurang. Dapat dikatakan bahwa penyebaran Islam ke seluruh pelosok tidak lagi menjadi masalah seperti untuk tahap berikutnya, yaitu memikirkan dan mengupayakan pengisian rohani masyarakat dengan ajaran Islam yang sebenarnya dan mempertinggi mutu pengetahuan mereka. Walau demikian, tidak berarti penduduk Mandailing sekarang ini keseluruhannya terdiri dari penganut Islam. Selain itu, di Mandailing terdapat juga penduduk beragama Kristen Protestan dan Katolik. Yang mula pertama di antara keduanya memasuki tanah Mandailing adalah Kristen Protestan. Masuknya Kristen ke daerah ini bermula sesudah Belanda menginjakkan kakinya di Mandailing. Dengan melemahnya kekuasaan raja-raja Mandailing sebagai akibat dominasi pemerintah Belanda telah membukakan pintu bagi agama Kristen untuk dapat masuk ke daerah Mandailing. Universitas Sumatera Utara Kebanyakan mereka datang dari Utara, sekitar Danau Toba. Itu sebabnya di Mandailing, sebutan Toba selalu diidentikkan dengan Kristen. Mereka biasanya hidup dengan membuka dan membuat perkampungan tersendiri, tidak bergabung dengan penganut Islam. Setelah kemerdekaan, jumlah penganut agama Kristen dan Katolik, dari Januari ke Januari terlihat semakin bertambah akibat perkembangan penduduk dan bertambahnya pendatang Kristen baru Sumber: keterangan informan. 1.7.4 Bahasa Mandailing dan Rumpunnya Wahana komunikasi yang digunakan di Mandailing adalah bahasa Mandailing. Bahasa Indonesia, sekalipun diketahui, penggunaannya terbatas pada acara-acara formal saja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa yang benar-benar digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat hanya satu, yakni bahasa Mandailing. Semua penduduk mengetahui dan dapat menggunakannya, sekalipun tidak mengetahui masuk ke dalam rumpun bahasa apa bahasa Mandailing dikelompokkan. Terkait dengan ihwal pengelompokan bahasa ini, ada baiknya kita mengikuti pemikiran Mees 1967:9 yang mengisyaratkan bahwa bahasa-bahasa yang menunjukkan banyak persamaan dan sedikit perbedaan dapat digolongkan ke dalam satu rumpun bahasa. Sementara itu, Muljana 1975:11 menyebutkan bahwa bahasa- bahasa Austronesia istilah Schmidt telah lama dikenal di dunia ilmu bahasa, khususnya dalam ilmu bahasa perbandingan comparative historical linguistics untuk menunjukkan keserumpunan bahasa-bahasa yang terdapat di kepulauan nusantara atau Austronesia. Wilayah bahasa-bahasa serumpun ini cukup luas karena mengantarai Universitas Sumatera Utara empat buah benua. Memanjang dari pulau Madagaskar di sebelah Barat sampai ke pulau Pas di sebelah Timur, sedangkan sebelah Utara-Selatan berbatasan dengan pulau Formosa dan Selandia Baru. Dalam buku Ilmu Perbandingan Bahasa-bahasa Austronesia, Mees mengadakan pembagian dan memberi penjelasan terhadap bahasa-bahasa Austronesia. Dia membagi bahasa-bahasa tersebut atas dua kelompok besar, yakni, bahasa-bahasa Austronesia bagian Barat, dan bahasa-bahasa Austronesia bagian Timur. Yang terdapat di bagian Barat disebut bahasa-bahasa Hesperanesia atau bahasa-bahasa Nusantara, sedangkan yang di bagian Timur disebut bahasa-bahasa Lautan Teduh atau bahasa- bahasa Oseania. Yang terakhir ini masih dibagi lagi atas tiga kelompok bahasa: bahasa-bahasa Polinesia Nusabanyak, bahasa-bahasa Melanesia Nusahitam, dan bahasa-bahasa Mikronesia Nusakecil, sedangkan yang sebelah Barat dibagi atas 11 kelompok, yakni: 1 bahasa-bahasa Formosa, 2 bahasa-bahasa Filipina, 3 bahasa- bahasa Sub-Filipina, 4 bahasa-bahasa Sulawesi, 5 bahasa-bahasa Ambon, 6 bahasa-bahasa Nusatenggara, 7 bahasa-bahasa di pulau Jawa, 8 bahasa-bahasa Kalimantan, 9 bahasa-bahasa di pulau Sumatera dan sekitarnya, 10 bahasa-bahasa di Madagaskar dan sekitarnya, 11 bahasa-bahasa Cham di Kamboja. Perhatian kita sekarang tertuju pada kelompok nomor 9 karena di sinilah terdapat bahasa Mandailing, di samping bahasa Aceh, Melayu, Karo, Toba, Siladang, dan sebagainya. Dari penjelasan Mees tentang rumpun bahasa di atas diketahui bahwa bahasa Mandailing termasuk ke dalam kelompok rumpun bahasa Hesperanesia Universitas Sumatera Utara bahasa Nusantara, sebagai sub-rumpun Austronesia, yang terdapat di pulau Sumatera. Universitas Sumatera Utara

BAB II KAJIAN PUSTAKA