Hanya dalam UUP pada Pasal 41 disebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah :
61
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak; pengadilan memberikan keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan danatau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
E. Perkawinan Campuran
Pasal 27 Undang_Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa seluruh Warga Negara Indonesia kedudukannya sama dalam hukum, termasuk di dalamnya hak
asasi manusia untuk menikah dengan siapapun baik, baik sesama warga negara maupun dengan Warga Negara Asing sekalipun berbeda agama.
Ketentuan mengenai perkawinan campuran sebelum diatur dalam UUP yang bersifat nasional dan berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia, maka
pengaturannya berdasarkan Regeling Op de Gemende Huwelijken Staatblaad 1898 Nomor 158, atau yang lebih dikenal dengan sebutan GHR, Menurut Pasal 1
GHR maka “perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada
61
Ibid., hal 44
hukum yang berlainan disebut perkawinan campuran”.
62
Istilah hukum yang berlainan jika ditafsirkan secara luas dapat meliputi pengertian-pengertian sebagai
berikut : 1. Hukum yang berlaian itu dapat terjadi kombinasi antara stetsel hukum Perdata
Barat dan Stetsel Hukum Adat Perkawinan Campuran, demikian disebut perkawinan campuran antaragolongan intergentil;
2. Hukum yang berlainan dapat terjadi kombinasi antara stetsel hukum adat lain, perkawinan campuran demikian disebut perkawinan campuran antartempat
interlokal; 3. Hukum yang berlainan dapat terjadi kombinasi antara stetsel hukum islam
dengan stetsel hukum nasrani, perkawinan campuran demikian disebut perkawinan campuran antaragama;
4. Hukum yang berlaian dapat terjadi kombinasi antara stetsel hukum nasional dan stetsel hukum asing disebut perkawinan campuran internasional.
63
Pasal 7 GHR menyebutkan bahwa “perberdaan agama”, golongan rakyat, atau keturunan tidak dapat merupakan penghalang suatu perkawinan. Dari Pasal 1
dan Pasal 7 ini, maka yang disebut perkawinan campuran menurut GHR mencakup perkawinan antar agama, antar golongan, dan antar tempat.
Pengertian perkawinan menurut GHR ini lebih luas dibandingkan degan pengertian perkawinan campuran menurut UUP. Sebab perkawinan campuran
menurut UUP hanya didasarkan atas adanya hukum yang berlainan karena kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia, sedangkan
62
Sudargo Gautama, Warga Negara dan Orang Asing, Alumni, Bandung, 1995, hal 10
63
Soedharyo Soeimin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, hal 112
dalam GHR tidak hanya mencakup perkawinan antar dua org yang berbeda kewarganegaraan akan tetapi juga mencakup perkawinan antar agama ataupun
antar tempat. Sehingga dibandingkan dengan UUP maka pengertian campuran dalam GHR ini lebih luas dibandingkan dengan yang diatur dalam Pasal 57
sampai Pasal 62 UUP. Berdasarkan Pasal 57 UUP , perkawinan campuran diartikan sebagai suatu
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan
kewarganegaraan, salah
satu pihak
berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Dari ketentuan tersebut disimpulkan bahwa perkawinan campuran di Indonesia
diartikan hanyalah perkawinan antara mereka yang mempunyai kewarganegaraan berbeda,
64
sedangkan perkawinan antara mereka yang berbeda agama bukan termasuk dalam perkawinan campuran, jika dilakukan oleh warga negara
Indonesia. Undang-Undang menentukan syarat bagi seseorang yang ingin
melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat tersebut antara satu negara dengan negara yang lain berbeda-beda. Di Indonesia syarat untuk melakukan perkwian
diatur dalam Pasal 6 sampai Pasal 11 UUP. Seseorang yang ingin melangsungkan perkawinan yang termasuk dalam lingkup perkawinan campuran maka mereka
juga harus tunduk pada syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang Perkawinan dari masing-masing negaranya. Di Indonesia syarat-syarat untuk
64
K. Wantjik Saleh menyimpulkan bahwa Perkawinan Campuran menurut UUP itu, kongkritnya adalah :
1. Seorang pria Warga Negara Indonesia kawin dengan seorang wanita Warga Negara Asing, atau 2. Seorang wanita Warga Negara Indonesia kawin dengan seorang pria Warga Negara Asing.
melangsungkan perkawinan campuran diatur dalam Pasal 60 UUP. Oleh karena perkawinan campuran di Indonesia merupakan perkawinan natar Warga Negara
Indonesia dengan Warga Negara Asing, maka syarat tersbeut juga terbagi menjadi dua yaitu syarat bagi Warga Negara Indoensia sendiri dan syarat bagi Warga
Negara Asing. Warga Negara Indonesia yang ingin melangsungkan perkawinannya
dengan seorang Warga Negara Asing harus memenuhi syarat-syarat yang telah dittapkan oleh UUP jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, serta harus
memenuhi syarat yang telah ditetapkan Pegawai Pencatat perkawianan tempat perkawinan itu dilangsungkan. UUP menentukan persyaratan untuk sahnya
perkawinan yang dilangsungkan. Tidak terpenuhinya syarat yang ditentukan oleh undang-undang tersebut, menyebabkan pria dan wanita itu tidak dapat
melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat perkawinan telah dijabarkan pada sub bab sebelumnya.
Syarat-syarat yang harus dijalani dalam proses perceraian perkawinan campuran sama dengan proses perceraian pasangan Indonesia.
65
Seperti yang telah dikemukakan bahwa hukum perkawinan di Indonesia mengenal lembaga
perceraian yang memutuskan suatu perkara perceraian. Namun pada perkawinan campuran terdapat perbedaan terhadap status kewarganegaran anak yang masih di
bawah umur yang akan segera otomatis mengikuti kewarganegaraan ayah sampai dengan mencapai usia 18 tahun baru kemudian dapat memilih kewarganegaraan.
65
Lihat Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Bab V Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Seperti perceraian pada umumnya perceraian pada perkawinan campuran pun menimbulkan akibat-akibat terhadap hubungan suami isteri yang bercerai,
juga terhadap anak jika ada dan mengenai harta bersama, bahkan terhadap status personil mereka sehubungan dengan perubahan kewarganegaraan. Hal-hal
tersebut akan diuraikan satu per satu sebagai berikut :
66
a. Kewarganegaraan Putusnya perkawinan mempengaruhi hal kewarganegaraan seseorang
dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dikatakan bahwa : 1 Perempuan WNI yang kawin dengan Laki-laki WNA kehilangan
kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan isteri mengikuti kewarganegaraan suami
sebagai akibat perkawinan tersebut; 2 Laki-laki WNI yang kawin dengan perempuan WNA kehilangan
kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asaln isterinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan
isteri akibat perkawinan tersebut; 3 Sebagaimana dimaksud pada ayat 1 atau laki-laki sebagaimana
dimaksud ayat 2 jika ingin tetap menjadi WNI dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau
Perwakilan RI yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan
kewarganegaraan ganda;
4 Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dapat diajukan oleh perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 setelah tiga 3
tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung. Ketentuan di atas, memberi kemungkinan bagi mereka yang karena
perkawinannya telah kehilangan kewarganegaraan Indonesia, untuk memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesianya tersebut. Sedangkan bagi mereka yang
karena perkawinan telah mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, dapat pula kehilangan kewarganegaraan indonesianya tersebut jika perkawinan terputus,
66
Yudie Reza Haryansyah, Pelaksanaan UUP Tentang Perkawinan Terhadap Perceraian Pada Perkawinan Campuran, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hal 54-59
berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, bahwa :
Warga negara Indonesia yang kehilangan kewarganegaran republic Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf I, Pasal 25, Pasal
26 ayat 1 dan ayat 2 dapat memperoleh kembali kewarganegaraan republik indonesia denngan mengajukan permohonan tertulis kepada
Menteri tanpa melalui prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai Pasal 17.
Ketentuan tersebut di atas, menyebabkan perceraian pada perkawinan campuran menurut UUP mempunyai akibat terhadap status personal para pihak,
dalam hal ini suami isteri yang bercerai yaitu yang berkenaan dengan hal kewarganegaraan. Hal ini diperjelas oleh Pasal 59 ayat 1 UUP , bahwa :
Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik yang
mengenai hukum public maupun mengenai hukum perdata.
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa putusnya perkawinan campuran dapat menyebabkan seseorang memperoleh kewarganegaraan menurut ketentuan
yang berlaku, sehingga kewarganegaraan tersebut menentukan hukum yang berlaku bagi dirinya.
b. Nafkah Isteri Menurut UUP terdapat kemungkinan pembiayaan sesudah bercerai yang
diatur pada Pasal 41 huruf c yang berbunyi : “pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan danatau menentukan
sesuatu kewajiban bagi bekas isterinya.”
Ketentuan di atas mengatur tentang akibat putusnya perkawinan karena perceraian, bahwa kemungkinan suami diberi kewajiban untuk memberi nafkah
kepada isteri yang telah diceraikannya. c. Kekuasaan Orang Tua dan Biaya Pemeliharaan Anak
Masalah kekuasaan orang tua dan biaya pemeliharaan baru timbul apabila perkawinan campuran melahirkan anak, sehingga perceraian pada perkawinan
campuran tersebut mempengaruhi kedudukan anak. Mengenai kekuasaan orang tua dan biaya pemeliharan anak dalam
perceraian perkawinan campuran sama dengan akibat putusnya perceraian pada pasangan Indonesia yaitu pada Pasal 41 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 UUP .
Hanya saja karena perkawinan campuran ini mengandung persoalan dua hukum yang berbeda, maka masalah mengenai persoalan hukum yang menguasai
perwalian ini juga memerlukan pertimbangan mengenai hukum mana yang harus diberlakukan untuk menyelesaikannya, hukum ayah, hukum ibu, ataukah hukum
si anak itu sendiri. d. Harta Bersama
UUP Pasal 37 menyatakan bahwa : “bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatus menurut hukumnya masing-masing.” Ketentuan
tersebut mendapat uraian dalam Penjelasan Pasal 37 UUP bahwa: “yang dimaksud dengan ‘hukumnya’ masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-
hukum lainnya.”
Ketentuan di atas menyerahkan kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang berlaku, dan jika tidak ada kesepakatan hakim
dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya.
67
Apabila terdapat pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah harta bersama, maka hakim akan menyelesaikan pembagian harta bersama tersebut
berdasarkan hukum yang telah dipilih sehingga hakim harus menentukan hukum mana yang berlaku, hukum pihak isteri atau suami.
F. Peraturan Mengenai Perkawinan