4. Jika kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau
keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat diantara mereka atau jika
seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan kehendaknya maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang
disebutkan diatas. 6. Hal-hal yang disebutkan di atas angka satu sampai lima, berlaku
sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain.
C. Perceraian
Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan yang diatur dalam UUP yang ditempatkan pada Bab VIII dimana Pasal 38 menentukan
: “Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian; b. Perceraian; dan c. Atas keputusan pengadilan”.
Putusnya perkawinan karena perceraian bukanlah suatu hal yang mutlak terjadi karena dapat diatasi agar tidak terjadi perceraian. Penjelasan umum dari
UUP menyebutkan bahwa :
46
“Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk
mempersukar terjadinya perceraian, …”
Berdasarkan penjelasan umum dinyatakan prinsip Undang-Undang sejauh mungkin menghindarkan terjadinya perceraian. Perceraian yang di maksud dalam
UUP dan pengaturan yang ditentukan dalam Undang-Undang menganggap perceraian hanyalah merupakan pengecualian dari prinsip kekal abadinya
perkawinan. Artinya dalam suatu perkawinan maka suami isteri pada hakikatnya diharapkan dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sehingga
perceraian sejauh mungkin dapat dihindarkan. Perceraian hanya dapat terjadi apabila sebelumnya telah ada hubungan
suami-isteri hubungan perkawinan sebagaimana yang dimaksudkan oleh UUP. Untuk memberikan pengertian yang lebih bulat lagi, perlu pula dikemukakan
pengertian Perkawinan menurut Pasal 1 UUP, sebagai bahan perbandingan, yakni: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dengan melihat perumusan Pasal tersebut, akan bertambah lagi pemahaman mengenai perceraian, yang memiliki makna yang saling
bertentangan, yaitu perceraian merupakan suatu pengecualian terhadap prinsip
46
Lihat Penjelasan Umum Angka 4 huruf e Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
perkawinan yang kekal yang diakui oleh semua agama.
47
Dari uraian di atas, dapat diidentifikasikan beberapa hal mengenai perceraian, yakni :
a. Perceraian adalah salah satu peristiwa yang menyebabkan putusnya perkawinan;
b. Perceraian memiliki akibat-akibat hukum tertentu bagi masing-masing pihak;
c. Perceraian merupakan pengecualian terhadap prinsip perkawinan yang kekal yang diakui oleh semua agama.
Perceraian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti perihal bercerai antara suami isteri, yang kata “bercerai” itu sendiri artinya “menjatuhkan talak
atau memutuskan hubungan sebagai suami isteri.” Menurut KUH Perdata Pasal 207 perceraian merupakan penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atas
tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu berdasarkan alasan-alasan yang tersebut dalam undang-undang. Sementara pengertian perceraian tidak dijumpai
sama sekali dalam UUP begitu pula di dalam penjelasan serta peraturan pelaksananya.
Meskipun tidak terdapat suatu pengertian yang otentik tentang perceraian, tidak berarti bahwa masalah perceraian ini tidak diatur sama sekali di dalam UUP.
Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, pengaturan masalah perceraian menduduki tempat terbesar. Hal ini lebih jelas lagi apabila kita melihat peraturan-peraturan
pelaksananya.
47
T. Jafizham, Persintuhan Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam, Mestika, Jakarta, 2006, hal 54
Dalam UUP mengenai masalah perceraian ini, diperjelas pengaturannya pada Bab VIII yang mengatur tentang Putusnya Perkawinan serta Akibatnya.
Pasal 38 menentukan bahwa : “Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian; b. Perceraian; dan c. Atas keputusan pengadilan”.
Beberapa sarjana juga memberikan rumusan atau defenisi dari perceraian, antara lain :
a. Menurut Subekti sebagai berikut :
48
“Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.”
b. Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin sebagai berikut :
49
”Perceraian berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan tempat tidur yang didalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan
ada kehendak baik dari suami maupun dari isteri untuk pemutusa perkawinan. Perceraian selalu berdasar pada perselisihan antara suami dan
isteri.”
c. Menurut P.N.H. Simanjuntak sebagai berikut :
50
“Perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua
belah pihak dalam perkawinan.”
d. Menurut Soemiyati sebagai berikut : “Menurut hukum Islam talak mempunyai dua arti yaitu talak dalam arti
umum adalah segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan
sendirinya atau perceraian karena meninggal salah seorang suami atau isteri, sementara dalam arti khusus adalah perceraian yang dijatuhkan oleh
pihak suami.
51
48
Subekti, Op.cit., hal 42
49
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang Dan Keluarga, Alumni, Bandung, 1986, hal 109
50
P.N.H.Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2007, hal 53
51
Soemiyati, Op.cit., hal 104
Dua orang yang mempunyai sifat dan kepribadian yang berbeda disatukan dalam suatu ikatan perkawinan, tentu bukan suatu hal yang akan terus berjalan
mulus. Pasti ada masanya di antara suami isteri akan timbul masalah baik itu disebabkan oleh isteri maupun suami. Karena masalah yang ada di antara mereka
tidak menemukan jalan keluar yang baik, maka salah satu pihak dapat mengajukan perceraian.
UUP menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian, karena perceraian akan membawa akibat buruk bagi pihak-pihak yang bersangkutan.
Dengan maksud untuk mempersukar terjadinya perceraian maka ditentukan bahwa melakukan perceraian harus ada cukup alasan bagi suami isteri itu tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
52
Undang-Undang tidak
membolehkan perceraian
dengan dasar
permufakatan atau persetujuan semata antara suami dan isteri, tetapi harus ada alasan yang sah. UUP, dalam penjelasan Pasal 39 ayat 2 jo Pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, menyebutkan beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian, yaitu :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
52
Sudarsono, Lampiran UUP Dengan Penjelasannya, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal 307
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun dan hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suamiisteri;
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Selain itu, ketentuan dalam Pasal 116 KHI menyebutkan alasan lainnya
yang dapat dijadikan dasar bagi perceraian, yakni : a. Suami melanggar taklik talak;
b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Alasan perceraian di atas disebutkan secara limitatif, artinya selain alasan- alasan yang disebut dalam Undang-Undang bukan merupakan alasan perceraian.
Dengan demikian alasan lain tidak bisa diajukan sebagai dasar gugatan.
53
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengenal 2 dua macam bentuk perceraian yaitu :
a. Cerai Talak Istilah cerai talak ini disebutkan dalam penjelasan Pasal 14 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Peraturan mengenai cerai talak ini yang diatur dalam Pasal 14 sampai Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
53
Martiman Projohamidjojo, Op.cit., hal 40
Adapun bunyi Pasal 14 Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 adalah sebagai berikut, “Pasal ini berikut Pasal 15, 16, 17, dan 18 mengatur
tentang cerai talak.” Cerai talak yang dimaksud uraian di atas adalah untuk mereka yang
beragama Islam seperti yang dirumuskan oleh Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu menurut seorang suami yang telah melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa
ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Uraian Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 Peraturan Pemerintah tersebut memberi hak kepada seorang suami yang melangsungkan perkawinannya menurut
agama Islam untuk menjatuhkan talak kepada isterinya. Ini berarti Undang- Undang Perkawinan Nasional mengakui bahwa talak itu hak suami, ketentuan ini
sejalan pula dengan ketentuan hukum Islam. b. Gugatan Perceraian
K. Wantjik Saleh mengemukakan yang dimaksud dengan gugatan perceraian adalah perceraian karena ada suatu gugatan lebih dahulu dari salah satu
pihak kepada pengadilan dan dengan suatu putusan pengadilan.
54
Gugatan Perceraian diatur di dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975. Pada Pasal 20 Peraturan Pemerintah tersebut ditegaskan hal sebagai berikut.
54
K. Wantjik Saleh, Op.cit., hal 40
“Gugatan perceraian dimaksud dilakukan oleh seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami
atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut
agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam.”Berdasarkan pasal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa gugatan perceraian
dilakukan oleh : a seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam; dan b seorang suami atau seorang isteri yang
melangsungkan perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama islam.
55
Bagi yang beragama Islam, perceraian berlaku terhitung sejak tanggal jatuhnya putusnya perkawinan oleh pengadilan agama yang telah mempunyai
kekuatan yang tetap, sedangkan bagi mereka yang non muslim, suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftaran
putusannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat. Pasal 39 ayat 1 Nomor 1 Tahun 1974 memuat ketentuan perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak sedangkan Pasal 40 ayat 1 Undang-Undang yang sama memuat ketentuan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan.
Adapun yang dimaksud dengan pengadilan di sini ialah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum Pengadilan Negeri
bagi lainnya sebagaimana ditentukan oleh Pasal 63 ayat 1 dan 2 UUP. Jika gugatan perceraian dilakukan oleh seorang isteri yang melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam, maka pengadilan yang akan memeriksa dan memutus gugatan perceraian itu adalah Pengadilan Agama. Tetapi jika gugatan jika gugatan
perceraian dilakukan oleh seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan
55
R. Sardjono, Masalah Perceraian, Academica, Jakarta, 1979, hal 21
perkawinan perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam maka pengadilan yang akan memeriksa dan memutus gugatan perceraian itu
adalah Pengadilan Umum Pegadilan Negeri.
D. Akibat Hukum Perkawinan Dan Perceraian