Peraturan Mengenai Perkawinan Pergeseran Alasan Perceraian Menurut Hukum Di Indonesia

Ketentuan di atas menyerahkan kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang berlaku, dan jika tidak ada kesepakatan hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya. 67 Apabila terdapat pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah harta bersama, maka hakim akan menyelesaikan pembagian harta bersama tersebut berdasarkan hukum yang telah dipilih sehingga hakim harus menentukan hukum mana yang berlaku, hukum pihak isteri atau suami.

F. Peraturan Mengenai Perkawinan

Penjelasan mengenai peraturan-peraturan tentang perkwinan pada pembahasan sejarah hukum perkawinan telah menjabarkan bahwa setelah lahirnya Undang-Undang Perkwinan Nasional yaitu Undang-Undang No 1 Tahun 1974 maka peraturan-peraturan lama setelah diundangkannya UUP tidak berlaku lagi. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 66 UUP bahwa : “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkaiwnan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetbboek, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Huwelijk Ordonantie Christen Indonesie S. 1933 No. 74, Peraturan Perkawinan Campuran Regeling op de gemende Huwelijken S. 1898 No. 158, dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, di nyatakan tidak berlaku.” Ketentuan perkawinan yang secara khusus atau berkaitan dengan perkawinan yang berlaku pada saat ini dapat ditemukan dalam : 67 Hilman Hadikusuma, Op.cit., hal 176 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dengan berlakunya UUP, terjadi perubahan fundamental terhadap kodifikasi hukum perdata barat. Karena UUP menyatakan: “ketentuan-ketentuan perkawinan yang diatur dalam Burgerlijk Wetbiek tidak berlaku lagi. Pernyataan ini membawa pengaruh terhadap Buku I Burgerlijk Wetboek dimana sebagian ketentuan dalam pasal-pasal dari Buku I Burgerlijk Wetboek yang mengatur mengenai perkawinan dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi . UUP memuat kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan perkawinan dalam garis besar secara pokok, yang selanjutnya ditindak lanjuti dalam pelbagai peraturan pelaksananya. Ini berarti UUP akan berfungsi sebagai “paying” dan “sumber pokok” bagi pengaturan hukum perkawinan, perceraian, dan rujuk yang berlaku bagi semua warga negara di Indonesia. Dengan demikian, UUP mengadakan unifikasi dalam bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan nuances kebhinekaan yang masih harus dipertahankan, karena masih berlakunya ketentuan-ketentuan hukum perkawinan yang beraneka ragam dalam masyarakat hukum Indonesia. 68 Dengan sendirinya UUP mengadakan perbedaan hukum perkawinan, yang berlaku secara khusus bagi golongan penduduk warga negara Indonesia tertentu dan itu didasarkan kepada hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanya itu. Bagi umat beragama selain tunduk pada Undang- Undanng Nomor 1 Tahun 1974 juga tunduk pada ketentuan hukum agamanya 68 Rachmadi Usman, Op.cit., hal 245 atau kepercayaan agamanya, sepanjanag belum diatur dalam UUP. Apa yang diatur dalam UUP terbatas pada mengatur soal-soal perkawinan yang belum diatur oleh hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanya itu. 69 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah Undang-Undang tentang Peradilan Agama yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkannya pada tanggal 29 Sesember 1989. Secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 diatur hal yang berkenaan dengan sengketa perkawinan sekaligus meningkatkan pengaturan hukum acara sengekta perkawinan yang sampai saat ini masih diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu mengenai : a. cerai Talak Pasal 66 sampai dengan Pasal 92; b. cerai Gugat Pasal 73 sampai dengan Pasal 86; dan c. cerai dengan alasan zina {Pasal 87 sampai dengan Pasal 88. 70 Adanya perundang-undangan khusus seperti Undang-Undang Peradilan Agama ini yang melayani kepentingan golongan penduduk pemeluk suatu agama bukanlah dimaksudkan sebagai suatu pengaturan materi secara diskriminatif sewenang-wenang, ataupun mengurangi martabat manusia. Dengan adanya karakteristik pada ada golonngan agama yang bersangkutan maka ia menimbulkan legal distinction, bukan suatu inequality bfore the law. Sebaliknya tidak dapat pula dikatakan asas persamaan dalam hukum ini hanya 69 Ibid., hal 246 70 Ibid., hal 249 dianggap sah apabila factual conditions sama secara keseluruhan. Oleh karena itu, selalu dapat dipikirkan suatu pengaturan hukum yang mengenai sesuatu golongan yang didasarkan pada suatu agama. 3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek Ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dalam KUH Perdata dituangkan dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 249 Buku I tentang Orang, dengan beberapa pengecualian bagi golongan Timur Asing Cina, yang dihimpun dalam di bawah Bab IV sampai dengan Bab XI. Dengan berlakunya UUP maka Pasal 26 sampai dengan Pasal 249 KUH Perdata tidak berlaku lagi, sepanjang sudah diatur atau bertentangan dengan UUP. 71 4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Untuk melaksanakan Undang-Undang Perkawinan yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif, maka masih diperlukan peraturan- peraturan pelaksanaan, antara lain yang menyangkut masalah-masalah : a. Pencatatan perkawinan; b. Tata cara pelaksanaan perkawinan; c. Tata cara perceraian; d. Cara mengajukan gugatan perceraian; e. Tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan; f. Pembatalan perkawinan; g. Ketentuan dalam hal seorang suamiberisteri lebih dari seorang; h. Dan sebagainya. 71 Ibid., hal 251 Sebagai tindak lanjutnya pada tanggal 1 April 1975 oleh Pemerintah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perlaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ini memuat ketentuan tentang masalah- masalah yang dikemukakan di atas, yang diharapkan akan dapat memperlancar dan mengamankan pelaksanaan dari UUP. 72 5. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 merupakan peraturan mengenai izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil PNS. Pada dasarnya PNS adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk dapat melaksanakan kewajiban yang demikian , kehidupan PNS harus ditunjang oleh kehidupan berkeluarga yang serasi, sehingga setiap PNS dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu oleh masalah-masalah dalam keluarganya. Sehubungan dengan contoh dan keteladanan yang harus diberikan oleh PNS kepada bawahan dan masyarakat, maka kepada PNS dibebankan ketentuan disiplin yang tinggi. Dalam rangka meningkatkan disiplin PNS dalam melakukan perkawinan dan perceraian, maka oleh pemerintah dipandang perlu untuk menetapkan peraturan pemerintah mengenai izin perkawinan dan perceraian bagi PNS sebagaimana diundangkan 72 Ibid., hal 251-252 dalam Peraturan Pemerintah Nomo3 10 Tahun 1983yang mulai berlaku sejak tanggal 21 April 1983. 73 6. Kompilasi Hukum Islam KHI Istruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam untuk dapat digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan disamping peraturan perundanng-undangan lainnya. Kompilasi Hukum Islam selain melengkapi pilar peradilan agama juga telah menjadikan jelas dan pasti nilai-nilai hukum Islam di bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan warisan. Bahasa dan nilai-nilai hukum yang dipertarungkan di forum Peradilan Agama oleh masyarakat pencari keadilan, sama kaidah dan rumusannya dengan apa yang mesti ditetapkan oleh para hakim di seluruh nusantara. Sebagai bagian dari keseluruhan tata hukum Islam, sudah dapat ditegakkan dan dipaksakan nilai-nilai bagi masyarakat Islam Indonesia melalui kewenangan Peradilan Agama. Peran kitab-kitab fikih dalam penegakan hukum dan keadilan, lambat laun akan ditinggalkan karena hanya berperan sebagai bahan orientasi dan kajian doktrin. Semua hakim yang berfungsi di lingkungan Peradilan Agama, diarahkan ke dalam persepsi penegakan hukum yang sama. Pegangan dan rujukan hukum yang mesti 73 Ibid., hal 254 mereka pedomani sama di seluruh Indonesia, yakni Kompilasi Hukum Islam sebagai satu-satunya kitab hukum yang memiliki ke absahan dan otoritas. 74 7. Petunjuk Mahkamah Agung Dalam beberapa hal Mahkamah Agung memberikan petunjuk kepada para hakim, baik hakim Peradilan Umum maupun Peradilan Agama melalui Surat Edaran, yang juga merupakan sumber hukum perkawinan nasional. Dasar Hukum Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran dapat dijumpai dalam Pasal 79 Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985 yang menetapkan bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini. Dalam Kaitannya dengan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan nasional, Mahkamah Agung pernah mengeluarkan Surat Edaran, antara lain : 75 a. Surat Mahkamah Agung Nomor MAPemb08071975 perihal Petunjuk- Petunjuk Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan UUP dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tanggal 20 Agustus 1975; b. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1981 tentang Perkara Perceraian; c. Surat Edaran Mahmakah Agung Nomor 5 Tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983; d. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989; 74 Ibid., hal 255-256 75 Ibid., hal 258-259 e. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1994 tentang Pengertian Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Perlu diingat juga sebagai anggota masyarakat Indonesia telah sama-sama mengetahui bahwa aturan perkawinan bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi adat budaya masyarakat setempat, tetapi juga dipengaruhi ajaran agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen, bahkan dipengaruhi budaya perkawinan barat. Jadi, walaupun bangsa Indonesia telah memiliki hukum perkawinan nasional sebagai aturan pokok dan peraturan-peraturan tentang perkawinan yang disebutkan di atas, namun adalah nyata bahwa dikalangan masyarakat Indonesia masih tetap berlaku adat dan tata-upacara perkawinan yang berbeda-beda. Kita masih melihat berlakunya tata-tertib perkawinan bagi masyarakat yang bersendi keibuan Minangkabau, tata-tertib perkawinan bagi masyarakat yang bersendi kebapakan Batak atau sendi keorangtuaan Jawa, dan sudah banyak pula yang sifatnya campuran Begitu pula kita dapat melihat bagaimana berlakunya hukum perkawinan menurut adat Hindu-Budha, hukum perkawinan menurut agama Islam hukum perkawinan menurut adat Kristen. 76 Indonesia tidak bisa memungkiri jika hukum adat mengenai perkawinan yang terdapat di Indonesia masih tetap hidup dan berlaku di Indonesia karena masyarakat Indonesia tetap melestarikan hukum adat mereka sepanjang tidak bertentangan dengan aturan pokok terutama Undang-Undang Perkawinan Nasional. 76 Hilman Hadikusuma, Op.cit., hal 1-2 BAB III KEDUDUKAN SUAMI DAN ISTERI DALAM PENGAJUAN GUGATAN PERCERAIAN

A. Sebelum Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974