tangga mereka, Isteri lebih dituntut untuk selalu setia kepada suami. Di dalam prakteknya pihak suami yang lebih memiliki hak untuk mengajukan terlebih
dahulu keinginan untuk bercerai. Selain itu, perceraian dalam suatu Adat juga masih dinilai sebagai perbuatan yang kurang baik dan dapat mencemarkan nama
baik kedua keluarga. Ketidakseimbangan kedudukan inilah yang menjadi perbincangan dimana
perceraian antara lain disebabkan karena dalam kenyataan dimasyarakat suatu perkawinan banyak yang berakhir denngan suatu perceraian yang terjadi
dikarenakan perbuatan sewenang-wenang dari suamipihak laki-laki. Sebaliknya dalam hal seorang isteri yang merasa terpaksa untuk bercerai dengan suaminya,
tidaklah semudah seperti yang dilakukan oleh seorang suami terhadap isterinya, sehingga sering terjadi seorang isteri masih berstatus sebagai seorang isteri tapi
kenyataannya tidak merasakan lagi dirinya sebagaimana layaknya seorang isteri.
87
Kalangan kaum wanita yang menganggap hal tersebut bukanlah suatu hal yang menyenangkan, sehingga timbul suara-suara yang menghendaki agar
diadakan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur hal itu, terutama membatasi kesewenang-wenangan pihak laki-laki yaitu UUP.
B. Setelah Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Berlakunya UUP membawa perubahan yang besar bagi perkembangan Hukum Perkawinan. Unifikasi hukum Perkawinan memberikan kepastian hukum
bahwa mengenai perihal Perkawinan memiliki satu induk peraturan yaitu Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksananya
87
Saleh, K. Wantjik, Op.cit., hal 36
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP tentang Perkawinan.
Kedudukan hukum suami dan isteri dalam perkawinan di tegaskan dalam Pasal 31 UUP yang menentukan bahwa hak dan kekdudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dan masing-masing pihak berhak
untuk melakukan perbuatan hukum serta suami adalah kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga.
Dalam hubungan kemasyarakatan danatau hubungan perekonomian keluarga modern, suami dan isteri sama-sama bekerja banyak menunjukkan
keberhasilan dimana isteri tetap berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan suami sebagai kepala rumah tanngga. Hal mana berarti bahwa seluruh harta
kekakyaan hasil pencarian bersama dikuasai dan dimanfaatkan bersama. Karena seimbang hak dan kedudukan suami isteri tersebut, masing-masing pihak berhak
untuk melakukan perbuatan hukum. Walaupun hak dan kedudukan suami isteri seimbang, namun mereka mempunyai peranan dan tanggung jawab yang berbeda
dalam keluarga. Menurut Pasal 31 UUP, suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah adalah ibu rumah tangga sebagai pendamping suami.
88
Hak dan kewajiban dari suami-isteri dicantumkan di dalam Pasal 30 dan Pasal 34 UUP, sebagai berikut :
89
a. Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat Pasal 30 ;
88
Rachmadi Usman, Op.cit. hal 337
89
P.N.H. Simanjuntak, Op.cit., hal 68-69
b. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kekdudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat
Pasal 31 ayat 1; c. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum Pasal 31
ayat 2 ; d. Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga Pasal 31
ayat 3 ; e. Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan rumah tempat
kediaman ini ditentukan secara bersama-sama Pasal 32 ; f.
Suami-isteri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantua lahir batin yang satu kepada yang lain Pasal 33 ;
g. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah-tangga sesuai degan kemampuannya Pasal 34 ayat 1 ;
h. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya Pasal 34 ayat 2 ; i.
Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pasal 34 ayat 3.
Ketentuan Pasal 30 dan Pasal 33 UUP tersebut merupakan ciri dari kehidupan keluarga modern, dimana suami isteri secara bersama-sama wajib
memikul tanggung jawabnya.
90
Kelalaian dalam melaksanakan kewajiban masing- masing, suami atau isteri dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Demikian ketentuan hak suami isteri yang dicantumkan di dalam Pasal 34 ayat 3 UUP.
90
Hilman Hadikusuma, Op.cit., hal 104
UUP telah menegaskan bahwa masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Ini mengindikasikan bahwa isteri mempunyai hak
untuk mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan apabila suami melalaikan kewajibannya. Jika sebelum berlakunya UUP dimana ada beberapa peraturan
mengenai perkawinan yang berlaku di Indonesia suatu perceraian dianggap sebagai hal yang tabu dan isteri dalam prakteknya tidak berani untuk mengajukan
perceraian karena isteri dibatasi dalam bertindak melakukan perbuatan hukum. Setelah berlakunya UUP dalam praktek bahwa prinsip kesetaraan dalam
melakukan perbuatan hukum sudah diterima oleh masyarakat sebagai suatu hal yang dapat menunjukkan keadilan dalam hukum Perkawinan khususnya dalam hal
pengajuan gugatan perceraian. Berkenaan dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian, sebagai mana diatur dalam UUP dan Peraturan Pemerintah Nomor 9
tahun 1975, Pasal 14 sampai dengan Pasal 36, memberikan kedudukan yang sama bagi suami maupun isteri, masing-masing memiliki hak untuk mengajukan
gugatan perceraian, rinciannya sebagai berikut: a. Berdasarkan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, seorang
suami yang akan menceraikan isterinya sebelumnya melangsungkan perkawinan menurut islam, maka mengajukan surat ke Pengadilan di tempat
tinggalnya yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya, ketentuan ini juga berlaku bagi tata
cerai talak ; b. Berdasarkan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, pengadilan
yang bersangkutan mempelajari isi surat dimaksud dalam Pasal 14, dan dalam
jangka waktu selambat-lambatnya 30 tiga pulu hari memanggil pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan maksud peceraian ; c. Berdasarkan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, perceraian
itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan ;
d. Berdasarkan Pasal 20 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat ; e. Berdasarkan Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, gugatan
perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya keputusan Pengadilan bmengenai gugatan perceraian itu.
Tata perceraian menurut pandangan Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 129 sampai dengan Pasal 149 yang dapat dirinci debagai berikut :
a. Berdasarkan Pasal 129 Kompilasi Hukum Islam, seorang suami yang menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan
maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk
keperluan itu; b. Berdasarkan Pasal 131 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, Pengadilan Agama
yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud Pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya
untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak ;
c. Berdasarkan Pasal 132 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah
hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin;
d. Berdasarkan Pasal 137 Kompilasi Hukum Islam, gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan
Agamamengenai gugatan perceraian itu ; e. Berdasarkan Pasal 141ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, pemeriksaan gugatan
perceraian dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 tiga puluh hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian ;
f. Berdasarkan Pasal 142 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, pada saat
pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya ;
g. Berdasarkan Pasal 146 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.
Kenyataannya, dalam praktek dari kedua macam jenis perceraian yaitu cerai talak dan cerai gugat, sebagian besar cara perceraian yang ditempuh adalah
cerai gugat. Menurut data persentase Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama terhadap perkara yang diputus oleh Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia
tahun 2009 menunjukkan bahwa perkara gugat cerai mencapai 57,89 dibanding dengan perkara cerai talak sebesar 28,76 dan 13,35 merupakan perkara lain.
Presentase di kota Medan sendiri menunjukkan bahwa perkara gugat cerai mencapai 58,94 disbanding dengan perkara cerai talak sebesar 24,63 dan
16,42 merupakan perkara lain.
91
Data presentase di atas mengindikasikan bahwa telah terjadi pergeseran dan perkembangan dalam hukum Perkawinan di Indonesia khususnya mengenai
perceraian bahwa kaum wanita sebagai isteri sudah lebih terbuka dan berani untuk menyuarakan keinginan hatinya jika dalam hubungan perkawinan mereka telah
terjadi ketidakharmonisan. Kedudukan suami dan isteri sudah seimbang bahkan berbalik dimana wanita atau isteri benar-benar menyadari bahwa kebebasan hak
yang diberikan oleh Undang-Undang sudah seharusnya dijalankan dengan baik. Banyak faktor-faktor penyebab perceraian yang berkembang dimasyarakat diluar
dari alasan-alasan perceraian yang tercantum di dalam UUP, dalam penjelasan Pasal 39 ayat 2 jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan juga
dalam Kompilasi Hukum Islam.
C. Kedudukan Suami dan Isteri Dalam Hubungannya Dengan Perkawinan Campuran Berkaitan Dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
Tentang Kewarganegaraan
Perkawinan campuran menimbulkan akibat hukum yang mempengaruhi status sebagai akibat personil seseorang yaitu mengenai kewarganegaraannya,
bahwa menurut UUP, kewarganegaraan sebagai akibat perkawinan menentukan bahwa hukum yang berlaku, baik itu mengenai hukum publik maupun hukum
perdata.
91
Hirpan Hilmi, Loc.cit.
Ketentuan Pasal 58 UUP menentapkan bahwa : “Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan
perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami atau isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut
cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.”
Ketentuan ini menunjukkan Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 untuk mengatur masalah
kewarganegaraan yang antara lain mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah perkawinan campuran.
Dalam Pasal 19 Undang-Undang Kewarganegaraan itu disebutkan : 1. Warga Negara Asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara
Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi Warga Negara Indonesia.
2. Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan apabila yang bersangkutan telah bertempat tinggal di wilayah Republik
Indonesia paling singkat 5 lima tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan
perolehan kewarganegaraan
tersebut mengakibatkan
kewarganegaraan ganda. Seorang perempuan asing yang kawin dengan seorang pria warga negara
Indonesia akan memperoleh kewarganegaraan Indonesia apabila setelah satu tahun perkawinannya berlangsung, mereka menyatakan keterangan untuk itu
kecuali jika ia apabila memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia masih mempunyai warga negara lain, maka keterangan itu tidak boleh dinyatakan.
Pasal ini mempunyai makna penting dalam hal kedudukan suami atau isteri pada perkawinan campuran, bahwa seorang warga negara asing yang kawin
dengan warga negara Indonesia tidak dengan sendirinya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia kecuali apabila dalam jangka waktu satu
tahun setelah perkawinan, menyatakan keterangan untuk itu.
92
Pasal ini menekankan bahwa seorang tidak dengan sendirinya memperoleh kewarganegaraan sang suamiisteri dan kehilangan kewarganegaraannya sendiri,
tetapi ada kemungkinan suamiisteri mempertahankan kewarganegaraannya sendiri, karena ketentuan ini memberikan kebebasan bagi suami atau isteri untuk
menentukan pilihan hukum mana yang berlaku baginya setelah ia melakukan perkawinan campuran. Hal ini berarti seorang suami atau isteri tidak dengan
sendirinya harus tunduk pada hukum yang berlaku bagi si suami atau isteri. Dalam perkawinan campuran kemungkinan timbulnya masalah antara
suami isteri pun tidak dapat dihindarkan. Hal ini mengingat perbedaan latar belakang antara suami isteri yang relative lebih banyak dibandingkan perkawinan
bangsa yang sama. Seperti perkawinan campuran, dimana pasangan suami isteri masing-masing tetap mempertahankan kewarganegaraan aslinya, sehingga bagi
mereka berlaku hukum yang berbeda. Indonesia termasuk negara yang memperbolehkan terjadinya perceraian,
tetapi dengan persyaratan tertentu apabila telah dipenuhinya alasan-alasan yang secara limitatif telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
92
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op.cit., hal 99
Perceraian yang terjadi antara suami isteri berbeda kewarganegaraan, dalam hal ini seorang berkewarganegaraan Indonesia dan yang lainnya
berkewarganegaraan asing, memerlukan suatu perhatian yang lebih mengenai hukum mana yang harus diberlakukan dalam menyelesaikan perceraian tersebut.
Hal ini mengingat adanya unsur asing, yaitu salah satu pihak berkewarganegaraan asing. Masalah ini tidak menjadi rumit apabila terdpat pilihan hukum dalam
hubungan perkawinan mereka, tetapi kenyataannya pilihan hukum jarang sekali terpikirkan dalam suatu perkawinan.
Menurut Pasal 18 AB ayat 1 berbunyi : “Cara tiap perbuatan hukum ditinjau menurut peraturan undang-undang
hukum dari negara atau tempat, dimana perbuatan itu dilakukan.” Ketentuan pasal di atas, mengandung azas lex loci celebrationis, bahwa
suatu perbuatan hukum harus dilaksanakan menurut ketentuantata cara yang berlaku di negara dimana perbuatan tersebut dilakukan. Ketentuan ini memberi
jalan bagi pasangan suami isteri yang berkewarganegaraan asing yang tinggal di Indonesia untuk melaksanakan perceraian dengan tata cara yang berlaku di
Indonesia berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan peraturan pelaksananya.
Bagi warga negara Indonesia yang akan mengajukan permohonan perceraian terhadap suami atau isteri yang berkediaman di luar negeri, baik
diketahui tempat tinggalnya atau tidak, berlaku ketentuan Pasal 20 ayat 2 dan 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 berdasarkan ketentuan ini gugatan
perceraian dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat.
Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa perkara perceraian pada perkawinan campuran adalah Pengadilan Negeri, karena pengadilan inilah yang
memiliki wewenang untuk memeriksa menngenai perkara-perkara antara mereka yang tidak beragama islam, yang berbeda agamanya dan yang berlainan
kewarganegaraan, juga mengenai hal-hal yang tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sekalipun terhadap mereka yang beragama
Islam, hal ini berdasarkan Undang-Undanng Nomor 1 Tahun 1970 bahwa penngadilan dalam lingkungan peradilan umum yang memeriksa semua sengketa
perdata dan dalam mengadili sengketa-sengketa perdata mana menurut hukum yang berlaku masih diterapkan hukum perdata yang berlainan, kadang-kadang
hukum adat, hukum perdata, hukum antar golongan atau hukum perdata Internasional.
Bagi suami isteri warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri berdasarkan ketentuan Pasal 40 UUP jo Pasal 20 ayat 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 dapat mengajukan gugatan perceraian kepada pengadilan di tempat kediaman mereka.
Tatacara penyelengaraan perceraian perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilaksanakan dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku bagi perceraian menurut UUP dan peraturan pelaksananya, seperti yang telah diuraikan pada sub bab mengenai perceraian menurut UUP di atas.
Sementara perceraian yang dilaksanakan si luar negeri dilaksanakan dengan mengikuti tata cara yang berlaku di negara setempat mereka tinggal.
Hakim yang hukum materil bersumber dari hukum perkawinan nasional Indonesia, maka yang berlaku padanya adalah ketentuan perceraian menurut UUP
dan peraturan pelaksananya. Menurut ketentuan ini, maka perkara perceraian pada perkawinan campuran baru dapat terlaksana apabila memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan dalam Undang-Undang tersebut. Bahwa perkawinan dapat putus karena perceraian jika alasan-alasan yang diutarakan sudah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan tersebut, sebagaimana yng telah disebutkan dalam skripsi ini pada sub bab sebelumnya.
UUP tidak mengatur hukum materiil perkawinan campuran, maka berdasarkan Pasal 66 dapat kembali kepada pengatuuran yang berlaku
sebelumnya, dalam hal ini GHR.
93
Pasal 66 UUP menetapkan bahwa : “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkaiwnan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetbboek, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Huwelijk Ordonantie Christen Indonesie S.
1933 No. 74, Peraturan Perkawinan Campuran Regeling op de gemende Huwelijken S. 1898 No. 158, dan peraturan-peraturan lain yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, di nyatakan tidak berlaku.”
Berkaitan dengan hukum materiil perkawinan campuran ini karena ada sistem hukum perkawinan yang berlaku perlu ditentukan hukum materiil mana
yang akan diberlakukannya, apakah hukum isteri atau hukum suami. UUP tidak mengatur hal ini, namun melalui ketentuan peralihan dapat kembali kepada GHR
dan hal ini dapat ditemukan di dalam Pasal 6 ayat 1 GHR yang menetapkan
93
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Campuran Dalam Hukum Perdata Internasional,
Departemen Kehakiman Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 19921993, hal 30
bahwa perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlaku untuk calon suami, kecuali bila kedua mempelai menghendaki agar hukum calon isteri
yang berlaku. Perkawinan campuran yang terjadi antara warga negara Indonesia dengan
warga negara asing, perlu diperhatikan siapakah yang memiliki kewarganegaraan Indonesia tersebut. Apabila suaminya warga negara Indonesia, maka yang berlaku
dan tunduk adalah hukum materiil perkawinan yang berlaku di Indonesia, termasuk hukum materiil yang akan digunakan dalam pengajuan gugatan
perceraian bagi mereka. Sedangkan apabila isterinya yang warga negara Indonesia, maka dalam perkawinan ini berlaku hukum materiil suaminya, kecuali
apabila kedua belak pihak menghendaki berlaku hukum pihak isteri.
BAB IV PERKEMBANGAN ALASAN PERCERAIAN DALAM PERKAWINAN DI
INDONESIA
A. Sebab-Sebab Perceraian Yang Berkembang Dalam Masyarakat