Sebelum Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

BAB III KEDUDUKAN SUAMI DAN ISTERI DALAM PENGAJUAN GUGATAN PERCERAIAN

A. Sebelum Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Sebelum diundangkannya UUP kita mengetahui belum adanya unifikasi mengenai peraturan perkawinan dimana berlaku beberapa peraturan mengenai perkawinan di Indonesia sesuai dengan golongan penduduk. Undang-Undang Perkawinan, yang berlaku di Hindia-Belanda pada saat kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, dapat dibagi ke dalam lima kategori, yaitu : 77 a. Perundang-undangan perkawinan yang berlaku bagi Golongan Eropa dan orang-orang yang disamakan dengan mereka, serta Golongan Timur Asing Keturunan Cina, tercantum dalam Buku I Titel IV sampai dengan Titel XI, IBW; b. Undang-Undang Perkawinan Islam yang berlaku bagi Golongan Pribumi dan Golongan Pribumi dan Golongan Timur Asing yang memeluk agama Islam, tertuang dalam Al Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad S.A.W; c. Bagi mereka yang tidak memeluk Agama Islam maupun Agama Kristen, berlaku Hukum Perkawinan Adat , yang sangat berbeda menurut kelompok- kelompok etnis satu dengan yang lain, bahkan terkadang berbeda pula satu daerah dengan daerah yang lain Perkawinan Hindu yang dijumpai di Bali dan Lombok Barat dianggap pula sebagai sebiah perkawinan Adat; 77 Wila Chandrawila Supriadi, Op.cit., hal 64 d. Bagi mereka yang melangsungkan perkawinan campuran diberlakukan seuatu peraturan Khusus RGH; e. Golongan Pribumi yang memeluk Agama Kristen, sejak tahun 1933 tunduk pada sutau peraturan perundang-undangan khusus HOCI. KUH Perdata Burgerlijk Wetboek yang hanya berlaku bagi golongan Eropah dan Timur Asing Cina tentang Hak-Hak dan Kewajiban suami dan isteri diatur dalam Bab V Pasal 103-118. KUH Perdata memulai dengan kaidah bahwa suami dan isteri harus setia satu sama lain, tolong menolong dan bantu membantu. Dengan terikatnya suami dan isteri dalam perkawinan berarti mereka terikat dalam suatu perjanjian secara timbal balik untuk memelihara dan mendidik anak. Kedudukan suami adalah sebagai Kepala dalam persatuan suami-isteri. Suami wajib menerima isterinya dalam rumah kediamannya. Sedangkan kedudukan isteri harus tunduk pada suami. 78 Menurut Pasal 108 KUH Perdata, kedudukan seorang wanita setelah yang bersangkutan kawin dianggap tidak mampu bertindak karena hanya dengan bantuan pihak suami, yang bersangkutan dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Terhadap ketidakmampuan pihak isteri tersebut terdapat pengecualian salah satunya adalah menggugat atau digugat di hadapan Hakim untuk perkara yang melibatkan soal perceraian perkawinan, pemisahan meja dan ranjang, dan pemisahan harta kekayaan. 79 Hukum Perdata Eropah terdapat ketentuan bahwa seorang perempuan yang telah kawin tidak cakap untuk bertindak sendiri di dalam hukum. 78 Hilman Hadikusuma Op.cit., hal 102 79 Lili Rasjidi, Op.cit., hal 125 Ketidakcakapan seorang isteri itu, di dalam hukum perjanjian dinyatakan secara tegas pada Pasal 1330 KUH Perdata bahwa seorang perempuan yang telah kawin dipersamakan dengan seorang yang berada dibawah pengampuan atau seorang yang belum dewasa. Ketidakcakapan seorang isteri hanyalah mengenai perbuatan- perbuatan hukum yang terletak di lapangan hukum kekayaan dan yang mungkin membawa akibat-akibat bagi kekayaan si isteri itu sendiri. Keadaan seperti ini memberikan suatu keleluasaan yang sangat besar kepada suami untuk bertindak dan bukan tidak mungkin dalam hal perceraianpun suami merasa memiliki hak yang sama untuk menceraikan atau menolak untuk menceraikan isterinya apabila isteri memintanya. 80 Menurut hukum adat pada umumnya yang berlaku dalam masyarakat Indonesia adalah masyarakat kekerabatan bilateral dan unilateral patrilineal dan matrilineal. Di samping berdirinya rumah tanggakeluarga tidak terlepas dari bentuk perkawinan yang terjadi, seperti bentuk perkawinan jujur, perkawinan semenda, perkawinan poligami, perkawinan ganti tikar levirat, perkawinan turun ranjang sosorat, perkawinan berlarian, perkawinan meneruskan dan keturunan, perkawinan memasukkan dalam kerabat, dan sebagainya. Bentuk-bentuk perkawinan tersebut besar pengaruhnya bagi kedudukan suami dan isteri setelah mengikat perkawinan, yang dapat berakibat hak dan kedudukan suami dan isteri tidak seimbang. Dalam bentuk perkawinan dengan pembayaran uang jujur yang mempertahankan keturunan menurut garis lelaki dimana isteri setelah perkawinan 80 Subekti, Op.cit., hal 28-29 masuk dalam kerabat suami, walaupun juga orang Bali yang tidak mengenal jujur, maka hak dan kewajiban suami dan isteri berbeda, hak dan kedudukan isteri lebih rendah dari hak dan kedudukan suami. Isteri harus tunduk dan patuhkepada suami dan kerabatnya, segala sesuatunya diselesaikan dengan musyawarah keluargakerabatnya. Isteri hanya pendamping suami, membantu suami dalam mengatur kehidupan rumah tanggadan hubungan kekerabatan atau dalam pergaulan masyarakat adat. 81 Perihal pengajuan gugatan perceraian dalam hukum Perdata, suami atau isteri dalam pengajuan gugatan perceraian ke Pengadilan diberikan kebebasan yang sama sesuai dengan Pasal 207 KUH Perdata dan berdasarkan alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 209 KUH Perdata. 1. Sebagaimana menurut Pasal 207 KUH Perdata dikatakan bahwa : 82 “Tuntutan Perceraian perkawinan harus di ajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal suami sebenarnya. Apabila si suami tidak mempunyai tempat tinggal atau tempat kediaman sebenarnya di Indonesia, maka tuntutan itu harus diajukan ke Pengadilan Negeri tempat kediaman isteri sebenarnya. Jika suami pada saat itu tidak mempunyai tempat tinggal atau temoat kediaman sebenarnya di Indonesia, maka tuntutan itu harus diajukan ke Pengadilan Negeri tempat kediaman isteri sebenarnya” Di dalam Pasal 831 Reglemen Acara Perdata Reglement op de Rechtsvordering dikatakan bahwa Seorang suami atau isteri yang ingin mengajukan gugatan perceraian, berkewajiban untuk mengajukan surat permohonan kepada Raad van jutitie RvJ yang memuat kejadian-kejadian dan kesimpulan kesimpulan denngan disertai surat-surat bukti. Surat permohonan itu disampaikan kepada Ketua RvJ oleh suami atau isteri yang 81 Hilman Hadikusuma, Op.cit., hal 104-105 82 P.N.H. Simanjuntak, Op.cit., hal 54 menggugat secara pribadi kepada siapa diberi nasehat-nasehat seperlunya menurut pndangannya. 83 2. Menurut KUH Perdata, hak untuk menuntut perceraian gugur apabila : a. Antara suami isteri telah terjadi suatu perdamaian Pasal 216 KUH Perdata b. Suami atau isteri meninggal dunia sebelum ada keputusan Pasal 220 KUH Perdata 3. Pemerikasaan di Pengadilan : a. Si isteri baik dalam perkara perceraian ia menjadi penggugat maupun tergugat, selama perkara berjalan boleh meninggalkan rumah suami dengan izin hakim Pasal 212 ayat 1 KUH Perdata. b. Selama perkara berjalan, hak-hak si suami mengenai pengurusan harta kekayaan isterinya tidak terhenti, hal mana tak mengurangi keleluasaan si isteri untuk mengamankan haknya Pasal 215 ayat 10 KUH Perdata. c. Selama perkara berjalan, Pengadilan Negeri adalah leluasa menghentikan pemangkuan kekuasaan orang tua seluruhnya atau sebagian, dan memberikan kepada orang tua yang lain, atau kepada orang ketiga yang ditunjuk oleh Pengadilan, ataupun kepada Dewan Perwalian. Terhadap tindakan-tindakan tersebut tak boleh dimohonkan banding Pasal 214 KUH Perdata. 83 Hilman Hadikusuma, Op.cit., hal 158 4. Putusan Pengadilan dimana pembubaran perkawinan karena keputusan perceraian dan pembukuan perceraian itu di dalam register Pegawai Catatan Sipil Pasal 221 ayat 1 KUH Perdata. 84 Jika perihal pengajuan gugatan perceraian menurut hukum Perdata sudah diatur dalam KUH Perdata, tidak demikian halnya dengan tata cara perceraian dalam Hukum Adat. Pada umumnya tatacara perceraian dalam Hukum Adat mengikuti tata cara yang berlaku menurut agama yang dianut keluarga suami isteri masing-masing. Oleh karena menurut agama itu masing-masing tidak ada ketentuan tentang acara mengajukan permohonan perceraian, pemeriksaan Hakim dan cara memutuskannya, maka semuanya cenderung dan mengikuti peraturan perundangan yang berlaku di Pengadilan Negara atau di Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam. Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri yang dapat berakibat terjadinya perceraian, pada umumnya di lingkungan masyarakat adat, terutama yang bersendikan ikatan kekerabatan, tidak begitu saja langsung diajukan ke Pengadilan, melainkan diselesaikan terlebih dahulu oleh musyawarah kerabat yang bersifat peradilan adat dalam arti menyelesaikan secara damai antara kedua belah pihak dengan bisa juga ditunjuk seorang juru damai.. Apabila juru damai tidak berhasil merukunkan kembali suami isteri bersangkutan, maka ia menyerahkan kembali persoalannya kepada peradilan adat. Jika tidak berhasil juga maka musyawarah kerabat mengembalikan masalahnya kepada kedua belah 84 P.N.H. Simanjuntak, Op.cit., hal 54-55 pihak, apakah akan masih menanti hari baik dan bulan baik dengan menempuh perceraian semu 85 atau langsung membawa persoalan kepengadilan. 86 Penjabaran di atas yang menjelaskan tentang kedudukan suami isteri dalam perkawinan dan juga persolalan pengajuan gugatan perceraian baik menurut Hukum Perdata maupun Hukum adat menggambarkan bahwa sedemikian baiknya pengaturan mengenai pengajuan gugatan perceraian yang memberikan hak yang sama bagi suami maupun isteri, nyatanya dalam praktek tidak berjalan sedemikian rupa. Dalam Hukum Perdata kedudukan isteri tidak seimbang dengan suami, misalnya dikatakan dalam KUH Perdata bahwa setiap isteri harus tunduk patuh kepada suaminya, setiap suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi isterinya. Maksudnya bahwa suami memiliki kuasa yang lebih besar dan keleluasaan dalam bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Hal ini berakibat seorang isteri pada masa itu tidak memiliki keberanian untuk mengajukan gugatan perceraian kepengadilan. Selain itu perceraian merupakan suatu hal yang dapat menjatuhkan harga diri seorang suami karena terjadinya perceraian dianggap sebagai ketidakmampuan suami dalam mengatur rumah tangganya. Sama halnya dengan Hukum Perdata, di dalam Hukum Adatpun kedudukan suami dan isteri memperlihatkan ketidakseimbangan. Isteri berada di bawah kekuasaan suami atau tunduk pada suami. Bagaimana pun keadaan rumah 85 Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa ‘perceraian semu’ adalah perceraian antara suami dan isteri yang tidak memutuskan ikatan perkawinan, jadi mirip dengan pisah rmeja dan ranjang scheiding van tafel en bed dalam KUH Perdata Burgerlijk Wetboek 86 Hilman Hadikusuma, Op.cit., hal 171 tangga mereka, Isteri lebih dituntut untuk selalu setia kepada suami. Di dalam prakteknya pihak suami yang lebih memiliki hak untuk mengajukan terlebih dahulu keinginan untuk bercerai. Selain itu, perceraian dalam suatu Adat juga masih dinilai sebagai perbuatan yang kurang baik dan dapat mencemarkan nama baik kedua keluarga. Ketidakseimbangan kedudukan inilah yang menjadi perbincangan dimana perceraian antara lain disebabkan karena dalam kenyataan dimasyarakat suatu perkawinan banyak yang berakhir denngan suatu perceraian yang terjadi dikarenakan perbuatan sewenang-wenang dari suamipihak laki-laki. Sebaliknya dalam hal seorang isteri yang merasa terpaksa untuk bercerai dengan suaminya, tidaklah semudah seperti yang dilakukan oleh seorang suami terhadap isterinya, sehingga sering terjadi seorang isteri masih berstatus sebagai seorang isteri tapi kenyataannya tidak merasakan lagi dirinya sebagaimana layaknya seorang isteri. 87 Kalangan kaum wanita yang menganggap hal tersebut bukanlah suatu hal yang menyenangkan, sehingga timbul suara-suara yang menghendaki agar diadakan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur hal itu, terutama membatasi kesewenang-wenangan pihak laki-laki yaitu UUP.

B. Setelah Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974