Nasionalis Religius Sebagai Jalan Tengah Perdebatan Ideologi di

BAB IV IMPLEMENTASI NILAI-NILAI RELIGIUSITAS DALAM BERPOLITIK DI

TENGAH PLURALISME BANGSA

A. Nasionalis Religius Sebagai Jalan Tengah Perdebatan Ideologi di

Indonesia : Strategi politik Partai Demokrat ? Tujuan bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan kesejahteraan hidup kemakmuran, keadilan, keamanan dll 19 , semua ini akan dicapai melalui demokrasi untuk menuju ke arah sana harus mempunyai kendaraan yang namanya Partai Politik.. Partai politik berfungsi untuk merepresentasikan, mengartikulasikan dan mengagregasikan kebutuhan dan kepentingan publik, juga memegang peranan strategis dan penting dalam upaya mencapai tujuan bernegara. Termasuk juga Partai politik berperan dalam pengelolaan keuangan negara secara lebih transparan, partisipatif dan akuntabel. Sebaliknya jika Partai politik tersebut tidak menempuh pilihan ini, hampir dapat dipastikan akan ditinggalkan masyarakat, Hasil pemilu 2004 telah mengantarkan Partai Demokrat sebagai Partai new comer dengan nomor urut 9 dari 24 peserta pemilu pada pesta demokrasi pemilu 2004 19 Lihat Masoed, Mohtar, Negara Kapital dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1999. di dalam buku tersebut mengupas tentang teori demokrasi beserta cakupan-cakupan yang berkaitan dengan regulasi ekonomi, kepemimpinan, dan kepemerintahan secara luas. 33 mampu masuk di peringkat 5 besar dengan jumlah pemilih 8.455.225 atau mendapat prosentase pemilih sekitar 7,45 dengan meraih jatah kursi 57 di legislatif. 20 Keberhasilan tersebut tentunya juga didasari oleh strategi yang diterapkan dalam sosialisasi Partai dan kampanye dengan menyampaikan visi misi Partai dan janji-janji yang akan direalisasikan apabila Partai Demokrat memegang lembaga eksekutif. Partai Demokrat yang pada pemilu 2004 menuai kesuksesan dengan meraih posisi 5 besar, sebenarnya lebih didasarkan pada keberhasilan penanaman ideologi Partai yang nasionalis religius yang disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat, dari pada janji-janji pada waktu kampanye yang digemborkan. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan sosok sentral SBY Susilo Bambang Yudhoyono yang selalu menampilkan sosok yang nasionalis dengan tanpa mengacuhkan perilaku religius. Selain keberhasilan Partai Demokrat dalam menampilkan sosok SBY Susilo Bambang Yudhoyono yang nasionalis religius, keberhasilan Partai Demokrat sebagai the best new comer dalam pemilu 2004 juga tidak terlepas dari kekhawatiran sebagian masyarakat Indonesia terhadap munculnya kembali ideologi puritan dan ideologi komunisme-marxisme-leninisme 21 . Dalam dataran teoretis, ajaran-ajaran komunisme-marxisme-leninisme semestinya boleh saja dipelajari sebagai sebuah wacana intelektual-ilmiah yang bisa membantu masyarakat memperluas cakrawala pemikiran yang semakin 20 Rudy Alamsyah, Partai Demokrat Menyongsong Pemilu 2009 http;Demokrat.or.id 08062006 21 Ruslani, Nasionalisme Religius, Kompas Rabu, 12 April 2005 34 mencerdaskan dan mendewasakan bangsa Indonesia. komunisme-marxisme- leninisme tentu harus dilarang kalau sudah dijadikan sebagai ideologi dan gerakan, karena ketiganya tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang umumnya menganut agama 22 . Karena itu, politik Indonesia diharapkan menjadi sebuah politik yang tetap diwarnai dengan nilai-nilai spiritual-keagamaan, politik yang tidak sepenuhnya terlepas dari koridor moral dan nilai-nilai ketuhanan yang menjadi landasan dan dasar ideologi negara indonesia. Mereka inilah yang dalam wacana politik biasanya disebut sebagai kaum nasionalis religius. Sekalipun mereka menolak ide-ide sekular, kaum nasionalis religius tidak menolak sama sekali politik sekular, termasuk politik negara-bangsa nation-state modern, sejauh negara-bangsa dipahami sebagai format modern kebangsaan di mana otoritas negara secara sistematis meliputi dan mengatur bangsa secara keseluruhan, baik melalui jalan demokratis maupun totaliter. Negara-bangsa modern secara moral dijustifikasi konsep nasionalisme. Kaum nasionalis religius begitu kuat menolak nasionalisme sekular yang telah kehilangan nilai-nilai moral dan spiritual. Namun, mengingat Indonesia bukanlah sebuah negara teokrasi, hubungan antara agama dan politik tidak bisa harus bersifat formal-legal, tetapi yang lebih sesuai adalah hubungan yang bersifat substantifistik. Artinya, kaum nasionalis religius tidak lagi menuntut pembentukan sebuah negara berdasarkan agama tertentu. Namun, berdasar pemahaman mereka terhadap baik ajaran agama maupun corak sosiologis masyarakat 22 Baca Bunga Rampai Tokoh Islam Dan Nasionalis, Jakarta: DPP KNPI 2000, di dalamnya terdapat kumpulan artikel yang kesemuanya menolak bangkitnya kembali komunisme. Artikel-artikel tersebut ditulis oleh tokoh-tokoh nasional. 35 Indonesia yang sangat heterogen, mereka berkiprah dalam pembangunan sebuah sistem sosial-politik yang mencerminkan, atau sejalan dengan, prinsip-prinsip umum nilai-nilai agama, termasuk keadilan, musyawarah, egalitarianisme, dan partisipasi. Agama, baik secara teologis maupun sosiologis, sebenarnya sangat mendukung pendemokrasian politik, ekonomi, dan kebudayaan. Semua agama, lebih-lebih yang berasal dari tradisi Ibrahimi Yahudi, Kristen, dan Islam, muncul dan berkembang dengan misi untuk melindungi dan menjunjung tinggi harkat manusia. 23 Pengaktualan dari nilai kemanusiaan yang amat substansial dan universal selalu mengasumsikan terwujudnya keadilan dan kemerdekaan yang diyakini sebagai hak- hak asasinya. Dalam konteks ini, demokrasi dan pendemokrasian merupakan kondisi niscaya bagi terwujudnya keadilan dan hak kemerdekaan manusia. Dengan demikian, meskipun agama tidak secara sistematis mengajarkan praktik demokrasi, agama memberikan etos, spirit, dan muatan doktrinal yang mendorong bagi terwujudnya kehidupan yang demokratis. Karena itu, persoalan agama dan demokrasi tidak bisa hanya dilihat dari tataran teologis-normatif, tetapi juga melibatkan faktor politis- sosiologis. Meski begitu, karena muatan agama selalu bersifat normatif, maka akan jelas, pada dasarnya agama sangat concerned dan committed dengan upaya pendemokrasian. Namun, barangkali perhatian yang lebih mendasar dari agama bukan demokrasi dalam bentuk formal, tetapi tujuan yang hendak diraih dengan pendemokrasian itu sendiri, terutama terwujudnya keadilan dan hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, agama selalu muncul sebagai kekuatan revolusioner, 23 Wawancara dengan Ahmad Mubarok wakil ketua DPP Partai Demokrat Jakarta 19 Juni 2006 36 transformatif, dan liberatif 24 . Sejarah agama dan ideologi besar dunia memberikan data pada kita bahwa agama merupakan sumber nilai dan kekuatan yang tak pernah kering untuk melahirkan gerakan anti kezaliman, anti tirani, anti penindasan, dan sejenisnya. Pendeknya, meski agama sering disalahgunakan penguasa negara maupun organisasi keagamaan, agama tetap merupakan sumber kekuatan bagi upaya pendemokrasian. Pada tataran ini, agama tidak berbicara tentang sistem, melainkan muatan substansial dan spirit serta arah demokrasi, seperti halnya doktrin Islam yang amat menekankan pada prinsip keadilan, musyawarah, pemihakan pada kaum tertindas dan teraniaya. Upaya untuk menjadikan agama sebagai sumber moral politik dan kekuatan pendemokrasian tidak boleh melenceng menjadi praktik penggunaan agama sebagai sumber perpecahan, dan agama disalahgunakan untuk memperkuat kedudukan penguasa, apalagi untuk menutupi kebenaran. Untuk itu, peningkatan religiusitas, keimanan, dan ketakwaan sebagai esensi dari fenomena manusia religius harus lebih menjadi being religious ketimbang sekadar having religion, 25 Karena, religiusitas bersifat inklusif sehingga siapa pun tidak perlu menyangsikan fungsi dan kebaikan religiusitas dalam diri manusia yang merasakan suatu kerinduan kepada segala yang transenden yang akhirnya bermuara pada Tuhan, sumber dari segala sikap baik, suka 24 Semangat spiritual pernah menjadi penyemangat untuk melaksanakan revolusi, sebagaimana yang pernah terjadi di Negara Iran untuk menggulingkan rezim sebelumnya, revolusi ini dipimpin oleh Imam Besar Ayatullah khoemaini pada Bulan Februari 1979 25 Chusnan Maghribi, peminat masalah politik CIIS di Yogyakarta http.www:media.online Sabtu, 10 Januari 2004 37 damai dan saling mengangkat, sambil mencari dengan jujur dengan rasionalitas ilmiah maupun kepercayaan intuitif akan keberadaan diri manusia serta alam raya. Dari paparan tadi, Partai Demokrat cukup lihai dalam mengemas ideologi. Hal ini terbukti dengan banyaknya konstituensimpatisan yang bergabung denga Partai Demokrat. Ada yang membedakan ideologi Partai Demokrat dengan Partai yang lain. Meskipun Partai GOLKAR dan PDIP sama-sama tidak mengabaikan semangat keagamaan dalam akar bangsa indonesia, tetapi kedua Partai tersebut tidak secara langsung menyebut dirinya sebagai Partai yang religius. Sebagaimana diketahui, elemen yang memperkuat kedua Partai tersebut juga diisi oleh tokoh-tokoh yang sangat kental dengan semangat keagamaan, seperti Akbar tanjung di tubuh Partai GOLKAR adalah salah satu aktivis HMI Himpunan Mahasiswa Indonesia demikian juga dengan Gus Hasib di PDIP Putera KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah tokoh yang sangat kental dengan NU. Selain alasan tersebut, ada juga yang membedakan pada waktu pencalonan SBY Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden RI dengan calon-calon lainnya. Sebagaimana diketahui sebelumnya seluruh bursa calon selalu mengedepankan penggabungan elemen bangsa yakni kelompok nasionalis dan religius. Contohnya adalah pasangan Megawati Soekarnoputri dan K.H Hasyim Muzadi, atau pasangan Amien Rais dan Siswono Yudhohusodo. termasuk juga pasangan Wiranto dan Solahuddin Wahid, selalu menyebut diri sebagai Dwitunggal Nasional yang seolah- olah ingin mewarisi sosok Dwitunggal Soekarno dan Muhammad Hatta. Dalam alam pikiran mereka, Soekarno merupakan representasi nasionalis dan Bung Hatta adalah 38 titisan dari kubu agamis. Poster-poster kampanye Megawati dan Hasyim terpampang kata-kata “Menyatunya Dua Kekuatan Terbesar Bangsa” dengan disertai foto Megawati dan Hasyim dalam edisi close up. Amien Rais secara eksplisit menyebut pendampingnya, Siswono, sebagai the first class nasionalist dan menyebut duet tersebut sebagai kombinasi menarik antara religius-nasionalis yang direpresentasikan Amien dan nasionalis-religius yang diwakili Siswono. Publik seakan tak mau tahu apa makna yang sebenarnya tersirat dan tersurat dari dua istilah tersebut. Perbedaan SBY Susilo Bambang Yudhoyono dengan calon lainnya adalah, SBY Susilo Bambang Yudhoyono mampu merepresentasikan nasionalis religius menjadi satu dalam dirinya tanpa harus terbagi dalam dua sosok. Keberhasilan tersebut mengisyaratkan bahwa sudah saatnya untuk tidak lagi mendikotomikan antara nasionalis dan religius. Realitas politik saat ini tampaknya tidak cukup punya tenaga untuk mengubur skisma lama ihwal perkubuan atau faksionalisasi antara kaukus agama dan nasionalis. Padahal sebenarnya labelisasi semacam ini telah ditempatkan pada konteks yang tidak sepenuhnya tepat 26 . Orang kemudian akan mudah berasumsi bahwa kalangan agamis tak tentu bahkan tak mungkin nasionalis. Demikian pula sebaliknya. Sebagai simbol dari basis massa, mungkin kosa istilah ini cukup bisa dipahami. Namun sebagai perlambang dari citra diri dan identitas secara personal, jelas hal itu perlu dikoreksi. Karena ternyata tak sedikit kaum nasionalis yang cenderung lebih memiliki kesadaran dan pengamalan agama yang benar ketimbang mereka yang 26 artikel M. Ali Hisyam. HTT:WWW.tempointeraktif.com 01042005 39 mengklaim diri sebagai agamis. Demikian juga sebaliknya. Bahkan dalam diktum- diktum hampir setiap agama dikenal apa yang disebut cinta tanah air atau nasionalisme dalam khazanah Islam disebut al-wathaniyyah atau hubb al-wathan yang dianggap sebagai bagian penting dari iman seorang agamis. Oleh karenanya, perlu direnungkan kembali pemakaian istilah ini terkait dengan kognisi sosial masyarakat kita. Lain dari itu, butuh pula difikirkan bagaimana efek sosial yang mungkin timbul akibat pemilahan dikotomis tersebut di masa-masa yang bakal menjelang. Agama, kemudian menjadi “komoditas” yang bisa seenaknya ditarik-tarik dalam ranah kepentingan politik praktis. Terasa wajar bila ada sebagian yang risau jika dikotomi serupa ini terus didentumkan secara tak terarah. Kekhawatiran senada ini bermuara dari adanya keinginan supaya tidak ada lagi kesalahkaprahan dalam pemaknaan istilah tersebut. Sehingga kesan bahwa agamis “versus” nasionalis adalah dua entitas yang saling tikai dan sukar diakurkan, dapat perlahan dicairkan. Bagaimanapun memaksa emblem agama untuk dibawa ke kancah politik, dalam wacana demokrasi kebangsaan yang belajar tumbuh seperti di Indonesia, adalah hal yang musykil Dalam konteks ini, ajakan untuk tidak lagi mempersoalkan dikotomi agamis- nasionalis terasa relevan diterapkan. Dengan demikian, kemajemukan hidup beragama memungkinkan untuk teduh, terayomi dan tak ternoda “asap hitam” dunia politik. Perlu kiranya diterapkan. Alquran menuntun umatnya untuk tidak “berlebihan dalam beragama” laa taghluw fii diinikum, sebab agama pada dasarnya merupakan penjabaran dari seperangkat pola hidup yang terbuka, sederhana dan jauh 40 dari rumit. Karenanya ia senantiasa menyodorkan dimensi kelapangan serta kemudahan dengan turut mendamaikan penyekatan antara kubu agamis dan nasionalis ini, setidaknya para elit politik serta disokong para intelektual dan pemuka agama telah berusaha menjalankan fungsinya sebagai sentrum pembentukan kesadaran centers of rational thought publik yang cerdas dan membebaskan.

B. Implementasi Nilai-nilai Religiusitas Partai Demokrat : sebuah proses