BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan ideologi dalam perpolitikan nasional sebenarnya sudah lama terjadi, bahkan dimulai sejak awal perumusan undang-undang dasar pada masa awal
kemerdekaan Republik Indonesia. Tarik menarik ideologi dan perdebatan yang sering menguras tenaga dan pikiran tersebut selalu dilakukan oleh dua kelompok besar yang
ingin menerapkan ideologinya masing masing. Kedua kelompok tersebut adalah kelompok nasionalis dan kelompok Islam politik. Namun harus di tekankan sejak
awal bahwa kelompok nasionalis tidaklah secara langsung anti dan mengabaikan sisi religiusitas dalam sebuah negara, dan demikian sebaliknya, kelompok Islam politik
tidaklah juga mengabaikan tentang semangat nasionalisme dalam bernegara. Meski punya titik persamaan dalam kandungan visi mereka, Tapi pada tataran politik praktis
keberadaan kedua kelompok tersebut masih sangat sulit untuk dipertemukan. Pada pemilu raya di Indonesia yang dilaksanakan pada tahun 1955,
keberadaan partai nasionalis dan keberadaan partai yang berideologi keagamaan Islam sangat mendapatkan dukungan yang tinggi oleh masyarakat pemilih.
Demikian juga pada pemilu 1999 dan 2004, keberadaan partai nasionalis juga keluar sebagai pemenang. Sedangkan untuk Partai yang berideologi keagamaan Islam juga
masih mendapatkan suara yang cukup signifikan, namun karena pada pemilu 1999
1
dan 2004 Partai Islam terjebak pada Partai politik aliran, maka keberadaannya menjadi mencair.
Pada perjalanan pemilu di Indonesia, telah terjadi perubahan pada sistem pemilihan presiden. Kalau dulunya presiden dipilih oleh kalangan legislatif maka
pada pemilu 2004 dipakai sistem pemilihan presiden secara langsung. Sistem pemilihan presiden secara langsung ini adalah sistem pemilihan yang pertama kali
diterapkan di negara Indonesia sejak dimulainya pemilu pada tahun 1955. Polling Sugeng Sarjadi Syndicated dan Dr Arief Budiman Maret 2003
mengeluarkan sejumlah kalkulasi pemilihan capres dan cawapres 2004
1
. Keduanya mencantumkan kriteria nasionalis-religius sebagai tolok ukur, baik di tingkat elite
parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling. Sebagaimana diketahui pencalonan Wiranto sebagai presiden dengan menggandeng
Shalahuddin Wahid sebagai wakilnya, atau Megawati Sukarno Putri dengan Hasyim Muzadi, begitu juga dengan calon-calon lainnya Susilo bambang yudhoyono dengan
M. Yusuf Kalla, Hamzah Haz dengan Agum Gumelar, dan Amin Rais dengan Siswono Yudo Husodo kesemuanya merupakan representasi dari dua kekuatan
elemen bangsa yang didasarkan pada kekuatan ideologi nasionalis dan kekuatan ideologi religius. Dari fakta tersebut, elite dan masyarakat seolah masih larut dalam
paradigma lama bahwa ukuran kemenangan politik sipil ditentukan oleh gabungan dua aliran besar di Indonesia itu.
1
Http:www. Cetro.or idPolling capres dan cawapres RI browsing 15 Mei 2006
2
Paket capres-cawapres nasionalis religius tadi seakan mengasumsikan yang nasionalis bukan religius, sedangkan yang religius bukan nasionalis. Keduanya
diposisikan seolah-olah bertolak belakang. Apakah pakem ini merupakan tipikal signifikan dalam proses modernisasi sistem politik Indonesia, mengingat kalangan
nasionalis-religius jauh dari kebijakan yang seharusnya diambil saat memerintah? Di banyak negara luar, kalau ideologi itu mendikotomikan antara liberal dan
sosialis, kelompok liberal dengan Partai buruh, atau antara demokrat dan konservatif, pengaruhnya langsung tampak pada pengambilan kebijaksanaan. Di negara kita,
berbagai kebijakan yang diambil juga bersentuhan dengan paham atau ideologi yang dianut, meski pada kenyataannya yang nampak adalah menonjolkan sisi personal,
bukan basis ideologi parpol pendukungnya. Ideologi adalah landasan yang menjadi dasar untuk melangkah dan menjadi
dasar maksud dan tujuan dalam berpolitik dan bernegara. Keberadaan ideologi ini menjadi sangat vital dalam sebuah Partai, mengingat masyarakat pemilih selalu
mempertimbangkan dari awal untuk mengetahui ideologi Partai serta visi misinya sebelum memilih.
Sebagai hasil dari perjalanan panjang tarik menarik ideologi, maka hal yang menarik adalah adanya kelompok Partai politik yang ingin menjadi jalan tengah
dengan bersifat kooperatif terhadap ideologi. Kelompok ini tidak ingin berdiri di satu sisi ideologi, melainkan menggabungkan dan menyatukan dua ideologi tersebut
dengan alasan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang memiliki berbagai macam suku, agama, ras, dan kebudayaan, sehingga Negara Indonesia tidak bisa diklaim
3
milik salah satu elemen bangsa. Dalam hal ini sebagai contoh Partai di Negara Indonesia adalah Partai Demokrat. Partai Demokrat dengan tegas menyatakan diri
sebagai partai nasionalis religius. Penegasan ungkapan tersebut tentunya mengandung dua sisi ideologi, yakni ideologi nasionalis dan ideologi religius.
Sebagai sebuah Partai, yang salah satu tujuan utamanya adalah untuk memperoleh simpati dari para pemilih, sebenarnya kehadiran dan performance Partai
Demokrat tidaklah berbeda jauh dengan partai nasionalis yang sudah ada lebih dulu, seperti Partai GOLKAR, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDIP, maupun
dengan Partai-Partai kecil lainnya. Namun ada penonjolan perbedaan ketika Partai Demokrat secara tertulis menyatakan diri sebagai partai nasionalis religius.
B. Tujuan Penelitian