Pengaturan Mengenai Upaya hukum peninjauan kembali PK Herziening dari

53 Hal ini tentu sangat merugikan pihak terpidana, padahal dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP jelas dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali PKHerziening adalah terpidana atau ahli warisnya. Muhammad Assegaf yang merupakan pengacara terpidana Pollycarpus dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir menyatakan bahwa ia dan kliennya tidak bisa mengajukan PK karena tidak ada diatur dalam KUHAP mengenai PK diatas PK, artinya tidak ada PK diatas putusan PK. 45

E. Pengaturan Mengenai Upaya hukum peninjauan kembali PK Herziening dari

Tinjauan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 16PUUVI2008 dan Kaitannya dengan PERMA No. 1 Tahun 1980 Mahkamah konstitusi sebagai salah satu lembaga yang keberadaannya diakui di negeri ini mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut : 1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara 3. Memutus pembubaran partai politik dan 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi MK yang menguji Undang- Undangterhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pada tahun 2008 MK telah mengeluarkan putusan Nomor 16PUU-VI2008. Putusan tersebut pada amarnya menolak gugatan dari Pollycarpus Budihari Priyanto. Pollycarpus dalam gugatannya, mengajukan pengujian terhadap Pasal 23 Undang- Undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman terhadap Pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengenai hak atas jaminan 45 MDN, loc.cit. Universitas Sumatera Utara 54 dan perlindungan kepastian hukum. Menurut Pollycarpus, peninjauan kembali seharusnya didasarkan pada Pasal 263 KUHAP Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 dan bukan didasarkan pada Pasal 23 Undang-Undang Pokok Kehakiman. Diterimanya pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa, dianggap telah menyimpangi hak asasi manusia dalam hal jaminan perlindungan kepastian hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28D ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. 46 Berdasrkan hal tersebut, semestinya yang diuji adalah Pasal 23 ayat 1 Undang- Undang No. 4 Tahun 2004 terhadap Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Dan pengujian tersebut Alasan-alasan tersebutlah yang menyebabkan Pollycarpus yang merupakan terpidana atas kasus pembunuhan aktifis HAM Munir mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Namun, permohonan dalam gugatan Pollycarpus tersebut ditolak oleh hakim-hakim Mahkamah Konstitusi. Alasan penolakan permohonan tersebut adalah karena menurut hakim- hakim Mahkamah Konstitusi Pasal 23 ayat 1 Undang-UndangNo. 4 Tahun 2004 tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Lagi pula, adanya putusan-putusan Mahkamah agung yang menerima permohonan peninjauan kembali yang diajukan jaksa dengan menafsirkan secara luas frasa “pihak-pihak yang bersangkutan” sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dengan mengesampingkan Pasal 263 ayat 1 KUHAP merupakan implementasi undang-undang, yang tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004. Penolakan permohonan tersebut karena tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi hanya menguji Undang-Undangterhadap Undang-Undang Dasar, sedangkan pengujian terhadap Undang-undang dengan Undang-undang lainnya merupakan hak Mahkamah Agung. 46 Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2008, hlm. 867. Universitas Sumatera Utara 55 diajukan ke Mahkamah Agung bukan ke Mahkamah Konstitusi. Terhadap perkara Pollycarpus ini, salah seorang hakim Mahkamah Konstitusi memberikan Concuring Opinion alasan berbeda, yaitu “Dalil permohonan yang bersangkutan merupakan masalah penerapan norma oleh Mahkamah Agung yang dinilai terdakwa melanggar kepastian hukum. Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 merupakan salah satu Pasal yang penerapannya lebih lanjut diatur dalam hukum acara dalam Undang-undang, sehingga seharusnya Undang-undangyang mengatur hukum acaralah yang dimohonkan untuk diuji, bukan Pasal 23 aayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2001.” 47 “Ketentuan Pasal 23 ayat 1 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 menimbulkan ketidakpastian hukum karena pengertian pihak-pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali tidak diterapkan secara konsisten dalam proses peradilan pidana. Karena Pasal itu merupakan sebab ketidakkonsistenan dalam penerapan ketentuan mengenai siapa yang berhak mengajukan peninjauan kembali dalam perkara pidana, maka permohonan Pemohon beralasan untuk dikabulkan.” Penolakan permohonan Pollycarpus oleh Mahkamah Konstitusi tidak berarti membenarkan diajukannya peninjauan kembali oleh jaksa diperbolehkan. Penolakan tersebut dilakukan karena masalah kewenangan yang tidak dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Meskipun pada akhirnya permohonan Pollycarpus ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, namun ada dua orang hakim Mahkamah Konstitusi yang memberikan pendapat berbeda Dissenting Opinion 48 Ada tiga alternative penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Pollycarpus ini yang merupakan dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusannya, yaitu : 49 1. Pasal 23 ayat 1 Undang-undnag No. 4 Tahun 2004 merupakan asas atau aturan umum yang harus dirinci dalam Undang-Undangtentang hukum acara, baik pidana maupun perdata yang berlaku bagi masing-masing lingkungan peradilan dan peradilan khusus dibawah Mahkamah Agung. Menyangkut 47 Ibid, hlm. 870. 48 Ibid. 49 Ibid, hlm 869. Universitas Sumatera Utara 56 perkara pidana, pihak yang berhak mengajukan peninjauan kembali harus merujuk pada Pasal 263 ayat 1 KUHAP yang menentukan keadaaan atau syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 2. Pasal 23 ayat 1 Undang-UndangNo. 4 tahun 2004 merupakan paradigm baru yang berorientasi kepada kepentingan korban kejahatan, disamping terdakwa, yang menyebabkan Jaksa atas nama korban diberi hak untuk mengajukan peninjauan kembali; 3. Frasa “pihak-pihak yang bersangkutan” dalam Pasal 23 Undang-UndangNo. 4 Tahun 2004 merupakan istilah yang kabur dan tidak jelas, yang mengakibatkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Undang- undangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Frasa tersebut digunakan sebagai dasar untuk menyampingkan Pasal 263 ayat 1 KUHAP yang menentukan secara limitatif siapa yang berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan ketiga hal tersebut diatas, Mahkamah memilih alternatif pertama karena sifat norma Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 merupakan asas yang berlaku secara umum untuk setiap badan peradilan yang puncaknya berada pada Mahkamah Agung. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memandang bahwa hal-hal mengenai pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali merupakan kewenangan Mahkamah Agung untuk mengaturnya. Mengenai pengaturan peninjauan kembali pernah dituangkan Mahkamah Agung dalam peraturannya yaitu PERMA No. 1 tahun 1980 Tentang Peninjauan Kembali Putusan Universitas Sumatera Utara 57 yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap. Dalam Pasal 9 PERMA No. 1 Tahun 1980 disebutkan sebagai berikut : 50 a Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi satu sama lain bertentangan ; Ayat 1 : Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang mengandung pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atas dasar alasan : b Apabila terdapat suatu keadan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang akan dijatuhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan. Ayat 2 : Atas dasar alasan yang sama Mahkamah agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan sebagai terbukti akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti itu diikuti oleh suatu pemidanaan. Pasal 10 PERMA No. 1 Tahun 1980 diatur tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali dan prosedur pengajuan peninjauan kembali tersebut, sebagaimana yang tertuang dalam ayat 1 dan ayat 2 sebagai berikut : Ayat 1 Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan. 50 PERMA No. 1 Tahun 1980 Tentang PK Putusan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap. Universitas Sumatera Utara 58 Ayat 2 Permohonan diajukan secara tertul;is, dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang diajukan sebagai dasar permohonan itu dan dimasukkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau diajukan lengsung ke Mahkamah Agung. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya mengenai peninjauan kembali telah diatur oleh Mahkamah Agung dalam PERMA No. 1 Tahun 1980. Namun pada kenyataannya, hingga kini PERMA tersebut tidak direvisi atau diperbaharui oleh Mahkamah Agung sehingga daya berlaku PERMA tersebut sudah tidak ada lagi karena mengenai peninjauan kembali kemudian telah diatur dalam Undang-UndangNo. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan hirarki PERMA tersebut berada dibawah Undang-Undang sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal tujuh Undang- Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan. Kedudukan PERMA dalam hirarki peraturan perundang-undangan tidak diatur dalam ayat 1 Pasal tujuh Undang-undangNo. 10 tahun 2004, namun dalam ayat 4 Pasal 7 nya diatur bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat 1, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundnag-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan hal tersebut, maka seharusnya PERMA dibentuk sebagai peraturan lebih lanjut demi pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berada lebih tinggi darinya. Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa penolakan permohonan Pollycarpus oleh Mahkamah Konstitusi yang dituangkan dalam Putusan Nomor 16PUU- VI2008 bukan berarti menunjukkan bahwa peninjauan kembali oleh jaksa merupakan hal yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Penolakan tersebut dilakukan Mahkamah Konstitusi karena sesungguhnya mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali merupakan hal yang diatur dalam beberapa peraturan perundang- Universitas Sumatera Utara 59 undangan yang saling bertentangan. Dan kewenangan atas pengujian undang-undang terhadap undang-undang merupakan hak uji Mahkamah Agung bukanlah kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sehingga Mahkamah Konstitusi memandang permohonan tersebut ditolak agar sekiranya permohonan tersebut diajukan ke Mahkamah agung dan dibahas oleh Mahkamah Agung. Meskipun mengenai peninjauan kembali telah diatur oleh mahkamah Agung dalam PERMA No. 1 Tahun 1980, dan dalam Pasal 10 PERMA tersebut dengan terang telah menunjukkan bahwa peninjauan kembali dapat diajukan oleh jaksa namun oleh karena pada tahun 1981 telah lahir Undang-Undang No. 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang juga mengatur secara jelas mengenai Peninjauan Kembali maka seharusnya PERMA No.1 Tahun 1980 sudah tidak mempunyai kekuatan hukum untuk berlaku lagi. BAB III Universitas Sumatera Utara 60 PERAN KEJAKSAAN RI DALAM PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA

A. Tugas dan Wewenang Kejaksaan RI dalam Penegakkan Hukum di Indonesia

Dokumen yang terkait

Analisis Terhadap Perlindungan Investor Asing Dalam Kegiatan Penanaman Modal Di Sumatera Utara (Studi Putusan MA - RI No. 382 K/TUN/2010)

1 69 133

Tinjauan Yuridis Atas Pensertifikatan Tanah yang Berasal dari Hak Ulayat (Studi Kasus Putusan MA No. 274/K/PDT/2005)

3 52 113

Tinjauan Yuridis Mengenai Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK)/Herziening Yang Diajukan Oleh Jaksa (Analisa Terhadap Putusan MA RI No. 55 PK/Pid/1996, Putusan MA RI No. 109 PK/Pid/2007 dan Putusan MA RI No. 07 PK/Pidsus/2009)

2 111 125

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Ditinjau dari UU No. 41 Tahun 1999 (Studi Putusan MA No. 68K/PID.SUS/2008)

4 78 338

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

Analisis Kasasi Jaksa Penuntut Umum Terhadap Putusan Bebas Judex Facti Yang Mengadili Tidak Sesuai Ketentuan Kuhap.(Putusan MA Ri No. 1112.K/Pid /2001)

0 21 85

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG YANG MEMBATALKAN PUTUSAN JUDEX FACTI (Studi Kasus Putusan MA RI No. 1112K/Pid/2001)

0 6 16

KAJIAN YURIDIS TENTANG KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH SUSUN (Studi Putusan MA RI No. 3145 K/Pdt/1999)

0 4 95

KAJIAN YURIDIS TENTANG PERLAWANAN EKSEKUSI LELANG PUPN OLEH DEBITUR YANG WANPRESTASI DI BPD BALI CABANG NEGARA (Studi Putusan MA RI No. 2911 K/Pdt/2000)

0 4 96

Analisis Terhadap Perlindungan Investor Asing Dalam Kegiatan Penanaman Modal Di Sumatera Utara (Studi Putusan MA - RI No. 382 K/TUN/2010)

0 0 6